J.K. Rowling Harry Potter seri ke 6 Pangeran Berdarah Campuran Daftar Isi 01. MENTERI YANG LAIN 02. SPINNERS END 03. MAU DAN TAK MAU 04. HORACE SLUGHORN 05. DAHAK YANG BERLEBIHAN 06. DILEMA DRACO 07. KLUB SLUG 08. KEMENANGAN SNAPE 09. PANGERAN BERDARAH CAMPURAN 10. RUMAH GAUNT 12. PERAK DAN OPAL 13. RIDDLE YANG SERBA RAHASIA 14. FELIX FELICIS 15. SUMPAH TAK TERLANGGAR 16. NATAL YANG SANGAT DINGIN 17. KENANGAN YANG DIMODIFIKASI 18. KEJUTAN ULANG TAHUN 19. TUGAS RAHASIA PERI-RUMAH 20. PERMOHONAN LORD VOLDEMORT 21. KAMAR YANG TAK-BISA-DIKETAHUI 22. SETELAH PEMAKAMAN 23. HORCRUX 24. SECTUMSEMPRA 25. SANG PELIHAT DICURI-DENGAR 26. GUA 27. MENARA TERSAMBAR PETIR 28. KABURNYA PANGERAN 29. RATAPAN PHOENIX 30. PUSARA PUTIH (TAMAT) Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net 01. MENTERI YANG LAIN Saat itu menjelang tengah malam dan perdana Menteri sedang duduk sendirian di kantornya, membaca laporan panjang yang lewat begitu saja melalui otaknya tanpa meninggalkan makna sedikit pun. Dia sedang menunggu telepon dari presiden Negara yang jauh, dan diantara bertanya-tanya kapan orang sialan itu akan menelepon dan berusaha menekan ingatan tak menyenangkan akan minggu yang sangat panjang, melelahkan, serta sulit, nyaris tak ada ruang tersisa di otaknya untuk hal-hal lain. Semakin dia berusaha memfokuskan pikiran pada halaman tercetak di depannya, semakin jelas Perdana Menteri bisa melihat wajah kegirangan salah satu lawan politiknya. Lawan politik yang satu ini telah muncul dalam berita hari itu, tak hanya menyebutkan satu per satu semua kejadian mengerikan yang terjadi sepanjang minggu lalu (lagi pula siapa yang perlu diingatkan), namun juga menjelaskan kenapa masing-masing musibah itu adalah kesalahan pemerintahan. Denyut nadi Perdana Menteri bertambah cepat mengingat tuduhan-tuduhan ini, karena semuanya tidak adil dan tidak benar. Bagaimana mungkin pemerintahnya diharapkan bisa mencegah jembatan itu ambruk? Sungguh kelewatan kalau ada yang menuduh mereka tidak menyediakan cukup dana untuk jembatan. Jembatan itu belum lagi sepuluh tahun, dan para ahli yang paling top pun bingung, tak bisa menjelaskan kenapa jembatan itu mendadak putus jadi dua, menjerumuskan selusin mobil ke dalam sungai dalam di bawahnya. Dan beraninya orang menuduh bahwa kurang polisilah penyebab kedua pembunuhan sangat mengerikan yang dipublikasikan secara meluas? Atau bahwa pemerintah mestinya sudah bisa meramalkan terjadinya badai ajaib di West Country yang telah menelan begitu banyak korban baik jiwa maupun harta benda. Dan salahnyakah jika salah satu menteri mudanya, Herbert Chorley, telah memilih minggu itu untuk bersikap begitu ganjil sehingga sekarang dia akan melewatkan lebih banyak waktu bersama keluarganya? "Suasana muram menyelimuti Negara ini," si lawan politik menyimpulkan, nyaris tanpa menyembunyikan seringai lebarnya. Dan celakanya, ini betul sekali. Perdana Menteri merasakannya sendiri; orang-orang betul-betul tampak lebih merana daripada biasanya. Bahkan cuaca pun suram; banyak kabut dingin di tengah bulan juli ... ini tidak benar, ini tidak normal ... Dia membalik laporan ke halaman dua, melihat laporan itu masih panjang, lalu menyerah. Seraya meregangkan lengan di atas kepala, dia melihat ke sekeliling kantornya dengan pilu. Kantornya bagus, dengan perapian pualam indah menghadap ke jendela-jendela panjang berbingkai, yang sekarang tertutup rapat gara-gara hawa dingin yang aneh. Dengan sedikit bergidik Perdana Menteri bangkit dan berjalan ke jendela, memandang kabut yang berkumpul dan menekan jendela. Saat itulah, ketika berdiri membelakangi ruangan, dia mendengar batuk pelan di belakangnya. Dia membeku, hidungnya menempel pada bayangan wajahnya yang ketakutan di kaca jendela yang gelap. Dia mengenali batuk itu. Dia pernah mendengarnya sebelumnya. Dia berbalik, sangat perlahan, menghadap ruangan yang kosong. "Halo?" katanya berusaha terdengar lebih berani daripada yang dirasakannya. Sesaat dia membiarkan dirinya dikuasai harapan mustahil bahwa tak akan ada yang menjawabnya. Meskipun demikian, jawaban langsung terdengar, suara yang garing dan tegas yang kedengarannya seperti membaca pernyataan yang tertulis. Suara itu datangnya -- seperti yang telah diketahui Perdana Menteri waktu mendengar batuk yang pertama kali dari pria kecil bertampang kodok memakai wig perak panjang yang tergambar dalam lukisan cat minyak kecil kotor di sudut ruangan yang jauh. "Kepala Perdana Menteri Muggle. Perlu sekali kita bertemu. Mohon segera ditanggapi. Salam, Fudge. Pria dalam lukisan memandang Perdana Menteri dengan ingin tahu. "Er," kata Perdana Menteri, "ini bukan saat yang cocok untuk saya ... saya sedang menunggu telepon, soalnya ... dari presiden ne" "Itu bisa diatur-ulang," kata lukisan segera. Hati Perdana Menteri mencelos. Itu yang dia takutkan. "Tetapi saya sungguh berharap bisa bicara-" "Kita atur agar Presiden lupa menelepon anda. Alih-alih sekarang, dia akan menelepon besok malam," kata pria kecil itu. "Tolong segera menjawab Mr Fudge." "Saya ... oh ... baiklah," kata Perdana Menteri lemah. "Ya, saya akan menemui Fudge." Dia bergegas kembali ke mejanya, seraya meluruskan dasinya. Baru saja dia duduk dan mengatur agar ekspresi wajahnya tampak rileks dan tak terganggu, api hijau terang mendadak berkobar di perapiannya, di bawah rak pualamnya. Dia mengawasi, berusaha tidak menunjukkan keterkejutan ataupun ketakutan, ketika seorang pria gemuk muncul dalam kobaran api itu, berpusing secepat gasing. Beberapa detik kemudian, dia melompat keluar dari perapian ke permadani antik yang agak bagus, mengibaskan abu dan mantelnya yang panjang bergaris, topi bowler berwarna hijau-limau di tangannya. "Ah ... Perdana Menteri," kata Cornelius Fudge, melangkah maju dengan tangan terjulur. "Senang bertemu anda lagi." Perdana Menteri sejujurnya tak bisa membalas dengan ucapan yang sama, maka diam saja. Dia sama sekali tak senang bertemu Fudge, yang muncul dari waktu ke waktu. Kemunculannya sendiri sudah menakutkan, dan biasanya kalau Fudge muncul Perdana Menteri akan mendengar kabar yang sangat buruk. Lagipula, Fudge tampak jelas kelelahan. Dia lebih kurus, kepalanya lebih botak, rambutnya lebih banyak ubannya, dan wajahnya tampak kusut. Perdana Menteri sudah pernah melihat penampilan semacam ini pada banyak politikus sebelumnya, dan ini tak pernah menjadi pertanda baik. "Bagaimana saya bisa membantu Anda?" tanyanya, sambil sekilas menjabat tangan Fudge dan memberi isyarat ke arah kursi yang paling keras di depan mejanya. "Sulit mau mulai dari mana", gumam Fudge, seraya menarik kursi, duduk dan meletakkan topi bowler-nya di atas lututnya. "Minggu yang sungguh gila, sungguh gila..." "Anda mengalami minggu yang buruk juga?" tanya Perdana Menteri kaku, berharap dengan berkata demikian dia sudah menyiratkan bahwa masalahnya sendiri sudah banyak, tanpa perlu ditambahi masalah Fudge. "Ya, tentu saja," kata Fudge, mengusap matanya dengan letih dan memandang murung Perdana Menteri. "Saya mengalami minggu yang sama dengan Anda, Perdana Menteri. Jembatan Brockdale...pembunuhan keluarga Bones dan Vance...belum lagi kehebohan di West Country..." "Andaermaksud saya, beberapa rakyat Anda terlibat dalamdalam peristiwa-peristiwa itu, kan?" Fudge memandang Perdana Menteri dengan tatapan yang agak tegang. "Tentu saja mereka terlibat," katanya. "Mestinya Anda sudah menyadari apa yang terjadi?" "Saya..."gagap Perdana Menteri. Persis sikap seperti inilah yang membuatnya sangat membenci kunjungan Fudge. Bagaimanapun juga dia Perdana Menteri dan tak suka disudutkan sampai merasa seperti murid yang tak tahu apa-apa. Tetapi tentu saja, situasinya selalu begini sejak pertemuannya dengan Fudge pada malam pertamanya sebagai Perdana Menteri. Dia ingat jelas peristiwa itu, seakan baru terjadi kemarin, dan tahu itu akan menghantuinya sampai hari kematiannya. Dia sedang berdiri sendirian di kantor ini, menikmati kemenangan yang berhasil diraihnya setelah bertahun-tahun diimpikan dan direncanakan, ketika didengarnya bunyi orang batuk di belakangnya, persis malam ini. Ketika dia berbalik ternyata lukisan kecil jelek itu berbicara kepadanya, memberitahunya bahwa Menteri Sihir akan datang dan memperkenalkan diri. Wajar saja, saat itu dia mengira kampanye yang lama dan ketegangan pemilihan telah membuatnya sinting. Dia ngeri sekali ada lukisan berbicara kepadanya, ketika ada orang yang menyatakan diri sebagai penyihir melompat keluar dari perapian dan menjabat tangannya. Dia bungkam seribu bahasa selama Fudge menjelaskan bahwa ada penyihir yang masih tinggal secara rahasia di seluruh dunia, dan meyakinkan bahwa dia tak perlu memusingkan hal ini karena Kementerian Sihir bertanggung jawab untuk seluruh komunitas sihir dan mencegah populasi non-sihir tahu soal adanya penyihir ini. Ini, kata Fudge, pekerjaan sulit yang mencakup segala sesuatu dari pengaturan soal pertanggung jawaban penggunaan sapu terbang sampai mengendalikan populasi naga (Perdana Menteri ingat dia mencengkeram meja mencari pegangan agar tak jatuh mendengar ini). Fudge kemudian menepuk bahu Perdana Menteri yang masih kaget dengan gaya kebapakan. "Tak perlu kuatir," katanya, "kemungkinan Anda tak akan bertemu saya lagi. Saya hanya akan mengganggu Anda jika ada sesuatu yang benar-benar serius terjadi di tempat kami, sesuatu yang akan berpengaruh terhadap Mugglepopulasi non-sihir, menurut hemat saya. Kalau tidak, kita hidup sendiri-sendiri dalam damai. Dan harus saya katakan, Anda menerima ini jauh lebih baik daripada orang yang Anda gantikan. Dia berusaha melempar saya keluar dari jendela, mengira saya ini olok-olok yang dikirim oleh partai lawan." Mendengar ini, akhirnya Perdana Menteri bisa bicara lagi. "Jadi, Anda bukan olok-olok?" Itu harapannya yang terakhir, harapan dalam keputusasaan. "Bukan," kata Fudge lembut. "Bukan, sayang bukan. Lihat." Dan dia mengubah cangkir teh Perdana Menteri menjadi tikus kecil. "Tapi", kata Perdana Menteri menahan napas, mengawasi cangkirnya mengunyah-ngunyah, "tetapi kenapakenapa tak ada yang memberitahu saya--?" "Menteri Sihir hanya memperlihatkan diri kepada Perdana Menteri Muggle yang sedang menjabat," kata Fudge, menyelipkan kembali tongkat sihirnya ke dalam jaketnya. "Kami menganggap itu cara terbaik untuk menjaga kerahasiaan." "Tapi kalau begitu," Perdana Menteri mengembik, "kenapa tak ada mantan perdana menteri yang memperingatkan saya--?" Mendengar ini, Fudge betul-betul tertawa. "Perdana Menteri yang baik, apakah Anda akan memberitahu orang lain?" Masih terkekeh, Fudge melemparkan sejumput bubuk ke dalam perapian, melangkah ke dalam lidah api hijau-zamrud, dan menghilang dengan bunyi deru. Perdana Menteri berdiri tertegun, tak bergerak, dan sadar bahwa dia tak akan pernah, seumur hidupnya, berani menyebut-nyebut pertemuan ini kepada orang lain, karena siapa sih di dunia ini yang akan mempercayainya? Keterkejutannya perlu beberapa waktu untuk memudar. Selama beberapa waktu dia berusaha meyakinkan diri bahwa Fudge betul-betul halusinasi yang disebabkan oleh kekurangan tidur selama kampanye pemilihan yang sangat meletihkan. Dalam usaha sia-sia untuk menyingkirkan semua yang mengingatkannya akan pertemuan yang membuat tidak nyaman ini, dia memberikan tikus kecilnya kepada keponakannya yang senang sekali dan menginstruksikan kepada sekretaris pribadinya untuk menurunkan lukisan laki-laki kecil jelek yang telah mengumumkan kedatangan Fudge. Meskipun demikian, betapa kecewanya Perdana Menteri, lukisan itu ternyata tak mungkin dipindahkan. Ketika beberapa tukang kayu, satu atau dua ahli bangunan, seorang sejarawan seni, dan ketua bendahara semuanya telah mencoba tanpa hasil mencopot lukisan itu dari dinding, Perdana Menteri menyerah dan hanya berharap lukisan itu tetap bergeming dan tak bersuara selama sisa masa jabatannya. Kadang-kadang dia yakin sekali melihat dari sudut matanya penghuni lukisan itu menguap atau menggaruk hidungnya; bahkan, sekali atau dua kali, dia berjalan keluar begitu saja dari lukisannya dan hanya meninggalkan sehelai kanvas berwarna cokelat-lumpur. Meskipun demikian Perdana Menteri telah melatih diri agar tidak terlalu sering melihat lukisan itu, dan selalu memberitahu dirinya dengan tegas bahwa matanya mempermainkannya jika sesuatu seperti ini terjadi. Kemudian, tiga tahun yang lalu, pada malam yang mirip sekali dengan malam ini, Perdana Menteri sedang sendirian di dalam kantornya ketika lukisan itu sekali lagi mengumumkan Fudge sebentar lagi akan datang. Fudge muncul begitu saja dari perapian, basah kuyup dan dalam keadaan cukup panik. Sebelum Perdana Menteri sempat bertanya kenapa air menetes-netes dari pakaiannya membasahi karpetnya, Fudge sudah mulai berteriak-teriak tentang penjara yang belum pernah didengar Perdana menteri, seorang laki-laki bernama "Serius" Black, sesuatu yang kedengarannya seperti Hogwarts dan seorang anak laki-laki bernama Hary Potter, tak satu pun masuk akal bagi Perdana Menteri. "...Saya baru datang dari Azkaban," kata Fudge terengah, menuangkan cukup banyak air dari pinggiran topi bowlernya ke dalam sakunya. "Di tengah Laut Utara, Anda tahu, pelarian yang sangat gawat...para Dementor gempar---"dia bergidik "--belum pernah ada yang berhasil kabur dari sana. Bagaimanapun juga, saya harus datang kepada Anda, Perdana menteri. Black diketahui sebagai pembunuh Muggle dan mungkin merencanakan bergabung dengan Anda-Tahu-Siapa!" Dia menatap Perdana Menteri tanpa harapan selama beberapa saat, kemudian berkata, "Nah, duduklah, duduklah, sebaiknya saya beritahu Anda...silahkan minum wiski... " Perdana Menteri agak sebal disuruh duduk di kantornya sendiri, apalagi ditawari wiskinya sendiri, namun dia toh duduk juga. Fudge telah mencabut tongkat sihirnya, menyihir dua gelas penuh cairan kekuningan dari udara kosong, mendorong salah satunya ke tangan Perdana Menteri, dan menarik kursi. Fudge berbicara selama lebih dari satu jam. Dia menolak menyebutkan satu nama tertentu, dan alih-alih menyebutnya dia menuliskannya pada secarik perkamen, yang kemudian disorongkannya ke tangan Perdana Menteri yang bebas-wiski. Ketika akhirnya Fudge berdiri untuk pergi, Perdana Menteri juga berdiri. "Jadi menurut Anda... " dia menyipitkan mata membaca nama di tangan kirinya, "Lord Vol" "Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut!" gertak Fudge. "Maaf...menurut Anda, Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut nasih hidup, kalau begitu?" "Yah, kata Dumbledore begitu," kata Fudge, seraya mengancingkan mantel bergarisnya di bawah dagunya, 'tapi kami belum pernah berhasil menemukannya. Jika Anda tanya pendapat saya, dia tidak berbahaya kecuali dia punya pendukung. Jadi, Black-lah yang harus kita cemaskan. Nah, saya harap kita tidak bertemu lagi, Perdana Menteri! Selamat malam!" Nyatanya mereka bertemu lagi. Kurang dari setahun yang lalu, Fudge yang tampak kacau muncul begitu saja entah dari mana Ruang Kabinet untuk memberitahu Perdana Menteri bahwa ada gangguan dalam Piala dunia Kwidditch (kedengarannya begitu) dan bahwa beberapa Muggle "terlibat", namun Perdana Menteri diminta agar tidak khawatir, fakta bahwa Tanda Kau-Tahu-Siapa terlihat lagi tidka berarti apa-apa. Fudge yaakin itu insiden yang tak ada hubungannya dan Kantor Hubungan Muggle sedang menangani semua modifikasi memori sementara mereka berbicara itu. "Oh, dan saya hampir lupa," Fudge menambahkan. "Kami mengimpor tiga naga asing dan satu sphinx untuk Turnamen Triwizard, cukup rutin, tapi Departemen Pengaturan dan Pengawasan Makhluk-Makhluk Gaib memberitahu saya, dalam buku peraturan tercantum bahwa kami harus memberitahu Anda kalau kami memasukkan makhluk-makhluk sangat berbahaya ke dalam negara ini." "Sayaapanaga?" gagap Perdana Menteri. "Ya, tiga," kata Fudge. "Dan satu sphinx. Nah, selamat siang." Perdana Menteri sungguh berharap bahwa naga dan sphinx adalah yang terburuk, namun ternyata tidak. Kurang dari dua tahun kemudian, Fudge muncul dari perapian lagi, kali dengan berita bahwa ada pelarian besar-besaran dari Azkaban. "Pelarian besar-besaran?" Perdana Menteri mengulang parau. "Tak perlu kuatir, tak perlu kuatir!" teriak Fudge. Satu kakinya sudah di dalam lidah api. "Kami akan menangkap mereka dalam waktu singkathanya saja saya pikir anda perlu tahu!" Dan sebelum Perdana Menteri bisa berteriak, "Tunggu dulu!" Fudge telah menghilang dalam siraman bunga api hijau. Apa pun yang dikatakan pers dan partai lawan, Perdana Menteri bukanlah orang bodoh. Tidak luput dari perhatiannya bahwa, kendati Fudge meyakinkannya agar tenang dalam pertemuan pertama mereka, mereka kini agak sering bertemu, dan juga dalam setiap kunjungan Fudge semakin bingung. Walaupun dia tak suka memikirkan Menteri Sihir (atau, seperti dia selalu menyebut Fudge dalam kepalanya, Menteri yang Lain), Perdana Menteri mau tak mau cemas bahwa kali berikutnya Fudge muncul, dia akan membawa berita yang lebih menakutkan. karena itu, kedatangan Fudge, yang melangkah keluar dari perapian sekali lagi, tampak berantakan dan ketakutan dan sangat heran bahwa Perdana Menteri tidak tahu kenapa persisnya dia berada di sana, adalah hal terburuk yang terjadi selama seminggu yang luar biasa suram ini. "Bagaimana mungkin saya tahu apa yang sedang terjadi dierkomunitas sihir?" bentak Perdana Menteri sekarang. "Saya punya negara untuk diurus dan cukup banyak masalah saat ini tanpa" "Masalah kita sama," potong Fudge. "Jembatan Brockdale tidak rusak. Dan itu bukan angin ribut. Pembunuhan itu bukan perbuatan Muggle. Dan keluarga Herbert Chorley akan lebih aman tanpa dia. Kami saat ini sedang mengatur untuk memindahkannya ke Rumah Sakit St Mungo untuk Penyakit dan Luka-Luka Sihir. Perpindahan akan dilaksanakan malam ini." "Apa maksud Anda...saya rasa saya tidak...apa?" gertak Perdana Menteri. Fudge menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Perdana Menteri, saya sungguh menyesal terpaksa harus memberitahu Anda bahwa Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut telah kembli." "Kembali? Sewaktu Anda mengatakan 'kembali'...dia hidup? Maksud saya" Perdana Menteri mencari-cari dalam ingatannya rincian percakapan mengerikan tiga tahun sebelumnya, ketika Fudge memberitahunya tentang penyihir yang paling ditakuti, penyihir yang telah melakukan seribu tindak kriminal sebelum menghilang secara misterius lima belas tahun yang lalu. "Ya, hidup," kata Fudge. "Maksud sayasaya tak tahu apakah orang bisa dikatakan hidup kalau dia tak bisa dibunuh? Sebenarnya saya tidak mengerti, dan Dumbledore tidak mau menjelaskan dengan gamblangtapi bagaimanapun juga, dia jelas punya tubuh dan bisa berjalan dan bicara dan membunuh, maka saya kira untuk keperluan pembicaraan kita, ya, dia hidup." Perdana Menteri tidak tahu harus menanggapi bagaimana, namun kebiasaan yang telah melekat pada dirinya untuk selalu tampil serba tahu tentang topik apa saja yang muncul, membuatnya mencari-cari detail yang bisa diingatnya dalam pembicaraan mereka sebelumnya. "Apakah Serius Black bersamaerDia yang Namanya Tak Boleh Disebut?" "Black?Black?" kata Fudge bingung, memutar-mutar topi bowlernya dengan cepat dengan jari-jarinya. "Sirius Black, maksud Anda? Jenggot Merlin, tidak, Black sudah meninggal. Ternyata kamierkeliru tentang Black. Dia tidak bersalah. Dan dia juga tidak bersekutu dengan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut. Maksud saya," dia menambahkan membela diri, memutar topinya lebih cepat, "semua bukti menunjukkami punya lebih dari lima puluh saksi matatapi bagaimanapun juga, seperti yang saya katakan, dia sudah meninggal. Dibunuh, sebenarnya. Di kantor Kementrian Sihir. Akan ada penyelidikan, sebetulnya... " Perdana Menteri heran sendiri ketika dia merasa kasihan kepada Fudge saat itu. Namun rasa kasihannya segera dipudarkan oleh rada puas diri, saat terpikir olehnya bahwa, sekalipun dia tak bisa muncul dari dalam perapian, tidak pernah terjdi pembunuhan departemen pemerintahan mana pun di bawah tanggung jawabnya...belum, paling tidak... Sementara Perdana Menteri sembunyi-sembunyi mengetuk papan mejanya, Fudge melanjutkan, "Tapi Black sudah lewat. Persoalannya sekarang, kita sedang perang, Perdana Menteri, dan harus ada langkah-langkah yang diambil." "Perang?" ulang Perdana Menteri gugup. "tentunya pernyataan itu agak berlebihan?" "Para pengikut Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut yang kabur dari Azkaban Januari lalu sekarang sudah bergabung dengannya," kata Fudge, berbicara makin lama makin cepat, dan memutar topinya begitu cepatnya sehingga seperti pusaran hijau-limau. "Sejak bergerak terang-terangan, mereka menyebabkan malapetaka di mana-mana. Jembatan Brockdaledia yang melakukannya, Perdana Menteri, dia mengancam akan mengadakan pembunuhan massal Muggle kalaus aya tidak mau menyisih untuknya dan" "Astaga, jadi kesalahan Anda-lah orang-orang ini terbunuh dan saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tiang-penyangga berkarat dan perpanjangan-sendi keropos dan entah apa lagi!" kata Perdana Menteri berang. "Salah saya!" kata Fudge, wajahnya memerah. "apakah Anda mau mengatakan Anda mau memfitnah saya?" "Barangkali tidak," kata Perdana Menteri, bangkit berdiri dan berjalan mengelilingi ruangan, tapi saya akan mengerahkan segala upaya untuk menangkap si penjahat sebelum dia melakukan kekejian seperti itu!" "Apakah Anda benar-benar mengira saya belum mengerahkan segala upaya? tuntut Fudge panas. "Semua Auror di Kementrian sudahdan sedangberusaha mencarinya dan menangkapi para pengikutnya, tapi yang kita bicarakan ini salah satu penyihir paling hebat sepanjang masa, penyihir yang berhasil menghindari penangkapan selama hampir tiga dekade!" "Jadi, saya rasa Anda akan memberitahu saya dia menyebabkan angin ribut di West Country juga?" kata Perdana Menteri, kemarahannya meningkat seiring setiap langkahnya. Sungguh mengesalkan berhasil mengetahui alasan terjadinya malapetaka mengerikan ini dan tidak bisa memberitahu publik, hampir sama buruknya dengan kalau itu kesalahan pemerintahan. "Itu bukan angin ribut," kata Fudge merana. "Maaf!" bentak Perdana Menteri, sekarang benar-benar mengentakkan kaki. "Pohon-pohon tercabut, atap-atap beterbangan, tiang-tiang lampu bengkok, luka-luka mengerikan" "Itu ulah Pelahap Maut," kata Fudge. "Para pengikut Dia yang Namanya Tak Boleh disebut...dan kami mencurigai keterlibatan raksasa." Perdana Menteri langsung berhenti berjalan seolah dia menabrak dinding yang tak kelihatan. "Keterlibatan apa?" Fudge meringis. "Dia menggunakan raksasa kali lalu, ketika ingin memberi efek luar biasa. Kantor Informasi yang Keliru telah bekerja dua puluh empat jam sehari, kami mengirim timtim Obliviator untuk memodifikasi memori semua Muggle yang melihat apa yang sesungguhnya terjadi, sebagian besar personel Pengaturan dan Pengawasan Makhluk-Makhluk Gaib berkeliaran di Somerset, tapi kami belum berhasil menemukan raksasanyasungguh malapetaka!" "Malapetaka besar!" kata Perdana Menteri gusar. "Saya tidak membantah bahwa kami semua terpukul di Kementrian," kata Fudge. "dengan semua kejadian itu dan kemudian kehilangan Amelia Bones." "Kehilangan siapa?" "Amelia Bones, kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir. Kami menduga Dia yang Namanya Tak bOleh disebut sendiri yang membunuhnya, karena Amelia penyihir yang sangat berbakatdan semua bukti menunjukkan dia melawan dengan gigih." Fudge berdehem dan, dengan susah payah, kelihatannya, berhenti memutar topi bowler-nya. "Tapi pembunuhan itu ada di koran-koran," kata Perdana Menteri, sejenak marahnya terlupakan. "Koran kami. Amelia Bones...hanya dikatakan dia wanita setengah-baya yang hidup sendirian. Pembunuhan yangyang mengerikan, kan? Agak banyak dipublikasikan. Polisi bingung, soalnya." Fudge menghela napas. "Yah, tentu saja mereka bingung. Terbunuh dalam kamar yang dikunci dari dalam, kan? Kami sebaliknya, tahu persis siapa yang melakukannya, walaupun itu tidak membuat kami jadi selangkah lebih maju dalam usaha menangkapnya. Dan kemudian Emmeline Vance, barangkali Anda tidak dengar tentang yang ini" "Oh ya, saya dengar!" kata Perdana Menteri. "Terjadinya malah hanya dibalik tikungan dekat sini. Koran-koran mendapat berita seru. Pelanggaran Hukum di halaman belakang kantor Perdana Menteri" "Dan seakan itu semua belum cukup," kata Fudge, hampir-hampir tidak mendengarkan Perdana Menteri, "masih ada para Dementor yang berkeliaran, menyerang orang di mana-mana... " Suatu hari di saat yang lebih menyenangkan, kalimat ini pastilah tak dimengerti Perdana Menteri, namun sekarang dia lebih bijaksana. "Bukankah para Dementor menjaga para napi di Azkaban?" dia bertanya hati-hati. "Memang, dulu," kata Fudge letih. "Tapis ekarang tidak lagi. Mereka meninggalkan penjara dan bersekutu dengan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut. Saya tak akan berpura-pura bahwa ini bukan pukulan berat." "Tapi," kata Perdana Menteri, mulai merasa ngeri, bukankah Anda memberitahu saya mereka makhluk-makhluk yang menyedot harapan dan kebahagiaan dari orang-orang?" "Betul. Dan mereka berkembang biak. Itulah yang menyebabkan adanya semua kabut ini." Perdana Menteri, yang lututnya mendadak lemas, ternyata duduk di kursi terdekat. Membayangkan makhlu-makhluk tak kelihatan melayang-layang di seluruh kota dan pedesaan, menyebarkan keputusasaan dan hilang harapan di antara para pemilihnya, membuatnya pusing. "Dengar, FudgeAnda harus melakukan sesuatu! Ini tanggung jawab Anda sebagai Menteri Sihir!" "Perdana Menteri yang baik, masa Anda mengira saya masih tetap menjabat Menteri Sihir setelahs emua kejadian ini? Saya dipecat tiga hari yang lalu. Seluroh komunitas sihir sudah berteriak menuntut pengunduran diri saya selama dua minggu ini. Belum pernah saya melihat mereka bersatu seperti itu selama masa jabatan saya! kata Fudge, berusaha memberanikan diri tersenyum. Perdana Menteri selama beberapa saat kehilangan kata-kata. Kendati dia jengkel ditempatkan dalam posisi terpojok, dia masih merasa agak kasihan terhadap laki-laki bertampang kuyu yang duduk di depannya. "Saya ikut prihatin," katanya akhirnya. "kalau ada yang bisa saya lakukan?" "Anda baik sekali, Perdana Menteri, tapi tak ada yang bisa Anda lakukan. Saya dikirim ke sini malam ini untuk memberitahu Anda perkembangan situasi terakhir dan memperkenalkan Anda kepada pengganti saya. Saya pikir mestinya dia sudah di sini sekarang, tapi tentu saja dia sangat sibuk, dengan begitu banyak kejadian." Fudge berpaling memandang lukisan laki-laki kecil jelek memakai wig panjang ikal perak, yang sedang mengorek telinganya dengan ujung pena-bulu. Menangkap mata Fudge, lukisan itu berkata, "Dia akan ke sini sebentar lagi, dia sedang menyelesaikan surat kepada Dumbledore." "Semoga dia beruntung," kata Fudge, terdengar getir untuk pertama kalinya. "Aku menulis kepada Dumbledore dua kali sehari selama dua minggu terakhir ini, tetapi dia bergeming. Kalau saja dia bersedia membujuk anak itu, aku mungkin masih...yah, barangkali Scrimgeour akan lebih berhasil." Baru saja Fudge terdiam dan tampak sedih, keheningan dipecahkan oleh lukisan, yang tiba-tiba saja berbicara dengan suara garing dan resmi. "kepala Perdana Menteri Muggle. Memohon pertemuan. Urgen. Tolong segera ditanggapi. Rufus Scrimgeour, Menteri Sihir." "Ya,ya, baik," kata Perdana Menteri dengan pikiran kacau, dan belum sempat dia bergerak, api dalam perapiannya sudah berubah hijau-zamrud lagi, berkobar dan memperlihatkan penyihir berpusar yang kedua di tengahnya, mengeluarkannya beberapa saat kemudian di atas permadani antik. Fudge bangkit dan setelah ragu-ragu sejenak, Perdana Menteri ikut bangkit, mengawasi penyihir yang baru datang menegakkan diri, mengebaskan debu dari jubah hitamnya yang panjang, dan memandang berkeliling. Pikiran bodoh pertama Perdana Menteri adalah bahwa Rufus Scrimgeour tampak seperti singa tua. Rambutnya yang berwarna kuning-kecoklatan dihiasi uban di sana-sini, demikian juga alisnya yang lebat. Matanya tajam kekuningan di belakang kacamata berbingkai kawat, dan dia memiliki keanggunan yang menyiratkan dia sanggup berjalan jauh dan melompat, walaupun jalannya sedikit timpang. Kesan langsung yang timbul adalah dia cerdas dan tegar. Perdana Menteri membatin dia memahami kenapa komunitas sihir lebih memilih Scrimgeour daripada Fudge sebagai pemimpin dalam situasi berbahaya begini. "Apa kabar?" sambut Perdana Menteri sopan, mengulurkan tanagnnya. Scrimgeour menjabatnya singkat, matanya meneliti seluruh ruangan, kemudian dia menarik keluar tongkat sihir dari balik jubahnya. "Fudge sudah memberitahu Anda semuanya?" dia bertanya, berjalan ke pintu dan mengetuk lubang kuncinya dengan tongkat sihirnya. Perdana Menteri mendengar bunyi "ceklek" pintunya yang mengunci. "Erya," kata Perdana Menteri. "Dan jika Anda tidak keberatan, saya lebih suka pintu tidak terkunci" "Saya lebih suka tidka terganggu," kata Scrimgeour pendek, "atau diintip," dia menambahkan, mengacungkan tongkat sihirnya ke deretan jendela sehingga gordennya menutup semua. "Baik, nah, saya sibuk sekali, jadi kita langsung ke pokok masalahnya. Yang pertama, kita perlu merundingkan keamanan Anda." Perdana Menteri berdiri tegak dan menjawab, "Saya sudah puas dengan sistem keamanan yang saya miliki, terima ka" "Kami tidak," potong Scrimgeour. "Rawan sekali bagi para Muggle kalau Perdana Menteri mereka sampai berada di bawah Kutukan Imperius. Sekretaris baru Anda di kantor luar" "Saya tidak bersedia memberhentikan Kingsley Shacklebolt, kalau itu yang Anda usulkan!" kata Perdana Menteri panas. "Dia sangat efisien, menyelesaikan pekerjaan dua kali lebih cepat daripada yang lain" "Itu karena dia penyihir," kata Scrimgeour, tanpa senyum sedikit pun. "Auror sangat terlatih, yang ditugaskan untuk melindungi Anda." "Tunggu sebentar!," tukas Perdana Menteri. "Anda tak bisa begitu saja memasukkan orang-orang Anda di kantor saya, saya yang menentukan siapa-siapa yang bekerja untuk saya " "Bukankah tadi Anda katakan Anda puas dengan Shcklebolt?" kata Scrimgeour dingin. "Memangmaksud saya, tadinya" "Kalau begitu tak ada masalah,kan?" kata Scrimgeour. "Saya...yah, asal kerja Shacklebolt tetap..er..hebat," kata Perdana Menteri tertegun-tegun. "Sekarang tentang Herbert Chorleymenteri muda Anda," dia melanjutkan. "Yang menghibur publik dengan menirukan bebek." "Bagaimana dengan dia?" tanya Perdana Menteri. "Jelas sekali itu disebabkan oleh Kutukan Imperius yang tidka sempurna,' kata Scrimgeour. "Kutukan itu mengacaukan otaknya, tapi dia masih bisa berbahaya." "Dia cuma meleter!" kata Perdana Menteri lemah. " Tentunya istirahat sedikit...barangkali mengurangi minum... " "Tim Penyembuh dari Rumah Sakit St Mungo untuk Penyakit dan Luka-Luka Sihir sedang memeriksanya sementara kita bicara ini. Sejauh ini dia sudah berusaha mencekik tiga di antara mereka," kata Scrimgeour. "Saya rasa paling baik kita pindahkan dia dari masyarakat Muggle untuk sementara waktu." "Saya...yah...dia akan sembuh, kan? kata Perdana Menteri cemas. Scrimgeour hanya mengangkat bahu, sudah bergerak ke arah perapian. "Nah, hanya itu yang ingin saya sampaikan. Saya akan mengabarkan perkembangan yang terjadi kepada Anda, Perdana Menteriatau paling tidak, saya barangkali akan terlalu sibuk untuk bisa datang sendiri, dalam hal ini saya akan mengirim Fudge ke sini. Dia sudah sepakat tetap di Kementrian dalamkapasitas sebagai penasihat." Fudge berusaha tersenyum, namun gagal, jadinya dia cuma seperti orangs akit gigi; Scrimgeour sudah mencari-cari dalam sakunya bubuk misterius yang mengubah warna api jadi hijau. Perdana Menteri memandang tak berdaya mereka berdua sejenak, kemudian kata-kata yang dicoba ditahannya sepanjang malam ini akhirnya meledak keluar. "Tapi astagaAnda berdua kan penyihir! Anda bisa melakukan sihir! Tentunya Anda bisa membereskanyahapa saja!" Scrimgeour berputar perlahan di tempatnya berdiri dan betukar pandang tak percaya dengan Fudge, yang kali ini benar-benar tersenyum ketika dia berkata dengan baik hati, "Persoalannya, pihak satunya itu juga bisa sihir, Perdana Menteri!" Dan dengan kata-kata itu, kedua penyihir melangkah bergantian ke dalam api berwarna hijau cemerlang dan lenyap. 02. SPINNERS END Di tempat yang berjarak berkilo-kilo meter, kabut dingin yang menekan jendela Perdana Menteri melayang di atas sungai kotor yang berkelok-kelok sepanjang tepian yang ditumbuhi semak dengan sampah berserakan. Sebuah cerobong besar, peninggalan penggilingan yang sudah tak terpakai, menjulang, seperti bayangan mengerikan. Tak ada suara selain desah air hitam dan tak ada tanda-tanda kehidupan kecuali seekor rubah kurus yang menyelinap menuruni tepian sungai, mengendus-endus penuh harap bungkus kentang dan ikan goreng di antara rerumputan tinggi. Namun kemudian, dengan bunyi pop pelan, sosok ramping berkerudung tiba-tiba muncul di tepi sungai. Si rubah membeku, matanya yang waspada tertuju pada wujud baru yang aneh ini. Sosok itu tampak memperhatikan keadaan sekelilingnya sesaat, kemudian berjalan dengan langkah-langkah ringan dan cepat, mantel panjangnya berkeresek di atas rumput. Terdengar bunyi pop kedua yang lebih keras, dan satu lagi sosok berkerudung muncul. "Tunggu!" Seruan parau ini mengejutkan si rubah, yang sedang mengendap nyaris rata di bawah semak. Rubah itu melompat dari tempat persembunyiannya dan berlari menaiki tebing. Seleret cahaya hijau menyambar, terdengar dengkingan, dan si rubah terjatuh kembali di tanah, mati. Sosok kedua membalik binatang itu dengan jari-jari kakinya. "Cuma rubah," kata suara Wanita -- lega dari bawah kerudung. "Kukira tadi mungkin Auror-Cissy, tunggu!" Namun buruannya, yang tadi berhenti dan menoleh ketika cahaya menyambar, sudah merayap memanjat tebing tempat si rubah tadi tergelincir. "Cissy Narcissa dengarkan aku-- " Wanita kedua berhasil mengejar yang pertama dan menyambar lengannya, namun si wanita pertama menariknya lepas. "Pulanglah, Belia!" "Kau harus mendengarkan aku!" "Aku sudah mendengarkan. Aku sudah mengambil keputusan. Tinggalkan aku sendiri." Wanita bernama Narcissa mencapai tepian sungai. Di tempat itu pagar tua memisahkan sungai itu dari jalan batu sempit. Wanita yang lain, Bella, langsung menyusulnya. Mereka berdiri berdampingan memandang ke seberang jalan, ke deretan-deretan rumah bata kumuh, jendela-jendelanya suram dan tertutup dalam kegelapan. "Dia tinggal di sini?" tanya Bella dengan suara menghina. "Di sini? Di kawasan kumuh Muggle ini? Kita pasti orang pertama bangsa kita yang menginjakkan kaki-- " Namun Narcissa tidak mendengarkan; dia telah menyelinap melewati celah di pagar berkarat dan bergegas menyeberang jalan. "Cissy, tunggu!" Bella menyusul, mantelnya melambai di belakangnya, dan melihat Narcissa berlari sepanjang jalan sempit di antara rumah-rumah, masuk ke jalan sempit yang nyaris identik. Beberapa lampu jalanan tidak menyala; kedua wanita ini berlari bergantian melewati jalanan yang diterangi seberkas cahaya dan tempat-tempat yang gelap gulita. Si pengejar berhasil mengejar buruannya tepat ketika dia akan berbelok lagi, kali ini dia berhasil menangkap lengannya dan membalikkan tubuhnya, sehingga mereka berhadapan. "Cissy, kau tak boleh melakukan ini, kau tak bisa memercayainya-- " "Pangeran Kegelapan memercayainya, kan?" "Pangeran Kegelapan ... kurasa ... keliru," Bella tersengal, dan sekejap matanya berkilat di bawah kerudungnya ketika dia memandang berkeliling untuk memastikan mereka benar-benar berdua saja. "Bagaimanapun juga, kita sudah dipesan tidak boleh memberitahukan rencana ini kepada siapa pun. Ini pengkhianatan terhadap perintah Pangeran Kegel-- " "Lepaskan, Bella!" gertak Narcissa dan dia mencabut tongkat sihir dari bawah mantelnya, mengacungkannya dengan mengancam ke wajah pengejarnya. Bella hanya tertawa. "Cissy, kakakmu sendiri? Kau tak akan-- " "Tak ada lagi yang tak akan kulakukan!" Narcissa mendesah, ada nada histeris dalam suaranya, dan begitu dia menebaskan tongkatnya seperti pisau, ada sambaran cahaya lagi. Bella melepas lengan adiknya seakan tangannya terbakar. "Narcissa!" Tetapi Narcissa telah berlari meninggalkannya. Seraya menggosok-gosok tangannya, Bella mengejarnya lagi, kali ini menjaga, jarak, ketika mereka masuk lebih jauh dalam labirin rumah-rumah bata tanpa penghuni. Akhirnya Narcissa bergegas menyusuri jalan bernama Spinner's End -- Ujung Pemintal. Di atas jalan itu cerobong penggilingan tampak menjulang, seperti jari raksasa yang sedang memberi teguran. Langkah-langkahnya bergaung di atas jalan batu ketika dia melewati jendela-jendela yang kacanya pecah dan ditutup papan, sampai dia tiba di rumah paling akhir. Di rumah itu ada cahaya temaram dari balik jendela bergorden di, sebuah ruangan di lantai bawah. Dia telah mengetuk pintu sebelum Bella, mengutuk pelan, berhasil menyusulnya. Bersama-sama mereka berdiri menunggu, sedikit terengah, menghirup bau sungai kotor yang terbawa angin malam ke hidung mereka. Selewat beberapa saat mereka mendengar gerakan di balik pintu dan pintu membuka secelah. Dari celah sempit itu tampak seorang pria memandang mereka, pria dengan rambut panjang terbelah di tengah, seperti gorden yang membingkai wajahnya yang pucat dan matanya yang hitam. Narcissa melempar kerudung kepalanya ke belakang. Wajahnya pucat sekali sehingga tampaknya bersinar dalam kegelapan; rambut pirangnya yang panjang dan terjurai di punggungnya membuatnya tampak seperti orang tenggelam. "Narcissa!" kata pria itu, membuka pintu sedikit lebih lebar, sehingga cahaya mengenai dia dan juga kakaknya. "Sungguh kejutan menyenangkan!" "Severus," katanya dalam bisikan tegang. "Boleh aku bicara denganmu? Penting sekali." "Tentu saja." Pria itu mundur agar Narcissa bisa melewatinya masuk ke dalam rumah. Kakaknya yang masih berkerudung ikut masuk tanpa dipersilakan. "Snape " katanya pendek ketika melewatinya "Bellatrix," balasnya, mulutnya yang tipis melengkung menjadi senyum agak mengejek ketika dia menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka. Mereka masuk ke ruang duduk mungil, yang memberi kesan sel gelap berperedam. Seluruh dindingnya dipenuhi buku, sebagian besar buku-buku tua dengan sampul kulit hitam atau cokelat; sebuah sofa usang, kursi berlengan tua, dan meja reyot berkumpul dalam cahaya temaram yang disorotkan oleh lampu lilin yang tergantung di langit-langit. Tempat ini kesannya telantar, seakan biasanya tidak dihuni. Snape memberi isyarat agar Narcissa duduk di sofa. Narcissa membuka mantelnya, melemparnya, dan duduk, memandang tangannya yang putih gemetar terkatup di pangkuannya. Bellatrix menurunkan kerudungnya lebih pelan. Jika adiknya berkulit putih, kulitnya gelap, dengan mata berpelupuk tebal dan rahang kuat. Dia tak melepaskan pandangan dari Snape ketika bergerak untuk berdiri di belakang Narcissa. "Nah, apa yang bisa kulakukan untukmu?" tanya Snape, seraya duduk di kursi berlengan di hadapan kedua kakak-beradik itu. "Kita ... kita sendiri, kan?" Narcissa bertanya pelan. "Ya, tentu saja. Wormtail ada di sini, tapi tikus tidak masuk hitungan, kan?" Snape mengacungkan tongkat sihirnya ke dinding buku di belakangnya dan, dengan bunyi letupan, sebuah pintu rahasia menjeblak terbuka, memperlihatkan sebuah tangga sempit, di atasnya seorang pria kecil berdiri membeku. "Seperti yang jelas telah kau ketahui, Wormtail, ada tamu," kata Snape santai. Pria itu merayap dengan membungkuk menuruni beberapa anak tangga terakhir dan masuk ke dalam ruangan. Matanya kecil, berair, hidungnya runcing, dan senyumnya tidak menyenangkan. Tangan kirinya mengelus tangan kanannya, yang kelihatannya seakan terbungkus sarung tangan perak terang. "Narcissa!" katanya, dengan suara melengking, "dan Bellatrix! Sungguh menyenangkan -- " "Wormtail akan mengambilkan minuman, jika kalian mau minum," kata Snape. "Dan kemudian dia akan kembali ke kamarnya." Wormtail berjengit seakan Snape melemparnya dengan sesuatu. "Aku bukan pembantumu!" lengkingnya, menghindari mata Snape. "Masa? Setahuku Pangeran Kegelapan menempatkanmu di sini untuk membantuku." "Untuk membantu, ya tetapi bukan untuk membuatkan minuman dan -- dan membersihkan rumahmu!" "Aku tak tahu, Wormtail, bahwa kau menginginkan tugas yang lebih berbahaya," kata Snape licik. "Ini bisa diatur dengan mudah. Aku akan bicara kepada Pangeran Kegelapan - " "Aku bisa bicara sendiri dengannya kalau aku mau!" "Tentu saja," kata Snape, menyeringai. "Tetapi sementara itu, ambilkan kami minuman. Anggur buatan peri bolehlah." Wormtail bimbang sejenak, tampaknya dia akan membantah, namun kemudian berbalik dan masuk ke pintu tersembunyi kedua. Mereka mendengar bunyi berkelontangan, dan denting gelas beradu. Dalam waktu beberapa detik dia sudah kembali, membawa sebuah botol berdebu dan, tiga gelas di atas nampan. Semua diletakkannya di atas meja reyot, lalu dia bergegas meninggalkan mereka, membanting pintu berlapis buku menutup di belakangnya. Snape menuang tiga gelas anggur merah-darah dan mengulurkan dua di antaranya kepada dua bersaudara itu. Narcissa menggumamkan ucapan terima kasih, sementara Bellatrix tidak berkata apa-apa, kecuali terus memandang galak Snape. Ini tampaknya tidak mempengaruhi ketenangan Snape; sebaliknya, dia malah tampak agak geli. "Pangeran Kegelapan," katanya, mengangkat gelasnya dan menenggaknya habis. Kedua kakak-beradik melakukan hal yang sama. Snape mengisi kembali gelas mereka. Seraya meminum gelasnya yang kedua, Narcissa berkata buru-buru, "Severus, aku minta maaf datang ke sini seperti ini, tetapi aku harus bertemu denganmu. Kurasa kau satu-satunya yang bisa menolongku -- " Snape mengangkat tangan menghentikannya, kemudian mengacungkan lagi tongkat sihirnya ke arah pintu tangga yang tersembunyi. Terdengar letusan keras dan jeritan, diikuti suara Wormtail yang bergegas menaiki tangga. "Maaf," kata Snape. "Belakangan ini dia suka menguping di belakang pintu. Aku tak tahu apa maunya ... kau tadi mau bilang apa, Narcissa?" Narcissa bergidik, menarik napas dalam-dalam, dan mulai lagi. "Severus, aku tahu seharusnya aku tak boleh berada di sini, aku sudah dilarang berkata apa pun kepada siapa pun." "Kalau begitu kau harus tutup mulut!" gertak Bellatrix. "Khususnya kepada orang ini!" "Orang ini?" ulang Snape sinis. "Dan apa maksudmu berkata begitu, Bellatrix?" . "Bahwa aku tidak memercayaimu, Snape, seperti yang kau ketahui dengan baik!" Narcissa mengeluarkan suara yang mungkin saja isak kering dan menutupi wajah dengan tangannya. Snape meletakkan gelas di atas meja dan duduk lagi, tangannya di atas lengan kursi, tersenyum kepada wajah gusar Bellatrix. "Narcissa, kurasa kita harus mendengar apa yang sudah ingin sekali disampaikan Bellatrix; ini akan mencegah interupsi-interupsi membosankan. Nah, teruskan, Bellatrix," kata Snape. "Kenapa kau tidak memercayaiku?" "Ratusan alasan!" katanya keras, berjalan dari balik sofa untuk membanting gelasnya di atas meja. "Mulai dari mana! Di mana kau ketika Pangeran Kegelapan jatuh? Kenapa kau tidak pernah berusaha mencarinya ketika dia menghilang? Apa yang kau lakukan selama bertahun-tahun hidup dalam cengkeraman Dumbledore? Kenapa kau mencegah Pangeran Kegelapan mendapatkan Batu Bertuah? Kenapa kau tidak segera datang ketika Pangeran Kegelapan lahir kembali? Di mana kau beberapa minggu yang lalu, ketika kami bertempur untuk memperoleh kembali ramalan bagi Pangeran Kegelapan? Dan kenapa, Snape, Harry Potter masih hidup, padahal dia ada dalam kekuasaanmu selama lima tahun?" Bellatrix berhenti, dadanya naik-turun dengan cepat, pipinya memerah. Di belakangnya Narcissa duduk bergeming, wajahnya masih tersembunyi di balik tangannya. Snape tersenyum. "Sebelum aku menjawabmu -- oh, ya, Bellatrix, aku akan menjawab! Kau boleh menyampaikan kata-kataku kepada yang lain yang berbisik-bisik di balik punggungku, dan menyiarkan kabar bohong tentang pengkhianatanku terhadap Pangeran Kegelapan! Sebelum aku menjawabmu, kataku, izinkan aku balas menanyaimu. Apakah kau benar-benar mengira bahwa Pangeran Kegelapan tidak mengajukan semua pertanyaan itu? Dan apakah kau benar-benar mengira bahwa, kalau aku tidak sanggup memberikan jawaban yang memuaskan, aku akan duduk di sini bicara denganmu?" Bellatrix bimbang. "Aku tahu dia memercayaimu, tapi -- " "Kau pikir dia keliru? Atau bahwa aku berhasil memperdayainya? Membodohi Pangeran Kegelapan, penyihir paling hebat, Legilimens paling piawai yang pernah ada di dunia?" Bellatrix tidak berkata apa-apa, tetapi untuk pertama kalinya dia tampak sedikit bingung. Snape tidak mendesak lebih jauh. Dia mengambil kembali minumannya, menghirupnya, dan melanjutkan, "Kau bertanya di mana aku ketika Pangeran Kegelapan jatuh. Aku berada di tempat di mana aku harus berada, sesuai perintah Pangeran Kegelapan, di Sekolah Sihir Hogwarts, karena dia menginginkan aku memata-matai Albus Dumbledore. Kau tahu, kukira, bahwa aku menerima jabatanku di sana atas perintah Pangeran Kegelapan?" Bellatrix mengangguk nyaris tak tampak, dan membuka mulutnya, tetapi Snape mencegahnya. "Kau bertanya kenapa aku tidak berusaha mencarinya ketika dia menghilang. Karena alasan yang sama yang membuat Avery, Yaxley, pasangan Carrow, Greyback, Lucius," dia mengedikkan kepalanya sedikit ke arah Narcissa, "dan banyak lagi tidak berusaha mencarinya. Aku mengira dia sudah tamat. Aku tidak bangga karenanya, aku keliru, tetapi ya begitulah ... jika dia tidak memaafkan kami yang kehilangan kepercayaan terhadapnya waktu itu, dia hanya akan punya sedikit pengikut." "Dia akan memilikiku!" kata Bellatrix emosional. "Aku, yang melewatkan bertahun-tahun di Azkaban demi dia!" "Ya, betul, pantas dikagumi," kata Snape dengan suara bosan. "Tentu saja, kau tak banyak gunanya baginya di penjara, tetapi langkahmu tak diragukan lagi baik-- " "Langkah!" jerit Bellatrix; dalam kemarahannya dia tampak agak seperti orang gila. "Sementara aku menahan kekejaman para Dementor, kau tinggal di Hogwarts, menikmati jadi anak emas Dumbledore!" "Tidak sepenuhnya," kata Snape kalem. "Dia menolak memberiku jabatan guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, kau tahu. Rupanya dia mengira itu bisa, ah, menimbulkan kembali penyakit lama ... memicuku kembali ke kebiasaan lamaku." "Itu pengorbananmu untuk Pangeran Kegelapan, tidak mengajar mata pelajaran favoritmu?" Bellatrix mencemooh. "Kenapa kau tinggal terus di sana, Snape? Masih memata-matai Dumbledore untuk tuan yang sudah kau anggap mati?" "Hampir tidak," kata Snape, "meskipun Pangeran Kegelapan senang aku tak pernah meninggalkan posku. Aku punya informasi tentang Dumbledore selama enam belas tahun untuk kuberikan kepadanya ketika dia kembali, hadiah selamat datang yang agak lebih berguna daripada kenangan yang tak ada habisnya tentang betapa tak menyenangkannya Azkaban ... " "Tapi kau tetap di sana -- " "Ya, Bellatrix, aku tetap di sana," kata Snape, untuk pertama kalinya memperlihatkan tanda-tanda ketidaksabaran. "Aku punya pekerjaan menyenangkan yang lebih kusukai daripada mendekam di Azkaban. Mereka menangkapi Pelahap Maut, kau tahu kan. Perlindungan Dumbledore membuatku tidak masuk penjara, itu sangat menguntungkan dan aku menggunakannya. Kuulangi: Pangeran Kegelapan tidak mengeluh aku tetap di sana, jadi aku tak mengerti kenapa kau mengeluh." "Kupikir, berikutnya kau ingin tahu," dia melanjutkan, sedikit lebih keras, karena Bellatrix menunjukkan segala tanda mau menginterupsi, "kenapa aku jadi penghalang di antara Pangeran Kegelapan dan Batu Bertuah. Ini bisa dijawab dengan mudah. Dia tak tahu apakah dia bisa memercayaiku. Dia mengira, seperti kau, bahwa aku telah berbalikz dari Pelahap Maut setia menjadi kaki tangan Dumbledore. Kondisinya mengenaskan, sangat lemah, berbagi tubuh dengan penyihir yang cuma cukupan saja. Dia tak berani memperlihatkan diri kepada sekutu lamanya, khawatir sekutu itu akan menyerahkannya kepada Dumbledore atau Kementerian. Aku menyesal sekali dia tidak memercayaiku. Kalau dia memercayaiku, dia sudah kembali berkuasa tiga tahun lebih awal. Seperti yang terjadi, aku hanya melihat Quirrel yang tamak dan tak berharga berusaha mencuri Batu dan, kuakui, kulakukan segala yang aku bisa untuk menghalanginya." Mulut Bellatrix mengernyit seolah dia baru saja meminum obat yang pahit. "Tapi kau tidak datang waktu dia muncul kembali, kau tidak langsung terbang menemuinya ketika kau merasakan Tanda Kegelapan terbakar -- " "Betul. Aku datang dua jam kemudian. Aku datang atas perintah Dumbledore." "Atas perintah Dumble-?" katanya, dengan nada murka. "Pikirkan!" tukas Snape, tak sabar lagi. "Pikirkan! Dengan menunggu dua jam, hanya dua jam, aku memastikan bahwa aku bisa tetap tinggal di Hogdwarts sebagai mata-mata! Dengan membiarkan Dumbledore mengira aku hanya kembali ke sisi Pangeran Kegelapan karena aku diperintahkannya, aku bisa menyampaikan informasi tentang Dumbledore dan Orde Phoenix sejak saat itu! Pertimbangkan, Bellatrix: Tanda Kegelapan sudah semakin menguat selama berbulan-bulan, aku tahu dia pasti akan kembali, semua Pelahap Maut tahu! Bukankah aku punya banyak waktu untuk memikirkan apa yang akan kulakukan, merencanakan langkahku. berikutnya, untuk kabur seperti Karkaroff?" "Kegusaran awal Pangeran Kegelapan soal kedatanganku yang terlambat sirna sepenuhnya, yakinlah, ketika aku menjelaskan bahwa aku tetap setia, kendatipun Dumbledore mengira aku orang kepercayaannya. Ya, Pangeran Kegelapan tadinya mengira aku telah meninggalkannya selamanya, namun dia keliru." "Tapi apa kegunaanmu?" cemooh Bellatrix. "Informasi bermanfaat apa yang kami dapat darimu?" "Informasiku disampaikan langsung kepada Pangeran Kegelapan," kata Snape. "Kalau dia memilih tidak memberitahumu -- " "Dia memberitahuku segalanya!" kata Bellatrix, langsung meledak. "Dia menyebutku pengikutnya yang paling loyal, paling setia, paling -- " "Betulkah?" kata Snape, suaranya sengaja menyiratkan ketidakpercayaannya. "Masihkah dia menganggapmu begitu setelah kegagalan di Kementerian?" "Itu bukan salahku!" kata Bellatrix, wajahnya memerah. "Pangeran Kegelapan, tadinya, memercayaiku dan memberitahuku rahasianya yang paling kalau Lucius tidak -- " "Jangan berani-berani-jangan berani-berani kau menyalahkan suamiku!" kata Narcissa, dengan suara rendah dan mengancam, menatap kakaknya. "Tak ada gunanya membagi-bagi kesalahan," kata Snape lancar. "Semuanya sudah terjadi." "Tapi kau tak ambil bagian!" kata Bellatrix gusar. "Tidak, kau sekali lagi absen sementara kami yang lain menghadapi bahaya, kan, Snape?" "Perintah untukku adalah agar tinggal di tempat," kata Snape. "Mungkin kau tidak setuju dengan Pangeran Kegelapan, mungkin kau berpendapat Dumbledore tidak akan memperhatikan bahwa aku telah bergabung dengan para Pelahap Maut untuk melawan Orde Phoenix? Dan maafkan aku kau bicara soal bahaya ... bukankah kalian menghadapi enam remaja?" "Mereka didukung, seperti yang kau ketahui, oleh separo Orde dalam waktu singkat!" bentak Bellatrix. "Dan, selagi kita bicara tentang Orde, kau tetap menyatakan tak bisa memberitahukan tempat Markas Besarnya, kan?" "Aku bukan Penjaga Rahasia mereka, aku tak bisa menyebutkan nama tempat itu. Kau kan tahu bagaimana cara kerja sihir ini, kukira? Pangeran Kegelapan puas dengan informasi yang kusampaikan kepadanya soal Orde. Informasiku menghasilkan, seperti yang mungkin telah kautebak, penangkapan dan pembunuhan terhadap Emmeline Vance belum lama ini, dan jelas membantu membereskan Sirius Black, walaupun aku mengakui kau yang menghabisinya." Snape mengedikkan kepala dan bersulang untuk Bellatrix. Ekspresi Bellatrix tidak melunak. "Kau menghindari pertanyaanku yang terakhir, Snape. Harry Potter. Kau bisa membunuhnya kapan saja dalam lima tahun belakangan ini. Kau tidak melakukannya. Kenapa?" "Sudahkah kau membicarakan masalah ini dengan Pangeran Kegelapan?" tanya Snape. "Dia ... belakangan ini, kami ... aku menanyaimu, Snape!" "Jika aku membunuh Harry Potter, Pangeran Kegelapan tidak akan bisa menggunakan darahnya untuk lahir kembali, membuatnya tak terkalahkan -- " "Kau menyatakan kau sudah tahu sebelumnya kegunaan anak ini bagi Pangeran Kegelapan!" cemooh Bellatrix. "Aku tidak bermaksud berkata begitu; aku sama sekali tak tahu rencananya. Aku sudah mengakui, kusangka Pangeran Kegelapan sudah mati. Aku hanya mencoba menjelaskan kenapa Pangeran Kegelapan tidak menyesal bahwa Potter bertahan hidup, paling tidak sampai setahun yang lalu ..." "Tetapi kenapa kau membiarkannya hidup?" "Kau belum memahamiku? Perlindungan Dumbledore-lah yang membuatku tidak dikirim ke Azkaban! Apakah kau tidak sepakat bahwa membunuh murid favoritnya mungkin akan membuatnya memusuhiku? Tetapi ada alasan lain. Kuingatkan bahwa ketika Potter baru tiba di Hogwarts masih banyak beredar cerita tentang dia, rumor bahwa dia adalah penyihir hitam yang hebat, itulah sebabnya dia berhasil selamat dari serangan Pangeran Kegelapan. Malah, banyak pengikut lama Pangeran Kegelapan mengira Potter bisa dijadikan panutan, bersamanya kita sekali lagi bisa bersatu. Aku penasaran, kuakui, dan sama sekali tak berniat langsung membunuhnya begitu dia tiba di kastil." "Tentu saja, segera menjadi jelas bagiku bahwa dia sama sekali tak punya bakat istimewa. Dia, berhasil lolos dari berbagai situasi sulit semata-mata berkat kombinasi keberuntungan dan kawan-kawan yang lebih berbakat daripadanya. Dia cuma biasa-biasa saja, meskipun sama menjengkelkan dari berpuas diri seperti ayahnya. Aku sudah berusaha sebisaku untuk membuatnya dikeluarkan dari Hogwarts, menurutku dia tak layak berada di Hogwarts, tetapi membunuhnya atau membiarkan dia terbunuh di depanku? Aku tolol kalau berani mengambil risiko ini, dengan Dumbledore berada dekat begitu." "Dan selama ini kami diharapkan percaya Dumbledore tidak pernah mencurigaimu?" tanya Bellatrix. "Dia sama sekali tak menyadari kepada siapa sebetulnya kesetiaanmu kauberikan, dia masih memercayaimu sepenuhnya?" "Aku memainkan peranku dengan baik," kata Snape. "Dan kau melupakan kelemahan terbesar Dumbledore: dia memercayai yang terbaik dari setiap orang. Aku mengarang cerita penyesalan teramat dalam ketika aku bergabung menjadi stafnya, langsung setelah meninggalkan hari-hariku sebagai Pelahap Maut, dan dia menerimaku dengan tangan terbuka meskipun, seperti kukatakan, sebisanya tak pernah mengizinkan aku dekat dengan Ilmu Hitam. Dumbledore penyihir hebat oh ya, dia penyihir hebat" (karena Bellatrix mengeluarkan suara tajam) "Pangeran Kegelapan mengakuinya. Meskipun demikian, aku senang mengatakan, bahwa Dumbledore sekarang sudah tua. Duel dengan Pangeran Kegelapan bulan lalu mengguncangnya. Sejak duel itu dia menderita luka serius, karena reaksinya lebih lambat daripada sebelumnya. Tetapi selama bertahun-tahun ini dia tidak pernah berhenti memercayai Severus Snape, dan itulah sebabnya aku sangat berharga bagi Pangeran Kegelapan." Bellatrix masih tidak puas, meskipun dia tampak sangsi bagaimana cara paling baik menyerang Snape berikutnya. Menggunakan kesempatan diamnya Bellatrix, Snape menoleh memandang adiknya. "Nah ... kau datang untuk meminta bantuanku, Narcissa?" Narcissa mengangkat muka menatapnya, wajahnya dipenuhi keputusasaan. "Ya, Severus. Ku -- kurasa kau satu-satunya yang bisa menolongku. Tak ada orang lain yang bisa kumintai tolong. Lucius di penjara dan ... " Dia memejamkan mata dan dua butir air mata besar bergulir dari bawah pelupuknya. "Pangeran Kegelapan telah melarangku membicarakan ini;" Narcissa melanjutkan, matanya masih terpejam. "Dia tak mau orang lain tahu tentang rencana ini. Ini ... sangat rahasia. Tapi " "Kalau dia melarang, kau tak boleh membicarakannya," kata Snape segera. "Kata-kata Pangeran Kegelapan adalah hukum." Narcissa kaget seakan Snape telah menyiramnya dengan air dingin. Bellatrix tampak puas untuk pertama kalinya sejak dia memasuki rumah itu. "Nah!" katanya penuh kemenangan kepada adiknya. "Bahkan Snape melarangmu bicara, jadi jangan bicara!" Namun Snape telah bangkit dan berjalan ke jendela kecil, mengintip melalui gorden ke arah jalan yang sepi, kemudian menutup kembali gorden dengan sentakan. Dia berbalik menghadapi Narcissa, mengernyit. "Kebetulan aku tahu rencana ini;" katanya pelan. "Aku salah satu dari sedikit orang yang diberitahu Pangeran Kegelapan. Meskipun demikian, seandainya aku tak mengetahui rahasia ini, Narcissa, kau akan bersalah melakukan pengkhianatan besar terhadap Pangeran Kegelapan." "Kupikir kau pasti tahu tentang ini!" kata Narcissa, bernapas lebih lega. "Dia amat memercayaimu, Severus ..." "Kau tahu rencana itu?" kata Bellatrix, ekspresi kepuasan yang cuma sekilas kini digantikan kemurkaan. "Kau tahu?" "Tentu," kata Snape. "Tetapi, bantuan seperti apa yang kau kehendaki, Narcissa? Kalau kau membayangkan aku bisa membujuk Pangeran Kegelapan untuk mengubah pikirannya, aku khawatir tak ada harapan, sama sekali tak ada harapan." "Severus," bisiknya, air mata mengalir di pipinya yang pucat. "Anakku ... anak tunggalku ..." "Draco mestinya bangga," kata Bellatrix tak peduli. "Pangeran Kegelapan memberinya kehormatan besar. Dan aku akan mengatakan ini untuk Draco: dia tidak menyingkir dari tugasnya, dia tampaknya senang punya kesempatan untuk membuktikan diri, bersemangat mau melakukannya -- " Narcissa mulai menangis tersedu, tak hentinya menatap Snape dengan pandangan memohon. "Itu karena dia baru enam belas tahun dan sama sekali tak tahu apa yang akan dihadapinya! Kenapa, Severus? Kenapa anakku? Ini terlalu berbahaya! Ini pembalasan bagi kesalahan Lucius. Aku tahu!" Snape diam saja. Dia memalingkan pandangan dari air mata Narcissa, seakan itu tak pantas, namun dia tak bisa berpura-pura tidak mendengarnya "Itulah sebabnya dia memilih Draco, kan?" Narcissa mendesak. "Untuk menghukum Lucius? "Jika Draco berhasil," kata Snape, masih tidak memandangnya, "dia akan menerima kehormatan lebih daripada yang lain." "Tetapi dia tak akan berhasil!" isak Narcissa. "Bagaimana mungkin, kalau Pangeran Kegelapan sendiri?" Bellatrix kaget, menahan napas. Narcissa tampaknya kehilangan keberanian. "Aku cuma bermaksud mengatakan ... bahwa belum pernah ada yang berhasil ... Severus ... tolonglah ... kau, dari dulu, adalah guru favorit Draco ... kau teman lama Lucius ... kumohon ... kau favorit Pangeran Kegelapan, penasihatnya yang paling dipercaya ... maukah kau bicara kepadanya, membujuknya?" "Pangeran Kegelapan tak bisa dibujuk, dan aku tak begitu bodoh sehingga mau membujuknya," kata Snape datar. "Aku tak bisa berpura-pura bahwa Pangeran Kegelapan tidak marah kepada Lucius. Luciuslah penanggung jawab waktu itu. Dia malah tertangkap, bersama entah berapa banyak yang lain, dan gagal mendapatkan kembali ramalannya. Ya, Pangeran Kegelapan marah, Narcissa, amat sangat marah." "Kalau begitu aku benar, dia memilih Draco untuk balas dendam!" isak Narcissa. "Dia tak bermaksud Draco sukses, dia ingin Draco terbunuh dalam usahanya!" Ketika Snape diam saja, Narcissa tampak kehilangan pertahanan dirinya yang hanya tersisa sedikit. Bangkit berdiri, dia terhuyung mendekati Snape dan menjambret bagian depan jubahnya. Wajahnya dekat ke wajah Snape, air matanya menetes ke dada Snape, dia tersedu, "Kau bisa melakukannya. Kau bisa melakukannya, alih-alih Draco, Severus. Kau akan berhasil, pasti kau berhasil, dan dia akan memberimu penghargaan melebihi yang pernah kami semua terima" Snape memegang pergelangan tangan Narcissa dan menyingkirkan tangannya yang mencengkeram jubahnya. Menunduk memandang wajah Narcissa yang basah oleh air mata, dia berkata perlahan, "Dia bermaksud pada akhirnya aku yang melakukannya, kurasa. Tetapi dia berkeras Draco mencobanya lebih dulu. Soalnya, walaupun kelihatannya tak mungkin, seandainya Draco berhasil, aku akan bisa tinggal di Hogwarts sedikit lebih lama, menjalankan fungsiku yang berguna sebagai mata-mata." "Dengan kata lain, tak jadi persoalan baginya kalau Draco terbunuh!" "Pangeran Kegelapan sangat marah," . Snape mengulang pelan. "Dia gagal mendengar ramalan itu. Kita sama-sama tahu, Narcissa, dia tidak mudah memaafkan." Narcissa merosot, terpuruk di kaki Snape, tersedu dan meratap di lantai. "Anakku ... anak tunggalku ... " "Kau mestinya bangga!" kata Bellatrix tanpa belas kasihan. "Kalau aku punya anak laki-laki, dengan senang hati akan kuserahkan untuk melayani Pangeran Kegelapan!" Narcissa menjerit putus asa dan mencengkeram rambut pirangnya yang panjang. Snape membungkuk, memegang lengannya, mengangkatnya dan mendudukkannya kembali di sofa. Dia kemudian menuangkan anggur lagi untuk Narcissa dan menyorongkan gelasnya ke tangannya. "Narcissa, sudah cukup. Minumlah ini. Dengarkan aku." Tangis Narcissa mereda sedikit. Tangannya berguncang, sehingga anggur tumpah ke tubuhnya. Dengan gemetar dia meneguknya sedikit. "Ada kemungkinan ... aku bisa membantu Draco." Narcissa duduk tegak, wajahnya pucat pasi, matanya membesar. "Severus oh, Severus -- kau mau membantunya? Maukah kau menjaganya, supaya dia tidak celaka?" "Aku bisa mencoba." Narcissa melempar gelasnya; gelas itu meluncur di atas meja ketika Narcissa merosot turun dari sofa dalam posisi berlutut di depan kaki Snape, menyambar tangan Snape dengan kedua tangannya dan menekankan bibirnya ke tangan itu. "Kalau kau ada di sana untuk melindunginya ... Severus, maukah kau bersumpah? Maukah kau melakukan Sumpah Tak-Terlanggar?" "Sumpah Tak-Terlanggar?" ekspresi Snape kosong, tak bisa ditebak: Bellatrix, sebaliknya, tertawa terbahak. "Apa kau tidak mendengarkan, Narcissa? Oh, dia akan berusaha, aku yakin ... kata-kata kosong yang biasa, penghindaran yang biasa ... oh, atas perintah Pangeran Kegelapan, tentunya!" Snape tidak memandang Bellatrix. Matanya yang hitam menatap mata biru Narcissa yang digenangi air mata, sementara Narcissa terus menggenggam tangannya. "Tentu, Narcissa, aku mau melakukan Sumpah Tak-Terlanggar," katanya pelan. "Barangkali kakakmu bersedia menjadi Pengikat kita." Mulut Bellatrix ternganga. Snape berlutut di depan Narcissa. Di bawah tatapan tercengang Bellatrix, tangan kanan mereka berpegangan. "Kau perlu tongkat sihirmu, Bellatrix," kata Snape dingin. Bellatrix mencabut tongkat sihirnya, masih tampak keheranan. "Dan kau perlu mendekat sedikit," kata Snape. Bellatrix melangkah maju sehingga dia berdiri di depan mereka dan meletakkan ujung tongkat sihirnya ke tangan mereka yang bersatu. Narcissa bicara. "Maukah kau, Snape, menjaga anakku Draco ketika dia berusaha memenuhi keinginan Pangeran Kegelapan?" "Aku mau," kata Snape. Lidah api tipis cemerlang meluncur dari tongkat sihir dan meliliti tangan mereka seperti kawat panas merah. "Dan maukah kau, semampumu, melindunginya dari bahaya?" "Aku mau," kata Snape. Lidah api kedua meluncur dari tongkat sihir dan berjalin dengan yang pertama, menjadi rantai indah membara. "Dan, jika diperlukan .... jika tampaknya Draco akan gagal ..." bisik Narcissa (tangan Snape mengejang dalam tangan Narcissa, namun Snape tidak menariknya), "maukah kau menyelesaikan pekerjaan yang telah ditugaskan Pangeran Kegelapan kepada Draco?" Sejenak hening. Bellatrix mengawasi, tongkat sihirnya di atas tangan mereka yang saling genggam, matanya terbelalak. "Aku mau," kata Snape. Wajah keheranan Bellatrix berpendar merah dalam cahaya lidah api ketiga, yang meluncur dari tongkat sihirnya, berjalin dengan yang lain dan mengikat kuat tangan mereka seperti tali, seperti ular api. 03. MAU DAN TAK MAU Harry potter mendengkur keras. Dia sudah duduk di kursi dekat jendela kamarnya selama hampir empat jam, menatap ke luar jalan yang gelap, dan akhirnya tertidur dengan sebelah pipinya menempel di kaca jendela, kacamatanya miring, dan mulutnya terbuka lebar. Uap hangat yang ditinggalkan napasnya di jendela berkilau kena cahaya jingga lampu jalan di luar, dan lampu artifisial itu membuat wajahnya kehilangan warna sehingga dia tampak pucat di bawah rambut hitamnya yang awut-awutan. Bermacam barang dan sampah bertebaran di dalam kamar itu. Bulu burung hantu, bagian tengah apel; dan bungkus permen berserakan di lantai, beberapa buku mantra tergeletak sembarangan di antara jubah-jubah yang teronggok begitu saja di atas tempat tidurnya, dan berbagai surat kabar tertebar kacau dalam sorotan cahaya di mejanya. Salah satu kepala beritanya berbunyi: HARRY POTTER: SANG TERPILIH? Desas-desus masih terus beredar tentang gangguan misterius di Kementerian Sihir baru-baru ini. Dalam peristiwa itu Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut sekali lagi terlihat. "Kami dilarang bicara soal itu, jangan tanya apa-apa kepada saya," kata salah seorang Obliviator yang gelisah, yang menolak menyebutkan namanya ketika dia meninggalkan Kementerian semalam. Kendatipun demikian, sumber-sumber yang ditempatkan di posisi strategis dalam Kementerian menegaskan bahwa kekacauan itu berpusat di Ruang Ramalan yang banyak diceritakan. Walaupun juru bicara Kementerian sampai sekarang bahkan masih menolak mengonfirmasi keberadaan tempat itu, makin banyak anggota komunitas sihir yang percaya bahwa para Pelahap Maut yang sekarang menjalani hukuman di Azkaban dengan tuduhan pelanggaran dan upaya pencurian sebetulnya berusaha mencuri ramalan. Ramalan apa itu sebetulnya tetap tidak diketahui, meskipun spekulasi yang beredar luas mengatakan bahwa itu ada hubungannya dengan Harry Potter, satu-satunya orang yang diketahui berhasil selamat dari Kutukan Kematian. Harry Potter juga diketahui berada di Kementerian malam itu. Beberapa orang bahkan sudah menyebut Potter "Sang Terpilih". Mereka percaya bahwa ramalan itu menyebutnya sebagai satu-satunya yang akan sanggup membebaskan kita dari Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut. Keberadaan ramalan itu saat ini, jika ramalan itu memang benar ada, tidak diketahui, meskipun (bersambung ke hal 2, kol 5) Surat kabar kedua tergeletak di sebelah yang pertama. Yang ini dengan kepala berita: SCRIMGEOUR MENGGANTIKAN FUDGE Sebagian besar halaman depan surat kabar ini terisi oleh foto besar hitam-putih seorang pria dengan rambut tebal seperti - surai singa dan wajah dengan beberapa bekas luka. Foto ini bergerak-gerak-pria ini melambai ke langit-langit. Rufus Scrimgeour, yang tadinya menjabat Kepala Kantor Auror di Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir, menggantikan Cornelius Fudwge sebagai Menteri Sihir. Penunjukan ini disambut sangat antusias oleh komunitas sihir, meskipun gunjingan adanya keretakan antara menteri baru dan Albus Dumbledore, yang belum lama ini diangkat lagi menjadi Hakim Ketua Wizengamot, muncul hanya beberapa jam setelah Scrimgeour menjabat. Wakil-wakil Scrimgeour mengakui bahwa dia langsung bertemu dengan Dumbledore begitu menduduki jabatan tinggi ini, namun menolak mengomentari topik yang didiskusikan. Albus Dumbledore diketahui (bersambung ke hal 3, kol 2) Di sebelah kiri surat kabar ini ada surat kabar lain, yang dilipat sedemikian rupa, sehingga artikel dengan judul KEMENTERIAN MENJAMIN KESELAMATAN PELAJAR tampak jelas: Menteri Sihir yang baru diangkat, Rufus Scrimgeour, hari ini bicara tentang langkah-langkah baru dan sulit yang diambil Kementeriannya untuk memastikan keamanan para pelajar yang akan kembali ke Sekolah Sihir Hogwarts musim gugur ini. "Karena alasan yang jelas, Kementerian tidak akan membeberkan dengan terperinci rencana keamanan barunya yang ketat," kata Menteri, meskipun orang dalam mengonfirmasi bahwa langkah yang diambil termasuk mantra dan jampi defensif, sederet kontra-kutukan yang rumit, dan satgas kecil Auror yang khusus didedikasikan untuk perlindungan Sekolah Hogwarts. Sebagian besar komunitas sihir merasa tenteram dengan usaha menteri baru untuk menjaga keselamatan para pelajar. Kata Mrs Augusta Longbottom, "Cucu saya Neville -- kebetulan sahabat Harry Potter, yang melawan para Pelahap Maut berdampingan dengannya di Kementerian Juni lalu dan - Lanjutan cerita ini terhalang oleh sangkar burung besar yang berdiri di atasnya. Di dalam sangkar itu ada burung hantu gagah seputih salju. Matanya yang kuning meneliti ruangan dengan angkuh, kepalanya dari waktu ke waktu menoleh memandang tuannya yang mendengkur. Sekali-sekali dia mengatupkan paruhnya dengan tak sabar, namun Harry tidur sangat lelap sehingga tak mendengarnya. Sebuah koper besar tergeletak persis di tengah kamar. Tutupnya terbuka, seperti penuh harap, namun koper itu nyaris kosong. Hanya ada beberapa pakaian dalam tua, permen, botol-botol tinta kosong, dan pena bulu patah di dasar koper itu. Di dekatnya, di lantai, tergeletak selebaran ungu dihiasi huruf-huruf: DITERBITKAN ATAS NAMA KEMENTERIAN SIHIR MELINDUNGI RUMAH DAN KELUARGA ANDA DARI SIHIR HITAM Komunitas sihir saat ini sedang di bawah ancaman sebuah organisasi yang menyebut dirinya Pelahap Maut. Mengikuti pedoman keamanan sederhana berikut ini akan menolong melindungi Anda, keluarga Anda, dan rumah Anda dari serangan. 1. Anda disarankan tidak meninggalkan rumah sendirian. 2. Kehati-hatian harus lebih ditingkatkan setelah hari gelap. Jika melakukan perjalanan, atur agar sebisa mungkin sudah tiba di tempat tujuan sebelum malam. 3. Tinjau kembali pengaturan keamanan di sekitar rumah Anda. Pastikan semua anggota keluarga tahu tindakan darurat apa yang harus dilakukan, seperti Mantra Pelindung, Mantra Penyamar, dan, dalam hal ada anggota keluarga di bawah umur, ber Apparate bersama. 4. Buat kesepakatan tindakan keamanan dengan teman-teman dekat dan keluarga, agar Anda bisa mendeteksi Pelahap Maut yang menyamar menjadi orang lain menggunakan Ramuan Polijus (lihat hal 2). 5. Jika Anda merasa ada anggota keluarga, teman, atau tetangga yang bersikap aneh, segera kontak Pasukan Pelaksanaan Hukum Sihir. Mungkin mereka kena Kutukan Imperius (lihat hal 4) 6. Jika ada Tanda Kegelapan muncul di atas tempat tinggal atau bangunan mana saja, JANGAN MASUK, melainkan segera kontak Kantor Auror. 7. Beberapa peristiwa yang belum bisa dikonfirmasikan mengarah ke tanda-tanda bahwa para Pelahap Maut mungkin menggunakan Inferi (lihat hal 10). Jika Anda melihat atau bertemu Inferi, harap SEGERA melaporkannya ke Kementerian. Harry mengigau dalam tidurnya dan wajahnya merosot dari jendela sekitar dua-tiga senti, membuat kacamatanya semakin miring, tetapi dia tidak terbangun. Sebuah jam beker, yang direparasi Harry beberapa tahun lalu, berdetak keras di ambang jendela, menunjukkan waktu pukul sebelas kurang satu menit. Di sebelahnya, tertahan tangan Harry yang tergeletak santai, ada sehelai perkamen dipenuhi tulisan dengan huruf-huruf ramping miring. Harry telah membaca surat ini begitu seringnya sejak kedatangannya tiga hari lalu, sehingga meskipun tiba dalam bentuk gulungan ketat, sekarang surat ini terbeber rata. Dear Harry, Jika kau sepakat, aku akan datang di Privet Drive nomor empat hari Jumat mendatang ini pukul sebelas malam untuk mengantarmu ke The Burrow, tempat kau telah diundang untuk melewatkan sisa liburan sekolahmu. Jika kau bersedia, aku juga akan senang mendapat bantuanmu dalam satu masalah yang kuharap bisa kutangani dalam perjalanan ke The Burrow. Hal ini akan kujelaskan lebih lengkap saat aku bertemu denganmu. Harap kirim balasanmu dengan burung hantu ini. Sampai ketemu hari Jumat ini, mudah-mudahan. Salamku, Albus Dumbledore Kendatipun sudah hafal isinya, Harry mencuri pandang ke surat ini beberapa menit sekali sejak pukul tujuh malam ini, ketika dia baru mulai duduk di depan jendela kamarnya, dari mana dia bisa cukup jelas melihat kedua ujung Privet Drive. Dia tahu tak ada gunanya mengulang-ulang membaca kata-kata Dumbledore. Harry telah mengirim "ya"-nya dengan burung hantu yang membawa surat itu, seperti yang diminta Dumbledore, dan yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menunggu; Dumbledore akan datang, atau tidak datang. Namun Harry belum berkemas. Rasanya terlalu indah bahwa dia akan dibebaskan dari keluarga Dursley hanya dua minggu setelah dia bersama mereka. Dia tak berhasil menyingkirkan perasaan bahwa akan ada sesuatu yang tidak benar jawabannya kepada Dumbledore mungkin tidak sampai; Dumbledore mungkin berhalangan menjemputnya; surat yang diterimanya ternyata bukan dari Dumbledore, melainkan olok- olok atau jebakan. Harry tak tahan kalau sudah mengepak kopernya dan kemudian kecewa dan harus membongkarnya lagi. Satu-satunya tindakan yang dilakukannya sehubungan dengan kemungkinan bepergian adalah mengurung burung hantunya yang seputih salju, Hedwig, dengan aman di dalam sangkarnya. Jarum menit di jam beker mencapai angka dua belas, dan tepat saat itu, lampu jalanan di luar jendela padam. Harry terbangun seakan kegelapan yang tiba-tiba itu tanda bahaya. Buru-buru meluruskan kacamatanya dan melepas pipinya dari jendela, dia ganti menempelkan hidung ke kaca jendela dan menyipitkan mata memandang trotoar di bawah. Ada sosok jangkung memakai mantel panjang melambai sedang berjalan di jalan setapak di halaman. Harry terlonjak seakan kena setrum listrik, menabrak kursinya sampai terguling, dan mulai menyambar apa saja yang ada dalam jangkauannya dari lantai dan melemparkannya ke dalam kopernya. Ketika dia sedang melempar satu setel jubah, dua buku mantra, dan sebungkus keripik ke seberang ruangan, bel pintu berbunyi. Di bawah di ruang keluarga, pamannya, Paman Vernon, berteriak, "Siapa orang gila yang datang malam-malam begini?" Harry membeku dengan teleskop kuningan di satu tangan dan sepasang sepatu kets di tangan yang lain. Dia sama sekali lupa memberitahu keluarga Dursley bahwa Dumbledore mungkin akan datang. Merasa panik dan sekaligus ingin tertawa, dia melompati kopernya dan menarik terbuka pintu kamarnya, tepat pada saat didengarnya suara dalam berkata, "Selamat malam. Anda pastilah Mr Dursley. Saya kira Harry sudah memberitahu Anda, saya akan datang menjemputnya?" Harry berlari menuruni tangga, dua anak tangga sekali lompat, berhenti mendadak beberapa anak tangga dari bawah, karena pengalaman mengajarkan agar dia berada di luar jangkuan lengan pamannya kalau mungkin. Di ambang pintu berdiri seorang pria jangkung kurus dengan rambut keperakan sepanjang pinggang dan kumis serta jenggot keperakan. Kacamata bulan-separo bertengger di atas hidungnya yang bengkok dan dia memakai mantel perjalanan panjang hitam dan topi berujung kerucut. Vernon Dursley, yang kumisnya hampir sama lebatnya dengan kumis Dumbledore, meskipun warnanya hitam, dan memakai kimono rumah berwarna ungu-kecokelatan, terbelalak menatap tamunya seakan dia tak memercayai matanya yang kecil. "Melihat kekagetan dan ketidakpercayaan Anda, Harry tidak memberitahu Anda bahwa saya akan datang," kata Dumbledore ramah. "Meskipun demikian, marilah kita andaikan bahwa Anda dengan hangat memersilakan saya masuk ke dalam rumah Anda. Tidak bijaksana berlama-lama di depan pintu dalam masa sulit begini." Dengan gesit dia melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. "Sudah lama sekali sejak kunjungan saya yang pertama," kata Dumbledore, memandang lewat hidung bengkoknya kepada Paman Vernon. "Harus saya katakan, bunga lili Afrika Anda tumbuh subur." Vernon Dursley tidak berkata apa-apa. Harry tak meragukan bahwa pamannya akan segera bisa bicara lagi nadi yang berdenyut di pelipisnya sudah mencapai titik bahaya namun sesuatu tentang Dumbledore tampaknya telah membuatnya kehabisan napas untuk sementara. Mungkin penampilannya sebagai penyihir yang mencolok sekali, namun, mungkin saja bahkan Paman Vernon bisa merasakan bahwa ini orang yang akan sulit sekali digertak. "Ah, selamat malam, Harry," kata Dumbledwore, mendongak menatapnya melalui kacamata bulan separonya dengan ekspresi sangat puas. "Bagus sekali, bagus sekali." Kata-kata ini tampaknya membangunkan Paman Vernon. Jelas bahwa dia tak bisa sepakat dengan siapa pun yang bisa melihat Harry dan berkata "bagus sekali". "Saya tak bermaksud tidak sopan" dia memulai, dengan nada yang menyiratkan ketidaksopanan dalam setiap suku kata. "sayangnya, ketidaksopanan yang tak disengaja terjadi cukup sering," Dumbledore menyelesaikan kalimat Mr Dursley dengan muram. "Paling baik jangan berkata apa-apa, Saudara. Ah, ini pastilah Petunia." Pintu dapur membuka dan tampaklah bibi Harry berdiri di sana, memakai sarung tangan karet dan gaun rumah di atas baju tidurnya, jelas sedang setengah jalan melakukan rutinitas sebelum tidurnya, mengelap semua permukaan di dapurnya. Wajahnya yang agak mirip kuda tampak shock. "Albus Dumbledore," kata Dumbledore, ketika Paman Vernon tidak memperkenalkannya. "Kita sudah berkorespondensi, tentu saja." Harry berpendapat ini cara yang aneh untuk mengingatkan Bibi Petunia bahwa dia pernah mengirimnya surat meledak, namun Bibi Petunia tidak menyangkal istilah ini. "Dan ini pastilah anak kalian Dudley?" Dudley saat itu mengintip dari balik pintu ruang keluarga. Kepalanya yang besar berambut pirang yang muncul dari kerah piama bergarisnya tidak tampak seperti bagian dari tubuhnya, mulutnya menganga lebar, saking takut dan kagetnya. Dumbledore menanti beberapa saat, kalau-kalau salah satu dari suami-istri Dursley akan mengatakan sesuatu, namun ketika kesunyian berlanjut dia tersenyum. "Bagaimana kalau kita andaikan kalian telah mempersilakan saya masuk ke ruang keluarga kalian?" Dudley buru-buru menyingkir ketika Dumbledore melewatinya. Harry, masih memegangi teleskop dan sepatu, melompati beberapa anak, tangga terakhir dan menyusul Dumbledore, yang telah duduk di kursi berlengan paling dekat perapian dan sedang mengamati sekelilingnya dengan penuh perhatian. Dia tampak janggal sekali berada di situ. "Kita tidak-tidak berangkat sekarang, Sir?" tanya Harry cemas. "Ya, sebentar lagi, ada beberapa masalah yang harus kita bicarakan dulu," kata Dumbledore. "Dan aku lebih suka tidak membicarakannya di tempat terbuka. Kita hanya akan menyalahgunakan keramahan bibi dan pamanmu sebentar lagi." "Begitu, ya?" Vernon Dursley telah memasuki ruangan. Petunia di balik bahunya dan Dudley mengendap-endap di belakang keduanya. "Ya," kata Dumbledore singkat. Dia mencabut tongkat sihirnya cepat sekali sehingga Harry nyaris tak melihatnya. Dengan jentikan santai, sofa meluncur maju dan menabrak lutut ketiga Dursley sehingga mereka berjatuhan di atasnya. Satu jentikan yang lain membuat sofa meluncur kembali ke tempatnya semula. "Sebaiknya kita duduk nyaman," kata Dumbledore ramah. Ketika dia memasukkan kembali tongkat sihirnya ke dalam saku, Harry melihat tangannya hitam dan kisut, seakan dagingnya terbakar. "Sir apa yang terjadi dengan ta?" "Nanti, Harry," kata Dumbledore. "Silakan duduk." Harry duduk di kursi berlengan yang tersisa, memilih tidak memandang keluarga Dursley, yang tampaknya jadi bisu saking terpesonanya. "Saya tadinya menyangka kalian akan menyuguhkan minuman untuk saya," kata Dumbledore kepada Paman Vernon, "namun bukti-bukti sejauh ini menunjukkan bahwa asumsi saya terlalu optimistik bahkan bisa dibilang bodoh." Jentikan ketiga tongkat sihir membuat sebuah botol berdebu dan lima gelas muncul di udara. Botolnya merebah dan dengan murah hati menuangkan cairan berwarna-madu ke dalam masing-masing gelas, yang kemudian melayang ke masing-masing orang dalam ruangan itu. "Mead aroma ek terbaik Madam Rosmerta," kata Dumbledore, mengangkat gelasnya kepada Harry, yang menangkap gelasnya sendiri dan menghirupnya. Harry belum pernah minum mead-minuman dari air dan madu yang difermentasikan dalam tong kayu ek namun dia sangat menyukainya. Keluarga Dursley, setelah saling pandang dengan cepat dan ketakutan, berusaha mengabaikan sama sekali gelas mereka, hal yang sulit, karena gelas-gelas itu menyenggol-nyenggol pelan sisi kepala mereka. Harry tak bisa menahan kecurigaan bahwa Dumbledore agak menikmati hal ini. "Nah, Harry," kata Dumbledore, menoleh kepada Harry, "telah muncul masalah yang kuharap bisa kau pecahkan untuk kami. Yang kumaksud dengan kami adalah Orde Phoenix. Tetapi sebelumnya harus kuberitahukan kepadamu bahwa surat wasiat Sirius ditemukan seminggu lalu dan bahwa dia mewariskan segala miliknya kepadamu." Di sofa kepala Paman Vernon menoleh, namun Harry tidak memandangnya. Dia pun tak tahu harus berkata apa, kecuali, "Oh. Baiklah." "Intinya jelas," Dumbledore melanjutkan. "Tabungan emasmu di Gringotts bertambah cukup banyak dan kau mewarisi semua barang pribadi Sirius. Bagian surat warisan yang agak bermasalah -- " "Walinya mati?" kata Paman Vernon keras dari sofa. Dumbledore dan Harry dua-duanya menoleh memandangnya. Gelas mead sekarang membentur-bentur bandel sisi kepala Paman Vernon, dia berusaha memukul-mukul menyingkirkannya. "Dia mati? Walinya?" "Ya," kata Dumbledore. Dia tidak bertanya kepada Harry kenapa dia tidak memberitahu keluarga Dursley. "Masalah kami," dia melanjutkan kepada Harry, seakan tak ada interupsi, "adalah bahwa Sirius juga mewariskan kepadamu Grimmauld Place nomor dua belas." "Dia diwarisi rumah?" kata Paman Vernon tamak, matanya yang kecil menyipit, namun tak ada yang menanggapinya. "Kalian bisa tetap menggunakannya sebagai Markas Besar," kata Harry. "Saya tak peduli. Rumah itu boleh untuk kalian, saya tidak menginginkannya." Harry tak ingin menginjakkan kaki lagi di Grimmauld Place nomor dua belas, kalau bisa. Pikirnya dia akan dihantui seumur hidup oleh kenangan akan Sirius yang seorang diri berkeliling dari kamar-ke-kamar, terpenjara dalam rumah yang ingin sekali ditinggalkannya. "Kau baik sekali," kata Dumbledore. "Meskipun demikian kami untuk sementara ini mengosongkan rumah itu." "Kenapa?" "Yah," kata Dumbledore, mengabaikan gumam Paman Vernon, yang sekarang diketuk-ketuk dengan tangkas di atas kepalanya oleh gelas mead yang pantang menyerah. "Tradisi keluarga Black memutuskan bahwa rumah itu diwariskan kepada turunan langsung, kepada keturunan pria berikut yang menyandang nama Black. Sirius adalah Black terakhir dalam garis keturunan ini, karena adiknya, Regulus, meninggal lebih dulu darinya, dan keduanya tidak mempunyai anak. Kendatipun surat wasiatnya menyebutkan dengan jelas bahwa dia menginginkanmu memiliki rumah itu, mungkin saja ada mantra atau jampi yang khusus dipasang di tempat itu untuk memastikan bahwa rumah itu tidak bisa dimiliki orang lain selain yang berdarah murni Black." Bayangan lukisan ibu Sirius yang tergantung di aula Grimmauld Place nomor dua belas yang menjerit-jerit dan meludah terlintas jelas di benak Harry. "Pasti ada mantranya," katanya. "Betul," kata Dumbledore. "Dan kalau memang ada, maka kepemilikan rumah ini kemungkinan besar jatuh ke tangan kerabat Sirius yang paling tua, dalam hal ini berarti sepupunya, Bellatrix Lestrange." Tanpa menyadari apa yang dilakukannya, Harry melompat bangun; teleskop dan sepatu di pangkuannya menggelinding di lantai. Bellatrix Lestrange, pembunuh Sirius, mewarisi rumahnya? "Tidak," katanya. "Yah, kami juga jelas lebih suka jika dia tidak mendapatkan rumah itu," kata Dumbledore tenang. "Situasinya penuh komplikasi. Kami tidak tahu apakah mantra yang kami sendiri tempatkan di rumah itu, misalnya, yang membuatnya tidak terdeteksi, masih berlaku sekarang setelah kepemilikannya sudah bukan di tangan Sirius. Bisa saja Bellatrix muncul di depan pintu kapan saja. Wajar kalau kami harus pindah sampai sudah ada kejelasan soal rumah ini." "Tetapi bagaimana Anda akan bisa tahu apakah saya boleh memiliki rumah ini?" "Untungnya," kata Dumbledore, "ada tes sederhana." Dia meletakkzan gelas kosongnya di meja kecil di sebelah kursinya, namun sebelum dia bisa melakukan hal lain, Paman Vernon berteriak, "Singkirkan gelas-gelas kurang ajar ini dari kami." Harry menoleh. Ketiga Dursley gemetar ketakutan dengan lengan di atas kepala, sementara gelas-gelas itu melompat- lompat di atas kepala mereka, isinya beterbangan ke mana-mana. "Oh, maaf," kata Dumbledore sopan, dan dia mengangkat tongkat sihirnya lagi. Ketiga gelas itu lenyap. "Tapi sebetulnya lebih sopan jika kalian meminumnya." Tampaknya Paman Vernon siap meluncurkan jawaban-jawaban tak menyenangkan, namun dia hanya terenyak kembali ke sofa bersama Bibi Petunia dan Dursley dan tidak berkata apa-apa, mata kecilnya terus menatap tongkat sihir Dumbledore. "Begini," kata Dumbledore, berpaling ke Harry dan meneruskan bicara, seakan Paman Vernon tidak menyela, "jika kau benar telah mewarisi rumah itu, kau juga mewarisi-" Dumbledore menjentikkan tongkat sihirnya untuk kelima kalinya. Terdengar bunyi tar keras dan sesosok peri-rumah muncul, hidungnya berupa moncong, dengan telinga kelelawar raksasa, dan mata merah besar, memakai kain lap butut kotor, meringkuk di atas permadani tebal keluarga Dursley. Bibi Petunia mengeluarkan jeritan yang mendirikan bulu roma. Belum pernah ada apa pun yang sekotor ini memasuki rumahnya. Dudley mengangkat kaki telanjangnya yang besar dan berwarna merah muda dari lantai dan duduk dengan kaki terangkat hampir di atas kepalanya, seakan dia mengira makhluk ini bisa saja berlarian di atas tubuhnya lewat pipa piamanya, dan Paman Vernon menggerung, "Makhluk brengsek apa itu?" "Kreacher," Dumbledore mengakhiri. "Kreacher tak mau, Kreacher tak mau, Kreacher tak mau!" kata si peri-rumah parau, hampir sama kerasnya dengan gerungan Paman Vernon, mengentak-entakkan kakinya yang panjang dan berbonggol dan menarik-narik telinganya. "Kreacher milik Miss Bellatrix, oh, ya, Kreacher milik keluarga Black, Kreacher menginginkan nyonya majikan baru Kreacher, Kreacher tak mau jadi milik si Potter bandel, Kreacher tak mau, tak mau, tak mau -- " "Seperti kau lihat, Harry," kata Dumbledore keras, mengatasi jerit parau Kreacher, "tak mau, tak mau, tak mau," yang tak putus-putusnya, "Kreacher menunjukkan keengganan untuk menjadi milikmu." "Saya tak peduli," kata Harry lagi, memandang jijik peri-rumah yang menggeliat dan mengentak-entakkan kaki. "Saya tidak menginginkannya." "Tak mau, tak mau, tak mau -- " "Kau lebih suka dia menjadi milik Bellatrix Lestrange? Padahal dia sudah tinggal di Markas Besar Orde Phoenix selama setahun terakhir ini?" "Tak mau, tak mau, tak mau, tak mau -- " Harry menatap Dumbledore. Dia tahu Kreacher tak boleh dibiarkan pergi dan tinggal bersama Bellatrix Lestrange, namun membayangkan menjadi pemilikznya, bertanggung jawab atas makhluk yang telah mengkhianati Sirius, sungguh menjijikkan. "Beri dia perintah," kata Dumbledore. "Jika telah menjadi milikmu, dia harus mematuhimu. Jika tidak, kita terpaksa memikirkan cara-cara untuk menjauhkannya dari nyonya majikannya yang sah." "Tak mau, tak mau, tak mau, TAK MAU!" Suara Kreacher telah meninggi menjadi jeritan. Harry tak bisa berpikir harus berkata apa kecuali, "Kreacher, diam!" Sesaat tampaknya Kreacher akan tersedak. Dia mencengkeram tenggorokannya, mulutnya masih bergerak-gerak liar, matanya membelalak. Setelah menelan ludah dengan panik selama beberapa detik, dia melempar diri tengkurap di atas permadani (Bibi Petunia merintih) dan memukul-mukul lantai dengan tangan dan kakinya, menumpahkan segala kemarahan dan kejengkelannya, namun dalam diam. "Nah, ini menyederhanakan persoalan," kata Dumbledore riang. "Rupanya Sirius tahu apa yang dilakukannya. Kau pemilik sah Grimmauld Place nomor dua belas, dan Kreacher." "Apakah-apakah saya harus memeliharanya sendiri?" Harry bertanya, ngeri, sementara Kreacher menggelepar di kakinya. "Tidak, kalau kau tak mau," kata Dumbledore. "Kalau aku boleh memberi saran, kau bisa mengirimnya ke Hogwarts, untuk bekerja di dapur di sana. Dengan begitu, para peri-rumah yang lain bisa mengawasinya." "Yeah," kata Harry lega. "Saya akan mengirimnya ke sana. Er-Kreacher -- aku ingin kau ke Hogwarts dan bekerja di dapur di sana bersama peri-peri-rumah yang lain." Kreacher, yang sekarang berbaring telentang dengan tangan dan kaki di udara, melempar pandang jijik terbalik kepada Harry, dan dengan bunyi tar keras, lenyap. "Bagus," kata Dumbledore. "Masih ada masalah Hippogriff, Buckbeak. Hagrid-lah yang memeliharanya sejak Sirius meninggal, tapi Buckbeak milikmu sekarang, jadi kalau kau mau mengaturnya secara lain -- " "Tidak," kata Harry segera, "dia boleh tinggal bersama Hagrid. Saya rasa Buckbeak lebih suka begitu." "Hagrid akan senang," kata Dumbledore, tersenyum. "Dia bahagia sekali melihat Buckbeak lagi. Kami sudah memutuskan, demi keamanan Buckbeak, memberinya nama baru Witherwings untuk sementara ini, meskipun aku ragu Kementerian akan bisa menduga dia adalah Hippogriff yang pernah mereka jatuhi hukuman mati. Nah, Harry, kopermu sudah dipak?" "Erm ... " "Kau tidak yakin aku akan datang?" Dumbledore menerka dengan tepat. "Saya akan - er -- menyelesaikannya;" kata Harry buru-buru, bergegas mengambil teleskop dan sepatunya yang tadi terjatuh. Perlu sepuluh menit lebih sedikit untuk mencari segala sesuatu yang dibutuhkannya. Akhirnya dia berhasil menarik keluar Jubah Gaib-nya dari bawah tempat tidur, menutup rapat botol tinta Ubah-Warna-nya, memasukkan kuali, dan menutup kopernya dengan paksa. Kemudian, menyeret koper dengan satu tangan dan menenteng sangkar Hedwig dengan tangan yang lain, dia kembali menuruni tangga. Dia kecewa ternyata Dumbledore tidak menunggu di ruang depan, yang berarti dia harus kembali ke ruang keluarga. Tak seorang pun bicara. Dumbledore sedang bersenandung pelan, tampak benar dia santai, namun suasana dingin dan tegang, dan Harry tidak berani memandang keluarga Dursley ketika dia berkata, "Profesor saya sudah siap." "Bagus," kata Dumbledore. "Tinggal satu hal lagi, kalau begitu." Dan dia menoleh untuk berbicara kepada keluarga Dursley sekali lagi. "Seperti yang pasti kalian ketahui, setahun lagi Harry akil balig -- " "Tidak" kata Bibi Petunia, berbicara untuk pertama kalinya sejak kedatangan Dumbledore. "Maaf?" kata Dumbledore sopan. "Tidak, dia belum akil balig. Dia sebulan lebih muda daripada Dudley, dan Duddlers baru akan delapan belas dua tahun lagi." "Ah," kata Dumbledore ramah, "tetapi di dunia sihir, kami akil balig pada usia tujuh belas tahun." Paman Vernon menggumamkan "tidak masuk akal", namun Dumbledore mengabaikannya. "Seperti yang telah kalian ketahui, penyihir yang bernama Lord Voldemort telah kembali ke negara ini. Komunitas sihir saat ini dalam keadaan perang terbuka. Dalam beberapa kesempatan Lord Voldemort telah berusaha membunuh Harry, sehingga sekarang dia berada dalam bahaya yang jauh lebih besar daripada ketika saya tinggalkan di depan pintu rumah kalian lima belas tahun lalu, bersama surat yang menjelaskan tentang pembunuhan terhadap orangtuanya dan mengutarakan harapan agar kalian bersedia merawatnya seperti anak sendiri." Dumbledore berhenti, dan meskipun suaranya tetap ringan dan tenang, dan tak ada tanda-tanda kemarahan, Harry merasakan semacam rasa dingin memancar darinya dan memperhatikan bahwa ketiga Dursley duduk lebih merapat. "Kalian tidak melakukan seperti yang saya minta. Kalian tidak pernah memperlakukan Harry sebagai anak. Dia ditelantarkan dan kadang malah menderita kekejaman dari tangan kalian. Yang paling baik yang bisa dikatakan adalah bahwa dia setidaknya terhindar dari kerusakan mengerikan yang telah kalian timpakan kepada anak malang yang duduk di antara kalian." Bibi Petunia dan Paman Vernon langsung menoleh, seakan berharap melihat orang lain, bukan Dudley yang duduk terimpit di antara mereka. "Kami salah memperlakukan Dudders? Apa maksud?" kata Paman Vernon berang, namun Dumbledore mengangkat jari menyuruhnya diam. Paman Vernon langsung terdiam. "Sihir yang saya berikan lima belas tahun lalu berarti bahwa Harry memiliki perlindungan kuat selama dia masih bisa menyebut rumah ini rumahnya. Betapapun menderitanya dia di sini, betapapun dia tidak diterima, betapapun dia diperlakukan dengan sangat buruk, kalian paling tidak, kendati dengan menggerutu, memberinya tumpangan. Sihir ini akan berhenti berfungsi saat Harry berumur tujuh belas tahun; dengan kata lain, saat dia menjadi laki-laki dewasa. Saya hanya meminta ini bahwa kalian mengizinkan Harry kembali, sekali lagi, ke rumah ini, sebelum hari ulang tahunnya yang ketujuh belas, dengan demikian ini akan memastikan perlindungan terhadapnya akan berlangsung sampai saat itu." Tak seorang pun keluarga Dursley berkata apa-apa. Dudley mengernyit sedikit, seakan dia masih berusaha memahami kapan dia diperlakukan salah. Paman Vernon tampak seolah ada sesuatu yang mengganjal kerongkongannya. Bibi Petunia, anehnya, wajahnya memerah seperti malu. "Nah, Harry ... saatnya kita berangkat," kata Dumbledore akhirnya, seraya berdiri dan meluruskan mantel hitamnya yang panjang. "Sampai ketemu lagi," katanya kepada keluarga Dursley, yang tampak mengharap itu tak usah terjadi, dan setelah memakai topinya, Dumbledore meninggalkan ruangan. "Bye," kata Harry buru-buru kepada keluarga Dursley, dan menyusul Dumbledore, yang berhenti di sebelah koper Harry, dengan sangkar Hedwig bertengger di atasnya. "Kita tak ingin terbebani dengan ini sekarang," katanya, seraya mencabut tongkat sihirnya. "Akan kukirim ke The Burrow, supaya menanti kita di sana. Meskipun demikian, aku ingin kau membawa Jubah Gaib-mu ... siapa tahu." Harry mengeluarkan Jubah Gaib dari kopernya dengan sedikit kesulitan, dia berusaha agar Dumbledore tidak melihat betapa berantakannya isi kopernya. Setelah Harry menjejalkan Jubah Gaib-nya ke kantong dalam jaketnya, Dumbledore melambaikan tongkat sihirnya dan koper, sangkar, serta Hedwig lenyap. Dumbledore kemudian melambaikan tongkatnya lagi dan pintu depan terbuka, menampakkan kegelapan yang dingin berkabut. "Dan sekarang, Harry, marilah melangkah ke dalam kegelapan malam dan mengejar petualangan yang menggoda." 04. HORACE SLUGHORN Kendati beberapa hari belakangan ini kalau tidak sedang tidur dia melewatkan sepanjang waktu dengan berharap sepenuh hati Dumbledore betul-betul datang menjemputnya, Harry merasa canggung sekali ketika mereka berjalan berdua sepanjang Privet Drive. Dia belum pernah benar-benar mengobrol dengan kepala sekolahnya di luar Hogwarts; biasanya selalu ada meja di antara mereka. Ingatan akan pertemuan terakhir mereka berulang-ulang terlintas di benaknya juga, dan ini membuat Harry agak malu. Dia banyak berteriak dalam pertemuan itu, belum lagi berusaha keras menghancurkan beberapa milik Dumbledore yang paling berharga. Dumbledore, meskipun demikian, tampak sepenuhnya rileks. "Tongkat siap, Harry," katanya ceria. "Tetapi bukankah saya dilarang menggunakan sihir di luar sekolah, Sir?" "Jika ada serangan," kata Dumbledore, "aku memberimu izin untuk menggunakan mantra kontra-kutukan atau penangkal-sihir yang terlintas di benakmu. Meskipun demikian, kurasa kau tak perlu khawatir diserang malam ini." "Kenapa tidak, Sir?" "Kau bersamaku," kata Dumbledore sederhana. "Di sini sudah cukup, Harry." Dumbledore berhenti mendadak di ujung Privet Drive. "Kau, tentunya, belum lulus ujian Apparition-mu, kan?" "Belum," kata Harry. "Kan harus sudah berusia tujuh belas tahun?" "Memang," kata Dumbledore. "Kalau begitu kau perlu berpegang pada lenganku erat-erat. Yang kiri, tolong-seperti yang telah kaulihat, lengan pemegang tongkatku agak rapuh sekarang ini. Harry memegang erat lengan yang disodorkan Dumbledore. "Bagus sekali," kata Dumbledore. "Nah, kita berangkat sekarang." Harry merasa lengan Dumbledore tertarik menjauh darinya dan mengencangkan pegangannya: berikutnya, tahu-tahu segalanya menjadi gelap, dia merasa ditekan keras dari segala jurusan; dia tak bisa bernapas, ada tali-tali besi membelit erat dadanya; bola matanya didorong masuk lebih dalam ke dalam rongganya, dan kemudian - Harry menghirup dalam-dalam udara dingin malam hari beberapa kali dan membuka matanya yang berair. Rasanya seperti dia baru saja didorong melewati pipa karet yang sangat sempit. Baru beberapa detik kemudian dia menyadari bahwa Privet Drive telah lenyap. Dia dan Dumbledore sekarang berdiri di tempat yang tampaknya lapangan desa yang kosong, di tengahnya berdiri tugu peringatan perang yang sudah tua dan ada beberapa bangku. Pemahamannya menyusul perasaannya, Harry sadar dia baru saja ber-Apparate untuk pertama kalinya dalam hidupnya. "Kau tak apa-apa?" tanya Dumbledore, menunduk memandangnya cemas. "Perlu beberapa waktu sampai kau terbiasa dengan sensasinya." "Saya baik-baik saja," kata Harry, menggosok telinganya, yang rasanya meninggalkan Privet Dwrive dengan enggan. "Tetapi saya rasa saya lebih suka naik sapu." Dumbledore tersenyum, menarik mantel bepergiannya sedikit lebih rapat di bagian leher, dan berkata, "Ke sini." Dia berjalan dengan gesit, melewati losmen kosong dan beberapa rumah. Menurut jam di gereja di dekat situ, saat itu hampir tengah malam. "Katakan padaku, Harry," kata Dumbledore. "Bekas lukamu ... apakah belakangan ini sakit?" Tanpa sadar Harry mengangat tangan ke dahinya dan menggosok bekas luka berbentuk sambaran petir. "Tidak" katanya, "dan saya bertanya-tanya soal itu. Saya pikir bekas luka itu akan sakit terus sekarang setelah Voldemort menjadi sangat kuat lagi." Dia mendongak mengerling Dumbledore dan melihat wajahnya diliputi ekspresi puas. "Aku justru menduga sebaliknya," kata Dumbledore. "Lord Voldemort akhirnya menyadari adanya akses ke pikiran dan perasaannya yang selama ini kaunikmati. Rupanya sekarang dia menggunakan Occlumency terhadapmu." "Saya tidak mengeluh," kata Harry, yang sama sekali tidak merasa kehilangan mimpi-mimpi buruk ataupun kilasan-kilasan mengejutkan ke dalam pikiran Voldemort. Mereka membelok, melewati boks telepon dan halte bus. Harry mengerling Dumbledore lagi. "Profesor?" "Harry?" "Er-di mana kita ini?" "Ini, Harry, adalah desa Budleigh Babberton yang indah." "Dan apa yang kita lakukan di sini?" "Ah, ya, tentu saja, aku belum memberitahumu;" kata Dumbledore. "Nah, aku tak tahu sudah berapa kali aku mengatakan ini dalam beberapa tahun terakhir, tetapi kita, sekali lagi, kekurangan satu guru. Kita berada di sini untuk membujuk rekan kerja lamaku untuk meninggalkan masa pensiunnya dan kembali ke Hogwarts." "Bagaimana saya bisa membantu soal itu, Sir?" "Oh, kurasa kita akan menemukan kegunaanmu," kata Dumbledore tak jelas. "Belok kiri, Harry." Mereka berjalan sepanjang jalan kecil curam yang diapit deretan rumah. Semua jendelanya gelap. Rasa dingin aneh yang telah menyelimuti Privet Drive selama dua minggu, juga terasa di sini. Teringat Dementor, Harry menoleh ke belakang dan menggenggam tongkat sihir dalam sakunya untuk menenteramkan hati. "Profesor, kenapa kita tidak langsung saja ber-Apparate di dalam rumah rekan kerja lama Anda?" "Karena itu sama tidak sopannya seperti kita menendang pintu depannya," kata Dumbledore. "Kesopanan menuntut kita memberi kesempatan kepada sesama penyihir untuk menolak kedatangan kita. Lagi pula, sebagian besar tempat tinggal para penyihir dilindungi dengan sihir untuk menghalangi Apparition yang tak diinginkan. Di Hogwarts, misalnya saja" "siapa pun tak bisa ber-Apparate dan mana pun di dalam bangunan maupun halamannya," kata Harry cepat. "Hermione Granger yang memberitahu saya." "Dan dia benar sekali. Kita belok kiri lagi." Lonceng gereja di belakang mereka berdentang menyatakan tengah malam. Harry bertanya-tanya dalam hati kenapa Dumbledore tidak menganggap tidak sopan mengunjungi kawan lamanya larut malam begini, namun sekarang setelah obrolan dibuka, ada pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih mendesak. "Sir, saya melihat di Daily Prophet Fudge telah dipecat ..." "Betul," kata Dumbledore, sekarang berbelok ke jalan kecil yang curam. "Dia digantikan, kau pasti juga sudah melihat, oleh Rufus Scrimgeour, yang tadinya Kepala Kantor Auror." "Apakah dia ... menurut Anda dia cakap?" tanya Harry. "Pertanyaan menarik," kata Dumbledore. "Dia mampu, jelas. Orang yang lebih tegas dan kuat daripada Cornelius." "Ya, tapi maksud saya ..." "Aku tahu apa maksudmu. Rufus orang yang biasa bertindak dan, telah berpengalaman melawan penyihir hitam hampir sepanjang masa kerjanya, dia tidak memandang enteng Lord Voldemort." Harry, menunggu, namun Dumbledore tidak mengatakan apa-apa soal perselisihan pendapatnya dengan Scrimgeour yang dilaporkan Daily Prophet, dan dia tak punya nyali untuk memperpanjang soal ini, maka dia mengganti topik. "Dan ... Sir ... saya membaca tentang Madam Bones." "Ya," kata Dumbledore pelan. "Kehilangan yang sangat disayangkan. Dia penyihir hebat. Di depan situ, kukira-ouch." Dia telah menunjuk dengan tangannya yang terluka. "Profesor, kenapa tangan .?" "Aku tak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang," kata Dumbledore. "Kisahnya seru sekali, harus ada waktu khusus." Dia tersenyum kepada Harry, yang mengerti bahwa dia tidak dimarahi, dan bahwa dia diizinkan untuk terus mengajukan pertanyaan. "Sir - saya menerima selebaran Kementerian Sihir yang diantar burung hantu, tentang langkah-langkah keamanan yang harus kita semua lakukan terhadap Pelahap Maut ... " "Ya, aku juga menerima selebaran itu," kata Dumbledore, masih terus petunjuk itu berguna?" "Tidak begitu." "Menurutku juga tidak. Kau tidak menanyaiku, misalanya, rasa apakah selai favoritku, untuk mengecek apakah aku benar-benar Profesor Dumbledore, dan bukan penyamar. " "Saya tidak ..." Harry bingung, tak tahu apakah dia sedang ditegur atau tidak. "Untuk keperluan di masa yang akan datang, Harry, selai favoritku raspberry ... meskipun tentunya, seandainya aku Pelahap Maut, aku pasti sudah melakukan riset tentang selai kesukaanku sebelum menyamar menjadi diriku." "Er ... betul," kata Harry. "Di selebaran itu disebut-sebut tentang Inferi. Apakah Inferi itu? Selebaran itu tidak menjelaskan." "Inferi itu mayat," kata Dumbledore tenang. "Kalau hanya satu sebutannya Inferius, kalau banyak Inferi. Tubuh-tubuh orang meninggal yang telah disihir untuk melakukan perintah-perintah penyihir hitam. Meskipun demikian, Inferi sudah lama sekali tidak terlihat, sejak Voldemort kehilangan kekuasaannya ... dia membunuh cukup banyak orang untuk membuat pasukan Inferi, tentu saja. Ini tempatnya, Harry, di sini ... " Mereka mendekati sebuah rumah kecil dari batu dengan halaman tersendiri. Harry terlalu sibuk mencerna informasi mengerikan tentang Inferi sampai tak memperhatikan hal lain, namun ketika mereka tiba di pintu pagar, Dumbledore mendadak berhenti dan Harry menabraknya. "Astaga. Astaga, astaga, astaga." Harry mengikuti pandangannya melewati jalan setapak yang terawat dan hatinya mencelos. Pintu depan menggantung pada engselnya. Dumbledore memandang ke kanan-kiri jalan. Jalan itu tampak kosong. "Keluarkan tongkat dan ikuti aku, Harry," katanya pelan. Dia membuka pintu pagar dan melangkah gesit dalam diam di jalan setapak, Harry di belakangnya, kemudian mendorong pintu depan dengan sangat pelan, tongkat sihirnya terangkat dan dalam posisi siap. "Lumos." Ujung tongkat sihir Dumbledore menyala, menyinari ruang depan yang sempit. Di sebelah kiri ada pintu lain yang terbuka. Mengangkat tongkat sihirnya yang menyala tinggi-tinggi, Dumbledore berjalan ke dalam ruang duduk, diikuti oleh Harry. Kehancuran total menyambut mereka. Sebuah jam besar terserak hancur di kaki mereka, kacanya retak, pendulumnya tergeletak sedikit lebih jauh, seperti pedang yang terjatuh. Sebuah piano terguling miring, tutsnya bertebaran di lantai. Serpihan kandelar yang terjatuh berkilauan di dekatnya. Bantal-bantal kursi bergeletakan, kempis, bulu-bulu angsanya keluar dari robekannya; pecahan-pecahan gelas dan porselen bertebaran di mana-mana. Dumbledore mengangkat tongkat sihirnya lebih tinggi lagi, sehingga cahayanya menerangi dinding, yang Kertas amamgnya berbercak-bercak sesuatu berwarna merah darah dan lengket. Tarikan napas pendek Harry membuat Dumbledore memandang berkeliling. "Tidak indah, ya," katanya berat. "Ya, sesuatu yang mengerikan telah terjadi di sini." Dumbledore bergerak dengan hati-hati ke tengah ruangan, mengawasi kehancuran di kakinya. Harry mengikutinya, memandang berkeliling, setengah-takut akan apa yang mungkin dilihatnya di belakang piano yang terguling atau sofa yang terbalik, namun tak tampak ada tubuh. "Mungkin tadi ada perkelahian dan - dan mereka menyeret tubuhnya, Profesor?" Harry mengeluarkan pendapat, berusaha tak membayangkan seberapa parahnya luka orang itu sampai bisa meninggalkan bercak-bercak sebanyak itu di ketinggian separo dinding. "Kurasa tidak," kata Dumbledore pelan, mengintip ke belakang kursi berlengan yang bantalannya tebal sekali, yang terguling miring. "Maksud Anda dia-?" "Masih ada di sekitar sini? Ya." Dan tanpa disangka-sangka Dwumbledore menyambar, menusukkan ujung tongkat sihirnya, ke bantalan tempat duduk kursi berlengan, yang menjerit, "Ouch!" "Selamat malam, Horace," kata Dumbledore, meluruskan diri lagi. Mulut Harry ternganga. Di tempat yang sedetik sebelumnya tergeletak kursi berlengan, sekarang berjongkok seorang pria tua luar biasa gemuk yang sedang mengusap-usap bagian bawah perutnya dan matanya yang berair menyipit memandang Dumbledore dengan kesakitan. "Tak perlu menusukkan tongkat sekeras itu," katanya pedas, seraya berusaha bangun. "Sakit, tahu." Cahaya tongkat sihir berkilau menyinari kepalanya yang botak, matanya yang menonjol, kumis besarnya yang keperakan dan besar seperti kumis beruang laut, dan kancing-kancing yang digosok berkilat pada jaket beludru merah tua yang dipakainya di atas celana piama sutra berwarna ungu muda. Puncak kepalanya hanya mencapai dagu Dumbledore. "Apa yang membuat ketahuan?" gerutunya seraya terhuyung bangun, masih mengusap-usap bagian bawah perutnya. Dia tampak sama sekali tak malu, padahal baru saja ketahuan menyamar jadi kursi berlengan. "Kawanku Horace," kata Dumbledore, tampak geli, "jika para - Pelahap Maut betul-betul datang, Tanda Kegelapan akan dipasang di atas rumah." Si penyihir menepukkan tangan gemuk ke dahinya yang lebar. "Tanda Kegelapan," gumamnya. "Aku tahu ada yang kurang ... ah, sudahlah. Toh tak akan sempat. Aku baru saja menyelesaikan sentuhan akhir pada kain pelapis ketika kalian masuk." Dia menghela napas panjang yang membuat ujung-ujung kumisnya bergetar. "Kau mau kubantu membereskannya?" tanya Dumbledore sopan. "Silakan," kata yang lain. Mereka berdiri beradu punggung, si penyihir jangkung, kurus dan si penyihir pendek gemuk, dan menggerakkan tongkat sihir mereka dalam gerakan sapuan yang identik. Perabot-perabot kembali ke tempatnya semula; hiasan-hiasan utuh kembali di udara; bulu-bulu meluncur masuk ke dalam bantal kursi masing-masing; buku-buku robek memperbaiki diri seraya mendarat di raknya; lampu minyak melayang ke meja-meja kecil dan menyala lagi; onggokan serpihan pigura perak terbang berkilauan ke seberang ruangan dan mendarat, utuh dan mulus, di atas sebuah meja; robekan, belahan, dan lubang-lubang di mana-mana menutup kembali; dan dinding-dinding membersihkan diri sendiri. "Jenis darah apa itu?" tanya Dumbledore keras mengatasi dentang lonceng jam besar yang baru saja utuh dan berdiri tegak di lantai. "Di dinding? Naga," teriak si penyihir yang bernama Horace, ketika, dengan bunyi kertak dan dentang memekakkan telinga, kandelar menyekrup diri kembali ke langit-langit. Paling akhir terdengar bunyi plang dari piano, kemudian sunyi. "Ya, naga," ulang si penyihir. "Botol terakhir, mana harga-harga sekarang sedang meroket. Tapi masih bisa digunakan lagi." Dia berjalan ke arah sebuah botol kristal kecil di atas bufet dan mengangkatnya menghadap lampu, memeriksa cairan kental di dalamnya. "Hem. Agak berdebu." Diletakkannya kembali botol itu di atas bufet dan dia menghela napas. Saat itulah pandangannya jatuh ke Harry. "Oho," katanya, matanya yang besar dan bundar melayang ke dahi Harry dan bekas lukanya yang berbentuk sambaran petir. "Oho!" "Ini," kata Dumbledore, maju untuk memperkenalkan, "Harry Potter. Harry, ini teman lama dan mantan rekan guruku, Horace Slughorn." Slughorn menoleh ke Dumbledore, ekspresinya paham. "Jadi, begitulah kaupikir kau akan membujukku ya? Nah, jawabannya tidak, Albus." Dia melewati Harry, wajahnya sengaja dipalingkannya dengan sikap seperti orang yang berusaha menahan godaan. "Kurasa paling tidak kita bisa minum?" tanya Dumbledore. "Demi masa lalu?" Slughorn ragu-ragu. "Baiklah, segelas saja," katanya kurang sopan. Dumbledore tersenyum kepada Harry dan memberinya isyarat agar duduk di kursi yang tidak berbeda dari yang baru saja jadi samaran Slughorn, yang berdiri tepat di sebelah perapian yang baru menyala lagi dan lampu minyak yang bersinar terang. Harry duduk dengan kesan kuat bahwa Dumbledore, entah kenapa, ingin membuatnya kelihatan sejelas mungkin. Tentu saja ketika Slughorn, yang tadinya sibuk menyiapkan karaf anggur dan gelas-gelas, berbalik menghadap ruangan lagi, matanya langsung menatap Harry. "Humph," katanya, cepat-cepat berpaling seakan takut matanya terluka. "Ini ..." Dia memberikan minuman kepada Dumbledore, yang telah duduk tanpa dipersilakan, menyorongkan nampan ke Harry, dan kemudian duduk di sofa yang baru diperbaiki dengan diam dan wajah tak puas. Kakinya pendek sekali sehingga tidak menyentuh lantai. "Jadi, bagaimana keadaanmu selama ini, Horace?" Dumbledore bertanya. "Tak begitu baik," kata Slughorn segera. "Dada lemah. Sesak napas. Rematik juga. Tak bisa lagi bergerak seperti dulu. Yah, mau apa lagi. Usia tua. Kelelahan." "Tapi kau pasti bergerak cukup cepat untuk menyiapkan sambutan begitu rupa untuk kami dalam waktu sesingkat itu," kata Dumbledore. "Kau paling hanya punya waktu tak lebih dari tiga menit?" Slughorn berkata, setengah-jengkel, setengah-bangga, "Dua menit." Tidak dengar Mantra Penolak Gangguanku berbunyi, aku sedang mandi. "Tetap saja," dia menambahkan tegas, tampaknya sudah menguasai diri lagi, "faktanya aku sudah tua, Albus. Laki-laki tua dan lelah yang berhak Dia mengangkat bahu dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, seakan mau berkata bahwa usia tua ada keuntungannya, dan Harry melihat sebentuk cincin pada tangannya yang sehat, yang belum pernah dilihatnya dipakai Dumbledore. Cincin itu besar, buatannya kurang halus, kelihatannya dari emas, dengan hiasan batu berat hitam yang telah retak di tengahnya. Mata Slughorn selama beberapa saat menatap cincin itu juga, dan Harry melihat kernyit kecil sejenak menghiasi dahinya yang lebar. "Jadi, segala langkah pengamanan terhadap pengganggu, Horace ... apakah semua itu untuk Pelahap Maut, atau untukku?" tanya Dumbledore. menikmati hidup tenang dan beberapa barang yang memberi kenikmatan badaniah." Dia memiliki semua itu, pikir Harry, memandang berkeliling ruangan. Memang sesak dan banyak barangnya, tapi tak bisa dikatakan tidak nyaman; ada kursi-kursi empuk dan bangku tumpuan kaki, minuman dan buku-buku, berkotak-kotak cokelat dan bantal-bantal empuk. Jika Harry tak tahu siapa yang tinggal di sana, dia akan menerka penghuni rumah itu seorang wanita tua kaya yang cerewet. "Kau belum setua aku, Horace," kata Dumbledore. "Mungkin kau sendiri perlu memikirkan soal pensiun," timpal Slughorn terus terang. Matanya yang pucat dan seperti gooseberry telah melihat tangan Dumbledore yang terluka. "Reaksi tidak secepat dulu, rupanya." "Kau benar," kata Dumbledore tenang, menggoyang lengan jubahnya ke belakang, memperlihatkan ujung jari-jarinya yang hitam terbakar. Pemandangan itu membuat bulu tengkuk Harry meremang. "Aku jelas bergerak lebih lambat daripada dulu. Tetapi sebaliknya ... " "Apa yang diinginkan Pelahap Maut dari orang tua yang tak berdaya seperti aku?" tuntut Slughorn. "Kubayangkan mereka akan menginginkan kau menggunakan bakatmu yang banyak untuk kekerasan, siksaan, dan pembunuhan," kata Dumbledore. "Apakah kau mau mengatakan mereka belum datang untuk merekrutmu?" Slughorn menatap jengkel Dumbledore sesaat, kemudian bergumam, "Aku tak memberi mereka kesempatan. Aku pindah-pindah terus selama setahun ini. Tak pernah tinggal di suatu tempat lebih dari seminggu. Pindah dari rumah Muggle yang satu ke rumah Muggle yang lain pemilik rumah ini sedang berlibur di Kepulauan Canary. Menyenangkan sekali, aku akan menyesal meninggalkannya. Cukup gampang kalau kau tahu bagaimana menggunakan Mantra Pembeku pada alarm tanda bahaya absurd yang mereka gunakan alih-alih Teropong-Curiga dan memastikan para tetangga tidak melihatmu memasukkan piano." "Banyak akal," kata Dumbledore. "Tapi kedengarannya agak melelahkan bagi orang tua tak berdaya yang mendambakan kehidupan tenang. Nah, seandainya kau kembali ke Hogwarts-" "Kalau kau akan bilang hidupku akan lebih tenang di sekolah yang banyak masalahnya itu, jangan buang-buang tenaga, Albus! Aku boleh saja dalam persembunyian, tetapi desas-desus aneh telah kudengar sejak Dolores Umbridge pergi! Jika begitu caramu memperlakukan para guru sekarang ini-" "Profesor Umbridge mendapat masalah dengan kawanan centaurus kita," kata Dumbledore. "Kurasa kau, Horace, tak akan masuk ke dalam Hutan dan menyebut sekelompok centaurus yang marah 'keturunan campuran kotor'." "Itukah yang dilakukannya?" kata Slughorn. "Perempuan idiot. Aku tak pernah suka padanya." Harry tertawa tertahan dan baik Dumbledore maupun Slughorn menoleh menatapnya. "Aneh ya, hal seperti itu kadang-kadang terjadi," kata Slughorn. "Tidak aneh," kata Harry dingin. Slughorn memandangnya keheranan. "Pasti kau mengira aku berprasangka!" katanya. "Tidakz, tidak, tidak! Bukankah sudah kukatakan ibumu salah satu muridku yang paling kufavoriti? Dan ada Dirk Cresswell di tahun sesudah ibumu-sekarang Kepala Kantor Hubungan Goblin - dia juga kelahiran Muggle, murid yang sangat berbakat, dan masih memberiku informasi orang dalam tentang apa yang terjadi di Gringotts!" Dia melompat-lompat sedikit, tersenyum berpuas diri, dan menunjuk ke banyak pigura foto berkilat di atas lemari hias, masing-masing isinya bergerak-gerak. "Semua mantan murid, semua ditandatangani. Kaulihat itu, Barnabas Cuffe, editor Daily Prophet, dia selalu tertarik mendengar komentarku tentang berita yang ditampilkan. Dan Ambrosius Flume, pemilik Honeydwukes - selalu kirim sekeranjang permen setiap ulang tahunku, hanya karena aku yang memperkenalkannya kepada Ciceron Harkziss, yang memberinya pekerjaannya yang pertama! Dan di belakang itukau bisa melihatnya kalau kau menjulurkan lehermuperempuan itu Gwenog Jones, kapten Holyhead Harpies tentu ... orang heran mendengar aku saling panggil nama depan dengan para Harpies, dan mendapat tiket gratis kapan saja aku menginginkannya!" Pikiran ini tampak membuatnya sangat senang. "Dan semua orang ini tahu di mana menemukan Anda, untuk mengirimi Anda macam-macam?" tanya Harry, yang mau tak mau bertanya-tanya dalam hati kenapa para Pelahap Maut belum berhasil melacak Slughorn jika sekeranjang permen, tiket Quidditch, dan para tamu yang mendambakan nasihat dan pendapatnya bisa menemukannya. Senyum menghilang dari wajah Slughorn secepat darah menghilang dari dindingnya. "Tentu saja tidak," katanya, menunduk menatap Harry. "Aku sudah putus hubungan dengan, semua orang selama setahun." Harry mendapat kesan kata-kata itu mengejutkan Slughorn sendiri; dia tampak terguncang sesaat. Kemudian dia mengangkat bahu. "Apa boleh buat ... penyihir bijaksana harus berhati-hati dalam situasi seperti ini. Gampang saja Dumbledore bicara, tapi menjadi guru di Hogwarts sekarang ini sama saja dengan menyatakan secara terbuka bahwa aku berpihak kepada Orde Phoenix! Dan walaupun aku yakin mereka sangat mengagumkan dan pemberani dan segalanya yang baik-baik, secara pribadi aku tidak suka akan tingginya tingkat kematiannya." "Anda tidak harus bergabung dengan Orde untuk mengajar di Hogwarts," kata Harry, yang tak bisa mencegah nada mencemooh dalam suaranya. Sulit bersimpati dengan kehidupan nyaman Slughorn jika dia teringat Sirius, meringkuk dalam gua, dan hidup dengan makan tikus. "Sebagian besar guru bukan anggota Orde dan tak seorang pun dari mereka terbunuh-yah, kecuali kalau Anda memperhitungkan Quirrell, dan dia layak menerima kematiannya mengingat dia bekerjasama dengan Voldemort." Dumbledore bangkit agak mendadak "Kau sudah mau pergi?" tanya Slughorn segera, penuh harap. "Belum, aku minta izin menggunakan kamar mandimu," kata Dumbledore. "Oh," kata Slughorn, tampak jelas kecewa. "Pintu kedua di sebelah kiri di aula itu." Dumbledore menyeberangi ruangan. Begitu pintu tertutup di belakangnya, suasana jadi sunyi. Selewat beberapa saat Slughorn bangkit berdiri, namun tampak tak yakin mau melakukari apa. Dia melirik Harry secara sembunyi-sembunyi, kemudian berjalan ke perapian dan berdiri membelakanginya, menghangatkan bagian belakang tubuhnya yang lebar. "Jangan dikira aku tak tahu kenapa dia mengajakmu," katanya mendadak. Harry hanya menatap Slughorn. Mata Slughorn yang berair melewati bekas luka Harry, kali ini menandang sisa wajahnya. "Kau mirip sekali ayahmu." "Yah, banyak yang bilang begitu," kata Harry. "Kecuali matamu. Matamu seperti-" "Mata ibu saya, yeah." Harry sudah mendengarnya kelewat sering sampai dia bosan. "Humph. Ya. Sebagai guru kita tidak boleh punya favorit, tentu saja, tapi dia salah satu murid favoritku. Ibumu," Slughorn menambahkan, menjawab pandanganya Harry. "Lily Evans. Salah satu yang terpintar yang pernah kuajar. Periang, kau tahu. Gadis yang sangat menarik. Berkali-kali kukatakan kepadanya, dia seharusnya di asramaku. Jawaban yang kudapat biasanya sangat kurang ajar." "Yang mana asrama Anda?" "Aku Kepala Asrama Slytherin," kata Slughorn. "Oh, sudahlah," dia meneruskan buru-buru, melihat ekspresi di wajah Harry dan menggoyangkan jari gemuk pendek ke arahnya, "jangan menyalahkanku karena itu! Kau Gryffindor seperti dia, kukira? Ya, biasanya menurun dalam keluarga. Tapi tidak selalu. Pernah dengar tentang Sirius Black? Pastilah beberapa tahun belakangan ini dia muncul di koran-koran meninggal beberapa minggu lalu-" Rasanya ada tangan tak kelihatan membetot isi perut Harry dan mencengkeramnya kuat-kuat. "Nah, dia sobat ayahmu di sekolah. Seluruh keluarga Black masuk asramaku, tapi Sirius masuk Gryffindor! Sayang dia anak berbakat. Aku mendapatkan Regulus, adiknya, ketika dia masuk Hogwarts, tapi aku akan lebih senang mendapatkan keduanya." Dia kedengaran seperti kolektor antusias yang kalah dalam lelang. Tampak tenggelam dalam kenangan, dia memandang dinding di seberangnya, bergerak-gerak di tempat untuk memastikan seluruh punggungnya kebagian panas yang merata. "Ibumu kelahiran Muggle, memang. Aku tak percaya ketika baru tahu. Kukira dia berdarah-murni, dia pintar sekali." "Salah seorang sahabat saya kelahiran-Muggle," kata Harry, "dan dia yang paling pintar dalam angkatan kami." "Aneh ya, hal seperti itu kadang-kadang terjadi," kata Slughorn. "Tidak aneh," kata Harry dingin. Slughorn memandangnya keheranan. "Pasti kau mengira aku berprasangka!" katanya. "Tidak, tidak, tidak! Bukankah sudah kukatakan ibumu salah satu muridku yang paling kufavoriti? Dan ada Dirk Cresswell di tahun sesudah ibumu sekarang Kepala Kantor Hubungan Goblin dia juga kelahiran Muggle, murid yang sangat berbakat, dan masih memberiku informasi orang dalam tentang apa yang terjadi di Gringotts!" Dia melompat-lompat sedikit, tersenyum berpuas diri, dan menunjuk ke banyak pigura foto berkilat di atas lemari hias, masing-masing isinya bergerak-gerak. "Semua mantan murid, semua ditandatangani. Kaulihat itu, Barnabas Cuffe, editor Daily Prophet, dia selalu tertarik mendengar komentarku tentang berita yang ditampilkan. Dan Ambrosius Flume, pemilik Honeydukes selalu kirim sekeranjang permen setiap ulang tahunku, hanya karena aku yang memperkenalkannya kepada Ciceron Harkiss, yang memberinya pekerjaannya yang pertama! Dan di belakang itu kau bisa melihatnya kalau kau menjulurkan lehermu perempuan itu Gwenog Jones, kapten Holyhead Harpies tentu ... orang heran mendengar aku saling panggil nama depan dengan para Harpies, dan mendapat tiket gratis kapan saja aku menginginkannya!" Pikiran ini tampak membuatnya sangat senang. "Dan semua orang ini tahu di mana menemukan Anda, untuk mengirimi Anda macam-macam?" tanya Harry, yang mau tak mau bertanya-tanya dalam hati kenapa para Pelahap Maut belum berhasil melacak Slughorn jika sekeranjang permen, tiket Quidditch, dan para tamu yang mendambakan nasihat dan pendapatnya bisa menemukannya. Senyum menghilang dari wajah Slughorn secepat darah menghilang dari dindingnya. "Tentu saja tidak," katanya, menunduk menatap Harry. "Aku sudah putus hubungan dengan semua orang selama setahun." Harry mendapat kesan kata-kata itu mengejutkan Slughorn sendiri; dia tampak terguncang sesaat. Kemudian dia mengangkat bahu. "Apa boleh buat ... penyihir bijaksana harus berhati-hati dalam situasi seperti ini. Gampang saja Dumbledore bicara, tapi menjadi guru di Hogwarts sekarang ini sama saja dengan menyatakan secara terbuka bahwa aku berpihak kepada. Orde Phoenix! Dan walaupun aku yakin mereka sangat mengagumkan dan pemberani dan segalanya yang baik-baik, secara pribadi aku tidak suka akan tingginya tingkat kematiannya." "Anda tidak harus bergabung dengan Orde untuk mengajar di Hogwarts," kata Harry, yang tak bisa mencegah nada mencemooh dalam suaranya. Sulit bersimpati dengan kehidupan nyaman Slughorn jika dia teringat Sirius, meringkuk dalam gua, dan hidup dengan makan tikus. "Sebagian besar guru bukan anggota Orde dan tak seorang pun dari mereka terbunuh yah, kecuali kalau Anda memperhitungkan Quirrell, dan dia layak menerima kematiannya mengingat dia bekerjasama dengan Voldemort." Harry yakin Slughorn termasuk penyihir yang tak tahan mendengar nama Voldemort disebut, dan dia tidak dikecewakan. Slughorn bergidik dan menguak memprotes, yang diabaikan Harry. "Saya kira staf Hogwarts lebih aman daripada kebanyakan orang lain karena Dumbledore adalah kepala sekolahnya; bukankah beliau satu-satunya yang ditakuti Voldemort?" Harry melanjutkan. Slughorn menatap kosong selama beberapa saat; tampaknya dia memikirkan kata-kata Harry. "Ya, memang benar bahwa Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut tidak pernah mencari perkara dengan Dumbledore," gumamnya enggan. "Dan kurasa orang tak bisa membantah bahwa karena aku tidak bergabung menjadi Pelahap Maut, Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut tak bisa menganggapku teman ... Dalam hal ini, aku mungkin lebih aman kalau sedikit lebih dekat dengan Albus ... Aku tak bisa berpurapura bahwa kematian Amelia Bones tidak membuatku terguncang ... kalau dia, dengan kontak-kontak dan perlindungan dari Kementerian " Dumbledore kembali memasuki ruangan dan Slughorn terlonjak, seakan dia lupa Dumbledore ada di rumah itu. "Oh, kau, Albus," katanya. "Kau lama sekali. Sakit perut?" "Tidak, aku cuma membaca majalah-majalah Muggle," kata Dumbledore. "Aku suka sekali motif-motif rajutan. Nah, Harry, kita telah menyalahgunakan keramahan Horace cukup lama, kurasa sudah waktunya kita pulang." Sama sekali tak segan mematuhi ajakan ini, Harry langsung melompat berdiri. Slughorn tampak terkejut. "Kalian mau pulang?" "Ya, betul. Kurasa aku tahu kalau aku kalah." "Kalah ...?" Slughorn tampak gelisah. Dia memutar-mutar ibu jari tangannya yang gemuk dan resah ketika Dumbledore mengancingkan mantel bepergiannya dan Harry menarik ritsleting jaketnya. "Yah, sayang kau tidak menginginkan pekerjaan itu, Horace," kata Dumbledore, mengangkat tangannya yang tak terluka memberi salut selamat tinggal. "Hogwarts akan senang sekali melihatmu kembali. Walaupun tingkat keamanan Hogwarts sangat diperketat, kau selalu boleh datang berkunjung, kalau kau mau." "Ya ... kau ... baik sekali ..." "Selamat tinggal, kalau begitu." "Bye," kata Harry. Mereka baru tiba di pintu depan ketika terdengar teriakan dari belakang mereka. "Baik, baik, aku mau!" Dumbledore menoleh dan melihat Slughorn berdiri menahan napas di pintu ruang duduk. "Kau bersedia meninggalkan pensiunmu?" "Ya, ya," kata Slughorn tak sabar. "Aku pasti sinting, tapi ya." "Bagus sekali," kata Dumbledore berseri-seri. "Kalau begitu, Horace, kita akan bertemu lagi pada tanggal satu September." "Ya, kita pasti bertemu lagi," gerutu Slughorn. Ketika mereka sedang berada di jalan setapak, suara Slughorn mengejar mereka. "Aku minta kenaikan gaji, Dumbledore!" Dumbledore tertawa kecil. Pintu pagar menutup di belakang mereka dan mereka menuruni bukit menembus kabut gelap yang melayang-layang. "Bagus sekali, Harry," kata Dumbledore. "Saya tidak melakukan apa-apa," Harry keheranan. "Oh ya, kau melakukan sesuatu. Kau menunjukkan kepada Horace betapa banyak keuntungan yang diperolehnya dengan kembali ke Hogwarts. Kau menyukainya?" "Er ... " Harry tak yakin apakah dia menyukai Slughorn atau tidak. Menurutnya Slughorn cukup menyenangkan, tapi dia tampaknya juga sok dan kendatipun mengatakan sebaliknya, kelewat heran bahwa orang kelahiran-Muggle bisa jadi penyihir hebat. "Horace," kata Dumbledore, membebaskan Harry dari tugas menyebutkan semua itu, "senang hidup nyaman. Dia juga senang berada bersama para penyihir terkenal, sukses, dan berkuasa. Dia menikmati perasaan bahwa dia memengaruhi orang-orang ini. Dia sendiri tak pernah ingin duduk di tahta; dia memilih duduk di kursi belakang lebih banyak ruang untuk melebarkan sayap, soalnya. Dia dulu selalu punya murid favorit di Hogwarts, kadang karena ambisi atau otak mereka, kadang karena pesona atau bakat mereka, dan dia punya kecakapan luar bias, untuk memilih mereka yang nantinya akan menonjol dalam berbagai bidang mereka. Horace membentuk semacam klub bagi para murid favoritnya, dengan dia sendiri di pusatnya, saling memperkenalkan mereka, menjalin kontak berguna di antara para anggotanya, dan selalu menuai keuntungan sebagai imbalannya, entah sekotak gratis permen nanas favoritnya atau kesempatan untuk merekomendasikan anggota yunior berikutnya ke Kantor Hubungan Goblin." Di benak Harry mendadak tergambar jelas seekor labah-labah besar gemuk, merajut jaring di sekitarnya, menarik benang di sana-sini untuk menarik lalat gemuk dan segar sedikit lebih dekat. "Semua ini kuceritakan kepadamu," Dumbledore melanjutkan, "bukan agar kau tidak menyukai Horace atau seperti sepantasnya kita sekarang memanggilnya, Profesor Slughorn tetapi untuk membuatmu waspada. Tak diragukan lagi dia akan berusaha mengoleksimu, Harry. Kau akan menjadi permata koleksinya: Anak yang Bertahan Hidup ... atau, seperti panggilan mereka untukmu sekarang, Sang Terpilih." Mendengar kata-kata ini, rasa dingin yang tak ada hubungannya dengan kabut di sekitar mereka, menjalari Harry. Dia jadi ingat kata-kata yang didengarnya beberapa minggu yang lalu, kata-kata yang punya makna khusus dan mengerikan baginya. Yang satu tak bisa hidup sementara yang lain bertahan... Dumbledore telah berhenti berjalan, di depan gereja yang tadi mereka lewati. Di sini cukup, Harry. Silakan pegang lenganku." Kali ini Harry sudah siap ber-Apparate, namun tetap saja merasa tak nyaman. Ketika tekanan menghilang dan dia sudah bisa bernapas lagi, dia berdiri di sebuah jalan pedesaan di sebelah Dumbledore dan memandang ke siluet miring bangunan favoritnya nomor dua di dunia: The Burrow. Kendati perasaan takut baru saja melandanya, semangatnya mau tak mau bangkit melihat rumah itu. Ron ada di situ dan juga Mrs Weasley, yang bisa memasak lebih lezat daripada siapa pun yang dikenalnya ... "Kalau kau tak keberatan, Harry," kata Dumbledore, ketika mereka melewati pintu pagar, "aku mau bicara denganmu sebelum kita berpisah. Berdua saja. Mungkin di dalam situ?" Dumbledore menunjuk bangunan batu tak terpelihara yang sebetulnya kakus di luar rumah, tapi kini digunakan keluarga Weasley untuk menyimpan sapu mereka. Agak bingung, Harry mengikuti Dumbledore melewati pintunya yang berderit, masuk ke dalam ruangan yang sedikit lebih kecil dari ukuran lemari rata-rata. Dumbledore menyalakan ujung tongkat sihirnya, sehingga menyala seperti obor, dan menunduk tersenyum kepada Harry. "Kuharap kau mau memaafkan aku menyebut-nyebut ini, Harry, tapi aku senang dan sedikit bangga melihat betapa baiknya kau menanggulangi segala yang telah terjadi di Kementerian. Izinkan aku mengatakan bahwa kurasa Sirius akan bangga terhadapmu." Harry menelan ludah; suaranya tampaknya telah meninggalkannya. Dia merasa tak akan tahan membicarakan Sirius. Tadi hatinya pedih sekali mendengar Vernon berkata, "Walinya mati?" lebih pedih lagi mendengar nama Sirius disebut sambil lalu oleh Slughorn. "Sungguh kejam," kata Dumbledore pelan, "bahwa kau dan Sirius hanya bisa bersama dalam waktu amat singkat. Akhir brutal bagi apa yang seharusnya menjadi hubungan yang lama dan bahagia." Harry mengangguk, matanya sengaja menatap labah-labah yang sekarang merayap naik di topi Dumbledore. Bisa dilihatnya bahwa Dumbledore mengerti, dia bahkan mungkin menduga bahwa sampai suratnya tiba Harry telah melewatkan hampir sepanjang waktunya di rumah keluarga Dursley dengan berbaring di tempat tidur, menolak makan, dan memandang hampa jendela berkabut, dipenuhi kekosongan dingin yang diasosiasikannya dengan Dementor. "Berat sekali," kata Harry akhirnya, dengan suara pelan, "menyadari bahwa dia tak akan menulis kepada saya lagi." Matanya mendadak panas dan dia mengedip. Dia merasa bodoh mengakuinya, namun fakta bahwa dia punya seseorang di luar Hogwarts yang peduli apa yang terjadi atasnya, hampir seperti orangtua, adalah salah satu hal terbaik dengan ditemukannya walinya ... dan sekarang pos burung hantu tidak akan pernah membawakannya kenyamanan itu lagi ... "Sirius bagimu mewakili banyak hal yang tak pernah kaumiliki sebelumnya," kata Dumbledore lembut. "Wajar kalau kehilangan dia menjadi pukulan sangat berat bagimu." "Tapi ketika saya di rumah keluarga Dursley," Harry menyela, suaranya semalan kuat, " saya menyadari saya tak bisa mengurung diri, kalau tidak saya bisa hancur. Sirius pasti tak menghendaki itu terjadi, kan? Lagi pula, hidup ini singkat lihat saja Madam Bones, lihat Emmeline Vance ... berikutnya bisa saja saya, kan? Tapi kalau memang saya," katanya mantap, sekarang menatap mata biru Dumbledore yang berkilau dalam cahaya tongkat, "saya akan memastikan membawa sebanyak mungkin Pelahap Maut, dan Voldemort juga kalau saya bisa." "Diucapkan seperti anak ibu dan ayahmu dan anak asuh sejati Sirius!" kata Dumbledore, sambil memberi belaian bangga di punggung Harry. "Aku angkat topi untukmu atau akan, kalau aku tidak takut menghujanimu dengan labah-labah. "Dan sekarang, Harry, topik yang masih sangat berhubungan ... kukira kau membaca Daily Prophet dua minggu belakangan ini?" "Ya," kata Harry, dan jantungnya berdebar lebih keras. "Kalau begitu kau tentu telah melihat bahwa tak ada sedikit pun kebocoran, apalagi banjir, informasi sehubungan dengan petualanganmu di Ruang Ramalan?" "Ya," kata Harry lagi. "Dan sekarang semua tahu bahwa saya-" "Tidak, mereka tidak tahu," sela Dumbledore. "Hanya ada dua orang di seluruh dunia ini yang tahu keseluruhan isi ramalan tentang kau dan Lord Voldemort, dan keduanya berdiri dalam kamar-sapu yang bau dan penuh labah-labah ini. Namun, memang betul banyak yang telah menebak, dengan benar, bahwa Voldemort mengirim para Pelahap Mautnya untuk mencuri ramalan, dan bahwa ramalan itu ada hubungannya denganmu." "Nah, kurasa aku benar kalau kukatakan kau belum memberitahu siapa pun yang kaukenal bahwa kau tahu apa yang dikatakan ramalan itu?" "Belum," kata Harry. "Keputusan yang bijaksana, secara keseluruhan," kata Dumbledore. "Meskipun menurutku kau harusnya lebih santai terhadap sahabatmu, Mr Ronald Weasley dan Miss Hermione Granger. Ya," dia melanjutkan ketika Harry tampak terkejut, "kurasa mereka berhak tahu. Kau tidak adil terhadap mereka jika mereka tidak diberitahu hal yang sepenting ini." "Saya tak ingin-" "-membuat mereka cemas atau takut?" ujar Dumbledore, mengawasi Harry dari atas kacamata bulan separonya. "Atau mungkin, mengakui bahwa kau sendiri cemas dan takut? Kau membutuhkan sahabat-sahabatmu, Harry. Seperti yang dengan benar kaukatakan, Sirius tidak akan menginginkan kau menutup dirimu." Harry diam saja, namun Dumbledore tampaknya tidak mengharapkan jawaban. Dia melanjutkan, "Sekarang topik yang berbeda, walaupun masih ada hubungannya. Aku berharap kau belajar privat denganku tahun ini." "Privat dengan Anda?" Harry yang sedang asyik berpikir sampai kaget. "Ya, kurasa sudah waktunya aku turun tangan lebih banyak dalam pendidikanmu." "Apa yang akan Anda ajarkan kepada saya, Sir?" "Oh, sedikit ini, sedikit itu," kata Dumbledore ringan. Harry menunggu penuh harap, namun Dumbledore tidak menguraikannya, maka dia menanyakan hal lain yang agak mengganggunya. "Jika saya belajar dengan Anda, saya tak perlu belajar Occlumency dengan Snape, kan?" "Profesor Snape, Harry dan tidak, kau tidak akan belajar Occlumency lagi." "Bagus," kata Harry lega, "karena pelajaran itu-" Dia berhenti, berhati-hati tidak mengatakan apa yang sebetulnya dipikirkannya. "Kurasa kata 'gagal total' cocok di sini," kata Dumbledore, mengangguk. Harry tertawa. "Itu berarti saya tidak akan banyak bertemu Profesor Snape mulai sekarang," katanya, "karena dia tidak mengizinkan saya melanjutkan pelajaran Ramuan, kecuali saya mendapat nilai 'Outstanding' dalam OWL, yang saya rasa tidak." "Jangan menghitung anak ayam sebelum telurnya menetas," kata Dumbledore serius. "Ngomong-ngomong soal OWL, nilai kalian akan keluar siang nanti. Ada dua hal lagi, Harry, sebelum kita berpisah." "Yang pertama, aku ingin mulai sekarang kau selalu membawa Jubah Gaib-mu. Bahkan di dalam Hogwarts. Untuk berjaga-jaga, kau mengerti?" Harry menganguk. "Dan terakhir, selama kau tinggal di sini, The Burrow dilengkapi pengamanan paling tinggi yang bisa diberikan Kementerian. Tindakan ini menyebabkan beberapa ketidaknyamanan bagi Arthur dan Molly semua pos mereka, misalnya, diperiksa di Kementerian, sebelum diteruskan. Mereka sama sekali tidak keberatan, karena yang terpenting bagi mereka adalah keselamatanmu. Maka, sungguh kelewatan jika kau membalasnya dengan mempertaruhkan lehermu selama kau tinggal bersama mereka." "Saya mengerti," kata Harry buru-buru. "Baiklah kalau begitu," kata Dumbledore, mendorong terbuka pintu kamar-sapu dan melangkah ke halaman. "Aku melihat lampu di dapur. Jangan biarkan Molly kehilangan kesempatan lebih lama lagi untuk menyesali betapa kurusnya kau." 05. DAHAK YANG BERLEBIHAN Harry dan Dumbledore mendekati pintu belakang The Burrow, yang dikelilingi rongsokan yang biasa, sepatu-sepatu bot wellington dan kuali-kuali berkarat. Harry bisa mendengar dekut lembut ayam-ayam yang tidur dalam kandang yang agak jauh. Dumbledore mengetuk tiga kali dan Harry melihat gerakan mendadak di belakang jendela dapur. "Siapa itu?" kata suara cemas yang dikenalinya sebagai suara Mrs Weasley. "Nyatakan dirimu." "Ini aku, Dumbledore, mengantar Harry." Pintu langsung terbuka. Tampak Mrs Weasley, pendek, gemuk, dan memakai gaun rumah tua berwarna hijau. "Harry, Sayang! Astaga, Albus, kau membuatku ketakutan, kau bilang baru akan datang pagi!" "Kami beruntung," kata Dumbledore, mengantar Harry masuk. "Slughorn ternyata jauh lebih mudah dibujuk daripada yang kukira. Hasil kerja, Harry, tentu saja. Ah, halo, Nymphadora!" Harry menoleh dan melihat bahwa Mrs Weasley tidak sendirian, kendati saat itu sudah lewat larut malam. Seorang penyihir perempuan muda dengan wajah pucat berbentuk hati dan rambut cokelat-kelabu sedang duduk di depan meja makan, memegang cangkir besar di antara dua tangannya. "Halo, Profesor," katanya. "Hai, Harry." "Hai, Tonks." Harry berpikir Tonks tampak pucat, seperti sedang sakit, dan senyumnya seperti dipaksakan. Penampilannya memang tidak semeriah biasanya tanpa rambut palsunya yang berwarna merah muda cerah. "Aku sebaiknya pergi," kata Tonks buru-buru, seraya berdiri dan menarik mantel ke sekeliling bahunya. "Terima kasih atas teh dan simpatinya, Molly." "Jangan pulang gara-gara aku," kata Dumbledore sopan. "Aku tak bisa tinggal, ada beberapa masalah penting yang harus kubicarakan dengan Rufus Scrimgeour." "Tidak, tidak, aku harus pergi," kata Tonks, tanpa menatap mata Dumbledore. "Malam" "Sayang, kenapa tidak datang makan malam akhir pekan ini? Remus dan Mad-Eye datang" "Tidak bisa, Molly ... tapi terima kasih ... selamat malam, semua." Tonks bergegas melewati Dumbledore dan Harry menuju halaman; selewat beberapa langkah dari pintu dia berputar di tempat dan lenyap. Harry memperhatikan bahwa Mrs Weasley tampak prihatin. "Nah, kita ketemu lagi di Hogwarts, Harry," kata Dumbledore. "Jaga dirimu baik-baik. Molly, aku pamit." Dia membungkuk kepada Mrs Weasley dan menyusul Tonks, menghilang di tempat yang persis sama. Mrs Weasley menutup pintu setelah halaman kosong, kemudian memegang bahu Harry dan membawanya ke tempat yang disinari lampu di meja untuk memeriksanya. "Kau seperti Ron," dia menghela napas, mengamati Harry dari atas ke bawah. "Kalian berdua seperti kena Mantra Ulur. Aku yakin Ron sudah bertambah tinggi sepuluh senti sejak aku membelikannya jubah seragam sekolah. Kau lapar, Harry?" "Yeah," kata Harry, mendadak sadar betapa laparnya dia. "Duduklah, Nak, akan kusiapkan sesuatu." Setelah Harry duduk, seekor kucing berbulu lebat warna jingga dengan wajah penyok melompat naik ke pangkuannya dan diam di sana, mendengkur. "Jadi, Hermione di sini?" tanyanya riang seraya menggelitik Crookshanks di belakang telinganya. "Oh ya, dia tiba kemarin dulu," kata Mrs Weasley, mengetuk sebuah panci besi besar dengan tongkat sihirnya. Panci itu melompat ke atas kompor dengan dentang keras dan langsung menggelegak. "Semua di tempat tidur, tentu, kami mengira kau baru akan datang berjam-jam lagi. Ini, silakan" Diketuknya lagi panci di atas kompor. Panci itu terangkat ke udara, melayang menuju Harry dan memiringkan diri. Mrs Weasley dengan gesit menyorongkan mangkuk di bawahnya, tepat pada saat si panci menuangkan sup bawang yang kental dan berasap. "Roti, Nak?" "Terima kasih, Mrs Weasley." Mrs Weasley melambaikan tongkat sihirnya di atas bahunya; sebantal roti dan sebilah pisau melayang anggun ke atas meja. Sementara roti itu memotong sendiri dan panci sup bertengger kembali di atas kompor, Mrs Weasley duduk di seberang Harry. "Jadi, kau membujuk Horace Slughorn untuk menerima pekerjaan itu?" Harry mengangguk, mulutnya penuh sup panas sehingga dia tak bisa bicara. "Dia mengajar Arthur dan aku," kata Mrs Weasley. "Dia mengajar di Hogwarts selama bertahun-tahun, mulainya sekitar waktu yang sama dengan Dumbledore, kukira. Kau suka padanya?" Mulutnya sekarang penuh roti, Harry mengangkat bahu dan mengedikkan kepala, tak menyatakan pendapat. "Aku tahu apa maksudmu," kata Mrs Weasley, mengangguk bijaksana. "Tentu dia bisa menyenangkan kalau dia mau, tapi Arthur tak begitu suka padanya. Kementerian dipenuhi mantan murid-murid favorit Slughorn, dia memang pintar merriberi dukungan, tapi tak pernah punya banyak waktu dengan Arthur tak pernah berpikir Arthur cukup untuk kedudukan tinggi, Yah, itu cuma menunjukkan bahkan Slughorn bisa keliru. Aku tak tahu apakah Ron sudah memberitahumu di salah satu suratnya baru saja terjadi sihtapi Arthur baru saja naik pangkat!" Kentara sekali Mrs Weasley sudah tak sabar ingin menyampaikan ini. Harry menelan sesuap besar sup sangat panas dan bisa merasakan tenggorokannya langsung lecet. "Bagus sekali!" engahnya. "Kau baik sekali," kata Mrs Weasley berseri-seri, barangkali mengira mata Harry berair saking terharunya mendengar kabar itu. "Ya, Rufus Scrimgeour telah mendirikan beberapa kantor baru untuk menanggapi situasi sekarang ini, dan Arthur mengepalai Kantor Pendeteksian dan Penyitaan Mantra Pertahanan dan Benda Perlindungan Palsu. Ini pekerjaan besar, dia punya sepuluh anak buah yang melapor padanya sekarang!" "Apa persisnya?" "Begini, dalam segala kepanikan menghadapi Kau Tahu-Siapa, barang-barang aneh bermunculan dan dijual di mana-mana, barang-barang yang katanya bisa melindungimu dari Kau-Tahu-Siapa dan para Pelahap Maut. Kau bisa membayangkan barang-barang seperti apa - seperti yang disebut ramuan-pelindung yang sebetulnya hanyalah kuah daging dengan sedikit nanah Bubotubber, atau petunjuk-petunjuk mantra pertahanan yang sebetulnya malah membuat telingamu lepas ... yah, para pelakunya terutama adalah orang-orang seperti Mundungus Fletcher, yang seumur hidup tak pernah bekerja halal dan mengambil keuntungan mumpung semua orang sangat ketakutan, tapi dari waktu ke waktu ada barang yang benar-benar mengerikan. Kemarin dulu Arthur menyita satu kotak Teropong-Curiga yang sudah dikutuk yang dipasang oleh Pelahap Maut. Jadi, kaulihat, ini pekerjaan yang sangat penting, dan kukatakan padanya, bodoh kalau dia merasa kehilangan tak lagi menangani busi dan pemanggang roti dan barang-barang sampah Muggle lainnya," Mrs Weasley mengakhiri pidatonya dengan pandangan galak, seakan Harry-lah yang mengatakan wajar jika merasa kehilangan busi. "Apakah Mr Weasley masih bekerja?" Harry bertanya. "Ya, masih. Sesungguhnya, dia agak terlambat ... dia tadi bilang akan pulang sekitar tengah malam ... " Mrs Weasley menoleh memandang jam besar yang bertengger canggung di atas setumpuk seprai dalam keranjang cucian di ujung meja. Harry langsung mengenalinya. Jam itu memiliki sembilan jarum, masing-masing bertulisan nama seorang anggota keluarga, dan biasanya tergantung di dinding ruang duduk keluarga Weasley, meskipun keberadaannya saat ini menunjukkan bahwa Mrs Weasley sekarang membawanya ke mana-mana dalam rumah. Kesembilan jarumnya sekarang menunjuk ke bahaya maut. "Sudah beberapa waktu begitu," kata Mrs Weasley, dengan suara biasa yang tak meyakinkan, "sejak Kau Tahu-Siapa terang-terangan menyatakan diri kembali. Kurasa semua orang dalam bahaya maut sekarang ... kurasa tak hanya keluarga kami ... tapi aku tak kenal orang lain yang punya jam seperti ini, jadi aku tak bisa mengeceknya. Oh!" Mendadak dia menunjuk ke jam itu. Jarum Mr Weasley telah bergeser ke bepergian. "Dia datang!" Dan betul saja, sekejap kemudian pintu belakang diketuk. Mrs Weasley melompat dan bergegas ke pintu itu. Dengan satu tangan pada pegangan pintu dan wajah melekat pada daunnya dia bertanya pelan, "Arthur, kaukah itu?" "Ya," terdengar suara letih Mr Weasley. "Tapi aku juga akan bilang begitu seandainya aku Pelahap Maut, Sayang. Ajukan pertanyaannya!" "Oh, apa perlu ... " "Molly!" "Baiklah, baiklah ... apakah ambisimu yang paling besar?" "Mengetahui bagaimana caranya pesawat terbang bisa tetap di angkasa." Mrs Weasley mengangguk dan memutar pegangan pintu, namun rupanya Mr Weasley memeganginya erat-erat di sisi lainnya, karena pintu tetap tertutup rapat. "Molly! Aku harus mengajukan pertanyaanmu dulu!" "Astaga, Arthur, ini konyol ... " "Kau ingin aku memanggilmu apa kalau kita hanya berdua saja?" Bahkan dalam sinar temaram lentera Harry bisa melihat wajah Mrs Weasley menjadi merah padam; dia sendiri mendadak merasa hangat di sekitar telinga dan lehernya, dan buru-buru menelan sup, mendentangkan sendoknya sekeras mungkin ke mangkuk. "Mollywobbles," bisik Mrs Weasley yang sangat jengah ke celah di pinggir pintu. "Betul," kata Mr Weasley. "Sekarang kau boleh mengizinkan aku masuk." Mrs Weasley membuka pintu, dan tampaklah suaminya, seorang laki-laki kurus, berambut merah yang sudah mulai botak, memakai kacamata berbingkai tanduk dan mantel perjalanan panjang berdebu. "Aku tak mengerti kenapa kita harus melakukan itu setiap kali kau pulang," kata Mrs Weasley, wajahnya masih kemerahan, ketika dia membantu suaminya melepas mantelnya. "Maksudku, Pelahap Maut bisa saja memaksamu memberikan jawaban itu sebelum dia menyamar menjadi kau!" "Aku tahu, Sayang, tapi ini prosedur Kementerian dan aku harus memberi contoh. Baunya sedap-sup bawang?" Mr Weasley menoleh penuh harap ke arah meja. "Harry! Kami kira kau baru akan datang pagi hari!" Mereka berjabat tangan dan Mr Weasley menjatuhkan diri ke kursi di sebelah Harry, sementara Mrs Weasley menghidangkan semangkuk sup di hadapannya juga. "Terima kasih, Molly. Malam ini malam yang berat. Ada idiot yang mulai menjual Medali-Metamorfosis. Kalungkan ke lehermu dan kau bisa mengubah penampilan semaumu. Seratus ribu penyamaran, hanya sepuluh Galleon!" "Dan apa yang ternyata terjadi kalau kau memakainya?" "Paling banter kulitmu berubah jadi jingga jelek, tapi beberapa orang ditumbuhi kutil mirip tentakel di seluruh tubuh mereka. Kayak St Mungo masih kurang kerjaan saja!" "Kedengarannya seperti hal yang dianggap lucu oleh Fred dan George," kata Mrs Weasley ragu-ragu. "Kau yakin?" "Tentu saja!" kata Mr Weasley. "Anak-anak tidak akan melakukan hal seperti itu sekarang, tidak ketika orang-orang putus asa mencari perlindungan!" "Jadi, itukah sebabnya kau terlambat, Medali-Metamorfosis?" "Bukan, kami mendapat kisikan ada Jimat-Salah-Kaprah di Elephant and Castle, untungnya Pasukan Pelaksanaan Hukum Sihir sudah berhasil membereskannya ketika kami tiba di sana " Harry menyembunyikan kuap di balik tangannya. "Tidur," Mrs Weasley yang tak bisa dikelabui langsung menyuruh. "Sudah kusiapkan kamar Fred dan George untukmu, kau akan menempatinya sendirian." "Kenapa, di mana mereka?" "Oh, mereka di Diagon Alley, tidur di flat kecil di atas toko lelucon mereka karena mereka sibuk sekali," kata Mrs Weasley. "Harus kuakui awalnya aku tidak merestui, tapi mereka tampaknya memang punya sedikit bakat bisnis! Ayo Nak, kopermu sudah di atas sana." ""Mat tidur, Mr Weasley," kata Harry, mendorong ke belakang kursinya. Crookshanks melompat gesit dari atas pangkuannya dan menyelinap meninggalkan ruangan. "Selamat tidur, Harry," kata Mr Weasley. Harry melihat Mrs Weasley mengerling jam di keranjang cucian ketika mereka meninggalkan dapur. Semua jarumnya, sekali lagi, menunjuk ke bahaya maut. Kamar Fred dan George ada di lantai dua. Mrs yVeasley mengacungkan tongkat sihirnya ke lampu di meja kecil di sebelah tempat tidur dan lampu itu langsung menyala, menyiram kamar itu dengan sinar keemasan yang nyaman. Kendatipun satu vas besar bunga diletakkan di atas meja di depan jendela kecil, harum bunga-bunga itu tidak bisa menyamarkan sisa bau yang diduga Harry bau serbuk mesiu. Sebagian besar lantai ditempati kotak-kotak karton tanpa nama, tersegel, di antara kotak-kotak itu terletak koper Harry. Kamar itu tampaknya dipakai sebagai gudang sementara. Hedwig beruhu-uhu riang dari tempat hinggapnya di atas lemari pakaian besar, kemudian melayang keluar dari jendela. Harry tahu dia menunggu untuk melihatnya sebelum pergi berburu. Harry mengucapkan selamat tidur kepada Mrs Weasley, memakai piamanya dan naik ke salah satu tempat tidur. Ada sesuatu yang keras di dalam sarung bantal. Tangannya meraba mencari-cari dan menarik keluar permen lengket berwarna ungu dan jingga, yang dikenalinya sebagai Pastiles Pemuntah. Tersenyum sendiri, dia berguling dan langsung tertidur. Beberapa detik kemudian, atau begitu rasanya bagi Harry, dia terbangun oleh sesuatu yang kedengarannya seperti tembakan meriam ketika pintu menjeblak terbuka. Kaget sampai terduduk tegak, dia mendengar geseran gorden yang dibuka; cahaya matahari yang menyilaukan seakan menusuk keras kedua matanya. Melindungi kedua mata dengan satu tangan, dia meraba-raba tak berdaya mencari kacamatanya dengan tangan lainnya. "Ada apa sih?" "Kami tak tahu kau sudah di sini!" kata suara keras dan gembira, dan dia menerima pukulan keras di puncak kepalanya. "Ron, jangan pukul dia dong!" kata suara anak perempuan mencela. Tangan Harry menemukan kacamatanya dan dia memakainya, meskipun cahaya terlalu terang dia nyaris tak bisa melihat. Bayangan panjang tampak bergetar di depannya beberapa saat; dia mengerjapkan mata dan Ron Weasley muncul di fokus, menunduk tersenyum kepadanya. "Oke?" "Belum pernah sebaik ini," kata Harry, mengusap-usap puncak kepalanya dan merosot kembali di atas bantalnya. "Kau?" "Tidak buruk," kata Ron, menarik sebuah kotak dan duduk di atasnya. "Kapan kau sampai? Mum baru saja memberitahu kami." "Sekitar pukul satu pagi ini." "Apakah para Muggle baik-baik saja? Apakah mereka memperlakukan kau dengan oke?" "Sama seperti biasanya," kata Harry, sementara Hermione duduk di tepi tempat tidurnya. "Mereka tidak begitu banyak bicara denganku, tapi aku lebih suka begitu. Bagaimana kabarmu, Hermione?" "Oh, aku baik-baik saja," kata Hermione, yang sedang mengamati Harry seakan Harry menderita penyakit tertentu. Harry menduga dia tahu apa penyebabnya, dan karena dia tak ingin membicarakan kematian Sirius atau topik menyedihkan lain saat ini, dia berkata, "Jam berapa sekarang? Apa aku ketinggalan sarapan?" "Jangan khawatir soal itu, Mum akan mengantarkan sarapan untukmu. Dia berpendapat kau kurang makan," kata Ron, memutar matanya. "Jadi, ada kejadian apa saja nih?" "Tidak banyak, aku kan terkurung di rumah bibi dan pamanku." "Ayolah, ngaku saja!" kata Ron. "Kau kan baru keluar dengan Dumbledore!" "Tidak begitu seru. Dia cuma menginginkan aku membantunya membujuk guru tua untuk meninggalkan masa pensiunnya. Namanya Horace Slughorn." "Oh," kata Ron, tampak kecewa. "Kami kira ..." Hermione melempar pandang memperingatkan ke arah Ron dan Ron secepat kilat mengubah haluan. "kami kira sesuatu seperti itu." "Kalian kira begitu?" ujar Harry, geli. "Yeah ... yeah, setelah Umbridge pergi, jelas kita perlu guru baru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, kan? Jadi, er, orangnya seperti apa?" "Tampangnya agak mirip beruang laut dan dia dulunya Kepala Asrama Slytherin," kata Harry. "Ada yang tidak beres, Hermione?" Hermione mengamatinya seakan mengharap gejala-gejala aneh akan muncul setiap saat. Dia buru-buru mengubah ekspresi wajahnya menjadi senyum kurang meyakinkan. "Tidak, tentu saja tidak! Jadi, apakah kelihatannya Slughorn akan jadi guru yang baik?" "Entahlah," kata Harry. "Dia tak bisa lebih parah daripada Umbridge, kan?" "Aku tahu orang yang lebih parah daripada Umbridge," terdengar suara dari pintu. Adik bungsu Ron berjalan masuk dengan lesu, tampak kesal. "Hai, Harry." "Kenapa kau?" tanya Ron. "Dia tuh," kata Ginny, mengenyakkan diri di tempat tidur Harry. "Dia membuatku sebal." "Kenapa lagi dia?" tanya Hermione penuh simpati. "Caranya ngomong denganku itu lho kalian akan mengira umurku tiga tahun!" "Aku tahu," kata Hermione, merendahkan suaranya. "Dia menganggap dirinya penting sih." Harry tercengang mendengar Hermione bicara tentang Mrs Weasley seperti ini dan tak bisa menyalahkan Ron yang berkata berang, "Tidak bisakah kalian berdua tidak menjelek-jelekkannya lima detik saja?" "Oh, bagus, bela dia," bentak Ginny. "Kami semua tahu kau tak puas-puasnya memandangnya." Sungguh komentar aneh kalau itu untuk ibu Ron. Merasa ada yang tak diketahuinya, Harry berkata, "Siapa yang kalian?" Namun pertanyaannya sudah terjawab sebelum dia menyelesaikannya. Pintu kamar terbuka lagi dan Harry secara refleks menarik bedcover sampai ke dagunya, keras sekali sampai Hermione dan Ginny merosot dari tempat tidur ke lantai. Seorang gadis berdiri di pintu. Gadis yang kecantikannya luar biasa sehingga kamar rasanya jadi kehilangan udara. Dia jangkung dan langsing dengan rambut pirang panjang dan tampaknya memancarkan sinar lembut keperakan. Menyempurnakan penampilan ini, dia membawa nampan penuh sarapan. "Arry" katanya dengan suara serak-serak basah. "Sudah kelewat lama!" Ketika dia melangkahi ambang pintu menuju Harry, tampaklah Mrs Weasley berjalan di belakangnya, kelihatan agak jengkel. "Tak perlu membawa naik nampan itu, aku baru saja akan membawanya." "Tidak apa-apa," kata Fleur Delacour, meletakkan nampan itu di atas pangkuan Harry dan kemudian menunduk mengecupnya di pipi kanan dan kiri. Harry merasa tempat yang telah disentuh bibirnya terbakar. "Saya ingin bertemu dengannya. Kau ingat adikku, Gabrielle? Dia tak pernah berhenti bicara tentang 'Arry Potter'. Dia akan senang sekali bertemu kau lagi." "Oh ... dia di sini juga?" suara Harry parau. "Tidak, tidak, anak bodoh," kata Fleur dengan tawa merdu. "Maksudku musim panas tahun depan, kalau kami tapi tidakkah kau tahu?" Mata birunya yang besar melebar dan dengan pandangan mencela dia menatap Mrs Weasley, yang berkata, "Kami belum sempat memberitahunya." Fleur kembali memandang Harry, mengayunkan rambutnya yang keperakan sehingga mengenai wajah Mrs Weasley. "Bill dan aku akan menikah!" "Oh," kata Harry bego. Dia mau tak mau melihat bagaimana Mrs Weasley, Hermione, dan Ginny dengan sengaja saling mengalihkan pandang. "Wow. Er-selamat ya!" Fleur membungkuk dan mengecupnya lagi. "Bill sibuk sekali saat ini, bekerja keras, dan aku cuma kerja paro-waktu di Gringotts untuk melatih bahasa Inggrisku, jadi dia membawaku ke sini selama beberapa 'ari agar bisa berkenalan dengan keluarganya. Aku senang sekali waktu mendengar kau akan datang tak banyak yang bisa dikerjakan di sini, kecuali kalau kau senang masak dan senang ayam! Nahselamat sarapan, 'Arry!" Dengan kata-kata tersebut dia berbalik dengan anggun dan kelihatannya seperti melayang keluar kamar, menutup pintunya pelan di belakangnya. Mrs Weasley mengeluarkan suara yang kedengarannya seperti "tchah!" "Mum membencinya," kata Ginny pelan. "Aku tidak membencinya," kata Mrs Weasley dalam bisikan galak. "Aku hanya menganggap mereka terburu-buru bertunangan, cuma itu." "Mereka sudah saling kenal selama setahun," kata Ron, yang anehnya tampak grogi dan menatap hampa pintu yang tertutup. "Yah, itu tidak lama! Aku tahu kenapa itu terjadi, tentu saja. Ini semua gara-gara ketidakpastian dengan munculnya kembali Kau-Tahu-Siapa, orang-orang mengira mereka bisa mati besok, jadi mereka terburu-buru membuat segala macam keputusan yang normalnya perlu waktu untuk dipertimbangkan dulu. Ini sama saja dengan waktu terakhir kali dia berkuasa, orang-orang kawin lari di mana-mana" "Termasuk Mum dan Dad," kata Ginny licik. "Ya, tapi ayahmu dan aku memang ditakdirkan berjodoh, apa gunanya menunggu?" kata Mrs Weasley. "Sedangkan Bill dan Fleur ... yah ... apa sih persamaan mereka? Bill pekerja keras dan orang yang sederhana, sedangkan dia ." "Parah," kata Ginny, mengangguk. "Tapi Bill tidak begitu sederhana sih. Dia pemunah-kutukan kan, dia menyukai sedikit petualangan, sedikit glamour ... kurasa itulah sebabnya dia jatuh hati pada si Dahak." "Jangan panggil dia begitu lagi, Ginny," kata Mrs Weasly tajam, sementara Harry dan Hermione tertawa. "Yah, aku sebaiknya turun ... makan telurmu selagi masih hangat, Harry." Tampak lelah, Mrs Weasley meninggalkan kamar itu. Ron masih tampak seperti orang yang sedikit mabuk; dia mencoba menggelengkan kepala, seperti anjing yang berusaha mengeluarkan air dari telinganya. "Apakah kau tidak menjadi terbiasa dengannya kalau dia tinggal serumah denganmu?" Harry bertanya. "Yah, memang sih," kata Ron, "tapi kalau dia mendadak muncul, seperti baru saja ... " "Menyedihkan;" kata Hermione geram, melangkah sejauh mungkin dari Ron dan berbalik menghadapinya dengan tangan bersedekap setelah dia tiba di dinding. "Kau tidak menghendaki dia di sini selamanya, kan?" Ginny menanyai Ron tak percaya. Ketika Ron hanya mengangkat bahu, Ginny berkata, "Mum akan menghentikannya kalau bisa, aku berani taruhan." "Bagaimana caranya?" tanya Harry. "Dia tak hentinya berusaha mengundang Tonkzs makan malam. Kurasa dia berharap Bill akan tertarik pada Tonks alih-alih si Dahak. Kuharap begitu. Aku lebih suka punya kakak ipar Tonks." "Yeah, pasti berhasil," sindir Ron. "Dengar, tak ada cowok waras yang akan naksir Tonks kalau ada Fleur. Maksudku, penampilan Tonks oke kalau dia tidak melakukan hal-hal konyol pada rambut dan hidungnya, tapi ." "Dia jauh lebih menyenangkan daripada Dahak," kata Ginny. "Dan dia lebih pintar, dia Auror!" kata Hermione dari sudut. "Fleur tidak bodoh, dia cukup hebat untuk ikut Turnamen Triwizard," kata Harry. "Masa kau juga sih!" kata Hermione getir. "Kurasa kau suka cara si Dahak memanggilmu 'Arry, kan?" tanya Ginny mencemooh. "Tidak," kata Harry, menyesal sudah bicara. "Aku cuma bilang Dahak-maksudku, Fleur ." "Aku jauh lebih suka punya kakak ipar Tonks," kata Ginny. "Paling tidak dia suka tertawa." "Belakangan ini dia tidak banyak tertawa," kata Ron. "Setiap kali aku melihatnya, dia makin seperti Myrtle Merana." "Itu tidak adil," bentak Hermione. "Dia belum bisa mengatasi apa yang terjadi ... kau tahu ... maksudku, dia kan sepupunya!" Hati Harry mencelos. Mereka akhirnya tiba pada topik Sirius. Dia mengambil garpu dan mulai memasukkan telur aduk ke dalam mulutnya, berharap mengelakkan ajakan bergabung dalam pembicaraan ini. "Tonks dan Sirius nyaris tak saling kenal!" kata Ron. "Sirius berada di Azkaban dalam separo hidup Tonks dan sebelum itu keluarga mereka tak pernah bertemu-" "Bukan itu masalahnya," kata Hermione. "Tonks mengira salahnyalah Sirius meninggal!" "Bagaimana dia bisa beranggapan begitu?" tanya Harry, walaupun tadinya bertekad tak ikut bicara. "Yah, Tonks waktu itu sedang melawan Bellatrix Lestrange, kan? Menurutku dia merasa kalau saja dia bisa menghabisinya, Bellatrix tidak akan bisa membunuh Sirius." "Itu bodoh," kata Ron. "Itu rasa bersalah orang yang selamat," kata Hermione. "Aku tahu Lupin sudah berusaha bicara dengannya, tapi dia masih terpukul sekali. Dia malah mendapat kesulitan dengan Metamorfosisnya!" "Dengan-?" "Dia tak bisa mertgubah penampilannya seperti dulu," Hermione menjelaskan. "Kukira kekuatannya terpengaruh oleh shock, atau sesuatu." "Aku tak tahu itu bisa terjadi," kata Harry. "Tadinya aku juga tak tahu," kata Hermione, "namun kurasa kalau kau benar-benar depresi ... " Pintu terbuka lagi dan Mrs Weasley menjulurkan kepala ke dalam kamar. "Ginny," bisiknya, "turunlah, dan bantu aku menyiapkan makan siang." "Aku sedang ngobrol dengan mereka!" kata Ginny, berang. "Sekarang!" kata Mrs Weasley, lalu pergi. "Dia cuma mau aku di sana supaya dia tidak berdua saja dengan Dahak!" kata Ginny marah. Dia mengayunkan rambut merahnya yang panjang, menirukan Fleur dengan sangat baik, dan berjalan berkeliling kamar dengan tangan terangkat seperti balerina. "Kalian lebih baik segera ikut turun juga," katanya sambil pergi. Harry menggunakan kesempatan hening sejenak ini untuk memakan lagi sarapannya. Hermione sedang mengintip ke dalam kotak-kotak Fred dan George, meskipun dari waktu ke waktu dia mengerling Harry. Ron, yang sekarang memakan roti panggang Harry, masih melamun memandang pintu. "Apa ini?" Hermione akhirnya bertanya, mengangkat sesuatu yang tampak seperti teleskop kecil. "Entahlah," kata Ron, "tapi kalau Fred dan George meninggalkannya di sini, kemungkinan barang itu belum siap untuk toko lelucon, jadi hati-hati." "Kata ibumu toko mereka laftis;" kata Harry. "Katanya Fred dan George punya bakat bisnis." "Itu sih mengecilkan," kata Ron. "Mereka panen Galleon! Aku sudah tak sabar ingin melihat toko mereka. Kami belum ke Diagon Alley, karena Mum bilang Dad harus ikut untuk pengamanan ekstra dan Dad belakangan ini sibuk sekali di tempat kerjanya, tapi tokonya kedengarannya luar biasa." "Dan bagaimana dengan Percy?" tanya Harry. Anak ketiga keluarga Weasley telah berselisih dengan keluarganya. "Dia sudah bicara lagi dengan ayah dan ibumu?" "Belum," kata Ron. "Tapi sekarang dia tahu ayahmu selama ini benar soal Voldemort muncul kembali-" "Dumbledore bilang orang lebih mudah memaafkan orang lain yang salah daripada yang benar," kata Hermione. "Aku mendengarnya bilang begitu kepada ibumu, Ron." "Tidak mengherankan kalau dia ngomong hal aneh seperti itu," kata Ron. "Dia akan memberiku pelajaran privat tahun ini," kata Harry sambil lalu. Ron tersedak potongan rotinya dan Hermione terkesiap. "Kenapa baru bilang?" kata Ron. "Aku baru ingat," kata Harry jujur. "Dia memberitahuku semalam di kamar-sapu kalian." "Harry ... pelajaran privat dengan Dumbledwore!" kata Ron, tampak terkesan. "Kenapa kira-kira ya ...?" Suaranya mengecil lalu menghilang. Harry melihatnya dan Hermione saling pandang. Harry meletakkan pisau dan garpunya, jantungnya berdebar agak keras, mengingat yang sedang dilakukannya hanyalah duduk di tempat tidur. Dumbledore menyuruhnya melakukannya ... , kenapa tidak sekarang saja? Dengan mata terpaku pada garpunya, yang berkilau dalam cahaya matahari yang menyinari pangkuannya, dia berkata, "Aku tak tahu persis kenapa dia akan memberiku pelajaran, tapi kurasa pasti karena ramalan." Baik Ron maupun Hermiorie tak ada yang bicara. Harry mendapat kesan keduanya membeku. Dia melanjutkan, masih bicara kepada garpunya, "Kalian tahu, ramalan yang mereka coba curi di Kementerian." "Tapi kan tak ada yang tahu apa bunyinya," kata Hermione cepat-cepat. "Ramalannya pecah." "Meskipun Prophet bilang-" Ron mulai, namun Hermione menghentikannya, "Shh!" "Prophet benar," kata Harry, mendongak menatap mereka berdua dengan susah payah. Hermione tampak takut dan Ron tercengang. "Bola kaca yang pecah itu bukan rekaman satu-satunya ramalan itu. Aku mendengar seluruhnya di kantor Dumbledore. Ramalan itu dibuat untuknya, jadi dia bisa memberitahuku. Dari yang dikatakannya," Harry menarik napas dalam-dalam, "kelihatannya aku orang yang harus menghabisi Voldemort ... paling tidak, ramalan itu berkata salah satu dari kami tak bisa hidup sementara yang lain bertahan." Mereka bertiga saling pandang dalam diam selama beberapa saat. Kemudian terdengar ledakan keras dan Hermione lenyap di balik gumpalan asap hitam. "Hermione!" teriak Harry dan Ron nampan sarapan meluncur ke lantai dengan bunyi berkelontangan. Hermione muncul lagi, terbatuk-batuk, dari dalam asap, memegang teleskop dan sebelah matanya ungu kehitaman. "Aku meremasnya dan dia-dia meninjuku!" sengalnya. "Dan betul saja, mereka sekarang melihat sebuah tinju kecil di ujung per panjang yang mencuat dari ujung teleskop." "Jangan kuatir," kata Ron, yang jelas berusaha tidak tertawa. "Mum akan membereskannya. Dia jago mengobati luka-luka ringan" "Oh, sudahlah, itu tak penting sekarang!" kata Hermione buru-buru. "Harry, oh, Harry ... " Dia duduk di tepi tempat tidur Harry lagi. "Kami bertanya-tanya setelah pulang dari Kementerian ... tentu kami tak ingin berkata apa-apa kepadamu, tapi dari apa yang dikatakan Lucius Malfoy tentang ramalan itu, bahwa itu menyangkut kau dan Voldemort, yah, kami menduga bunyinya mungkin sesuatu seperti ini ... oh, Harry ... " Hermione mengawasinya tajam, kemudian berbisik, "Apakah kau takut?" "Tak setakut waktu itu," kata Harry. "Waktu pertama kali mendengarnya, aku takut ... tapi sekarang, rasanya dari dulu aku tahu aku harus menghadapinya pada akhirnya ... " "Waktu kami mendengar Dumbledore sendiri yang menjemputmu, kami menduga dia akan memberitahumu sesuatu, atau menunjukkan sesuatu, yang ada hubungannya dengan ramalan," kata Ron bersemangat. "Dan boleh dibilang kami benar, kan? Dia tak akan memberirnu pelajaran kalau dia menganggap kau pecundang, tak akan membuang-buang waktu pasti berpendapat kau punya peluang!" "Betul," kata Hermione. "Apa ya kira-kira, yang akan diajarkannya kepadamu, Harry? Sihir pertahanan tingkat tinggi, barangkali ... koritra-kutukan yang sangat manjur ... anti-jampi ... " Harry tidak benar-benar mendengarkan. Kehangatan menjalari tubuhnya, yang tak ada hubungannya dengan sinar matahari. Cengkeraman kuat dalam dadanya terasa mengurai. Dia tahu Ron dan Hermione lebih shock daripada yang mereka perlihatkan, namun fakta bahwa mereka masih tetap di sana, di kanan-kirinya, mengucapkan kata-kata penghiburan yang menguatkan, tidak menyingkir darinya seakan dia berpenyakit menular atau berbahaya, jauh lebih berharga daripada yang bisa dia ungkapkan kepada mereka. "... dan mantra untuk menghindar pada umumnya," Hermione menyimpulkan. "Yah, paling tidak kau sudah tahu satu pelajaran yang akan kaudapat tahun ini, satu lebih banyak daripada Ron dan aku. Kapan ya hasil OWL kita datang?" "Tak lama lagi pasti, kan sudah sebulan," kata Ron. "Tunggu," kata Harry, ketika bagian lain percakapan semalam terlintas di benaknya. "Dumbledore bilang hasil OWL kita akan datang hari ini!" "Hari ini?" jerit Hermione. "Hari ini? Tapi kenapa kau tidak -oh, Tuhan harusnya kau bilang dari tadi-" Hermione melompat bangun. "Aku mau lihat apakah ada burung hantu yang sudah datang ... " Namun ketika Harry tiba di bawah beberapa menit kemudian, berpakaian lengkap dan membawa nampan sarapannya yang sudah kosong, Hermione sedang duduk di kursi meja makan dengan sangat gelisah, sementara Mrs Weasley berusaha mengurangi kemiripannya dengan separo-panda. "Tidak mau hilang," kata Mrs Weasley cemas, berdiri di depan Hermione dengan tongkat sihir di tangan dan buku Penolong Penyembuh terbuka pada halaman "Memar, Luka Potong, dan Lecet". "Padahal biasanya manjur. Aku tak mengerti." "Bagi Fred dan George sih ini lucu, mereka sengaja bikin agar tidak bisa dihilangkan," kata Ginny. "Tapi harus hilang!" lengking Hermione. "Mana mungkin aku ke mana-mana bertampang begini selamanya!" "Tidak akan, Sayang, kita akan menemukan penangkalnya, jangan kuatir," kata Mrs Weasley menenangkan. "Bill menceritakan padaku bagaimana lucunya Fred dan George!" kata Fleur, tersenyum tenang. "Ya, aku sampai nyaris tak bisa bernapas saking gelinya;" bentak Hermione. Dia melompat bangun dan mulai berjalan berputar-putar mengelilingi dapur, memilin-milin jari-jarinya. "Mrs Weasley, Anda benar-benar yakin tak ada burung hantu yang datang pagi ini?" "Yakin, Sayang, kalau ada aku pasti melihatnya," kata Mrs Weasley sabar. "Tapi sekarang belum lagi jam sembilan, masih banyak waktu ..." "Aku tahu Rune Kuno-ku kacau balau," gumam Hermione risau. "Aku sudah pasti membuat satu kesalahan terjemahan. Dan praktek Pertahanan terhadap Ilmu Hitam parah banget. Kupikir Transfigurasi oke waktu itu, tapi kalau dipikir lagi" "Hermione, bisa diam tidak, kau bukan satu-satunya yang cemas!" salak Ron. "Dan kalau kau sudah mendapatkan sepuluh OWL 'Outstanding' ..." "Tidak, tidak, tidak," kata Hermione, menggoyang-goyangkan tangannya dengan histeris. "Aku tahu aku semuanya tidak lulus!" "Apa yang terjadi kalau kita tidak lulus?" Harry bertanya, tak jelas ditujukan kepada siapa, namun Hermione lagilah yang menjawab. "Kita mendiskusikan pilihan-pilihan dengan Kepala Asrama kita. Aku tanya pada Profesor Mc-Gonagall akhir semester lalu." Perut Harry bergolak. Dia menyesal sarapan banyak-banyak. "Di Beauxbatons," kata Fleur berpuas diri, "sistemnya lain. Kurasa sistem kami lebih baik. Kami ujian setelah enam tahun belajar, bukan lima, dan kemudian-" Kata-kata Fleur ditenggelamkan oleh suara jeritan Hermione menunjuk melalui jendela dapur. Tiga titik hitam tampak jelas di langit, makin lama makin besar. "Pasti itu burung hantu," kata Ron parau, melompat bergabung dengan Hermione di depan jendela. "Dan ada tiga" kata Harry, bergegas ke sisi lain Hermione. "Satu untuk kita masing-masing," kata Hermione dalam bisik ketakutan. "Oh tidak ... oh tidak ... oh tidak ..." Dia mencengkeram erat siku Harry dan Ron. Ketiga burung hantu itu terbang menuju The Burrow, tiga burung hantu tampan cokelat-kekuningan. Ketika terbang merendah di atas jalan setapak yang menuju rumah, tampak jelas ketiganya membawa amplop persegi besar. "Oh tidak!" jerit Hermione. Mrs Weasley menyeruak di antara mereka dan membuka jendela dapur. Satu, dua, tiga burung hantu melesat masuk dan mendarat berjajar di atas meja. Ketiganya mengangkat kaki kanan mereka. Harry maju. Surat yang dialamatkan kepadanya terikat pada kaki burung hantu di tengah. Dibukanya ikatannya dengan jari-jari gemetar. Di sebelah kirinya, Ron berusaha melepas hasil OWL-nya. Di sebelah kanannya, tangan Hermione gemetar hebat sampai membuat seluruh tubuh burung hantunya ikut bergetar. Tak seorang pun di dapur bicara. Akhirnya Harry berhasil melepas amplopnya. Dibukanya cepat-cepat dan direntangkannya perkamen terlipat di dalamnya. HASIL ORDINARY WIZARDING LEVEL Nilai kelulusan: OUTSTANDING (O) - ISTIMEWA EXCEEDS EXPECTATIONS (E) - DI LUAR DUGAAN ACCEPTABLE (A) - CUKUP Nilai ketidaklulusan: POOR (P) - PARAH DREADFUL (D) - MENGERIKAN TROLL (T) NILAI HARRY JAMES POTTER: Astronomi A Pemeliharaan Hewan-Hewan Gaib E Mantra E Pertahanan terhadap Ilmu Hitam O Ramalan P Herbologi E Sejarah Sihir D Ramuan E Transfigurasi E Harry membaca perkamennya beberapa kali, napasnya makin teratur bersamaan dengan setiap Pengulangan. Hasilnya oke: dia sudah tahu dia tidak akan lulus Ramalan, dan dia tak mungkin lulus Sejarah Sihir, mengingat dia pingsan baru setengah jalan mengerjakan ujian, namun yang lain semua lulus! Jarinya menelusuri nilai-nilainya ... nilai Transfigurasi dan Herbologi-nya bagus, dia bahkan mendapatkan E. Di Luar Dugaan untuk Ramuan! Dan yang paling hebat, dia mendapatkan nilai "Outstanding" untuk Pertahanan terhadap Ilmu Hitam! Dia memandang berkeliling. Hermione memunggunginya dan kepalanya menunduk, namun Ron tampak gembira. "Cuma tidak lulus Ramalan dan Sejarah Sihir, dan siapa yang peduli dua pelajaran itu?" katanya riang kepada Harry. "Nih-tukar-" Harry menunduk melihat nilai Ron. Tak ada nilainya yang "Outstanding" ... "Aku tahu kau akan top di Pertahanan terhadap Ilmu Hitam," kata Ron, meninju bahu Harry. "Nilai kita oke, kan?" "Bagus!" kata Mrs Weasley bangga, mengacak rambut Ron. "Tujuh OWL, itu lebih banyak dari nilai gabungan Fred dan George!" "Hermione?" kata Ginny hati-hati, karena Hermione belum berbalik. "Bagaimana nilaimu?" "Aku tidak buruk," kata Hermione dengan suara kecil. "Oh, yang benar," kata Ron, melangkah mendekatinya dan menyambar hasil ujian Hermione dari tangannya. "Yep sembilan 'Outstanding' dan satu 'Exceeds Expectations' untuk Pertahanan terhadap Ilmu Hitam". Ron menunduk memandangnya, setengah-geli, setengah putus asa. "Kau benar-benar kecewa, ya?" Hermione menggeleng, namun Harry tertawa. "Nah, kita murid NEWT sekarang" kata Ron nyengir. "Mum, ada sosis lagi?" Harry kembali memandang hasil ujiannya. Nilai-nilainya sebagus yang bisa diharapkannya. Dia hanya punya sedikit rasa sesal ... ini akhir ambisinya untuk menjadi Auror. Dia tidak berhasil mendapatkan nilai Ramuan yang disyaratkan. Dia sebetulnya sudah tahu, namun dia masih merasakan perutriya seperti ditonjok ketika memandang lagi huruf "E" kecil itu. Aneh, sebetulnya, mengingat seorang Pelahap Maut yang menyamarlah yang pertama kali mengatakan kepada Harry bahwa dia bisa menjadi Auror yang baik, namun entah bagaimana ide itu menguasainya, dan dia tak bisa memikirkan karier lain yang diinginkannya. Lagi pula, rasanya itu takdir yang tepat untuknya, sejak dia mendengar ramalan sebulan lalu ... yang satu tak dapat hidup sementara yang lain bertahan ... bukankah itu cocok dengan ramalan dan dia akan memberi dirinya kesempatan bertahan hidup yang paling baik, jika dia bergabung dengan para penyihir yang sangat terlatih, yang pekerjaannya adalah menemukan dan membunuh Voldemort? 06. DILEMA DRACO Harry tinggal dalam batas halaman The Burrow selama beberapa minggu berikutnya. Dia melewatkan sebagian besar waktu siangnya dengan bermain Quidditch dua-lawan-dua di kebun buah keluarga Weasley (dia dan Hermione melawan Ron dan Ginny. Hermione parah dan Ginny bagus, jadi mereka cukup berimbang) dan malam harinya dengan memakan tiga porsi segala hidangan yang diletakkan Mrs Weasley di hadapannya. Mestinya itu akan menjadi liburan yang menyenangkan dan damai, seandainya saja tak ada cerita-cerita tentang orang-orang yang lenyap, kecelakaan-kecelakaan aneh, bahkan tentang kematian yang sekarang muncul nyaris setiap hari di Prophet. Kadang-kadang Bill dan Mr Weasley membawa pulang kabar bahkan mendengarnya. Mrs Weasley kecewa karena perayaan perayaan ulang tahun keenam belas Harry dirusak leh kabar mengerikan yang dibawa ke pesta dirusak oleh Remus Lupin, yang tampak kurus kering dan muram, rambut cokelatnya banyak ditumbuhi uban di sana-sini, pakaiannya lebih compang-camping dan lebih banyak tambalannya daripada sebelumnya. "Ada beberapa serangan Dementor lahi," dia mengumumkan, sementara Mrs weasley mengangsurkan sepotong besar kue ulang tahun kepadanya. "Dan mereka telah menemukan mayat Igor Karkaroff di sebuah gubuk tua di utara. Tanda kegelapan dipasang di atas gubuk itu - yah, terus terang, aku heran dia bertahan hidup bahkan setahun setelah meninggalkan Pelahap Maut. Adik Sirius, Regulus, hanya bisa bertahan beberapa hari, seingatku." "Ya," kata Mrs Weasley, mengernyit "barangkali sebaiknya kita bicara soal ia-" "Apa kau mendengar tentang Florean Fortescue, Remus?" tanya Bill, yang sedang disodori anggur oleh Fleur. "Orang yang punya-" "-toko es krim di Dwiagon Alley?" Harry menyela dengan perasaan hampa, tak nyaman, di dasar perutnya. "Dia selalu memberiku es krim. Apa yang terjadi padanya?" "Dibawa dengan paksa, kalau melihat keadaan tokonya." "Kenapa?" tanya Ron, sementara Mrs Weasley menatap tajam Bill. "Siapa yang tahu? Dia pastinya telah membuat mereka merasa terganggu. Dia orang baik, Florean." "Bicara soal Diagon Alley," kata Mr Weasley, "kelihatannya Ollivander telah menghilang." "Si pembuat tongkat sihir?" tanya Glinny, tampak kaget. "Betul. Tokonya kosong. Tak ada tanda-tanda perlawanan. Tak ada yang tahu apakah dia pergi dengan suka rela atau diculik?" "Tapi tongkat sihir bagaimana kalau orang perlu tongkat sihir?" "Mereka terpaksa mencari pembuat tongkat sihir yang lain," kata Lupin. "Namun Ollivander adalah yang terbaik, dan jika pihak lain mendapatkannya, ini tak begitu baik bagi kita." Hari berikut setelah perayaan ulang tahun yang suram ini, surat-surat beserta daftar buku mereka tiba dari Hogwarts. Surat Harry ada kejutannya: dia di angkat sebagai Kapten Quidditch. "Ini memberimu status yang sama dengan prefek!" seru Hermione senga. "Kau bisa memakai kamar mandi spesial kami sekarang, dan segalanya yang lain!" "Wow, aku ingat waktu Charlie memakai lencana semacam iru, kata Ron, mengamati lencana Harry dengan girang. "Harry, ini cool banget deh, kau kaptenku kalau kau mengizinkan aku masuk tim lagi, tapi, ha ha ..." "Yah, kurasa kita tak bisa lebih lama lagi menunda kunjungan ke Diagon Alley sekarang, setelah kalian menerima ini," kata Mrs Weasley menghela napas, menatap daftar buku Ron. "Kita pergi hari Sabtu asal ayahmu tidak harus kerja lagi. Aku tak mau ke sana tanpa dia." "Mum, apa Mum benar-benar mengira Kau-Tahu-Siapa akan ngumpet di belakang rak buku di Flourish and Blotts?" Ron terkikik. "Fortescue dan Ollivander pergi berlibur, kan?" kata Mrs Weasley, langsung naik darah. "Kalau kaukira tindakan pengamanan soal main-main, kau boleh tinggal di rumah saja, biar aku yang membelikan keperluanmu" "Tidak, aku ikut, aku mau lihat tokonya Fred dan George!" kata Ron buru-buru. "Kalau begitu simpan ide-idemu, sebelum aku memutuskan kau belum cukup dewasa untuk ikut kami!" kata Mrs Weasley berang, menyambar jamnya, yang kzesembilan jarumnya masih menunjuk ke bahaya maut, dan menaruhnya di atas setumpuk handuk yang baru dicuci. "Dan itu berlaku untuk kembali ke Hogwarts juga!" Ron menoleh dan memandang Harry tak percaya ketika ibunya mengangkat keranjang cucian beserta jam yang bergoyang mau jatuh dan melesat meninggalkan ruangan. "Astaga ... bahkan bergurau pun tak bisa lagi di sini ..." Namun Ron berhati-hati agar tidak berkomentar sembrono lagi tentang Voldemort selama beberapa hari berikutnya. Hari Sabtu tiba tanpa ledakan kemarahan lagi dari Mrs Weasley, walaupun dia tampak sangat tegang ketika sarapan. Bill, yang akan tinggal di rumah bersama Fleur (Hermione dan Ginny senang sekali karenanya), mengangsurkan satu kantong-uang berisi penuh kepada Harry di seberang meja. "Jatahku mana?" Ron langsung menuntut, matanya melebar. "Itu uang Harry, idiot," kata Bill. "Aku mengambilkannya dari lemari besimu, Harry, karena perlu kira-kira lima jam bagi masyarakat umum untuk mengambil uangnya saat ini, para goblin meningkatkan keamanan secara gila-gilaan. Dua hari yang lalu Arkie Philpott harus mengalami Detektor Kejujuran ditusukkan ke . yah, percayalah, cara ini jauh lebih mudah." "Trims, Bill," kata Harry, mengantongi emasnya. "Dia memang bijaksana," dengkur Fleur memuja, mengelus hidung Bill. Ginny berlagak muntah ke dalam serealnya di belakang Fleur. Harry tersedak cornflake-nya dan Ron menggebuk punggungnya. Hari itu mendung dan suram. Salah satu mobil khusus Kementerian Sihir, yang pernah Harry naiki sekali sebelumnya, menunggu mereka di halaman depan ketika mereka muncul dari dalam rumah, seraya memakai mantel mereka. "Bagus Dad bisa meminjam ini lagi," kata Ron senang, meregangkan tubuh dengan nikmat selagi mobil meluncur mulus meninggalkan The Burrow. Bill dan Fleur melambai dari jendela dapur. Ron, Harry, Hermione, dan Ginny duduk nyaman di tempat duduk belakang yang lebar. "Jangan terbiasa dengan ini, ini hanya karena Harry," kata Mr Weasley menoleh. Dia dan Mrs Weasley di depan, bersama sopir Kementerian. Tempat duduk depan telah memanjang menjadi mirip sofa dua tempat duduk. "Dia diberi status pengamanan top. Dan kita akan bergabung dengan keamanan tambahan di Leaky Cauldron juga." Harry tidak berkata apa-apa. Dia tak begitu senang berbelanja sementara dikelilingi sebatalion Auror. Dia telah memasukkan Jubah Gaib ke dalam ranselnya dan merasa bahwa, jika itu sudah cukup baik bagi Dumbledore, harusnya itu cukup baik juga untuk Kementerian, meskipun setelah dipikir lagi, dia tak yakin apakah Kementerian tahu tentang Jubah-nya. "Nah, sudah sampai," kata si pengemudi, untuk pertama kalinya bicara, ketika dia melambat di Charing Cross Road dan berhenti di depan Leaky Cauldron. Mengejutkan karena rasanya baru sebentar. "Saya disuruh menunggu kalian. Berapa lama kira-kira?" "Sekitar dua jam, kurasa," kata Mr Weasley. "Ah, bagus, dia sudah ada!" Harry meniru Mr Weasley, mengintip dari jendela. Hatinya melonjak gembira. Tak ada Auror yang menunggu di depan losmen. Alih-alih Auror, yang ada sosok raksasa Rubeus Hagrid yang berjenggot-hitam, pengawas satwa liar di Hogwarts, memakai mantel panjang dari kulit berang-berang, berseri-seri melihat wajah Harry dan tak menyadari pandangan kaget para Muggle yang lewat. "Harry!" suaranya menggelegar, menyambar Harry dalam pelukan meremukkan-tulang begitu Harry turun dari mobil. "Buckbeak-Witherwings, maksudku kau harus lihat dia, Harry, dia senang sekali bisa bebas di udara terbuka" "Syukurlah kalau dia senang," kata Harry, nyengir sambil memijat-mijat iganya. "Kami tak tahu keamanan berarti kau!" "Aku tahu, seperti dulu saja, kan? Tadinya Kementerian mau kirim rombongan Auror, tapi Dumbledore bilang aku cukup," kata Hagrid bangga, menggembungkan dadanya dan mengaitkan ibu jari ke dalam sakunya. "Ayo kita berangkat, kalau begitu silakan kalian jalan dulu, Molly, Arthur" Leaky Cauldron, untuk pertama kalinya seingat Harry, kosong melompong. Hanya tersisa Tom si pemilik, dengan kulit keriput dan gigi ompong. Dia mendongak penuh harap ketika mereka masuk, namun sebelum dia bisa bicara, Hagrid berkata dengan lagak penting, "Cuma lewat hari ini, Tom, tentu kau mengerti. Urusan Hogwarts, kau tahu." Tom mengangguk muram dan kembali mengelap gelas-gelasnya. Harry, Hermione, Hagrid, dan keluarga Weasley melewati bar dan keluar ke halaman belakang yang kecil dan dingin, yang ada tempat sampahnya. Hagrid mengangkat payung merah jambunya dan mengetuk batu bata tertentu di dinding, yang langsung membuka membentuk gerbang-lengkung menuju ke jalan cornblock berliku-liku. Mereka melewati gerbang itu dan berhenti, memandang berkeliling. Diagon Alley telah berubah. Etalase berwarna-warni dan berkilauan memamerkan kitab-kitab mantra, bahan ramuan, dan kuali sudah hilang dari pandangan, tersembunyi di balik poster-poster besar Kementerian Sihir yang ditempelkan di kaca. Sebagian besar poster ungu suram ini adalah versi besar pedoman tindakan keamanan seperti dalam pamflet Kementerian yang dikirimkan ke rumah-rumah selama musim panas ini, namun yang lain menampilkan foto-foto hitam putih bergerak para Pelahap Maut yang diketahui berkeliaran bebas. Bellatrix Lestrange menyeringai dari depan apotek terdekat. Beberapa jendela etalase ditutup papan, termasuk etalase toko es krim Florean Fortescue. Sebaliknya, sejumlah kios kumuh bermunculan di sepanjang jalan. Yang paling dekat, yang didirikan di depan Flourish and Blotts dengan atap awning bergaris, di depannya dipasangi papan bertulisan: JIMAT Efektif untuk Manusia Serigala, Demantor, dan Inferi Seorang penyihir pria kecil lusuh menggemerincingkan lengannya yang penuh digantungi kalung dengan simbol-simbol perak pada orang-orang yang lewat. "Satu untuk gadis kecil Anda, Madam?" dia menawari Mrs Weasley ketika mereka lewat, melirik Ginny. "Untuk melindungi lehernya yang cantik?" "Kalau aku sedang bertugas ..." kata Mr Weasley, mendelik marah pada si penjual jimat. "Ya, tapi jangan menangkap orang sekarang, Sayang, kita sedang buru-buru," kata Mrs Weasley, dengan gugup mengecek daftar. "Kurasa lebih baik kita ke Madam Malkin's dulu. Hermione mau beli jubah resmi baru dan pergelangan kaki Ron sudah kelihatan dalam jubah seragam sekolahnya, dan kau juga perlu jubah baru, Harry, kau sudah bertambah tinggi banyak ayo, semua" "Molly, tidak masuk akal kalau kita semua ke Madam Malkin's" ujar Mr Weasley. "Bagaimana kalau mereka bertiga pergi dengan Hagrid, dan kita bisa ke Flourish and Blotts dan membelikan buku sekolah untuk semuanya?" "Entahlah," kata Mrs Weasley cemas, tampak bingung memilih antara menyelesaikan berbelanja secepat mungkin dan keinginan untuk tetap bersamasama dalam satu rombongan. "Hagrid, menurutmu apakah-?" "Jangan kuatir, mereka akan aman bersamaku, Molly," kata Hagrid menenangkan, melambaikan tangan sebesar tutup tempat sampah. Mrs Weasley tidak tampak yakin sepenuhnya, namun meyetujui perpisahan ini. Dia bergegas menuju Flourish and Blotts bersama suaminya clan Ginny, sementara Harry, Ron, Hermione, dan Hagrid berjalan ke Madam Malkin's. Harry memperhatikan banyak orang yang berpapasan dengan mereka bertampang resah dan cemas seperti Mrs Weasley, dan tak ada lagi orang yang berhenti untuk mengobrol. Orang-orang yang berbelanja bergerombol dengan kelompoknya masingmasing, berbelanja dengan serius. Tak ada yang berbelanja sendirian. "Mungkin sesak kalau kita semua masuk," kata Hagrid, berhenti di depan Madam Malkin's dan membungkuk untuk mengintip ke dalam lewat jendela. "Aku jaga di depan, oke?" Maka Harry, Ron, dan Hermione memasuki toko kecil itu bersama-sama. Sekilas toko itu tampak kosong, namun begitu pintu terayun. menutup di belakang mereka, terdengar suara yang sudah ak asing dari balik rak jubah resmi hijau dan biru berkelip-kelip. "... bukan anak-anak lagi, kalau Ibu belum memperhatikan. Aku bisa belanja sendiri." Terdengar decakan dan suara yang dikenali Harry sebagai suara Madam Malkin berkata, "Nak, ibumu benar, tak seorang pun dari kita boleh bepergian sendiri lagi, ini tak ada hubungannya dengan soal masih anak-anak" "Hati-hati menusukkan jarumnya!" Seorang remaja pria berwajah runcing, pucat, dan berambut pirang muncul dari balik rak memakai jubah keren hijau tua dengan jarum pentul berkilat-kilat di sekitar lipatan bawah dan ujung-ujung lengannya. Dia berjalan ke cermin dan memandangi bayangan dirinya. Baru beberapa saat kemudian dia melihat Harry, Ron, dan Hermione yang terpantul di atas bahunya. Matanya yang kelabu pucat menyipit. "Kalau Ibu bertanya-tanya bau apa ini, baru saja ada Darah-lumpur masuk," kata Draco Malfoy. "Kurasa tak perlu bicara begitu!" kata Madam Malkzin, bergegas dari balik rak pakaian, memegang meteran dan tongkat sihir. "Dan aku juga tak mau ada tongkat sihir dicabut dalam tokoku!" dia menambahkan buru-buru, karena ketika mengerling ke pintu dilihatnya Harry dan Ron berdiri dengan tongkat sihir teracung ke arah Malfoy. Hermione, yang berdiri sedikit di belakang mereka, berbisik, "Jangan, sungguh, tak berharga ... " "Yeah, memangnya kalian berani menggunakan sihir di luar sekolah," seringai Malfoy. "Siapa yang menghitamkan matamu, Granger? Aku ingin mengirimi mereka bunga." "Sudah cukup!" kata Madam Malkin tajam, menoleh meminta dukungan. "Madam tolong-" Narcissa Malfoy melangkah dari balik rak pakaian. "Singkirkan tongkat sihir kalian," katanya dingin kepada Harry dan Ron. "Jika kalian menyerang anakku lagi, akan kupastikan itu hal terakhir yang kalian lakukan." "Sungguh?" kata Harry, maju selangkah dan memandang wajah mulus angkuh yang, kendatipun pucat, masih mirip kakaknya. Harry sudah sama tingginya dengan Narcissa sekarang. "Mau minta rekan-rekan Pelahap Maut untuk menangkap kami, ya?" Madam Malkin menjerit dan mencengkeram jantungnya. "Astaga, kau tak boleh menuduh hal berbahaya untuk diucapkan singkirkan tongkat sihir kalian, tolong!" Namun Harry tidak menurunkan tongkat sihirnya. Narcissa Malfoy tersenyum sangar. "Rupanya menjadi favorit Dumbledore membuatmu gegabah merasa aman, Harry Potter. Tapi Dumbledore tak akan selalu ada untuk melindungimu." Harry memandang ke sekeliling toko dengan gaya mengejek. "Wow ... lihat ... dia tak ada di sini sekarang! Jadi, kenapa kau tidak mencoba? Mereka mungkin bisa menempatkanmu dalam sel dobel bersama suamimu yang pecundang!" Malfoy bergerak marah ke arah Harry, namun terserempet lubahnya yang kepanjangan. Ron tertawa keras. "Jangan berani-berani kau -bicara kepada ibuku seperti itu, Potter!" bentak Malfoy. "Tak apa-apa, Dwraco," kata Narcissa, menahan dengan jari-jari kurus putih di atas bahu anaknya. "Kukira Potter akan bersatu dengan Sirius sebelum aku bersatu dengan Lucius." Harry mengangkat tongkat sihirnya lebih tinggi. "Harry, jangan!" erang Hermione, menyambar lengan Harry dan berusaha menurunkannya. "Pikir ... , kau tak boleh ... kau akan dalam kesulitan besar ... " Madam Malkin menggigil sebentar di tempatnya, kemudian tampaknya memutuskan untuk bersikap seakan tak ada yang sedang terjadi dengan harapan bahwa memang tak akan terjadi apa-apa. Dia membungkuk ke arah Malfoy, yang masih mendelik kepada Harry. "Kurasa lengan ini perlu dinaikkan sedikit, Nak, coba ku-" "Ouch!" teriak Malfoy, menampar tangan Madam Malkin untuk menyingkirkannya. "Lihat-lihat kalau pasang jarum! Ibu-kurasa aku tak mau lagi jubah ini" Dilepasnya jubah lewat atas kepalanya dan dilemparnya ke lantai di kaki Madam Malkin. "Kau betul, Draco," kata Narcissa, mengerling menghina ke arah Hermione, "sekarang setelah aku tahu sampah macam apa yang berbelanja di sini ... lebih baik kita belanja di Twilfitt and Tatting's." Berkata begitu, mereka berdua meninggalkan toko. Malfoy sengaja menabrak Ron keras-keras dalam perjalanan keluar. "Astagai" kata Madam Malkin, memungut jubah yang jatuh dan menggerakkan ujung tongkat sihirnya di atasnya seperti alat pengisap debu, untuk membersihkan debunya. Madam Malkin tampak bingung ketika membantu Ron dan Harry mengepas jubah baru mereka, dan memberikan jubah resmi penyihir pria kepada Hermione, dan ketika akhirnya mengantar mereka keluar toko, kelihatannya dia senang sekali mereka pergi. "Dapat semuanya?" tanya Hagrid cerah ketika mereka muncul lagi di sisinya. "Kira-kira begitu," kata Harry. "Apakah kau melihat Draco dan ibunya?" "Yeah," kata Hagrid, tidak peduli. "Mereka tak akan berani bikin masalah di Diagon Alley, Harry, jangan kuatirkan mereka." Harry, Ron, dan Hermione bertukar pandang, namun sebelum mereka bisa membebaskan Hagrid dari dugaan menenangkan ini, Mr dan Mrs Weasley, dan Ginny muncul, ketiganya memegang bungkusan buku yang berat. "Semua baik-baik saja?" kata Mrs Weasley. "Sudah dapat jubah kalian? Baik, kalau begitu, kita bisa mampir ke toko obat dan Eeylops dalam perjalanan ke toko Fredw dan George jangan sampai berjauhan ... " Harry dan Ron tidak membeli apa-apa di toko obat, mengingat keduanya tak lagi mempelajari Ramuan, namun keduanya membeli kotak besar kacang burung hantu untuk Hedwig dan Pigwidgeon di Eeylops Owl Emporium. Kemudian, dengan Mrs Weasley melihat jam setiap menit, mereka berjalan terus mencari Weasleys' Wizard Wheezes-Sihir Sakti Weasley, toko lelucon yang dikelola Fred dan George. "Kita tak punya waktu lama," kata Mrs Weasley. "Jadi, kita melihat-lihat sebentar dan kemudian kembali ke mobil. Mestinya sudah dekat, itu nomor sembilan puluh dua ... sembilan-empat ... " "Whoa," kata Ron, berhenti mendadak. Di antara toko-toko suram yang ditempeli poster, etalase Fred dan George mencolok mata seperti peragaan kembang api. Orang-orang yang lewat menoleh memandang kembali etalase itu, dan beberapa orang yang tampak tercengang malah berhenti, terpana. Eta- - lase sebelah kiri menyilaukan, penuh benda-benda yang berputar, mencuat, mengeluarkan cahaya, melompat, dan menjerit. Mata Harry mulai berair hanya memandang benda-benda itu. Etalase sebelah kanan tertutup poster besar, ungu seperti poster Kementerian, tetapi dihiasi huruf-huruf kuning yang menyala: Kenapa Kau Mencemaskan You-Know-Who? Kau Seharusnya Mencemaskan U-No-Poo- Sensasi Konstipasi yang Melanda Seluruh Negeri! Harry mulai tertawa. You-Know-Who (dibaca yu-knohu) adalah Kau-Tahu-Siapa, sedangkan U-NO-POO (di baca yu-kno-pu) berarti Kau-Tak Bisa-Berak. Harry mendengar seperti rintihan lemah di sebelahnya dan menoleh melihat Mrs Weasley memandang takjub poster itu. Bibirnya bergerak, tanpa suara membaca nama, "U-no-Poo." "Mereka akan dibunuh di tempat tidur mereka!" bisiknya. "Tidak!" kata Ron, yang tertawa seperti Harry. "Ini brilian!" Dan dia bersama Harry masuk lebih dulu ke dalam toko. Pembeli penuh sesak. Harry tak bisa mendekati rak-rak. Dia memandang berkeliling, memandang kotak yang bertumpuk sampai ke langit-langit. Isinya Kudapan Kabur yang disempurnakan si kembar pada tahun terakhir mereka yang tak terselesaikan di Hogwarts. Harry melihat bahwa Nogat Mimisan-lah yang paling populer, hanya tersisa satu kotak lusuh di rak. Kemudian ada berwadah-wadah tongkat sihir tipuan, yang paling murah hanya berubah menjadi ayam-ayaman karet atau celana kalau dilambaikan; yang paling mahal memukuli si pengguna yang tak waspada di kepala dan lehernya; berkotak-kotak penabulu berbagai jenis, Mengisi-Tinta-Sendiri, Mengoreksi Ejaan, dan Jawaban-Cerdas. Ada celah di antara kerumunan dan Harry menyeruak menuju konter, tempat sekerumun anak-anak berusia sepuluh tahunan menonton boneka kayu pria kecil menuruni tangga menuju tiang gantungan, dua-duanya bertengger di atas kotak yang bertulisan: ALGOJo BERAKSI BERKALI-KALI MANTRAI, KALAU TIDAK DIA MENINJUMU! "Mantra Lamunan Paten ..." Hermione berhasil menyeruak ke display besar dekat konter dan sedang membaca keterangan di balik kotak yang menampilkan gambar warna-warni pemuda tampan dan gadis gemulai yang berdiri di atas geladak kapal perompak. "Dengan satu mantra sederhana kau akan memasuki lamunan berkualitas-top, sangat realistis, selama tiga puluh menit, mudah diselipkan dalam pelajaran sekolah apa saja, dan secara virtual tidak terdeteksi (efek samping termasuk pandangan hampa dan sedikit mengiler). Tidak dijual bagi yang berusia di bawah enam belas tahun. Kau tahu," kata Hermione, mendongak menatap Harry, "ini betul-betul sihir luar biasa!" "Untuk itu, Hermione," kata suara di belakang mereka, "kau boleh ambil satu gratis." Fred berdiri di hadapan mereka dengan wajah berseri-seri, memakai jubah ungu kemerahan yang kontras sekali dengan rambutnya yang merah manyala. "Apa kabar, Harry?" Mereka berjabat tangan. "Dan kenapa matamu, Hermione?" "Teleskop-tinju kalian," jawabnya muram. "Oh, ya ampun, aku lupa itu," kata Fred. "Ini" Dia mengeluarkan wadah kecil dari dalam sakunya dan memberikannya kepada Hermione. Hermione membuka tutupnya dengan sangat hati-hati. Isinya salep kuning pekat. "Oleskan saja, lebamnya akan hilang dalam waktu satu jam," kata Fred. "Kami harus menemukan obat-penghilang-lebam yang manjur, soalnya kami mengetes sebagian besar produk pada kami sendiri." Hermione tampak gugup. "Ini aman, kan?" "Tentu saja," kata Fred menenangkannya. "Ayo, Harry, kuantar kau berkeliling." Harry meninggalkan Hermione yang sedang mengolesi sekitar matanya dengan salep dan mengikuti Fred ke bagian belakang toko, tempat dia melihat satu rak kartu dan tali. "Sulap Muggle!" kata Fred riang, menunjuk barang-barang itu. "Untuk orang-orang aneh seperti Dad, kau tahu, yang menyukai barang-barang Muggle. Pemasukan dari sini tidak banyak sih, tapi cukup oke ... ini barang-barang baru ... oh, ini dia George ... " Kembaran Fred menjabat tangan Harry penuh semangat. "Mengantar dia keliling? Ayo ke belakang, Harry, di situlah penghasil uang yang sebetulnya tilap apa saja, dan kau akan membayar lebih dari sekadar Galleon!" dia menambahkan dengan nada memperingatkan kepada seorang anak laki-laki kecil yang buru-buru menarik tangannya dari cepuk bertulisan: KuDAPAN TANDA KEGELAPAN YANG MAKAN DIJAMIN SAKIT! George menyibak tirai di sebelah Sulap Muggle dan Harry melihat ruangan yang lebih gelap, lebih sedikit pengunjungnya. Kemasan barang-barang di ruangan ini lebih lembut. "Kami baru saja mengembangkan rangkaian produk yang lebih serius," kata Fred. "Lucu juga terjadinya ... " "Kau tak akan percaya betapa banyak orang, bahkan orang-orang yang bekerja di Kementerian, tidak bisa melakukan Mantra Pelindung," kata George. "Tentu, mereka tak punya kau untuk mengajari mereka, Harry." "Betul ... yah, kami pikir Topi Pelindung sedikit menggelikan. Kau tahu, tantang temanmu untuk memantraimu ketika kau memakai topi itu dan perhatikan wajahnya ketika mantra itu terpental. Tapi Kementerian memesan lima ratus untuk semua staf pendukungnya! Dan kami masih terus menerima order dalam jumlah sangat besar!" "Jadi, kami kembangkan menjadi Jubah Pelindung, Sarung Tangan Pelindung ... " "... memang sih, semua itu tidak akan banyak membantu untuk melawan Kutukan Tak Termaafkan, tapi untuk kutukan atau mantra ringan sampai menengah ... " "Dan kemudian kami berpikir untuk masuk ke seluruh area Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, karena bidang itu menghasilkan uang banyak sekali," George melanjutkan dengan antusias. "Ini cool. Lihat, Bubuk Kegelapan Instan, kami mengimpornya dari Peru. Ini praktis jika kau ingin kabur secara cepat." "Dan Detonator Jebakan kami baru saja meninggalkan rak, lihat," kata Fred, menunjuk sejumlah benda semacam peluit hitam berbentuk aneh yang memang berusaha kabur terburu-buru. "Kau tinggal menjatuhkan satu dengan diam-diam dan dia akan kabur dan mengeluarkan bunyi keras di tempat tak terlihat, memberimu pengalih perhatian jika kau memerlukannya." "Berguna," kata Harry, terkesan. "Nih," kata George, menangkap dua dan melemparkannya kepada Harry. Seorang penyihir perempuan muda dengan rambut pirang pendek menongolkan kepala dari balik tirai. Harry melihat dia juga memakai jubah seragam staf yang berwarna ungu kemerahan. "Ada pembeli di luar yang mencari kuali lelucon, Mr Weasley dan Mr Weasley," katanya. Aneh sekali kedengarannya bagi Harry mendengar Fred dan George dipanggil Mr Weasley, namun mereka menerimanya dengan tenang. "Baik, Verity, aku akan keluar," kata George segera. "Harry, ambil apa saja yang kau mau, oke? Gratis." "Tak bisa begitu!" kata Harry, yang sudah mengeluarkan kantong uangnya untuk membayar Detonator-Jebakan. "Kau tidak bayar di sini," kata Fred tegas, menolak emas Harry. "Tapi ." "Kau yang memodali kami membuka usaha ini, kami tidak lupa itu," kata George sungguh-sungguh. "Ambil apa saja yang kau suka, dan hanya ingat beritahu orang-orang dari mana kau mendapatkannya, kalau mereka tanya." George berjalan melewati tirai untuk membantu melayani para pembeli dan Fred membawa Harry kembali ke ruang utama toko. Ternyata Hermione dan Ginny masih mengagumi Mantra Lamunan Paten. "Kalian belum menemukan produk Wonder Witch istimewa kami?" tanya Fred. "Ikut aku, ladies ..." Dekat jendela berjajar barang-barang berwarna pink cerah, dikerumuni serombongan gadis yang cekikikan bersemangat. Hermione dan Ginny berhenti, keduanya tampak waspada. "Itu dia," kata Fred bangga. "Rangkaian ramuan cinta paling hebat yang bisa ditemukan di mana pun." Ginny mengangkat sebelah alis, sangsi. "Apakah ramuan itu bisa dipakai?" "Tentu saja, sampai dua puluh empat jam sekali pakai, tergantung pada berat tubuh cowok yang diincar ." ". dan daya tarik si cewek," kata George, tiba-tiba muncul lagi di sebelah mereka. "Tapi kami tidak menjual ramuan itu kepada adik kami," dia menambahkan, mendadak jadi tegas, "tidak kalau dia sudah punya lima cowok seperti yang kami ." "Apa pun yang kahan dengar dari Ron adalah bohong besar," kata Ginny kalem, mencondongkan diri ke depan untuk mengambil cepuk kecil merah jambu dari rak. "Apa ini?" "Penghilang Jerawat dalam Sepuluh-Detik Dijamin," kata Fred. "Manjur sekali untuk segala macam dari bisul sampai komedo, tapi jangan mengganti topik. Ya atau tidakkah kau sedang pacaran dengan cowok bernama Dean Thomas?" "Ya," kata Ginny. "Dan terakhir kali aku melihatnya dia jelas cuma satu cowok, bukan lima. Apa itu?" Dia menunjuk beberapa bola bulu bundar dalam nuansa warna merah jambu dan ungu, semuanya berguling-guling di dasar sebuah sangkar dan mengeluarkan cicit nyaring. "Pygmy Puff," kata George. "Puffskzein mini, laris sekali. Jadi, bagaimana dengan Michael Corner?" "Sudah kuputus, orangnya tidak bisa menerima kekalahan," kata Ginny, menjulurkan jarinya lewat jeruji sangkar dan memandang para Pygmy Puff mengerumuninya. "Mereka imut sekali!" "Mereka menyenangkan untuk dipeluk-peluk, ya memang, Fred menyimpulkan. "Tapi tidakkah kau berganti cowok agak terlalu cepat?" Ginny berbalik untuk memandangnya, tangannya di pinggul. Kemarahan di wajahnya mirip sekali Mrs Weasley sehingga Harry heran Fred tidak mundur ketakutan. "Itu bukan urusanmu. Dan aku akan berterima kasih kepadamu," dia menambahkan dengan marah kepada Ron, yang baru saja muncul di sebelah George, membawa setumpuk barang, "kalau tidak menyampaikan cerita bohong tentangku kepada mereka berdua!" "Semuanya tiga Galleon, sembilan Sickle, dan satu Knut," kata Fred, memeriksa tumpukan dos di tangan Ron. "Bayar." "Aku kan adik kalian!" "Dan yang kauambil itu barang-barang kami. Tiga Galleon, sembilan Sickle. Kuberi potongan satu Knut." "Tapi aku tak punya tiga Galleon, sembilan Sickle!" "Kalau begitu lebih baik kaukembalikan semuanya, dan kembalikan ke raknya yang benar." Ron menjatuhkan beberapa kotak, mengumpat, dan membuat gerakan kurang ajar dengan tangannya kepada Fred yang celakanya dilihat oleh Mrs Weasley, yang memilih saat itu untuk muncul. "Kalau kulihat kau melakukan itu lagi, kumantrai jari-jarimu supaya menempel," katanya tajam. "Mum, bolehkah aku punya Pygmy Puff?" kata Ginny segera. "Punya apa?" tanya Mrs Weasley waspada. "Lihat, mereka manis sekali ..." Mrs Weasley bergerak ke samping untuk melihat Pygmy Puff, dan Harry, Ron, dan Hermione selama beberapa saat bisa memandang ke luar jendela tanpa terhalang. Draco Malfoy berjalan bergegas sendirian. Ketika melewati Sihir Sakti Weasley, dia menoleh. Beberapa detik kemudian dia sudah bergerak di luar jangkauan jendela dan mereka kehilangan dia. "Di mana ibunya?" kata Harry, mengernyit. "Menyelinap kabur dari ibunya, kelihatannya," kata Ron. "Tapi kenapa?" kata Hermione. Harry tidak berkata apa-apa. Dia berpikir terlalu keras. Narcissa Malfoy tidak akan melepaskan anaknya yang berharga dari pengamatannya dengan suka rela. Malfoy pastilah berusaha keras melepaskan diri dari cengkeramannya. Harry, mengenal dan membenci Malfoy, yakin alasannya tak mungkin tidak mencurigakan. Harry memandang ke sekitarnya. Mrs Weasley dan Ginny sedang membungkuk menonton Pygmy Puff. Mr Weasley dengan gembira sedang memeriksa satu pak kartu permainan Muggle. Fred dan George sedang melayani pembeli. Di balik kaca, Hagrid berdiri membelakangi mereka, mengawasi jalanan. "Masuk ke bawah sini, cepat," kata Harry, menarik keluar Jubah Gaib dari tasnya. "Oh aku tak tahu, Harry," kata Hermione, memandang sangsi ke arah Mrs Weasley. "Ayo!" kata Ron. Hermione bimbang sedetik lagi, kemudian menelusup ke bawah Jubah bersama Harry dan Ron. Tak ada yang memperhatikan mereka menghilang, mereka semua terlalu tertarik pada barang-barang jualan Fred dan George. Harry, Ron, dan Hermione menyeruak keluar dari pintu secepat mereka bisa, namun saat mereka tiba di jalan, Malfoy telah menghilang juga seperti mereka. "Dia pergi ke arah itu," gumam Harry sepelan mungkin, supaya Hagrid yang sedang bersenandung tidak mendengarnya. "Yuk." Mereka berjalan bergegas, melihat ke kanan dan kiri, melalui etalase dan pintu toko, sampai Hermione menunjuk ke depan. "Itu dia, kan?" bisiknya. "Belok kiri?" "Kejutan besar," bisik Ron. Karena Malfoy dengan sembunyi-sembunyi memandang ke sekelilingnya, kemudian menyelinap ke Knockturn Alley dan menghilang dari pandangan. "Cepat, kalau tidak nanti kita kehilangan dia," kata Harry, bergegas. "Kaki kita akan kelihatan!" kata Hermione cemas, sementara Jubah melambai sedikit di sekeliling pergelangan kaki mereka. Jauh lebih sulit menyembunyikan mereka bertiga di bawah Jubah sekarang ini. "Tak apalah!" kata Harry tak sabar. "Cepat!" Namun Knockturn Alley, jalan kecil yang khusus menjual barang-barang Ilmu Hitam, tampak kosong melompong. Mereka mengintip melalui jendela-jendela yang mereka lewati, tapi tak satu pun toko ada pembelinya. Harry menduga seperti membuka rahasia jika dalam masa-masa bahaya dan mencurigakan ini orang membeli barang-barang Ilmu Hitam-atau paling tidak, terlihat sedang membelinya. Hermione mencubit keras lengannya. "Ouch!" "Shh! Lihat! Dia di dalam sana!" Hermione berbisik di telinga Harry. Mereka sudah tiba di depan satu-satunya toko di Knockturn Alley yang pernah dikunjungi Harry. Borgin and Burkes, yang menjual berbagai jenis barang mengerikan. Di antara lemari-lemari yang penuh tengkorak dan botol-botol, Draco Malfoy berdiri membelakangi mereka, terlihat di balik lemari hitam besar yang pernah menjadi tempat persembunyian Harry untuk menghindari Malfoy dan ayahnya. Dilihat dari gerakan tangannya, dia sedang bicara penuh semangat. Pemilik toko, Mr Borgin, seorang laki-laki bungkuk dengan rambut berminyak, berdiri di hadapan Malfoy. Ekspresi wajahnya campuran antara kesebalan dan ketakutan. "Kalau saja kita bisa mendengar apa yang mereka katakan!" kata Hermione. "Kita bisa!" kata Ron bergairah. "Tunggu sialan ..." Ron menjatuhkan dua-tiga kotak yang masih dipegangnya sementara dia berusaha membuka kotak yang paling besar. "Telinga Terjulur, lihat!" "Fantastis!" kata Hermione, sementara Ron mengulur benang-benang panjang warna-daging dan mulai memasukkannya ke bawah pintu. "Oh, kuharap pintu ini tidak dipasangi Mantra Penolak Gangguan ... " "Tidak!" kata Ron gembira. "Dengar!" Mereka mendekatkan kepala dan mendengarkan dengan cermat pada ujung-ujung benang. Lewat ujung-ujung benang itu suara Malfoy bisa terdengar keras dan jelas, seakan radio baru saja dinyalakan. "... kau tahu cara membetulkannya?" "Mungkin," kata Borgin, dengan nada yang menyiratkan dia tak bersedia melibatkan diri. "Tapi aku perlu melihatnya. Kenapa kau tidak membawanya ke toko saja?" "Tidak bisa," kata Malfoy. "Harus tetap di tempatnya. Aku cuma perlu kau beritahu bagaimana caranya." Harry melihat Borgin menjilat bibirnya dengan gugup. "Yah, tanpa melihatnya, harus kukatakan ini pekerjaan yang sulit sekali, bahkan barangkali tidak mungkin. Aku tak bisa menjamin apa pun." "Tidak?" kata Malfoy, dan Harry tahu, hanya dari nadanya, bahwa Malfoy menyeringai. "Mungkin ini akan membuatmu lebih mantap." Malfoy mendekati Borgin dan terhalang dari pandangan oleh lemari. Harry, Ron, dan Hermione bergerak ke samping, berusaha agar masih bisa melihatnya, namun yang bisa mereka lihat hanyalah Borgin, yang tampak sangat ketakutan. "Kalau kau berani cerita kepada siapa pun," kata Malfoy, "akan ada pembalasan. Kau tahu Fenrir Greyback? Dia teman keluarga kami. Dia akan datang dari waktu ke waktu untuk memastikan kau memberikan seluruh perhatianmu untuk masalah ini." "Tak perlu be ." "Aku yang akan memutuskan," kata Malfoy. "Nah, aku sebaiknya pergi. Dan jangan lupa menyimpan yang satu itu, aku akan membutuhkannya." "Mungkin kau mau membawanya sekarang?" "Tidak, tentu saja tidak, dasar bego, mana mungkin aku membawa-bawa itu sepanjang jalan? Jangan jual itu." "Tentu saja tidak ... Sir." Borgin membungkuk serendah bungkukan yang Harry pernah lihat diberikannya kepada Lucius Malfoy. "Jangan bilang kepada siapa pun, Borgin, termasuk ibuku, mengerti?" "Tentu, tentu," gumam Borgin, membungkuk lagi. Saat berikutnya, keheningan di atas pintu berdenting keras ketika Malfoy melangkah keluar dari toko, tampak sangat berpuas diri. Dia lewat sangat dekat dengan Harry, Ron, dan Hermione sehingga mereka merasakan jubah bergetar di sekitar lutut mereka lagi. Di dalam toko Borgin tetap berdiri membeku, senyum pura-puranya telah menghilang, dia tampak cemas. "Apa itu tadi?" bisik Ron, menggulung kembali Telinga Terjulur-nya. "Entahlah," kata Harry, berpikir keras. "Dia mau memperbaiki sesuatu ... dan dia memesan sesuatu di toko ... bisakah kau melihat apa yang ditunjuknya waktu dia bilang 'yang satu itu'?" "Tidak, dia di belakang lemari" "Kalian berdua tunggu di sini," bisik Hermione. "Apa yang akan kau?" Namun Hermione sudah menyelinap keluar dari bawah Jubah. Dia memeriksa rambutnya dalam bayangan di kaca, kemudian masuk ke toko, membuat keliningannya berbunyi lagi. Ron buru-buru menyelipkan lagi Telinga Terjulur ke bawah pintu dan memberikan salah satu benangnya kepada Harry. "Halo, pagi yang suram ya?" Hermione menyapa riang Borgin, yang tidak menjawab, melainkan melempar pandang curiga kepadanya. Bersenandung riang, Hermione berjalan melihat-lihat barang-barang yang dipajang di toko. "Apa kalung ini dijual?" dia bertanya, berhenti di sebelah lemari kaca. "Kalau kau punya seribu lima ratus Galleon," jawab Borgin dingin. "Oh-er-tidak, aku tak punya uang sebanyak itu," kata Hermione, meneruskan berjalan. "Dan ... bagaimana dengan tengkorak yang-um-cantik ini?" "Enam belas Galleon." "Jadi ini dijual? Tidak di ... simpan untuk seseorang?" Borgin menyipit memandangnya. Harry mendapat perasaan tak enak Borgin tahu apa yang sedang dilakukan Hermione. Rupanya Hermione juga merasa dia sudah ketahuan, karena mendadak dia mengabaikan sikap berhati-hatinya. "Soalnya-er-pemuda yang tadi di sini, Draco Malfoy, yah, dia teman saya, dan saya ingin membelikan hadiah ulang tahun untuknya, tapi kalau dia sudah memesan sesuatu, jelas saya tak ingin membelikannya barang yang sama, jadi ... um " Cerita yang lemah, menurut pendapat Harry, dan rupanya Borgin juga beranggapan sama. "Keluar," katanya tajam. "Keluar!" Hermione tak perlu disuruh dua kali. Dia bergegas ke pintu, dibuntuti Borgin. Setelah keliningan berdenting lagi, Borgin membanting pintu di belakang Hermione dan memasang tanda "Tutup". "Ah ya," kata Ron, mengerubungkan jubah ke atas Hermione. "Layak dicoba, tapi kau agak kentara" "Lain kali beritahu aku bagaimana caranya, Ahli Misteri!" bentak Hermione. Ron dan Hermione cekcok sepanjang perjalanan pulang ke Sihir Sakti Weasley. Di depan toko lelucon itu mereka terpaksa berhenti cekcok, agar bisa tanpa terdeteksi melewati Mrs Weasley yang wajahnya sangat cemas dan Hagrid, yang rupanya sudah menyadari mereka tak ada. Begitu sudah dalam toko, Harry menarik Jubah Gaib-nya, menyimpannya dalam tasnya, dan bergabung dengan dua sahabatnya ketika mereka bertahan, sebagai jawaban atas tuduhan Mrs Weasley, bahwa mereka selama itu berada di ruang belakang, dan bahwa Mrs Weasley mungkin kurang teliti mencari. 07. KLUB SLUG Harry menghabiskan sebagian besar minggu terakhir liburannya merenungkan makna tingkah laku Malfoy di Knockturn Alley. Yang paling mengganggunya adalah ekspresi berpuas diri Malfoy ketika dia meninggalkan toko. Yang bisa membuat Malfoy tampak begitu senang pastilah bukan berita bagus. Harry sedikit kesal, karena baik Ron maupun Hermione tidak sepenasaran dia tentang kegiatan Malfoy, atau paling tidak, mereka tampaknya menjadi bosan membicarakannya setelah lewat beberapa hari. "Ya, aku sudah setuju itu mencurigakan, Harry," kata Hermione agak tak sabar. Dia sedang duduk di ambang jendela di kamar Fred dan George dengan kaki ditumpangkan di atas salah satu kotak dan hanya mengangkat muka satu kali dengan enggan dari buku barunya Terjemahan Rune Tingkat Lanjut. "Tapi bukankah kita sudah sepakat bisa banyak penjelasannya?" "Barangkali Tangan Kemuliaan-nya patah," kata Ron, sambil lalu, selagi dia berusaha meluruskan ranting-ranting sapunya yang bengkok. "Ingat tangan keriput milik Malfoy?" "Tapi apa maksudnya waktu dia bilang 'Jangan lupa menyimpan yang itu'?" tanya Harry untuk kesekian kalinya. "Bagiku kedengarannya Borgin punya satu lagi barang seperti yang rusak, dan Malfoy menginginkan dua-duanya." "Menurutmu begitu?" kata Ron, sekarang berusaha mengerik kotoran dari gagang sapunya. "Yeah," kata Harry. Ketika Ron maupun Hermione tidak menjawab, dia berkata, "Ayah Malfoy di Akzaban. Tidakkah kalian pikir dia ingin balas dendam?" Ron mengangkat muka, mengerjap. "Malfoy, balas dendam? Apa yang bisa dilakukannya?" "Justru itu masalahnya, aku tak tahu!" kata Harry, frustrasi. "Tapi dia akan melakukan sesuatu dan kurasa kita harus menanggapinya dengan serius. Ayahnya Pelahap Maut dan ..." Harry mendadak berhenti, matanya terpaku pada jendela di belakang Hermione, mulutnya ternganga. Pikiran mengejutkan baru saja terlintas di benaknya. "Harry?" kata Hermione dengan suara cemas. "Ada apa?" "Bekas lukamu tidak sakit lagi, kan?" tanya Ron gugup. "Dia Pelahap Maut," kata Harry perlahan. "Dia menggantikan ayahnya sebagai Pelahap Maut!" Sekejap hening, lalu Ron meledak tertawa. "Malfoy? Dia baru enam belas tahun, Harry! Kaupikir Kau-Tahu-Siapa akan mengizinkan Malfoy bergabung?" "Rasanya tidak mungkin, Harry," kata Hermione, dengan suara tertahan. "Apa yang membuatmu berpikir?" "Di Madam Malkin's. Madam Malkin tidak menyentuhnya, tapi dia berteriak dan menjauhkan tangannya ketika Madam Malkin mau menggulung lengan jubahnya. Lengan kirinya. Dia sudah dicap dengan Tanda-Kegelapan." Ron dan Hermione saling pandang. "Yah ... " kata Ron, kedengarannya sama sekali tak yakin. "Menurutku dia hanya ingin keluar dari sana, Harry," kata Hermione. "Dia menunjukkan sesuatu pada Borgin yang tak dapat kita lihat," Harry berkeras. "Sesuatu yang benar-benar menakutkan Borgin. Tanda Kegelapan, aku tahu dia menunjukkan kepada Borgin dengan siapa dia berurusan, kalian lihat sendiri bagaimana seriusnya sikap Borgin terhadapnya!" Ron dan Hermione kembali bertukar pandang. "Aku tak yakin, Harry ... " "Yeah, aku masih berpendapat Kau-Tahu-Siapa tak akan mengizinkan Malfoy bergabung ... " Kesal, namun yakin sepenuhnya dia benar, Harry menyambar setumpuk jubah Quidditch kotor dan meninggalkan ruangan. Mrs Weasley sudah berhari-hari mendesak mereka agar tidak menunda mencuci dan mengepak koper mereka sampai saat terakhir. Di bordes Harry berpapasan dengan Ginny yang akan ke kamarnya membawa setumpuk pakaian yang baru dicuci. "Mendingan jangan ke dapur sekarang," Ginny memperingatkannya. "Ada banyak Dahak." "Aku akan berhati-hati agar tidak terpeleset," senyum Harry. Ternyata benar, ketika dia masuk ke dapur, Fleur sedang duduk di atas meja dapur, seru membicarakan rencana pernikahannya dengan Bill, sementara Mrs Weasley mengawasi setumpuk taoge yang mengupas sendiri, wajahnya tampak berang. "... Bill dan saya sudah hampir memutuskan dua pengiring saja, Ginny dan Gabrielle akan tampak sangat manis berdua. Saya pikir mereka bagus pakai emas pucat soalnya pink tidak cocok untuk rambut Ginny" "Ah, Harry!" kata Mrs Weasley keras-keras, memotong monolog Fleur. "Bagus, aku mau menjelaskan soal pengaturan pengamanan untuk perjalanan ke Hogwarts besok pagi. Kita mendapat pinjaman mobil Kementerian lagi, dan akan ada Auror menunggu di stasiun" "Apakah Tonks akan ada di sana?" tanya Harry mengulurkan seragam Quidditch-nya. "Tidak, kurasa tidak, dia ditugaskan di tempat lain, kata Arthur." "Dia membiarkan dirinya berantakan, si Tonks," kata Fleur merenung, mengamati bayangannya sendiri yang cantik di balik sendok teh. "Kesalahan besar, menurut sa-" "Ya, terima kasih," kata Mrs Weasley masam, menyela Fleur lagi. "Lebih baik kau mulai berkemas, Harry. Aku mau koper sudah siap malam ini, kalau mungkin, jadi kita tak usah ribut pada menit-menit terakhir." Ternyata keberangkatan mereka pagi berikutnya lebih lancar daripada biasanya. Ketika mobil Kementerian berhenti di depan The Burrow, mereka sudah siap menunggu, bersama koper-koper mereka, kucing Hermione, Crookshanks, sudah aman berada dalam keranjang perjalanannya, dan Hedwig, burung hantu Ron, Pigwidgeon, serta Pygmy Puff baru Ginny yang berwarna ungu, Arnold, dalam sangkar masing-masing. "Au revoir, 'Arry," kata Fleur dengan suara serakserak basah, seraya memberinya kecupan selamat tinggal. Ron bergegas maju, wajahnya penuh harap, namun Ginny menyorongkan kakinya dan Ron terjatuh, terjerembap di tanah di kaki Fleur. Marah, wajahnya merah padam, dan berlumur debu, Ron bergegas masuk mobil tanpa mengucapkan selamat tinggal. Tak ada Hagrid yang ceria menunggu mereka di Stasiun King's Cross. Alih-alih Hagrid, dua Auror berjenggot, berwajah suram, memakai setelan jas Muggle berwarna gelap, langsung maju menyongsong begitu mobil mereka berhenti dan, mengapit rombongan, mengawal mereka ke dalam stasiun tanpa bicara. "Cepat, cepat, melewati palang rintangan," kata Mrs Weasley, yang tampak agak bingung dengan adanya efisiensi yang keras ini. "Harry sebaiknya masuk dulu, dengan ." Dia menoleh dengan tatapan bertanya kepada salah satu Auror, yang mengangguk singkat, menyambar lengan Harry dan berusaha membawanya ke arah palang di antara peron sembilan dan sepuluh. "Aku bisa jalan, terima kasih," kata Harry jengkel, menyentakkan lepas lengannya dari pegangan si Auror. Dia mendorong trolinya ke penghalang padat, mengabaikan pengawalnya yang tidak bersuara, dan sedetik kemudian sudah berada di peron sembilan tiga perempat, tempat Hogwarts Express yang berwarna merah menunggu, menyemburkan asap di atas kerumunan orang-orang. Hermione dan keluarga Weasley menyusulnya beberapa detik kemudian. Tanpa menunggu berkonsultasi dengan Auror-nya yang berwajah-suram, dia memberi isyarat kepada Ron dan Hermione agar mengikutinya ke peron, mencari kompartemen kosong. "Kami tak bisa, Harry," kata Hermione, tampak menyesal. "Ron dan aku harus ke gerbong prefek dulu dan kemudian berpatroli di koridor-koridor sebentar." "Oh yeah, aku lupa," kata Harry. "Kalian semua sebaiknya segera naik ke kereta, tinggal beberapa menit lagi," kata Mrs Weasley, melihat arlojinya. "Nah, semoga semester ini menyenangkan, Ron ..." "Mr Weasley, boleh saya bicara sebentar?" kata Harry, yang mendadak mengambil keputusan. "Tentu," kata Mr Weasley, yang tampak agak terkejut, namun toh mengikuti Harry sampai di luar jangkauan pendengaran yang lain. Harry sudah memikirkannya baik-baik dan sampai pada kesimpulan bahwa, jika dia harus bercerita kepada seseorang, Mr Weasley-lah orang yang paling tepat. Pertama, karena dia bekerja di Kementerian, dan karena itu dalam posisi paling tepat untuk melakukan penyelidikan lebih jauh, dan kedua, karena Harry berpendapat tak terlalu banyak risiko Mr Weasley akan meledak marah. Dia bisa melihat Mrs Weasley dan si Auror berwajah suram melempar pandang curiga kepada mereka berdua ketika mereka menjauh. "Ketika kita di Diagon Alley -" Harry mulai, tapi Mr Weasley menyelanya dengan menyeringai. "Apakah aku akan diberitahu ke mana kau, Ron, dan Hermione menghilang sementara mestinya kalian berada di ruang belakang toko Fred dan George?" "Bagaimana Anda?" "Harry, sudahlah. Kau bicara dengan orang yang membesarkan Fred dan George." "Er ... yeah, baiklah, kami tidak berada di ruang belakang." "Baik, kalau begitu, marilah kita dengar yang terburuk." "Yah, kami membuntuti Draco Malfoy. Kami menggunakan Jubah Gaib saya." "Apa kau punya alasan khusus melakukan ini, atau hanya sekadar iseng?" "Karena saya mengira Malfoy merencanakan sesuatu," kata Harry, mengabaikan pandangan Mr Weasley yang menyiratkan campuran putus asa dan geli. "Dia kabur dari ibunya dan saya ingin tahu kenapa." "Tentu kau ingin tahu," kata Mr Weasley, kedengarannya menyerah. "Nah? Apakah kau berhasil tahu kenapa?" "Dia ke Borgin and Burkes," kata Harry, "dan mengancam pemiliknya, Borgin, untuk membantunya membetulkan sesuatu. Dan dia mengatakan dia ingin Borgin menyimpan sesuatu yang lain untuknya. Kedengarannya barang yang sama seperti yang perlu diperbaiki. Sepertinya dua barang itu sepasang. Dan ... " Harry menarik napas dalam-dalam. "Ada yang lain. Kami melihat Malfoy melompat menjauh ketika Madam Malkin mencoba menyentuh lengan kirinya. Saya rasa dia sudah dicap dengan Tanda Kegelapan. Saya rasa dia menggantikan ayahnya sebagai Pelahap Maut." Mr Weasley tampak kaget. Selewat beberapa saat dia berkata, "Harry, aku meragukan apakah Kau-Tahu-Siapa akan mengizinkan anak berumur enam belas tahun" "Apakah ada orang yang betul-betul tahu apa yang akan atau tidak akan dilakukan Kau-Tahu-Siapa?" tanya Harry berang. "Mr Weasley, saya minta maaf, tapi apakah itu tidak cukup berharga untuk diselidiki? Jika Malfoy menginginkan sesuatu diperbaiki dan dia harus mengancam Borgin untuk melakukannya, barangkali itu sesuatu yang ada hubungannya dengan Ilmu Hitam atau berbahaya, kan?" "Aku sangsi, jujur saja, Harry," kata Mr Weasley perlahan. "Soalnya waktu Lucius Malfoy ditangkap, kami menggeledah rumahnya. Kami mengambil semua yang bisa berbahaya." "Siapa tahu ada yang ketinggalan," kata Harry bandel. "Yah, mungkin juga," kata Mr Weasley, namun Harry tahu dia berkata begitu sekadar menyenangkannya. Terdengar peluit kereta di belakang mereka. Hampir semua sudah naik ke kereta dan pintu-pintunya mulai menutup. "Sebaiknya kau bergegas," kata Mr Weasley, sementara Mrs Weasley berteriak, "Harry, cepat!" Harry bergegas dan Mr dan Mrs Weasley membantunya mengangkat kopernya ke kereta. "Nah, Nak, kau akan datang di rumah kami untuk merayakan Natal. Sudah diatur dengan Dumbledore, jadi kami akan bertemu denganmu tak lama lagi," kata Mrs Weasley lewat jendela, ketika Harry membanting pintu di belakangnya dan kereta mulai bergerak. "Jaga dirimu baik-baik dan ." Kereta bertambah cepat. ". jangan nakal dan ." Mrs Weasley sekarang berlarian mengejar kereta. ". jangan ambil risiko!" Harry melambai sampai kereta berbelok dan Mr dan Mrs Weasley menghilang dari pandangan, kemudian berbalik untuk melihat yang lain ke mana. Ron dan Hermione pastilah ada di gerbong prefek, tetapi Ginny tak jauh di depannya, sedang mengobrol dengan beberapa temannya. Dia mendekati Ginny, menyeret kopernya. Anak-anak memandangnya tanpa malu-malu ketika dia mendekat. Mereka bahkan menempelkan wajah ke jendela kompartemen mereka agar bisa melihatnya. Harry sudah menduga jumlah pandangan melongo dan terpesona yang akan diterimanya akan meningkat semester ini setelah munculnya desas-desus "Sang Terpilih" dalam Daily Prophet, namun dia tidak menikmati sensasi berada dalam lampu sorot yang kelewat terang. Dia menepuk bahu Ginny. "Kita cari kompartemen yuk?" "Aku tak bisa, Harry, aku sudah janjian dengan Dean," kata Ginny ceria. "Sampai nanti." "Baiklah," kata Harry. Dia merasakan denyut kejengkelan yang aneh ketika Ginny pergi, rambut merahnya yang panjang menari-nari di belakangnya. Harry sudah terbiasa dengan keberadaan Ginny selama musim panas, sehingga dia hampir lupa bahwa Ginny tidak bergaul dengan dia, Ron, dan Hermione di sekolah. Kemudian dia mengerjap dan memandang berkeliling, dia dikelilingi cewek-cewek yang terpesona. "Hai, Harry!" kata suara yang sudah dikenalnya dari belakangnya. "Neville!" kata Harry lega, menoleh melihat seorang cowok bermuka-bundar bersusah payah mendekatinya. "Halo, Harry," kata seorang cewek berambut panjang dengan mata redup menonjol yang ada di belakang Neville. "Luna, apa kabar?" "Baik sekali, terima kasih," kata Luna. Dia menggenggam majalah di dadanya, huruf besar-besar di sampul majalah itu mengumumkan bahwa ada hadiah kacamata-hantu di dalamnya. "The Quibbler masih laris?" tanya Harry, yang memiliki perasaan suka khusus untuk majalah itu, yang tahun lalu diberinya wawancara eksklusif. "Oh ya, tirasnya naik terus," kata Luna senang. "Ayo kita cari tempat duduk," ajak Harry, dan ketiganya berjalan sepanjang kereta melewati gerombolan anak-anak yang memandang kagum Harry. Akhirnya mereka menemukan kompartemen kosong dan Harry bergegas masuk dengan bersyukur. "Mereka bahkan memandang kami," kata Neville, menunjuk dirinya dan Luna, "karena kami bersamamu!" "Mereka memandang kalian karena kalian ada di Kementerian juga," kata Harry, seraya menaikkan kopernya ke rak bagasi. "Petualangan kecil kita ditulis besar-besaran di Daily Prophet, kalian pasti sudah melihatnya." "Ya, tadinya kupikir Nenek akan marah dengan adanya segala publisitas itu," kata Neville, "tapi ternyata dia malah senang betul. Dia bilang aku mulai seperti ayahku akhirnya. Dia membelikanku tongkat sihir baru, lihat!" Neville mengeluarkan tongkat sihirnya dan memperlihatkannya kepada Harry. "Kayu ceri dan rambut unicorn," katanya bangga. "Dugaan kami ini salah satu tongkat sihir terakhir yang dijual Ollivander, dia menghilang hari berikutnya, balik sini, Trevor!" Dan Neville masuk ke kolong tempat duduknya untuk mengambil kembali kataknya yang memang sering kabur mencari kebebasan. "Apa kita masih mengadakan pertemuan LD tahun ini, Harry?" tanya Luna, melepas kacamata pengubahpersepsi dari tengah The Quibbler. "Tak perlu lagi sekarang, kita sudah menyingkirkan Umbridge, kan?" kata Harry, duduk. Kepala Neville terbentur tempat duduk ketika dia muncul dari bawahnya. Dia tampak kecewa sekali. "Aku suka LD! Aku belajar banyak denganmu!" "Aku juga menikmati pertemuan LD," kata Luna tulus. "Rasanya seperti punya teman." Ini salah satu hal kurang enak yang sering Luna ucapkan dan yang membuat Harry merasa kasihan bercampur malu. Namun sebelum dia sempat menjawab, ada gangguan di depan pintu kompartemen mereka. Serombongan anak perempuan kelas empat berbisik-bisik dan cekikikan di balik kaca. "Kau yang bilang!" "Tidak, kau!" "Biar aku saja!" Dan salah satu dari mereka, seorang anak perempuan bertampang-berani dengan mata besar hitam, dagu menonjol, dan rambut panjang hitam, masuk. "Hai, Harry, aku Romilda. Romilda Vane," katanya keras dan percaya diri. "Bagaimana kalau kau bergabung dengan kami di kompartemen kami? Kau tidak perlu duduk dengan mereka," dia menambahkan dalam bisikan panggung, menunjuk pantat Neville, yang nongol lagi dari bawah tempat duduk sementara dia meraba-raba mencari Trevor, dan Luna, yang sekarang memakai kacamata-hantu gratisnya, yang membuatnya tampak seperti burung hantu gila, multiwarna. "Mereka temanku," kata Harry dingin. "Oh," kata cewek itu, tampak sangat keheranan. "Oh, oke." Dan dia keluar, menggeser pintu menutup di belakangnya. "Orang-orang mengira temanmu lebih hebat daripada kami," kata Luna, sekali lagi memperlihatkan kecakapannya mengutarakan kejujuran yang membuat rikuh. "Kalian hebat," kata Harry pendek. "Tak seorang pun dari mereka berada di Kementerian. Mereka tidak bertarung bersamaku." "Ucapanmu sangat menyenangkan," kata Luna berseri-seri, dan dia mendorong kacamatanya lebih tinggi di atas hidung, lalu duduk untuk membaca The Quibbler. "Kami tidak menghadapinya, tapi," kata Neville, muncul dari bawah tempat duduk dengan sawang dan debu di rambutnya dan Trevor yang bertampang menyerah di tangannya. "Kau yang menghadapinya. Coba kalau kau mendengar nenekku ngomongin kau. 'Si Harry Potter itu punya keberanian lebih besar daripada seluruh Kementerian Sihir bersama-sama!' Dia bersedia memberikan apa saja untuk bisa punya cucu kau ... " Harry tertawa rikuh dan mengganti topik ke hasil OWL sesegera mungkin. Sementara Neville menyebutkan nilai-nilainya dan bertanya sendiri apakah dia akan diizinkan mengambil Transfigurasi NEWT dengan nilai hanya "Cukup", Harry mengawasinya tanpa benar-benar mendengarkan. Masa kanak-kanak Neville telah dirusak oleh Voldemort, sama seperti Harry, tetapi Neville sama sekali tak tahu betapa nyarisnya dia memiliki takdir seperti Harry. Ramalan itu bisa mengacu ke salah satu dari mereka berdua, namun, untuk alasan yang tak bisa diduga, Voldemort telah memilih memercayai bahwa Harry-lah yang dimaksud oleh ramalan itu. Seandainya Voldemort memilih Neville, dialah yang akan duduk di seberang Harry dengan bekas luka berbentuk sambaran petir dan memikul beban ramalan ... atau akan begitukah? Bersediakah ibu Neville mati untuk menyelamatkannya, seperti Lily telah mati demi Harry? Pasti dia bersedia ... tapi bagaimana jika dia tidak sanggup berdiri di antara putranya dan Voldemort? Apakah, kalau begitu, tak akan ada "Sang Terpilih"? Tempat duduk yang sekarang diduduki Neville kosong dan Harry yang tanpa bekas luka, yang akan diberi ciuman selamat tinggal oleh ibunya sendiri, bukan oleh ibu Ron? "Kau tak apa-apa, Harry? Tampangmu aneh," kata Neville. Harry kaget. "Sori aku ..." "Kena Wrackspurt?" tanya Luna penuh simpati, memandang Harry dari balik kacamata warna-warninya yang superbesar. "Aku kena apa?" "Wrackspurt ... mereka tidak kelihatan, mereka melayang masuk lewat telingamu dan membuat otakmu kabur," katanya. "Tadi kayaknya aku merasa ada satu yang beterbangan di sekitar sini." Tangannya menampar-nampar udara kosong, seakan memukuli ngengat besar yang tak kelihatan. Harry dan Neville saling pandang dan buru-buru bicara soal Quidditch. Cuaca di luar jendela kereta berubah-ubah, sama seperti keadaan sepanjang musim panas. Mereka melewati hamparan kabut dingin, kemudian cahaya matahari yang terang, tapi lemah. Dalam salah satu cuaca terang, ketika matahari kelihatan hampir tegak di atas kepala, Ron dan Hermione akhirnya memasuki kompartemen. "Mudah-mudahan troli makan siangnya cepat datang, aku lapar banget," kata Ron penuh harap, mengenyakkan diri di tempat duduk di sebelah Harry dan mengusap-usap perutnya. "Hai, Neville, hai, Luna. Coba tebak?" dia menambahkan, menoleh kepada Harry. "Malfoy tidak bertugas sebagai prefek. Dia cuma duduk di kompartemennya dengan anak-anak Slytherin yang lain, kami melihatnya waktu lewat tadi." "Apa yang dilakukannya waktu melihat kalian?" "Biasa," kata Ron tak acuh, mendemonstrasikan gerakan tangan tidak sopan. "Tidak seperti biasanya, kan? Yah maksudku" Ron melakukan gerakan tangan yang tadi lagi, "kenapa dia tidak keluar menakut-nakuti anak-anak kelas satu?" "Entahlah," kata Harry, namun otaknya sibuk. Bukankah ini sepertinya ada hal penting lain di pikiran Malfoy daripada menakut-nakuti murid-murid yang lebih kecil? "Mungkin dia lebih suka jadi anggota Regu Inkuisitorial," kata Hermione. "Mungkin prefek jadi kurang seru dibanding itu." "Kurasa tidak," kata Harry. "Menurut pendapatku dia ." Namun sebelum Harry bisa membeberkan teorinya, pintu kompartemen menggeser terbuka lagi dan seorang anak perempuan kelas tiga terengah masuk. "Aku diminta mengantar ini untuk Neville Longbottom dan Harry P-Potter," katanya gugup, ketika matanya bertatapan dengan mata Harry dan wajahnya berubah merah padam. Dia mengulurkan dua gulungan perkamen yang diikat pita ungu. Bingung, Harry dan Neville mengambil gulungan yang dialamatkan kepada mereka masing-masing dan si gadis gugup meninggalkan kompartemen. "Apa itu?" tuntut Ron, ketika Harry membuka gulungan perkamennya. "Undangan," kata Harry. "Harry, Aku akan senang kalau kau bersedia bergabung makan siang denganku di kompartemen C. Salamku, Profesor H.E.F Sloghorn" "Siapa Profesor Slughorn?" tanya Neville, memandang bingung undangannya. "Guru baru," kata Harry. "Yah, kurasa kita harus ke sana, kan?" "Tapi buat apa dia menginginkan aku hadir?" tanya Neville gugup, seakan dia akan menerima detensi. "Entahlah," kata Harry, yang tidak sepenuhnya benar, meskipun dia belum punya bukti apakah dugaannya betul. "Dengar," dia menambahkan, mendadak mendapat ide, "yuk kita ke sana dengan Jubah Gaib, supaya kita bisa melongok Malfoy di jalan, melihat apa yang akan dilakukannya." Ternyata ide ini tak bisa dilaksanakan. Koridor penuh anak-anak yang sedang menanti troli makan siang. Tak mungkin berjalan di antara mereka memakai Jubah. Dengan menyesal Harry menyimpan kembali Jubah-nya ke dalam tas, membayangkan sungguh menyenangkan memakainya, hanya untuk menghindari tatapan anak-anak, yang kini semakin menjadi-jadi. Di mana-mana anak-anak berlarian keluar dari kompartemennya, agar bisa melihatnya lebih jelas. Satusatunya perkecualian hanyalah Cho Chang, yang malah langsung melesat ke dalam kompartemen ketika melihat Harry mendekat. Ketika Harry melewati jendelanya, dilihatnya Cho sengaja ngobrol asyik dengan temannya Marietta, yang memakai dandanan tebal yang tidak sepenuhnya menyamarkan jajaran aneh jerawat yang masih terpeta di wajahnya. Menyeringai kecil, Harry meneruskan berjalan. Ketika tiba di kompartemen C, mereka langsung melihat bahwa yang diundang Slughorn bukan hanya mereka berdua, meskipun dinilai dari sambutan antusias Slughorn, Harry adalah yang paling diharapkan kehadirannya. "Harry, anakku!" kata Slughorn, melompat bangun begitu melihat Harry, sehingga perut besarnya yang terbungkus beludru seakan memenuhi sisa ruang dalam kompartemen. Kepala botaknya dan kumis peraknya yang besar berkilau dalam cahaya matahari sama terangnya dengan kancing-kancing emas di rompinya. "Senang melihatmu, senang melihatmu! Dan kau pasti Mr Longbottom!" Neville mengangguk, tampak ketakutan. Mengikuti isyarat Slughorn, mereka duduk berhadapan di dua kursi kosong yang tersisa, yaitu yang paling dekat pintu. Harry mengedarkan pandang pada para undangan yang lain. Dia mengenali anak Slytherin yang seangkatan dengan mereka, anak laki-laki jangkung berkulit hitam, dengan tulang pipi tinggi dan mata panjang sipit; juga ada dua anak laki-laki kelas tujuh yang tidak dikenal Harry, dan terimpit di sudut di sebelah Slughorn dan tampak seakan dia tak yakin sepenuhnya kenapa dia bisa berada di sana, Ginny. "Nah, kalian sudah kenal semuanya?" Slughorn menanyai Harry dan Neville. "Blaise Zabini di tingkat yang sama dengan kalian, tentu" Zabini tidak menunjukkan tanda-tanda mengenali ataupun menyapa, Harry dan Neville pun tidak. Anak-anak Gryffindor dan Slytherin pada prinsipnya saling membenci. "Ini Cormac McLaggen, mungkin kalian pernah bertemu? Belum?" McLaggen, seorang pemuda bertubuh besar dan berambut kawat, mengangkat tangan dan Harry dan Neville membalas mengangguk kepadanya. "dan ini Marcus Belby, aku tak tahu apakah?" Belby, yang kurus dan bertampang-gugup, tersenyum tegang. "dan gadis sangat menarik ini mengatakan dia mengenal kalian?" Slughorn mengakhiri perkenalannya. Ginny menyeringai kepada Harry dan Neville dari balik punggung Slughorn. "Wah, ini menyenangkan sekali," kata Slughorn gembira. "Kesempatan untuk mengenal kalian sedikit lebih baik. Ini, silakan ambil serbet. Aku sudah menyiapkan makan siang sendiri. Troli, seingatku, banyak Tongkat Likor-nya, dan sistem pencernaan orang tua yang malang tak cukup kuat untuk makanan semacam itu ... kalkun, Belby?" Belby tersentak, dan menerima apa yang tampak seperti separo kalkun dingin. "Aku tadi sedang memberitahu si Marcus ini bahwa aku senang mengajar pamannya Damocles," Slughorn memberitahu Harry dan Neville, sambil sekarang mengedarkan sekeranjang roti. "Penyihir luar biasa, luar biasa, dan Order of Merlin-nya memang layak sekali diterimanya. Kau sering bertemu pamanmu, Marcus?" Celakanya Belby baru saja menyuap sepotong besar kalkun. Dalam ketergesaannya menjawab Slughorn dia menelan terlalu cepat, tersedak, dan wajahnya berubah ungu. "Anapneo," kata Slughorn tenang, mengacungkan tongkat sihirnya ke arah Belby, yang tenggorokannya langsung lega. "Tidak ... tidak sering, tidak," sengal Belby, matanya berair. "Yah, maklum, pasti dia sibuk," kata Slughorn, memandang Belby ingin tahu. "Tentunya dia perlu kerja keras sewaktu menciptakan Ramuan Kutukan-Serigala!" "Saya kira ..." kata Belby, yang kelihatannya takut menyuap kalkun lagi sebelum yakin Slughorn sudah selesai dengannya. "Er ... sebetulnya Paman dan ayah saya tidak begitu rukun, jadi saya tak tahu banyak tentang ... " Suaranya menghilang ketika Slughorn memberinya senyum dingin dan beralih menoleh ke McLaggen. "Nah, kau, Cormac," kata Slughorn, "kebetulan aku tahu kau sering bertemu pamanmu Tiberius, karena dia punya foto bagus kalian berdua sedang berburu Nogtails di Norfolk, kalau tak salah?" "Oh, yeah, perburuan yang sangat menyenangkan," kata McLaggen. "Kami pergi dengan Bertie Higgs dan Rufus Scrimgeour-sebelum dia menjadi Menteri, tentu ." "Ah, kau kenal Bertie dan Rufus juga?" wajah Slughorn berseri. Sekarang dia menawarkan senampan kecil pai; entah bagaimana, Belby tidak ditawari. "Ceritakan padaku ... " Ternyata kecurigaan Harry benar. Semua orang di sini rupanya diundang karena mereka ada hubungannya dengan orang yang penting atau punya pengaruh besar-semuanya kecuali Ginny. KZabini, yang diinterogasi setelah McLaggen, ternyata ibunya penyihir yang kecantikannya tersohor (dari yang bisa disimpulkan Harry, dia menikah tujuh kali, semua suaminya meninggal secara misterius dan mewariskan beronggok emas). Berikutnya giliran Neville, sepuluh menit yang sangat tidak nyaman, karena orangtua Neville, Auror terkenal, telah disiksa sampai menjadi gila oleh Bellatrix Lestrange dan beberapa kroni Pelahap Maut-nya. Pada akhir wawancara, Harry mendapat kesan bahwa Slughorn menunda keputusan untuk Neville, masih ingin melihat apakah dia mewarisi kecakapan orang tuanya. "Dan sekarang," kata Slughorn, tubuh gemuknya bergerak di tempat duduknya dengan gaya seorang pembawa acara yang memperkenalkan bintang utamanya. "Harry Potter! Mulai dari mana? Kurasa aku hampir belum menyingkap permukaannya ketika kita bertemu musim panas lalu!" Dia memandang Harry sejenak seolah Harry sepotong besar kalkun yang lezat, kemudian berkata, "'Sang Terpilih', begitu mereka menyebutmu sekarang!" Harry diam saja. Belby, McLaggen, dan Zabini semua memandangnya. "Tentu saja," kata Slughorn, menatap Harry lekat-lekat, "sudah ada desas-desus selama bertahun-tahun ... aku ingat waktu yah setelah malam mengerikan itu LBy-James dan kau selamat dan berita yang beredar adalah bahwa kau pastilah memiliki kekuatan yang luar biasa" Zabini terbatuk kecil, yang jelas dimaksudkan menyiratkan keraguan dan kegelian. Suara marah terdengar dari belakang Slughorn. "Yeah, Zabini, karena kau sangat berbakat ... berakting.. " "Wah, wah!" decak Slughorn senang, menoleh memandang Ginny yang sedang mendelik kepada Zabini dari balik perut besar Slughorn. "Hati-hati, Blaise! Aku melihat gadis ini melakukan Kutukan Kepak Kelelawar yang hebat sekali waktu aku melewati gerbongnya! Kalau aku, aku tak berani membuatnya marah!" Zabini cuma tampak menghina. "Bagaimanapun juga," kata Slughorn, kembali berpaling ke Harry. "Begitulah desas-desus yang beredar musim panas ini. Tentu saja, kita tak tahu bisa dipercaya atau tidak, Prophet sudah diketahui mencetak data yang tidak benar, membuat kekeliruan tapi tampaknya tak diragukan lagi, berhubung banyak saksinya, bahwa memang terjadi keonaran cukup hebat di Kementerian dan bahwa kau terlibat dalam peristiwa itu!" Harry, yang tak bisa melihat jalan keluar dari sini kecuali berbohong, mengangguk namun tetap tidak berkata apa-apa. Slughorn berseri-seri memandangnya. "Sangat rendah hati, sangat rendah hati, pantas Dumbledore sangat menyukaimu kau memang di sana, kalau begitu? Tapi cerita-cerita yang lain-sangat sensasional, tentu saja, kita tak tahu lagi apa yang bisa dipercaya ramalan yang sangat terkenal ini, misalnya ..." "Kami tidak pernah mendengar ramalan," kata Neville, merona semerah bunga geranium ketika mengucapkannya. "Itu betul," kata Ginny mengukuhkan. "Neville dan saya juga di sana, dan semua omong kosong 'Sang Terpilih' ini cuma rekaan Prophet seperti biasanya." "Kalian berdua juga di sana?" kata Slughorn sangat tertarik, bergantian memandang Ginny dan Neville, namun keduanya sudah mengatup erat seperti kerang di depan senyum membujuk Slughorn. "Ya ... memang benar Prophet sering membesar-besarkan, tentu saja ... " Slughorn melanjutkan, kedengarannya agak kecewa, "Aku ingat dear Gwenog memberitahuku-Gwenog Jones, maksudku, tentu, kapten Holyhead Harpies ." Dia lalu panjang-lebar menceritakan kenangannya, namun Harry mendapat kesan jelas bahwa Slughorn belum selesai dengannya, dan bahwa dia belum diyakinkan oleh Neville dan Ginny. Waktu terus berlalu dengan anekdot tentang para penyihir terkenal yang pernah diajar Slughorn, semuanya dengan senang hati bergabung dalam kelompok yang disebutnya "Klub Slug" di Hogwarts. Nama yang konyol sebetulnya, mengingat kata "slug" yang dimaksudkan sebagai kependekan nama Slughorn ini bisa juga berarti "siput". Harry sudah tak sabar ingin pergi, namun tak tahu bagaimana bisa melakukannya dengan sopan. Akhirnya kereta muncul dari selubung kabut panjang yang lain ke dalam merahnya matahari terbenam, dan Slughorn memandang ke sekitarnya, mengerjap dalam temaram senja. "Astaga, sudah mulai gelap! Aku tidak memperhatikan mereka sudah menyalakan lampu! Kalian semua sebaiknya pergi dan berganti memakai jubah kalian. McLaggen, kau harus menemuiku dan meminjam buku tentang Nogtails. Harry, Blaise-kapan saja kalian lewat. Undangan yang sama untukmu, Nona," dia mengedip kepada Ginny. "Nah, pergilah, pergilah!" Ketika menyeruak mendahului Harry masuk koridor yang mulai gelap, Zabini melempar pandang benci, yang dibalas Harry dengan tertarik. Dia, Ginny, dan Neville mengikuti Zabini berjalan sepanjang kereta. "Aku senang pertemuan sudah selesai," gumam Neville. "Orang yang aneh, ya?" "Yeah, agak aneh," kata Harry, matanya terpancang pada Zabini. "Bagaimana ceritanya kau bisa di sana, Ginny?" "Dia melihatku memantrai Zacharias Smith," kata Ginny, "kau ingat idiot dari Hufflepuff yang tadinya ikut LID? Dia tanya terus tentang apa yang terjadi di Kementerian dan akhirnya membuatku sebal sekali, iadi kumantrai-waktu Slughorn masuk kupikir aku mau didetensi, tapi ternyata dia menganggap itu mantra yang hebat sekali dan mengundangku makan Siang! Sinting, eh?" "Alasan yang lebih baik untuk mengundang orang daripada karena ibu mereka terkenal," kata Harry, memandang sebal ke arah belakang kepala Zabini, atau karena paman mereka" Namun dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Baru aja ada ide melintas di benaknya. Ide sembrono, tetapi sungguh luar biasa ... sebentar lagi Zabini akan kembali memasuki kompartemen anak-anak kelas enam Slytherin dan Malfoy duduk di sana, mengira dirinya tak didengar oleh siapa pun kecuali teman-teman Slytherin-nya. jika Harry bisa masuk, tanpa terlihat, di belakangnya, entah apa yang bisa dilihat dan didengarnya? Betul, sisa perjalanan tinggal singkat-paling setengah jam lagi mereka sudah tiba di Stasiun Hogsmeade, kalau ditinjau dari liarnya pemandangan yang melintas di jendela tapi tak ada orang yang menganggap serius kecurigaan Harry, jadi tugasnyalah untuk membuktikannya. "Kita ketemu lagi nanti," desah Harry kepada Ginny dan Neville, seraya menarik keluar Jubah Gaib dan melemparnya menyelubungi dirinya. "Tapi apa yang kau .?" tanya Neville. "Nanti!" bisik Harry, melesat mengejar Zabini sebisa mungkin tanpa membuat suara, kendatipun derak kereta membuat kehati-hatian semacam itu tak perlu. Koridor-koridor nyaris kosong sekarang. Hampir semua anak sudah kembali ke gerbong mereka untuk berganti jubah seragam sekolah dan membereskan barang-barang mereka. Meskipun dia sudah sedekat mungkin dengan Zabini tanpa menyentuhnya, Harry tidak cukup cepat menyelinap ke dalam kompartemen ketika Zabini membuka pintu. Zabini sudah menggeser menutupnya ketika Harry buru-buru menjulurkan kakinya untuk mencegah pintu menutup. "Kenapa sih pintu ini?" kata Zabini berang sambil berkali-kali membenturkan pintu geser itu ke kaki Harry. Harry menyambar pintu dan mendorongnya terbuka, keras; Zabini, yang masih memegang erat pegangan pintu, terjatuh menyamping di pangkuan Gregory Goyle dan dalam kericuhan yang menyusul, Harry melesat masuk ke dalam kompartemen, melompat ke tempat duduk Zabini yang sementara masih kosong, dan naik ke atas rak bagasi. Untunglah Goyle dan Zabini saling bentak, membuat semua mata terarah kepada mereka, karena Harry yakin kaki dan pergelangan kakinya tampak ketika Jubah-nya melambai. Malah, sesaat Harry ngeri ketika dia mengira dia melihat mata Malfoy mengikuti sepatunya yang melayang menghilang dari pandangan; namun kemudian Geoyle membanting pintu menutup dan melemparkan Zabini dari pangkuannya. Zabini terpuruk di atas tempat duduknya sendiri, tampak bingung. Vincent Crabbe kembali membaca komiknya, dan Malfoy, terkekeh, kembali berbaring di atas dua tempat duduk dengan kepala di atas pangkuan Pansy Parkinson. Harry berbaring meringkuk tak nyaman di bawah Jubah-nya untuk memastikan setiap senti tubuhnya tersembunyi dan mengawasi Pansy menyibak rambut pirang licin Malfoy dari dahinya, seraya menyeringai, seakan siapa pun ingin berada di tempatnya. Lentera-lentera yang berayun dari langit-langit gerbong memancarkan cahaya terang, menyinari pemandangan dalam kompartemen. Harry bisa membaca 3emua kata dalam komik Crabbe yang persis di bawahnya. "Jadi, Zabini," kata Malfoy, "apa yang diinginkan Slughorn?" "Cuma berusaha beramah-tamah dengan orang-orang yang mempunyai koneksi bagus," kata Zabini, yang masih mendelik kepada Goyle. "Tidak berhasil mendapatkan banyak sih." Informasi ini tampaknya tidak menyenangkan Malfoy. "Siapa lagi yang dia undang?" tuntutnya. "Mc-Laggen dari Gryffindor," kata Zabini. "Oh yeah, pamannya orang penting di Kementerian," kata Malfoy. ". anak bernama Belby dari Ravenclaw" "Masa dia, dia kan bego!" kata Pansy. "dan Longbottom, Potter, dan cewek Weasley itu," Zabini mengakhiri informasinya. Malfoy duduk mendadak, menyingkirkan tangan Pansy. "Dia mengundang Longbottom?" "Yah, mestinya demikian, karena Longbottom ada di sana," kata Zabini tak acuh. "Apa yang dipunyai Longbottom sampai Slughorn tertarik?" Zabini mengangkat bahu. "Potter, Potter yang berharga, jelas dia ingin melihat 'Sang Terpilih'," seringai Malfoy, "tapi si cewek Weasley! Apa istimewanya dia?" "Banyak cowok yang suka padanya," kata Pansy, mengerling Malfoy dari sudut matanya untuk melihat reaksinya. "Bahkan kau juga menganggap dia cantik, kan, Blaise, dan kami semua tahu seleramu tinggi!" "Aku tak akan sudi menyentuh pengkhianat berdarah kotor macam dia, seperti apa pun tampangnya," kata Zabini dingin, dan Pansy tampak puas. Malfoy berbaring lagi di pangkuannya dan mengizinkannya melanjutkan membelai rambutnya. "Yah, aku kasihan pada Slughorn, seleranya rendah begitu. Mungkin dia sudah pikun. Sayang, ayahku selalu bilang dia dulu penyihir yang hebat. Ayahku dulu favoritnya juga. Slughorn barangkali tidak mendengar aku ada di kereta, kalau tidak ." "Jangan mengharap undangannya," kata Zabini. "Dia menanyaiku soal ayah Nott waktu aku baru tiba. Mereka dulu berteman, rupanya, tapi ketika mendengar ayah Nott tertangkap di Kementerian, dia tidak tampak senang, dan Nott tidak mendapat undangan, kan? Kurasa Slughorn tidak tertarik pada Pelahap Maut." Malfoy tampak murka, tapi memaksakan mengeluarkan tawa garing. "Yah, siapa yang peduli dia tertarik pada apa? Siapa sih dia, coba? Cuma guru goblok." Malfoy menguap dengan sok. "Maksudku, aku mungkin malah sudah tidak di Hogwarts tahun depan, apa peduliku kalau ada guru tua gemuk suka padaku atau tidak?" "Apa maksudmu, kau mungkin sudah tidak di Hogwarts tahun depan?" tanya Pansy mendongkol, langsung berhenti membelai Malfoy. "Yah, siapa tahu," kata Malfoy, tersenyum samar. "Aku mungkin sudah er menangani hal-hal lebih besar dan hebat." Meringkuk di atas rak bagasi di bawah Jubah-nya, jantung Harry mulai berdebar keras. Apa yang akan dikatakan Ron dan Hermione tentang ini? Crabbe dan Goyle melongo memandang Malfoy, rupanya mereka sama sekali tak tahu soal rencana menangani hal-hal lebih besar dan hebat. Bahkan wajah angkuh Zabini kini dihiasi rasa ingin tahu. Pansy meneruskan membelai pelan rambut Malfoy, tampak takjub. "Maksudmu Dia?" Malfoy mengangkat bahu. "Ibu menginginkan aku menyelesaikan sekolahku, tapi aku sendiri, aku tidak menganggap itu begitu perlu sekarang ini. Maksudku, coba pikirkan ... kalau Pangeran Kegelapan berkuasa, apakah dia akan peduli berapa OWL atau NEWT yang kita dapat? Tentu saja tidak ... yang penting jenis pelayanan seperti apa yang dia terima, tingkat kesetiaan yang ditunjukkan kepadanya." "Dan kaupikir kau bisa melakukan sesuatu untuknya?" tanya Zabini pedas. "Enam belas tahun dan bahkan belum berkualifikasi?" "Bukankah baru kubilang? Barangkali dia tidak peduli apakah aku berkualifikasi atau tidak. Barangkali pekerjaan yang dia ingin kukerjakan bukan sesuatu yang memerlukan kualifikasi," kata Malfoy pelan. Crabbe dan Goyle dua-duanya duduk dengan mulut ternganga seperti gargoyle. Pansy memandang Malfoy seakan belum pernah melihat sesuatu yang memesonakan seperti itu. "Hogwarts sudah kelihatan," kata Malfoy, kentara benar menikmati efek yang ditimbulkannya ketika dia menunjuk ke luar jendela yang gelap. "Lebih baik kita pakai jubah kita." Harry terlalu sibuk mengawasi Malfoy, dia tidak melihat Goyle mengambil kopernya; ketika dia mengayunkannya ke bawah, koper itu menghantam keras sisi kepala Harry. Harry mengeluarkan jerit kesakitan tertahan dan Malfoy mendongak, mengernyit memandang rak bagasi. Harry tidak takut kepada Malfoy, namun dia tak ingin ketahuan sedang bersembunyi di bawah Jubah Gaib-nya oleh serombongan anak Slytherin yang tidak ramah. Dengan mata masih berair dan kepala masih berdenyut, dia mencabut tongkat sihirnya, berhati-hati agar Jubah tidak tertarik, dan menunggu, dengan napas tertahan. Betapa leganya dia, Malfoy tampaknya memutuskan dia hanya membayangkan suara itu. Dia memakai jubahnya seperti yang lain, menggembok kopernya dan, selagi kereta bertambah pelan seperti merayap, mengancingkan mantel bepergian baru yang tebal di sekeliling lehernya. Harry bisa melihat koridor-koridor dipenuhi anak-anak lagi dan berharap Hermione dan Ron akan membawakan barang- barangnya ke peron. Dia terpaksa harus bertahan di tempatnya sampai kompartemen ini kosong. Akhirnya, dengan sentakan terakhir, kereta berhenti total. Goyle membuka pintu dan keluar menyeruak di antara rombongan anak-anak kelas dua, meninju mereka agar minggir. Crabbe dan Zabini mengikuti. "Kau keluar dulu," Malfoy berkata kepada Pansy, yang menunggunya dengan tangan terjulur, seakan berharap Malfoy akan menggandengnya. "Aku mau mengecek sesuatu." Pansy pergi. Sekarang Harry dan Malfoy hanya berdua dalam kompartemen. Orang-orang lewat, turun ke peron yang gelap. Malfoy bergerak ke pintu kompartemen dan menurunkan gordennya, sehingga orang-orang di koridor tidak bisa mengintip ke dalam. pia kemudian membungkuk di atas kopernya dan membukanya lagi. Harry mengintip dari tepi rak bagasi, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Apa yang ingin disembunyikan Malfoy dari Pansy? Apakah dia akan segera melihat barang rusak misterius yang sangat penting untuk diperbaiki? "Petrificus Totalus!" Tanpa diduga Malfoy mengacungkan tongkat sihirnya kepada Harry, yang langsung lumpuh. Seperti dalam gerakan pelan, dia terjungkal dari rak bagasi dan jatuh, dengan debam keras menyakitkan, di kaki Malfoy, Jubah Gaib terperangkap di bawahnya, seluruh tubuhnya kelihatan dengan kaki masih terlipat canggung dalam posisi meringkuk berlutut. Dia tak bisa menggerakkan satu otot pun dia hanya bisa memandang Malfoy, yang tersenyum lebar. "Sudah kuduga," katanya girang. "Kudengar koper Goyle menghantammu. Dan kupikir aku melihat ada sesuatu yang putih melesat di udara setelah Zabini kembali ... " Matanya sejenak memandang sepatu Harry. "Rupanya kau yang memblok pintu waktu Zabini masuk? Dia memandang Harry beberapa saat "Kau tidak mendengar sesuatu yang penting, Potter. Tapi mumpung kau di sini ... " Dan dia menginjak, kuat-kuat, wajah Harry. Harry merasa tulang hidungnya patah, darah muncrat ke mana-mana. "Itu dari ayahku. Sekarang, kita lihat ..." Malfoy menarik Jubah dari bawah tubuh Harry yang tak bergerak dan mengerudungkannya di atasnya. "Kukira mereka tak akan menemukanmu sampai kereta sudah tiba kembali di London," katanya pelan. "Sampai ketemu lagi, Potter ... atau tidak." Dan dengan sengaja menginjak jari-jari tangan Harry, Malfoy meninggalkan kompartemen. 08. KEMENANGAN SNAPE Harry tak bisa menggerakkan satu otot pun. dia tergeletak di bawah Jubah Gaibnya, merasakan darah dari hidungnya mengalir, panas,basah,di atas wajahnya, mendengarkan suara-suara dan langkah-langkah kaki di koridor. Dia langsung berpikir pasti akan ada orang yang mengecek kompartemen-kompartemen sebelum kereta berangkat lagi. Namun dia segera patah semangat menyadari bahwa,sekalipun ada yang melongok ke dalam kompartemen,orang itu tak akan melihat maupun mendengarnya. Harapan satu-satunya hanyalah ada orang yang akan masuk dan menginjaknya. Belum pernah Harry membenci Malfoy sebesar saat itu, ketika dia tergeletak seperti kura-kura yang terbalik tak berdaya, darah menetes amis ke dalam mulutnya yang terbuka. Sungguh konyol membuat dirinya berada dalam situasi semacam ini ... dan sekarang sisa langkah-langkah terakhir sudah semakin menjauh,semua orang sudah berjalan di sepanjang peron yang gelap di luar. Harry bisa mendengar seretan koper dan celoteh anak-anak. Ron dan Hermione akan menyangka dia sudah turun dari kereta tanpa menunggu mereka. Saat mereka tiba di Hogwarts dan duduk di tempat mereka di Aula Besar, mencari-cari di sepanjang meja Gryffindor beberapa kali dan akhirnya menyadari bahwa dia tidak ada, Harry tidak diragukan lagi, sudah setengah perjalanan menuju London. Dia berusaha membuat suara, bahkan cuma dengkur, namun tak berhasil. Kemudian dia ingat bahwa beberapa penyihir, seperti Dumbledore, bisa melakukan mantra tanpa bicara, maka dia berusaha memanggil tongkat sihirnya yang telah terlempar dari tangannya, dengan mengucapkan Accio tongkat! berulang-ulang dalam benaknya, namun tak terjadi apa-apa. Rasanya dia bisa mendengar gemerisik pepohonan yang mengelilingi danau, dan bunyi uhu burung hantu di kejauhan, namun tak ada tanda-tanda sedang diadakan pencarian, atau bahkan (dia merasa agak mengharapkan ini) suara-suara panik mempertanyakan kemana perginya Harry Potter. Perasaan tak berdaya menjalarinya ketika dia membayangkan konvoi kereta yang ditarik oleh Thestral bergerak menuju sekolah dan gelak tawa yang terdengar dari kereta yang dinaiki Malfoy. Di dalam kereta itu tentu Malfoy akan menceritakan serangannya terhadap Harry kepada teman-teman Slytherin-nya. Kereta menyentak, menyebabkan Harry berguling dan berbaring di sisi tubuhnya. Sekarang dia memandang bagian bawah tempat duduk yang berdebu alih-alih langit. Hogwarts Express sudah akan berangkat lagi dan tak seorang pun tahu dia masih di atasnya ... Kemudian dia merasa Jubah Gaib-nya melayang dari atas tubuhnya dan suara di atasnya berkata, "Hai, Harry." Ada kilatan cahaya merah dan tubuh Harry bebas dari kebekuan. Dia bisa mendorong dirinya ke posisi duduk yang lebih bernartabat, buru-buru mengusap darah dari wajahnya yang lebam dan punggung tangannya, dan mengangkat wajah memandang Tonks, yang memegangi Jubah Gaib yang baru ditariknya. "Kita sebaiknya turun, cepat-cepat," kata Tonkz, ketika jendela-jendela kereta mulai suram terkena asap dan kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun. "Ayo kita lompat." Harry bergegas mengikutinya ke koridor. Tonks membuka pintu kereta dan melompat ke peron, yang rasanya meluncur di bawah mereka sementara kereta semakin cepat. Harry mengikutinya, terhuyung sedikit ketika mendarat, kemudian menegakkan diri, dan masih sempat melihat kereta uap yang merah berkilat itu meluncur, membelok di sudut, dan menghilang dari pandangan. Angin malam yang dingin terasa nyaman bagi hidungnya yang berdenyut. Tonks mengamatinya. Harry merasa marah dan malu ditemukan dalam posisi yang begitu konyol. Tanpa bicara, Tonks mengulurkan Jubah Gaib-nya. "Siapa yang melakukannya?" "Draco Malfoy," kata Harry getir. "Terima kasih atas ... yah " "Kembali," kata Tonks, tanpa tersenyum. Yang bisa terlihat Harry dalam gelap, Tonks masih berambut sama kusam dan wajahnya sama merananya seperti ketika Harry bertemu dengannya di The Burrow. "Aku bisa membetulkan hidungmu kalau kau berdiri diam." Harry tidak begitu suka ide ini. Dia bermaksud mendatangi Madam Pomfrey, matron rumah sakit, yang Mantra Penyembuh-nya sedikit lebih dia percayai, namun rasanya tidak sopan mengatakan ini, maka dia berdiri diam dan memejamkan mata. "Episkey," kata Tonks. Hidung Harry terasa sangat panas, kemudian sangat dingin. Harry mengangkat tangannya dan meraba hidungnya dengan hati-hati sekali. Kelihatannya sudah betul. "Terima kasih banyak!" "Sebaiknya kaupakai lagi Jubah-mu, dan kita bisa berjalan ke sekolah," kata Tonks, masih tanpa senyum. Sementara Harry mengerudungkan Jubah-nya ke tubuhnya, Tonks melambaikan tongkat sihirnya. Sesosok makhluk besar berkaki-empat muncul dari tongkat itu dan melesat ke dalam kegelapan. "Apakah itu Patronus?" tanya Harry, yang pernah melihat Dumbledore mengirim pesan seperti itu. "Ya, aku mengirim kabar ke sekolah bahwa aku sudah menemukanmu, kalau tidak mereka akan cemas. Ayo, lebih baik kita jangan membuang-buang waktu." Mereka beranjak ke jalan yang menuju sekolah. "Bagaimana kau menemukanku?" "Kuperhatikan kau tidak turun dari kereta dan aku tahu kau membawa Jubah-mu. Kupikir kau mungkin bersembunyi karena alasan tertentu. Ketika kulihat gorden kompartemen itu tertutup, kupikir sebaiknya aku mengeceknya. "Tapi apa yang kau lakukan di sini sebetulnya?" Harry bertanya. "aku ditempatkan di Hogsmeade sekarang, untuk memberi perlindungan ekstra bagi sekolah," kata Tonks. "Hanya kau yang ditempatkan di sini, atau --?" "Tidak, Proudfoot, Savage, dan Dwalish juga di sini." "Dawlish, Auror yang diserang Dumbledore tahun lalu?" "Betul." Mereka berjalan dengan susah payah sepanjang jalan yang gelap dan kosong, mengikuti jejak kereta. Harry mengerling Tonks dari bawah Jubah-nya. Tahun lalu Tonks sangat ingin tahu (sampai kadang-kadang agak menyebalkan); dia mudah tertawa, dia bergurau. Sekarang Tonks tampak lebih tua dan jauh lebih serius dan punya niat. Apakah ini dampak atas apa yang terjadi di Kementrian? Harry membayangkan dengan tak nyaman bahwa Hernione pasti akan menyarankan dia mengatakan sesuatu yang menghibur tentang Sirius kepada Tonks, bahwa kejadian itu sama sekali bukan salahnya, namun Harry tak sanggup melakukannya. Dia sama sekali tak menyalahkan Tonks atas kematian Sirius; bukan salah Tonks ataupun orang lain (Harry sendiri lebih pantas disalahkan), tetapi dia tak suka bicara tentang Sirius kalau bisa menghindarinya. Maka mereka berjalan menembus dinginnya malam dalam kesunyian, mantel panjang Tonks berkeresek di tanah di belakang mereka. Selalu ke sana naik kereta, Harry tak pernah menyadari betapa jauhnya Hogwarts dari Stasiun Hogsmeade. Lega sekali dia akhirnya melihat pilar tinggi di kanan-kiri gerbang, yang pada masing-masing puncaknya bertengger babi hutan liar bersayap. Harry kedinginan, lapar, dan sudah ingin meninggalkan Tonks baru yang muram ini. Namun ketika dia mengulurkan tangan untuk membuka gerbang, ternyata gerbang dirantai. "Alohomora!" katanya mantap, seraya mengacungkan tongkat sihirnya ke gembok, namun tak terjadi apa-apa. "Mantra itu tidak bisa digunakan untuk ini," kata Tonks. "Dumbledore sendiri yang memantrainya." Harry memandang ke sekitarnya. "Aku bisa memanjat tembok," dia mengusulkan. "Tidak bisa," kata Tonks datar. "Semua tembok dipasangi Mantra Penolak Gangguan. Keamanan ditingkatkan seratus kali lipat musim panas ini." "Yah, kalau begitu," kata Harry, mulai merasa jengkel pada Tonks yang tidak membantu sama sekali, "Kurasa aku harus tidur di sini dan menunggu pagi datang." "Ada yang datang menjemputmu," kata Tonks. "Lihat." Ada lentera terayun di kaki kastil di kejauhan. Saking senangnya melihat lentera itu, Harry merasa dia bahkan bisa menanggung kritik serak Filch dan omelannya tentang bagaimana kedisiplinannya soal waktu akan membaik kalau secara teratur dia dikenai siksaan-ibu jari. Ketika cahaya kuning yang berpendar itu berjarak kira-kira tiga meter dari mereka, dan Harry sudah melepas Jubah Gaib-nya supaya dia bisa terlihat, barulah dia mengenali, dengan kebencian yang lansung menjalari tubuhnya, hidung bengkok mencuat dan rambut hitam panjang berminyak Severus Snape. "Wah, wah, wah," cemooh Snape, sembari mencabut tongkat sihir dan mengetuk gembok, sehingga rantainya meluncur mundur dan gerbang berderit membuka. "Baik sekali kau mau muncul, Potter, meskipun jelas sekali kau sudah memutuskan bahwa memakai jubah seragam sekolah akan mengurangi kekerenanmu." "Saya tak bisa berganti pakaian, koper saya tak -- " Harry mau menjelaskan, namun Snape memotongnya. "Tak perlu menunggu, Nymphadora. Potter cukup - ah -aman di tanganku." "Pesanku kumaksudkan untuk diterima Hagrid," kata Tonks mengernyit. "Hagrid terlambat datang untuk pesta awal tahun ajaran, sama seperti Potter ini, jadi aku yang menerimanya. Dan kebetulan," kata Snape, mundur supaya Harry bisa lewat, "Aku tertarik melihat Patronus barumu." Snape menutup gerbang dengan dentang keras di depan hidung Tonks dan mengetuk rantainya dengan tongkat sihirnya lagi, sehingga rantai itu meluncur, kembali ke tempatnya semula. "Menurutku Patronus lamamu lebih bagus," kata Snape, kebencian dalam suaranya kentara sekali, "Yang baru ini kelihatannya lemah." Selagi Snape berbalik mengayunkan lenteranya, Harry melihat, sekilas, kekagetan dan kemarahan di wajah Tonks. Kemudian dia hilang ditelan kegelapan. "Selamat malam," Harry menoleh dan berteriak, ketika dia memulai perjalanannya menuju kastil dengan Snape. "Terima kasih atas ... segalanya." "Sampai ketemu lagi, Harry." Snape tidak bicara selama kira-kira satu menit. Harry merasa seakan tubuhnya memancarkan gelombang kebencian yang sangat kuat sehingga tidak masuk akal rasanya Snape tidak merasakannya membakar tubunya. Harry sudah membenci Snape sejak pertemuan pertama mereka, namun Snape telah membuat dirinya untuk selamanya tak mungkin dimaafkan Harry karena sikapnya terhadap Sirius. Apa pun yang dikatakan Dumbledore, Harry punya banyak waktu untuk merenungkannya selama musim panas, dan dia menyimpulkan bahwa sindiran-sindiran Snape kepada Sirius tentang Sirius yang tetap aman bersembunyi sementara anggota Orde Phoenix yang lain memerangi Voldemort, barangkali menjadi pemicu utama Sirius bergegas ke Kementrian pada malam dia meninggal itu. Harry berpegang teguh pada gagasan ini, karena pendapat ini membuatnya bisa menyalahkan Snape, yang membuatnya merasa puas, dan juga karena dia tahu kalau ada yang tidak menyesal Sirius meninggal, orang yang sekarang berjalan di sebelahnya dalam kegelapan inilah orangnya. "Potong lima puluh angka dari Gryffindor karena telat, kurasa," kata Snape. "Dan, sebentar kupikirkan, potongan tambahan dua puluh karena berpakaian Muggle. Tahukah kau, rasanya belum ada asrama yang dikurangi angkanya seawal ini dalam tahun ajaran -- kita bahkan belum makan puding. Kau memecahkan rekor, Potter." Kemarahan dan kebencian yang bergolak di dalam diri Harry berkobar hebat, namun bagi Harry lebih baik dia tidak bisa bergerak terkirim ke London daripada memberitahu Snape kenapa dia terlambat. "Kurasa kau mau muncul secara hebat, ya?" Snape melanjutkan. "Dan tanpa adanya mobil terbang, kau memutuskan muncul di Aula Besar ketika acara makan sudah setengah jalan bisa menghasilkan efek dramatis." Masih saja Harry diam, kendati rasanya dadanya sudah hampir meledak. Dia tahu Snape menjemputnya untuk ini, untuk mendapatkan waktu beberapa menit ketika dia bisa memaki dan menyiksa Harry tanpa ada yang mendengarkan. Mereka akhirnya tiba di undakan kastil dan ketika pintu depan yang besar dan terbuat dari kayu ek mengayun membuka ke Aula Depan yang luas berlantai batu, serbuan celoteh dan tawa dan denting piring dan gelas menyambut mereka dari pintu-pintu yang terbuka menuju ke Aula Besar. Harry membatin, apakah dia bisa diam-diam memakai Jubah Gaib-nya lagi, sehingga bisa tiba di tempat duduknya di meja panjang Gryffindor (yang sayangnya terletak paling jauh dari Aula Depan) tanpa dilihat orang. Seakan bisa membaca pikiran Harry, Snape berkata, "Dilarang pakai Jubah. Masuk saja berjalan biasa supaya semua orang bisa melihatmu, kan itu yang kau inginkan, aku yakin." Harry langsung berputar dan berjalan memasuki pintu yang terbuka; apa saja adalah bisa kabur dari Snape. Aula Besar, dengan empat meja panjang asrama dan meja guru di ujung ruangan, seperti biasa didekorasi dengan lilin-lilin menyala yang membuat piring-piring di bawahnya berkilau gemerlap. Namun semuanya hanya seperti bayangan cahaya yang kabur bagi Harry, yang berjalan cepat sekali sehingga dia sudah melewati meja Hufflepuff sebelum anak-anak mulai memandangnya, dan ketika mereka berdiri agar bisa melihatnya lebih jelas, Harry sudah melihat Ron dan Hermione, bergegas melewati bangku-bangku menuju mereka dan menyelinap duduk diantara mereka. "Darimana kau -- astaga, kau apakan mukamu?" kata Ron, terbelalak menatapnya bersama anak-anak lain di dekatnya. "Kenapa memangnya?" kata Harry, menyambar sendok dan menyipitkan mata mengawasi bayangannya yang terdistorsi. "Kau berlumuran darah!" kata Hermione. "Sini --" Hermione mengangkat tongkat sihirnya, berkata, "Tergeo!" dan menyedot darah kering di wajah Harry. "Trims," kata Harry, meraba wajahnya yang sekarang bersih. "Bagaimana kelihatannya hidungku?" "Normal," kata Hermione cemas. "Kenapa tidak? Harry, apa yang terjadi? Kami dari tadi ngeri!" "Nanti saja kuberitahu kalian," kata Harry pendek. Dia sadar sekali bahwa Ginny, Neville, Dean, dan Seamus mendengarkan; bahkan Nick si Kepala-Nyaris-Putus, hantu Gryffindor, telah melayang di atas bangku-bangku untuk mencuri dengar. "Tapi -- " "Tidak sekarang, Hermione," kata Harry, dengan suara memperingatkan. Dia sangat berharap mereka semua mengasumsikan dia terlibat sesuatu yang heroik, lebih baik kalau melibatkan beberapa Pelahap Maut dan Dementor. Tentu saja Malfoy akan menyebarkan cerita ini seluas mungkin, tetapi selalu ada kemungkinan cerita itu tidak sampai ke banyak telinga Gryffindor. Melewati Ron, dia menjangkau dua kaki ayam dan segenggam kentang goreng, namun sebelum dia berhasil mengambilnya, makanan itu lenyap, digantikan oleh puding dan kue-kue. "Kau ketinggalan acara Seleksi," kata Hermione, ketika Ron menyambar sepotong besar kue coklat. "Tapi mengatakan sesuatu yang menarik?" tanya Harry, mencomot sepotong tar karamel. "Kurang-lebih sama, sebetulnya ... menasihati kita semua untuk bersatu menghadapi musuh kita, kau tahu." "Dumbledore menyebut-nyebut Voldemort?" "Belum, tapi dia selalu menyampaikan pidato seriusnya setelah acara makan, kan? Tak lama lagi sekarang." "Snape bilang Hagrid terlambat datang ke pesta -- " Ron di sela-sela kegiatannya menyuap kue. "Kebetulan saja bertemu," kata Harry menghindar. "Hagrid cuma terlambat beberapa menit," kata Hermione. "Lihat, dia melambai kepadamu, Harry." Harry mendongak memandang meja guru dan nyengir kepada Hagrid, yang memang sedang melambai kepadanya. Hagrid tak pernah berhasil bersikap berwibawa seperti Profesor McGonagall, Kepala Asrama Gryffindor, yang puncak kepalanya mencapai pertengahan antara siku dan bahu Hagrid. Profesor McGonagall duduk di sebelah Hagrid dan tampak tidak menyetujui sambutan antusias ini. Harry heran melihat guru Ramalan, Profesor Trelawney jarang sekali meninggalkan kamar menaranya dan Harry belum pernah melihatnya dalam pesta awal tahun ajaran. Penampilannya sama eksentriknya seperti biasanya, dengan manik-manik berkelap-kelip dan syal-syal panjang, matanya diperbesar ke ukuran luar biasa oleh kacamatanya. Harry yang selama ini menganggap omongan Profesor Trelawney omong kosong belaka, menjadi shock pada akhir tahun ajaran lalu karena ternyata Profesor Trelawney-lah yang membuat ramalan yang menyebabkan Lord Voldemort membunuh orangtua Harry dan menyerang Harry sendiri. Mengetahui hal ini membuat Harry semakin segan bergaul dengan Profesor Trelawney, namun untungnya tahun ini dia tidak akan ikut pelajaran Ramalan lagi. Mata Profesor Trelawney yang besar seperti lampu mercu suar berputar ke arah Harry; Harry buru-buru menoleh memandang meja Slytherin. Draco Malfoy sedang memeragakan tulang hidung yang patah, disambut gelak tawa dan tepuk tangan. Harry menunduk memandang kue karamelnya, dibakar kemarahan lagi. Dia rela memberikan apa saja asal bisa berkelahi dengan Malfoy satu lawan satu ... "Jadi, apa yang diinginkan Profesor Slughorn?" tanya Hermione. "Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Kementrian," kata Harry. "Dia dan semua orang lain yang ada di sini," dengus Hermione. "Orang-orang menginterogasi kami soal itu di kereta, iya kan, Ron?" "Yeah," kata Ron. "Semua ingin tahu apakah kau benar-benar Sang Terpilih -- " "Ada banyak pembicaraan soal topik itu bahkan di antara para hantu," sela Nick si Kepala-Nyaris-Putus, mencondongkan kepalanya yang nyaris terlepas ke arah Harry, sehingga kepala itu bergoyang mengerikan pada rimpel di sekeliling lehernya. "Aku dianggap ahli-Potter; semua hantu tahu kita bersahabat. Tapi aku sudah memberitahu komunitas hantu aku tidak akan menggerecokimu mencari informasi. 'Harry Potter tahu dia bisa memercayaiku sepenuhnya,' begitu kataku kepada mereka. 'Lebih baik aku mati daripada mengkhianati kepercayaannya.'" "Yee itu mah sama saja bohong, kau kan sudah mati," ledek Ron. "Sekali lagi kau menunjukkan kepekaanmu ibarat kapak tumpul," kata Nick si Kepala-Nyaris-Putus dengan nada terhina, dan dia naik ke udara dan melayang kembali ke ujung meja Gryffindor, tepat ketika Dumbledore bangkit dari kursinya di meja guru. Celotehan dan tawa di sekeliling meja-meja hampir serentak menghilang. "Selamat menikmati malam yang indah ini!" katanya, tersenyum lebar, lengannya terentang lebar, seolah memeluk seluruh ruangan. "Tangannya kenapa?" celetuk Hermione kaget. Hermione bukan satu-satunya yang memperhatikan tangan kanan Dumbledore tampak menghitam dan mati seperti pada malam dia datang menjemput Harry dari rumah keluarga Dursley. Bisik-bisik melanda seluruh ruangan. Dumbledore, menginterpretasinya dengan tepat, hanya tersenyum dan menggoyang lengan bajunya yang berwarna ungu dan keemasan untuk menutupi lukanya. "Tak ada yang perlu dicemaskan," katanya ringan. "Nah ... kepada murid-murid baru, selamat datang; kepada murid-murid lama, selamat datang kembali! Satu tahun penuh pendidikan sihir menanti kalian ... " "Tangannya sudah seperti itu waktu aku bertemu dengannya musim panas lalu," Harry berbisik kepada Hermione. "Kupikir dia sekarang sudah menyembuhkannya ... atau Madam Pomfrey yang menyembuhkannya." "Kelihatannya tangannya mati," kata Hermione, wajahnya seperti orang mual. "Tapi ada luka-luka yang tak bisa disembuhkan ... kutukan-kutukan lama ... dan ada juga racun yang tak ada penangkalnya ... " "... dan Mr Filch penjaga sekolah, memintaku untuk menyampaikan, ada larangan bagi barang lelucon apa pun yang dibeli di toko yang bernama Sihir Sakti Weasley. Mereka yang berminat bermain untuk tim Quidditch asramanya, silahkan mendaftar pada para Kepala Asrama masing-masing seperti biasanya. Kami juga mencari komentator Quidditch baru; para peminat juga silahkan mendaftar ke Kepala Asrama kalian. "Kami gembira menyambut anggota baru dalam staf guru tahun ini. Profesor Slughorn," Slughorn berdiri, kepalanya yang botak berkilat dalam cahaya lilin, perut besarnya yang tertutup rompi membentuk bayangan di meja di bawahnya, "adalah rekan kerja lamaku yang telah setuju mengajar Ramuan lagi." "Ramuan?" "Ramuan?" Kata itu bergaung di seluruh ruangan ketika anak-anak bertanya-tanya sendiri apakah yang mereka dengar benar. "Ramuan?" kata Ron dan Hermione berbarengan, menoleh memandang Harry. "Tapi kau bilang -- " "Profesor Snape, sementara itu," kata Dumbledore, mengeraskan suaranya sehingga mengatasi dengung gumam, "akan mengambil alih posisi guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam." "Tidak!" kata Harry, keras sekali sehingga banyak kepala menoleh ke arahnya. Harry tidak peduli; dia memandang meja guru, berang. Bagaimana mungkin Snape diberi tugas mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam setelah selama ini ditolak? Bukankah sudah diketahui secara luas bertahun-tahun bahwa Dumbledore tidak memercayainya untuk mengajar mata pelajaran ini? "Tapi Harry, kau bilang Slughorn akan mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam!" kata Hermione. "Kusangka begitu!" kata Harry, memeras otak untuk mengingat kapan Dumbledore memberitahukan ini kepadanya, tetapi sekarang jika dipikir-pikir lagi, dia tak bisa mengingat Dumbledore pernah memberitahunya mata pelajaran apa yang akan diajarkan Slughorn. "Snape, yang duduk di sebelah kanan Dumbledore, tidak berdiri mendengar namanya disebut. Dia hanya mengangkat tangan sekadarnya untuk menanggapi aplaus dari meja Slytherin, namun Harry bisa melihat ekspresi kemenangan di wajah yang amat dibencinya. "Yah, ada satu hal bagus," katanya liar. "Snape akan pergi akhir tahun ajaran ini." "Apa maksudmu?" tanya Ron. "Jabatan itu terkutuk. Tak ada yang bertahan lebih dari setahun ... Quirrell malah mati. Aku pribadi mengharapkan kematian lagi." "Harry!" seru Hermione, shock dan mencela. "Dia mungkin cuma balik mengajar Ramuan pada akhir tahun ajaran," kata Ron masuk akal. "Si Slughorn itu mungkin tak mau mengajar jangka-panjang. Moody tak mau." Dumbledore berdeham. Bukan hanya Harry, Ron, dan Hermione yang bicara; seluruh Aula langsung berdengung dengan pembicaraan mendengar kabar bahwa Snape akhirnya berhasil mendapatkan jabatan yang telah lama didambakannya. Tampak tak menyadari sensasi berita yang baru saja disampaikannya, Dumbledore tidak berkata apa-apa lagi soal penunjukkan guru, melainkan menunggu beberapa detik untuk memastikan suasana sudah hening total sebelum dia melanjutkan. "Nah, seperti semua anak di Aula ini tahu, Lord Voldemort dan para pengikutnya sekali lagi bebas dan semakin kuat." Keheningan rasanya menjadi tegang dan geting ketika Dumbledore bicara. Harry mengerling Malfoy. Malfoy tidak senang memandang Dumbledore, melainkan membuat garpunya melayang di udara dengan tongkat sihirnya, seolah menurutnya kata-kata Kepala Sekolah tak layak mendapat perhatiannya. "Aku tak dapat menekankan dengan cukup kuat betapa bahayanya situasi saat ini, dan kita semua di Hogwarts harus berusaha sekuat kita untuk memastikan kita aman. Kubu pertahanan sihir kastil ini telah diperkuat selama musim panas, kita dilindungi dengan cara-cara baru yang lebih kuat, tetapi kita masih berjaga dengan amat hati-hati supaya jangan sampai terjadi kecerobohan dari pihak murid atau anggota staf guru. Maka aku menganjurkan agar kalian mematuhi peraturan keamanan yang diberlakukan guru-guru kalian, betapapun menjengkelkannya itu bagi kalian-terutama peraturan yang melarang kalian di luar tempat tidur selewat jam yang ditentukan. Aku memohon dengan sangat, seandainya kalian melihat sesuatu yang aneh atau mencurigakan di dalam atau pun di luar kastil, segeralah laporkan pada anggota staf guru. Aku berharap, dalam bersikap, kalian selalu mempertimbangkan keselamatan kalian sendiri dan juga keselamatan yang lain." Mata biru Dumbledore menyapu murid-muridnya sebelum dia tersenyum sekali lagi. "Tetapi sekarang, tempat tidur kalian sudah menunggu, sehangat dan senyaman yang kalian harapkan, dan aku tahu prioritas utama kalian adalah beristirahat supaya siap menerima pelajaran esok pagi. Karena itu, mari kita saling mengucapkan selamat tidur. Pip,pip!" Dengan bunyi derit yang memekakkan telinga seperti biasa, bangku-bangku didorong ke belakang dan beratus-ratus anak mulai meninggalkan Aula Besar, menuju ke asrama. Harry yang sama sekali tak ingin pergi bersamaan dengan anak-anak yang terpesona memandangnya, ataupun berada cukup dekat dengan Malfoy untuk memberinya kesempatan menceritakan kembali kisah penginjakan-hidung, sengaja berlama-lama, berpura-pura mengikat kembali tali sepatunya, membiarkan sebagian besar anak-anak Gryffindor mendahuluinya. hermione sudah melesat lebih dulu untuk melaksanakan tugasnya sebagai prefek, menuntun anak-anak kelas satu, namun Ron tinggal bersama Harry. "Apa sebetulnya yang terjadi pada hidungmu?" dia bertanya, begitu mereka berada paling belakang dari kerumunan anak yang berdesakan keluar dari Aula, dan di luar jangkauan pendengaran orang lain. Harry memberitahunya. Bahwa Ron tidak tertawa, itu menunjukkan betapa eratnya persahabatan mereka. "Aku melihat Malfoy memeragakan sesuatu yang ada hubungannya dengan hidung," kata Ron sebal. "Yeah, biar saja," kata Harry getir. "Dengar apa yang dia katakan sebelum dia tahu aku di sana ... " Harry mengharapkan Ron terkejut mendengar sesumbar Malfoy. Harry menganggap Ron sangat keras kepala, karena ternyata dia tidak terkesan. "Sudahlah, Harry, dia kan cuma mau sok aksi di depan Parkinson ... tugas macam apa yang akan diberikan Kau-Tahu-Siapa kepadanya?" "Bagaimana kau bisa tahu Voldemort tidak memerlukan orang di Hogwarts? Ini bukan untuk pertama kali-- " "Jangan sebut-sebut nama itu lagi, Harry," kata suara mencela di belakang mereka. Harry menoleh dan melihat Hagrid menggelengkan kepala. "Dumbledore menggunakan nama itu," kata Harry keras kepala. "Yeah, begitulah Dumbledore, kan?" kata Hagrid misterius. "Jadi, kenapa kau terlambat, Harry? Aku khawatir." "Terhalang di kereta," kata Harry. "Kenapa kau terlambat?" "Aku sama Grawp," kata Hagrid riang. "Lupa waktu. Dia punya rumah baru di gunung sekarang, Dumbledore yang atur-gua besar yang nyaman. Dia jauh lebih bahagia daripada waktu di Hutan. Kami ngobrol seru." "Sungguh?" kata Harry, berusaha tidak memandang mata Ron. Terakhir kalinya dia bertemu adik Hagrid lain-ayah, raksasa galak dengan bakat mencabut pepohonan sampai ke akar-akarnya, kosa katanya hanya terdiri atas lima kata, dua diantaranya tak bisa diucapkannya dengan benar. "Oh yeah, dia sudah betul-betul maju," kata Hagrid bangga. "Kalian akan heran. Aku sedang pertimbangkan mau latih dia jadi asistenku." Ron mendengus keras, namun berhasil menyamarkannya menjadi bersin hebat. Mereka sekarang berdiri di sebelah pintu depan dari kayu ek. "Sampai ketemu kalian besok pagi, pelajaran pertama habis makan siang. Datanglah lebih awal supaya kau bisa menyapa Buck-maksudku Witherwings!" Mengangkat tangan dengan ceria sebagai lambaian perpisahan, Hagrid keluar dari pintu depan masuk ke dalam kegelapan. Harry dan Ron saling pandang. Harry bisa melihat bahwa Ron sedang merasa tertohok, sama seperti dirinya. "Kau tidak mengambil Pemeliharaan Satwa Gaib, kan?" Ron menggeleng. "Dan kau juga tidak, kan?" Harry juga menggeleng. "Dan Hermione," kata Ron, "dia juga tidak, kan?" Harry menggeleng lagi. Apa yang akan dikatakan Hagrid saat dia menyadari tiga murid favoritnya tidak mengambil mata pelajarannya, Harry tak ingin memikirkannya. 09. PANGERAN BERDARAH CAMPURAN Harry dan Ron bertemu Hermione di ruang rekreasi sebelum sarapan esok paginya. Berharap mendapatkan dukungan atas teorinya, Harry tanpa membuang-buang waktu langsung menceritakan kepada Hermione tentang apa yang didengarnya dikatakan Malfoy di Hogwarts Express. "Tapi jelas dia mau sok pamer di depan Parkinson, kan?" sela Ron buru-buru, sebelum Hermione bisa mengatakan apa-apa. "Yah," kata Hermione sangsi, "entahlah ... memang sudah bawaan Malfoy membuat dirinya tampak lebih penting daripada sebenarnya ... tapi itu kebohongan besar ... " "Justru itu," kata Harry, namun dia ta bisa menjabarkan pendapatnya, karena begitu banyak orang berusaha mendengarkan percakapannya, belum lagi yang memandanginya dan berbisik-bisik di balik tangan mereka. "Tidak sopan menunjuk-nunjuk," bentak Ron pada seorang anak kelas satu yang kecil mungil ketika mereka bergabung dengan antrean yang akan memanjat keluar dari lubang lukisan. Anak laki-laki itu, yang tadi sedang menggumamkan sesuatu tentang Harry di balik tangannya kepada temannya, langsung merah padam dan terguling keluar dari lubang dengan ketakutan. Ron terkikik. "Aku senang jadi anak kelas enam. Dan kita akan punya waktu bebas tahun ini. Jam-jam pelajaran kosong untuk duduk-duduk santai di sini." "Waktu itu akan kita perlukan untuk belajar, Ron!" kata Hermione, ketika mereka berjalan sepanjang koridor. "Yeah, tapi tidak hari ini;" kata Ron, "hari ini sih jelas hari tidur, menurutku." "Tunggu!" kata Hermione, menjulurkan lengan dan menahan anak kelas empat yang lewat, yang berusaha menerabas lewat dengan menggenggam erat piringan hijau-limau. "Frisbee Bertaring dilarang, serahkan," perintahnya galak. Anak laki-laki itu memberengut menyerahkan Frisbee-nya yang menggeram, menunduk mobs lewat bawah lengan Hermione dan berlari menyusul teman-temannya. Ron menunggunya lenyap, lalu menyambar Frisbee itu dari genggaman Hermione. "Bagus sekali, sudah lama aku kepingin punya ini." Protes Hermione ditenggelamkan oleh kikik geli. Rupanya Lavender Brown menanggap ucapan Ron sangat lucu. Dia masih tertawa ketika melewati mereka, menoleh mengerling Ron. Ron tampak agak puas. Langit-langit Aula Besar berwarna biru terang dan di sana-sini dihiasi gumpalan tipis awan, persis seperti petak-petak langit yang tampak dari kaca-kaca jendela yang tinggi. Sambil menyantap bubur dan telur dan daging panggang, Harry dan Ron memberitahu Hermione tentang percakapan dengan Hagrid yang membuat mereka salah tingkah malam sebelumnya. "Tapi masa dia mengira kita akan meneruskan Pemeliharaan Satwa Gaib!" kata Hermione, tampak sedih. "Maksudku, kapan salah satu dari kita pernah menunjukkan ... kalian tahu ... antusiasme?" "Itulah," kata Ron, menelan utuh satu telur dadar. "Kita bertigalah yang berusaha paling keras di kelas, karena kita menyukai Hagrid. Tapi dia mengira kita menyukai pelajaran konyol itu. Menurut kalian, apa ada yang meneruskan ke NEWT?" Harry maupun Hermione tidak menjawab; tak perlu. Mereka tahu betul, tak seorang pun dari angkatan mereka ingin melanjutkan Pemeliharaan Satwa Gaib. Mereka menghindari pandangan Hagrid dan membalas lambaian cerianya dengan setengah-hati ketika Hagrid meninggalkan meja guru sepuluh menit kemudian. Usai sarapan, mereka tetap tinggal di tempat, menunggu Profesor MacGonagall turun dari meja guru. Pembagian daftar pelajaran lebih rumit daripada biasanya kali ini, karena Profesor McGonagall perlu memastikan lebih dulu bahwa semua anak mencapai nilai OWL yang dituntut untuk bisa melanjutkan dengan NEWT pilihan mereka. Hermione langsung disetujui meneruskan Mantra, Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, Transfigurasi, Herbologi, Arithmancy, Rune Kuno, dan Ramuan, dan tanpa berlama-lama lagi langsung melesat untuk ikut pelajaran pertamanya, Rune Kuno. Neville perlu waktu lebih lama untuk penyortiran. Wajahnya yang bundar tampak cemas ketika Profesor McGonagall menunduk membaca formulir permohonannya dan kemudian mengecek nilai OWL-nya. "Herbologi, oke," katanya. "Profesor Sprout akan senang melihatmu kembali dengan OWL 'Outstanding'. Dan kau bisa ikut Pertahanan terhadap Ilmu Hitam dengan 'Exceeds Expectations'. Tetapi yang jadi masalah Transfigurasi. Maaf, Longbottom, tapi. 'Acceptable' tidak cukup baik untuk melanjutkan ke tingkat NEWT Menurutku kau tak akan sanggup mengerjakan tugas-tugasnya." Neville menundukkan kepalanya. Profesor McGonagall menatapnya dari balik kacamata perseginya. "Tapi kenapa kau mau melanjutkan Transfigurasi? Aku tak pernah mendapat kesan kau menyukainya." Neville tampak merana dan menggumamkan "Nenek yang mau". "Humph," dengus Profesor McGonagall. "Sudah waktunya nenekmu belajar bangga akan cucu yang dimilikinya, daripada cucu yang menurutnya seharusnya dimilikinya terutama setelah apa yang terjadi di Kementerian." Neville menjadi merah padam dan mengerjap bingung. Profesor McGonagall tak pernah memujinya sebelum ini. "Sori, Longbottom, aku tak bisa mengizinkan kau ikut kelas NEWT-ku. Tapi kulihat kau mendapat 'Exceeds Expectations' untuk Mantra-kenapa tidak mencoba NEWT Mantra?" "Nenek saya menganggap Mantra kurang oke," gumam Neville. "Ambil Mantra," saran Profesor McGonagall, "dan aku akan menulis kepada Augusta, mengingatkannya bahwa hanya karena dia tidak lulus OWL Mantra, tidak berarti pelajaran ini tidak berguna." Tersenyum samar melihat ketidakpercayaan dan kegembiraan di wajah Neville, Profesor McGonagall mengetuk daftar pelajaran kosong dengan ujung tongkat sihirnya dan menyerahkan daftar yang sekarang sudah berisi rincian pelajaran barunya, kepada Neville. Berikutnya Profesor McGonagall menoleh ke Parvati Patil, yang pertanyaan pertamanya adalah apakah Firenze, si centaurus tampan, masih mengajar Ramalan. "Dia dan Profesor Trelawney berbagi kelas tahun ini," kata Profesor McGonagall, ada nada mencela dalam suaranya, sudah rahasia umum bahwa dia memandang rendah pelajaran enam diajar oleh Profesor Trelawnes. Parvati berangkat ke kelas Ramalannya lima menit kemudian, tampak agak kecewa. "Nah, Potter, Potter ..." kata Profesor McGonagall, mengecek catatannya seraya menoleh ke Harry. "Mantra, Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, Herbologi, Transfigurasi ... semua oke. Harus kukatakan, aku senang melihat nilai Transfigurasi-mu, Potter, sangat senang. Lho, kenapa kau tidak meneruskan Ramuan? Bukankah kau bercita-cita menjadi Auror?" "Betul, tetapi Anda memberitahu saya, nilai OWL saya harus 'Outstanding', Profesor." "Memang, kalau Profesor Snape yang mengajar. Tapi profesor Slughorn dengan senang hati menerima murid-murid NEWT dengan nilai OWL 'Exceeds Expectations'. Kau mau melanjutkan Ramuan?" "Mau," kata Harry, "tetapi saya tidak membeli buku atau bahan atau apa pun" "Aku yakin Profesor Slughorn bisa meminjamkannya kepadamu," kata Profesor McGonagall. "Baiklah, Potter, ini daftar pelajaranmu. Oh ya dua puluh calon sudah mendaftarkan nama mereka untuk masuk tim Quidditch. Akan kuserahkan daftarnya kepadamu pada waktunya dan kau bisa mengatur waktu uji cobanya dalam waktu senggangmu." Beberapa menit kemudian, Ron disetujui mengambil mata pelajaran yang sama dengan Harry, dan keduanya meninggalkan meja bersama-sama. "Lihat," kata Ron senang, memandang daftar pelajarannya, "kita tak ada pelajaran sekarang... dan kosong lagi sehabis istirahat ... dan kosong lagi sehabis makan siang ... asyik banget!" Mereka kembali ke ruang rekreasi, yang kosong, hanya ada selusin anak kelas tujuh, termasuk Kzatie Bell, satu-satunya yang tersisa dari anggota orisinal tim Quidditch Gryffindor saat Harry pertama kali bergabung waktu dia kelas satu. "Sudah kuduga kau akan mendapatkan itu," seru Katie, menunjuk lencana Kapten di dada Harry. "Beri tahu aku kapan uji cobanya!" "Jangan bego," kata Harry, "kau tak perlu ikut uji coba, aku sudah melihatmu bermain selama lima tahun ... " "Kau tak boleh mulai dengan begitu," kata Katie memperingatkan. "Siapa tahu, di luar sana ada yang jauh lebih hebat dariku. Sudah ada tim-tim bagus yang hancur karena kapten mereka tetap saja memasang muka-muka lama, atau memasukkan teman-teman mereka ... " Ron tampak agak salah tingkah dan mulai memainkan Frisbee Bertaring yang disita Hermione dari anak kelas empat. Frisbee itu meluncur mengitari ruang rekreasi, menggeram dan setiap kali mencoba menggigit permadani hias. Mata kuning Crookshanks mengikutinya dan kucing itu mendesis ketika Frisbee itu terbang terlalu dekat dengannya. Satu jam kemudian dengan enggan mereka meninggalkan ruang rekreasi yang bermandi cahaya matahari menuju ke kelas Pertahanan terhadap Ilmu Hitam empat lantai di bawahnya. Hermione sudah antre di depan kelas, memeluk setumpuk buku berat dan tampak terbebani. "Banyak sekali PR Rune-nya," katanya cemas, ketika Ron dan Harry bergabung dengannya. "Esai sepanjang empat puluh senti, dua terjemahan, dan semua ini harus sudah selesai dibaca Rabu!" "Sayang sekali," kuap Ron. "Tunggu saja giliranmu," balas Hermione sebal. "Pasti Snape memberi kita banyak pekerjaan." Pintu ruang kelas terbuka ketika dia berkata begitu dan Snape melangkah ke koridor, wajah kurusnya seperti biasa dibingkai dua tirai rambut hitam berminyak. Antrean langsung sunyi senyap. "Masuk," kata Snape. Harry memandang ke sekeliling ruangan ketika berjalan masuk. Pengaruh kepribadian Snape sudah langsung terasa; ruangan itu lebih suram daripada biasanya karena gorden-gorden jendela ditutup, dan ruangan diterangi cahaya lilin. Gambar-gambar baru menghiasi dinding, banyak di antaranya memperlihatkan orang-orang yang kelihatannya sedang kesakitan, ada yang dengan luka-luka mengerikan atau bagian-bagian tubuh berubah bentuk menjadi aneh-aneh. Tak ada yang bicara ketika mereka duduk, memandang gambar-gambar menyeramkan itu. "Aku belum menyuruh kalian mengeluarkan buku," kata Snape, menutup pintu dan bergerak untuk menghadapi kelasnya dari belakang mejanya. Hermione buru-buru menjatuhkan kembali bukunya Menghadapi Musuh Tak Berwajah ke dalam tasnya dan mendorongnya ke bawah kursinya. "Aku mau bicara kepada kalian dan menginginkan perhatian penuh kalian." Matanya yang hitam menjelajah wajah-wajah mereka, berhenti sepersekian detik lebih lama di wajah Harry dibanding di wajah-wajah lain. "Kalian sudah diajar lima guru untuk pelajaran ini sejauh ini, kalau aku tak salah." Kalau kau tak salah ... padahal kau mengawasi mereka datang dan pergi, Snape, berharap berikutnya giliranmu, Harry membatin berang. "Tentu saja, guru-guru ini semua punya metode dan prioritas sendiri-sendiri. Mempertimbangkan kekacauan ini, aku heran begitu banyak dari kalian bisa lulus OWL dalam pelajaran ini. Aku akan lebih heran lagi jika kalian berhasil melaksanakan tugas-tugas NEWT, yang akan jauh lebih sulit." Snape berjalan ke pinggir ruangan, sekarang bicara dengan suara lebih pelan. Murid-muridnya menjulurkan leher agar masih bisa melihatnya. "Ilmu Hitam," kata Snape, "banyak jenisnya, bervariasi, selalu-berubah, dan abadi. Melawannya seperti melawan monster berkepala banyak, yang, setiap kali satu leher berhasil dipotong, akan muncul kepala baru yang lebih ganas dan lebih pintar daripada sebelumnya. Kalian melawan sesuatu yang tidak pasti, bermutasi, dan tak terkalahkan." Harry memandang Snape. Memang layak menghargai Ilmu Hitam sebagai musuh yang berbahaya, tapi kan aneh kalau membicarakannya seperti yang dilakukan Snape, dengan belaian kasih dalam suaranya?. "Pertahanan kalian," kata Snape, sedikit lebih keras, "dengan demikian harus sama fleksibel dan inventifnya dengan Ilmu yang akan kalian lawan. Gambar-gambar ini," dia menunjuk beberapa gambar yang dilewatinya, "memberi gambaran yang cukup mewakili akan apa yang terjadi kepada mereka yang menderita terkena, misalnya, Kutukan Cruciatus" (dia melambaikan tangan ke arah gambar seorang penyihir wanita yang nyata-nyata sedang menjerit kesakitan) "merasakan Kecupan Dementor" (seorang penyihir pria dengan mata-hampa terpuruk meringkuk menyandar ke dinding) "atau memprovokasi agresi Inferius" (gundukan berlumuran darah di tanah). "Apakah sudah ada Inferius yang terlihat?" tanya Parvati Patil dengan suara melengking tinggi. "Jadi sudah pasti, dia menggunakan mereka? "Pangeran Kegelapan menggunakan Inferi di masa lalu," kata Snape, "yang berarti sebaiknya kalian mengasumsikan ada kemungkinan dia menggunakan mereka lagi. Nah ... " Dia kembali ke mejanya dari sisi lain kelas, dan sekali lagi, murid-muridnya mengawasinya berjalan, jubah hitamnya melambai di belakangnya. "... kalian semua, kukira, masih orang baru sama sekali dalam penggunaan mantra non-verbal. Apa keuntungannya mantra non-verbal?" Tangan Hermione mencuat ke atas. Snape memandang berkeliling dulu melihat murid-murid yang lain, memastikan dia tak punya pilihan lain, sebelum berkata kaku, "Baiklah-Miss Granger?" "Musuh kita tak mendapat peringatan tentang jenis sihir apa yang akan kita lakukan," kata Hermione, "dan ini memberi kita keuntungan sepersekian detik." "Jawaban yang dikutip nyaris kata per kata dari Kitab Mantra Standar, Tingkat 6," kata Snape merendahkan (di sudut, Malfoy terkikik), "tapi secara esensial betul. Ya, mereka yang berhasil menggunakan sihir tanpa mengucapkan mantranya memperoleh elemen kejutan dalam serangannya. Tak semua penyihir bisa melakukannya, tentu; perlu konsentrasi dan kekuatan pikiran yang," pandangannya dengan dengki sekali lagi hinggap pada Harry, "tak dimiliki semua orang." Harry tahu Snape teringat pelajaran Occlumency mereka yang gagal total tahun sebelumnya. Dia menolak menunduk, melainkan terus memandang galak Snape, sampai Snape mengalihkan pandangannya. "Sekarang kalian akan dibagi berpasangan," Snape melanjutkan. "Partner yang satu akan berusaha menyerang yang lain tanpa mengucapkan mantranya. Yang lain berusaha menolak serangan dengan sama diamnya. Laksanakan." Kendati tidak diketahui Snape, Harry telah mengajari paling tidak separo kelas (semua yang jadi anggota LDw) bagaimana melakukan Mantra Pelindung tahun sebelumnya. Namun tak seorang pun pernah melaksanakan mantra ini tanpa mengucapkannya. Sedikit kecurangan yang masuk akal terjadi, banyak anak membisikkan mantra alih-alih mengucapkannya keras-keras. Bukan hal mengejutkan, sepuluh menit kemudian Hermione berhasil menolak Sihir Kaki-Jeli Neville tanpa mengucapkan sepatah kata pun, prestasi yang akan membuatnya mendapatkan dua puluh angka bagi Gryffindor dari guru lain yang berkelakuan layak, pikir Harry getir, namun Snape tidak mengacuhkannya. Dia berjalan di antara mereka sementara mereka berlatih, tampak seperti kelelawar besar, berhenti lama untuk melihat Harry dan Ron bersusah payah melaksanakan tugas mereka. Ron, yang bertugas menyerang Harry, wajahnya berwarna ungu, bibirnya terkatup rapat agar dia bisa menghindari godaan menggumamkan mantranya. Harry mengangkat tongkat sihirnya, menunggu dengan tegang dan gelisah, siap menolak kutukan yang rupanya tak akan datang. "Menyedihkan, Weasley," kata Snape, selewat beberapa saat. "Sini kutunjukkan padamu ..." Dia mengarahkan tongkat sihirnya kepada Harry begitu cepatnya sehingga Harry otomatis bereaksi; segala pikiran tentang mantra non-verbal terlupakan, dia berteriak, "Protego!" Mantra Pelindung-nya kuat sekali sampai Snape kehilangan keseimbangan dan menabrak meja. Seluruh kelas menoleh dan sekarang memandang Snape yang meluruskan diri, marah. "Apa kau ingat aku memberitahu kalian kita melatih mantra non-verbal, Potter?" "Ya," kata Harry kaku. "Ya, Sir." "Tak perlu memanggil saya 'Sir', Profesor." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya sebelum dia sadar apa yang dikatakannya. Beberapa anak terkesiap kaget, termasuk Hermione. Di belakang Snape, meskipun demikian, Ron, Dean, dan Seamus nyengir mendukung. "Detensi, Sabtu malam, kantorku," kata Snape. "Aku tidak menerima kelancangan dari siapa pun, Potter ... bahkan dari Sang Terpilih pun tidak." "Tadi brilian sekali, Harry!" kekeh Ron, ketika mereka sudah aman dalam perjalanan akan beristirahat tak lama kemudian. "Mestinya kau tidak mengatakan itu," kata Hermione, mengernyit kepada Ron. "Apa yang membuatmu ngomong begitu?" "Dia mau menyerangku, kalau kau tidak melihat!" gerutu Harry. "Aku sudah cukup muak menerima serangannya selama pelajaran Occlumency! Kenapa dia tidak mencari kelinci percobaan lain sekali-sekali? Permainan apa sih yang sedang dimainkan Dumbledore, membiarkan dia mengajar Pertahanan? Kau dengar tadi waktu dia ngomongin Ilmu Hitam? Dia menyukainya. Segala tetek bengek tentang tidak-pasti, tak terkalahkan ." "Yah," kata Hermione, "menurutku dia kedengarannya agak mirip kau." "Mirip aku?" "Ya, waktu kau menceritakan kepada kami bagaimana rasanya menghadapi Voldemort. Katamu itu bukan sekadar mengingat segepok mantra, katamu itu hanya antara kau dan otakmu dan nyalimu nah, bukankah itu yang dikatakan Snape? Bahwa pada intinya yang paling penting adalah keberanian dan berpikir cepat?" Harry begitu tercengangnya bahwa Hermione menganggap kata-katanya sama layaknya dihafal seperti Kitab Mantra Standar sehingga dia tidak membantah. "Harry! Hei, Harry!" Harry berpaling. Jack Sloper, salah satu Beater tim Quidditch Gryffindor tahun lalu, sedang bergegas mendatanginya, memegang segulung perkamen. "Untukmu," katanya terengah. "Kudengar kau Kapten yang baru. Kapan kau mengadakan uji coba?" "Aku belum tahu," kata Harry, dalam hati berpikir Sloper akan beruntung sekali kalau bisa kembali masuk tim, "Nanti kuberitahu." "Oh, baiklah. Aku tadinya berharap akhir pekan ini." Namun Harry tidak mendengarkannya, dia baru saja mengenali huruf-huruf ramping, miring yang ada di perkamen. Meninggalkan Sloper di tengah kalimatnya, dia bergegas menjauh dengan Ron dan Hermione, membuka gulungan perkamennya sembari berjalan. Dear Harry, Aku ingin memulai pelajaran privat kita hari Sabtu ini. Datanglah di kantorku pukul delapan malam. Kuharap kau menikmati hari pertamamu di sekolah. Salamku, Albus Dumbledore PS: Aku suka Soda Asam. "Dia suka Soda Asam?" tanya Ron, yang ikut membaca pesan itu lewat bahu Harry dan tampak bingung. "Itu kata sandi untuk melewati gargoyle di depan kantornya," kata Harry dengan suara pelan. "Ha! Snape tidak akan senang ... Aku tak akan bisa menjalankan detensinya!" Harry, Ron, dan Hermione melewatkan seluruh waktu istirahat berspekulasi tentang apa yang akan diajarkan Dumbledore kepada Harry. Ron berpendapat kemungkinan besar kutukan dan mantra spektakuler yang jenis-jenisnya tidak dikenali para Pelahap Maut. Hermione berkata hal-hal seperti itu ilegal, dan berpendapat kemungkinan Dumbledore ingin mengajari Harry sihir pertahanan tingkat lanjut. Usai istirahat Hermione ikut pelajaran Arithmancy, sementara Harry dan Ron kembali ke ruang rekreasi, dan dengan enggan mulai mengerjakan PR Snape. Ternyata PR ini rumit sekali sehingga mereka belum selesai ketika Hermione bergabung dengan mereka dalam jam kosong usai makan siang mereka (meskipun Hermione mempercepat proses selesainya PR). Mereka baru saja selesai ketika bel untuk dua jam pelajaran Ramuan sore itu berbunyi dan mereka menyusuri jalan yang sudah tak asing menuju ke kelas bawah tanah yang selama bertahun-tahun menjadi milik Snape. Setiba di koridor mereka melihat bahwa hanya selusin anak yang melanjutkan ke tingkat NEWT Crabbe dan Goyle jelas gagal memperoleh nilai OWL yang disyaratkan, namun empat anak Slytherin berhasil lulus, termasuk Malfoy. Empat anak Ravenclaw ada di sana, dan satu Hufflepuff, Ernie Macmillan, yang Harry sukai kendati sikapnya agak angkuh. "Harry," sapa Ernie sok penting, seraya mengulurkan tangan ketika Harry mendekat, "tak sempat ngobrol waktu Pertahanan terhadap Ilmu Hitam tadi pagi. Pelajaran bagus, menurutku, tapi Mantra Pelindung sih ketinggalan zaman, tentu, bagi kita anggota LD ... dan apa kabar, Ron -Hermione?" Mereka baru sempat mengucapkan "baik", pintu ruang kelas bawah tanah sudah terbuka dan perut Slughorn mendahului keluar. Sementara mereka masuk ke dalam kelas, kumis besarnya yang seperti kumis beruang laut melengkung di atas mulutnya yang tersenyum dan dia menyambut Harry dan Zabini dengan antusiasme yang berlebihan. Ruang bawah tanah itu, sangat lain dari biasanya, sudah penuh aroma dan bau yang aneh-aneh. Harry, Ron, dan Hermione mengendus-endus dengan tertarik ketika mereka melewati kuali-kuali besar bergelegak. Keempat anak Slytherin duduk semeja, demikian juga anak-anak Ravenclaw. Berarti Harry, Ron, dan Hermione akan berbagi meja dengan Ernie. Mereka memilih meja yang paling dekat dengan kuali warna emas yang mengeluarkan aroma paling menggairahkan yang pernah dihirup Harry. Entah kenapa aroma itu mengingatkannya sekaligus akan tar karamel, bau kayu gagang sapu, dan aroma bunga-bunga yang Harry pikir pastilah pernah dia hirup di The Burrow. Dia mendapati dirinya bernapas sangat perlahan dan dalam dan bahwa asap ramuan itu tampaknya memenuhi dirinya seperti minuman. Tubuhnya dijalari kepuasan yang luar biasa; dia nyengir kepada Ron di seberang meja, yang balas nyengir dengan santai. "Nah, nah, nah," kata Slughorn, sosoknya yang superbesar tampak bergetar di tengah banyak uap aroma yang bergulung. "Keluarkan timbangan, semua, dan peralatan ramuan, dan jangan lupa buku kalian Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut " "Sir?" kata Harry, mengangkat tangannya. "Harry, Nak?" "Saya tidak punya buku ataupun timbangan atau apa pun Ron juga tidak kami tidak menyangka kami akan bisa ikut NEWT, soalnya" "Ah, ya, Profesor McGonagall menyebut itu ... tak perlu kuatir, anakku, sama sekali tak perlu kuatir. Kalian bisa menggunakan bahan dari lemari sekolah hari ini, dan aku yakin kami bisa meminjami kalian timbangan, dan kami punya simpanan setumpuk buku tua di sini, bisa kalian pakai sampai kalian sudah menulis ke Flourish and Blotts ..." Slughorn berjalan ke lemari di sudut dan setelah mencari-cari sebentar, datang dengan dua eksemplar buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut oleh Libatius Borage yang sudah amat sangat lusuh, yang diberikannya kepada Harry dan Ron, bersama dengan dua timbangan berkarat. "Nah," kata Slughorn, kembali ke depan kelas dan menggembungkan dadanya yang sudah menggelembung, sehingga kancing-kancing rompinya nyaris berlepasan, "aku sudah menyiapkan beberapa ramuan untuk kalian lihat, hanya supaya kalian tahu. Ini semua adalah ramuan-ramuan yang mestinya bisa kalian buat setelah menyelesaikan NEWT kalian. Kalian pasti sudah pernah mendengar tentang ramuanramuan ini, meskipun belum pernah membuatnya. Ada yang tahu ramuan apa ini?" Dia menunjuk kuali paling dekat meja Slytherin. Harry bangkit sedikit dari tempat duduknya dan melihat cairan seperti air putih mendidih di dalam kuali itu. Tangan Hermione yang terlatih sudah terangkat ke udara mendahului yang lain. "Itu Veritaserum, ramuan tanpa warna, tanpa bau, yang memaksa peminumnya mengatakan kebenaran," kata Hermione. "Bagus sekali, bagus sekali," kata Slughorn senang. "Nah," dia melanjutkan, menunjuk kuali paling dekat meja Ravenclaw, "yang ini cukup terkenal ... juga disebutkan dalam beberapa selebaran Kementerian belakangan ini ... siapa yang?" Sekali lagi tangan Hermione paling cepat. "Itu Ramuan Polijus, Sir," katanya. Harry juga sudah mengenali ramuan yang seperti lumpur, menggelegak pelan, dalam kuali kedua, namun tidak menyesali Hermione yang mendapatkan kredit karena menjawab pertanyaan itu. Toh memang Hermione yang telah berhasil membuatnya, ketika mereka masih di kelas dua. "Luar biasa, luar biasa! Nah, yang ini ... ya, Nak?" kata Slughorn, sekarang tampak agak kagum ketika tangan Hermione meninju udara lagi. "Itu Amortentia!" "Betul sekali. Rasanya agak bodoh menanyakannya," kata Slughorn, yang tampak sangat terkesan, "tapi kukira kau tahu apa kegunaannya?" "Amortentia adalah ramuan cinta paling manjur di seluruh dunia!" kata Hermione. "Betul! Kau mengenalinya, kukira, dari kilaunya yang seperti karang mutiara?" "Dan uapnya yang membubung dalam bentuk spiral yang khas," kata Hermione antusias, "dan baunya berbeda bagi masing-masing orang, tergantung pada apa yang menarik bagi kita, dan saya bisa membaui rumput yang baru dipotong dan perkamen baru, dan" Namun wajahnya tiba-tiba merona dan Hermione tidak menyelesaikan kalimatnya. "Boleh aku tahu namamu, Nak?" tanya Slughorn, mengabaikan rasa malu Hermione. "Hermione Granger, Sir." "Granger? Granger? Mungkinkah kau masih bersaudara dengan Hector Dagworth-Granger, yang mendirikan Perkumpulan Ahli-Ramuan yang Paling Luar Biasa?" "Tidak, saya rasa tidak, Sir. Saya kelahiran Muggle, soalnya." Harry melihat Malfoy mencondongkan dirinya dekat dengan Nott dan membisikkan sesuatu, keduanya terkikik, namun Slughorn tidak menunjukkan keterkejutan. Sebaliknya malah, dia berseri-seri dan memandang dari Hermione ke Harry, yang duduk di sebelahnya. "Oho! 'Salah seorang sahabat saya kelahiran-Muggle dan dia yang paling pintar dalam angkatan kami!' Kutebak ini sahabat yang kaumaksudkan, Harry?" "Ya, Sir;" kata Harry. "Wah, wah, kau layak mendapatkan dua puluh angka untuk Gryffindor, Miss Granger," kata Slughorn riang. Malfoy tampak seperti ketika Hermione meninju wajahnya. Hermione menoleh kepada Harry dengan berseri-seri dan berbisik, "Apakah kau betul-betul memberitahunya aku yang paling pintar seangkatan? Oh, Harry!" "Yah, apa istimewanya itu?" bisik Ron, yang entah kenapa tampak sebal. "Kau memang yang paling pintar seangkatan aku juga akan memberitahunya kalau dia menanyaiku!" Hermione tersenyum tetapi membuat isyarat "diam", sehingga mereka bisa mendengarkan apa yang sedang dikatakan Slughorn. Ron tampak agak tidak puas. "Amortentia tidak betul-betul menciptakan cinta, tentu mungkin membuat atau mengimitasi cinta. Tidak, ini hanya sekadar menimbulkan perasaan tergila-gila atau obsesi yang luar biasa. Ini mungkin ramuan yang paling berbahaya dan paling kuat dalam ruangan ini oh ya," katanya, mengangguk serius kepada Malfoy dan Nott, keduanya sedang menyeringai menyangsikan. "Jika kalian sudah menyaksikan kehidupan sebanyak yang ku saksikan, kalian tidak akan menggangap remeh kekuatan cinta obsesif ... "Dan sekarang," kata Slughorn, "sudah waktunya bagi kita untuk mulai bekerja." "Sir, Anda belum memberitahu kami ramuan apa yang ada dalam kuali ini," kata Ernie Macmillan, menunjuk sebuah kuali hitam kecil yang nangkring, di atas meja Slughorn. Ramuan di dalamnya memercik-mercik ceria; warnanya seperti warna emas meleleh, dan butir-butir besar melompat-lompat seperti ikan emas di atas permukaannya, meskipun tak setitik pun tercecer. "Oho," kata Slughorn lagi. Harry yakin Slughorn sama sekali tidak lupa akan ramuan itu, namun sengaja menunggu ditanya supaya efeknya dramatis. "Ya. Itu. Nah, itu, Saudari-Saudara sekalian, adalah ramuan paling ajaib yang disebut Felix Felicis. Saya kira," dia menoleh, tersenyum, memandang Hermione, yang memekik pelan, "kau tahu apa khasiat Felix Felicis, Miss Granger?" "Itu cairan keberuntungan," kata Hermione bergairah. "Cairan itu membuat kita beruntung!" Seluruh kelas tampaknya duduk sedikit lebih tegak. Sekarang Harry hanya bisa melihat bagian belakang kepala Malfoy yang berambut pirang, karena dia akhirnya memberi Slughorn perhatian penuh tanpa terbagi. "Betul sekali, sepuluh angka lagi untuk Gryffindor. Ya, ini ramuan yang aneh, Felix Felicis," kata Slughorn. "Luar biasa sulit pembuatannya, dan membawa malapetaka kalau keliru. Meskipun demikian, jika dibuat secara benar, seperti yang ini, jika kalian meminumnya, kalian akan melihat bahwa semua usaha kalian cenderung akan berhasil ... paling tidak sampai efeknya pudar." "Kenapa orang tidak meminumnya sepanjang waktu, Sir?" tanya Terry Boot bersemangat. "Karena jika diminum berlebihan, ramuan ini bisa menyebabkan pusing, kenekatan, dan kepercayaan diri yang berlebihan," kata Slughorn. "Terlalu banyak hal baik, kalian tahu ... sangat beracun dalam jumlah besar. Tetapi jika diminum dengan hemat dan hanya sekali-sekali ... " "Pernahkah Anda meminumnya, Sir?" tanya Michael Corner dengan sangat tertarik. "Dua kali sepanjang hidupku," kata Slughorn. "Sekali waktu aku berumur dua puluh empat tahun, sekali waktu aku lima puluh tujuh tahun. Dua sendok makan penuh diminum sehabis sarapan. Dua hari yang sempurna." Slughorn memandang ke kejauhan dengan pandangan melamun. Apakah dia bersandiwara atau tidak, pikir Harry, efeknya bagus. "Dan ramuan itulah," kata Slughorn, rupanya sudah kembali ke bumi, "yang akan kuberikan sebagai hadiah dalam pelajaran ini." Kelas hening, membuat setiap gelegak dan deguk di dalam kuali-kuali ramuan seolah dikeraskan sepuluh kali. "Satu botol kecil Felix Felicis," kata Slughorn, mengeluarkan satu botol kecil mungil bertutup gabus dari dalam sakunya dan memperlihatkannya kepada mereka semua. "Cukup untuk membawa keberuntungan selama dua belas jam. Dari subuh sampai senja, kalian akan beruntung dalam apa pun yang kalian lakukan." "Aku harus memperingatkan kalian bahwa Felix Felicis adalah barang terlarang dalam kompetisi yang terorganisir ... pertandingan olahraga, misalnya, ujian, atau pemilihan. Jadi, siapa pun yang mendapatkannya nanti, hanya boleh menggunakannya pada hari yang biasa ... dan saksikan bagaimana hari yang biasa menjadi luar biasa!" "Jadi," kata Slughorn, tiba-tiba menjadi penuh semangat, "bagaimana kalian bisa memenangkan hadiahku yang luar biasa ini? Dengan membuka halaman sepuluh Pembuatan Ramuan Tingkat Lanjut. Kita masih punya waktu satu jam lebih sedikit, jadi cukup waktu bagi kalian untuk mencoba membuat Tegukan Hidup Bagai Mati. Aku tahu ramuan ini lebih rumit daripada ramuan apa pun yang pernah kalian coba buat sebelurnnya, dan aku tidak mengharapkan ramuan sempurna dari siapa pun. Meskipun demikian, anak yang menghasilkan ramuan paling baik akan memenangkan sebotol kecil Felix ini. Silakan mulai!" Terdengar derit ketika semua anak menarik kuali ke dekat mereka, dan dentang-dentang keras ketika beberapa anak mulai menimbang ramuan, namun tak seorang pun bicara. Semua anak berkonsentrasi penuh. Harry melihat Malfoy membuka-buka buku Pembuatan Ramuan Tingkat Lanjut-nya dengan penuh semangat. Tak bisa lebih jelas lagi bahwa Malfoy menginginkan hari penuh keberuntungan itu. Harry buru-buru membungkuk melihat buku lusuh yang dipinjamkan Slughorn kepadanya. Betapa kesalnya Harry melihat si pemilik buku sebelumnya telah menulisi halaman-halamannya, sehingga tepian buku itu sama hitamnya dengan bagian yang tercetak. Harry membungkuk rendah untuk membaca bahan-bahan yang diperlukan (bahkan di sini si pemilik membuat catatan dan mencoret beberapa hal), kemudian bergegas ke lemari bahan untuk mengambil yang diperlukannya. Selagi dia berlari kernbali ke kualinya, dilihatnya Malfoy sedang mengiris akar valerian secepat dia bisa. Valerian dikenal sebagai tanaman penyembuh-segala, dan kandungan obatnya ada dalarn akarnya. Semua anak terus-menerus mengerling melihat apa yang dilakukan temannya yang lain. Inilah keuntungan dan kerugian kelas Ramuan, sulit menjaga kerahasiaan ramuan yang kau buat. Dalam waktu sepuluh menit, seluruh ruangan dipenuhi uap kebiruan. Hermione-lah, tentu saja, yang kemajuannya paling pesat. Ramuannya sudah mirip cairan "halus, sewarna beri hitam" yang disebritkan sebagai tahap pertengahan yang ideal. Setelah selesai mengiris akar-akarnya, Harry membungkuk rendah di atas bukunya lagi. Sungguh sangat menjengkelkan, harus membaca petunjuknya di antara catatan-catatan bego pemilik sebelumnya, yang entah kenapa tidak menyetujui petunjuk untuk memotong-motong kacang Sopophorous dan telah menuliskan petunjuk alternatifnya: Dikrepek dengan bagian datar belati perak akan mengeluarkan cairan lebih banyak daripada memotong-motongnya. "Sir, saya rasa Anda mengenal kakek saya, Abraxas Malfoy?" Harry mendongak. Slughorn baru saja melewati meja Slytherin. "Ya," kata Slughorn, tanpa memandang Malfoy, "aku ikut prihatin mendengar dia sudah meninggal, meskipun tentu saja itu tidak mengejutkan, cacar naga pada usianya ... " Dan dia berjalan menjauh. Harry menunduk di atas kualinya, menyeringai. Bisa ditebaknya bahwa Malfoy berharap diperlakukan seperti Harry atau Zabini; barangkali malah berharap mendapat perlakuan istimewa seperti yang diperolehnya dari Snape. Kelihatannya Malfoy tak bisa mengandalkan hal lain kecuali kemampuannya untuk memenangkan botol Felix Felicis itu. Kacang Sopophorous ternyata sulit sekali dipotong-potong. Harry menoleh kepada Hermione. "Boleh aku pinjam pisau perakmu?" Hermione mengangguk tak sabar, tanpa mengangkat mata dari ramuannya, yang masih berwarna ungu tua, kendatipun menurut buku seharusnya sudah berubah menjadi ungu muda sekarang. Harry mengeprek kacangnya dengan daun belati. Dia tercengang ketika kacang itu langsung mengeluarkan banyak sekali cairan. Dia kagum kacang kisut itu bisa mengandung cairan sebanyak itu. Buru-buru Harry menuang semua cairan itu ke dalam kuali. Betapa herannya dia melihat ramuannya langsung berubah warna menjadi ungu muda persis seperti dideskripsikan oleh bukunya. Kejengkelannya kepada pemilik buku sebelumnya langsung sirna saat itu juga, Harry sekarang menyipitkan mata membaca instruksi selanjutnya. Menurut buku, dia harus mengaduknya berlawanan arah dengan putaran jarum jam sampai ramuan itu menjadi sejernih air. Namun menurut catatan yang dibuat pemilik sebelumnya, dia harus menambahkan sekali adukan searah putaran jarum jam setiap usai melakukan tujuh kali adukan berlawanan arah jarum jam. Mungkinkah si pemilik sebelumnya benar dua kali? Harry mengaduk berlawanan arah dengan jarum jam, menahan napas, dan mengaduk searah jarum jam sekali. Efeknya langsung terlihat. Ramuannya berubah menjadi merah muda pucat. "Bagaimana kau melakukannya?" tuntut Hermione, yang wajahnya kemerahan dan rambutnya semakin lama tampak semakin lebat dalam uap dari kualinya; ramuannya dengan bandel masih bertahan berwarna ungu. "Tambahkan satu putaran searah jarum jam" "Tidak, tidak, menurut buku berlawanan arah dengan jarum jam!" kilahnya. Harry mengangkat bahu dan melanjutkan apa yang dilakukannya. Tujuh adukan berlawanan arah dengan putaran jarum jam, satu adukan searah putaran jarum jam, berhenti ... tujuh adukan berlawanan arah dengan putaran jarum jam, satu adukan searah putaran jarum jam ... Di seberang meja, Ron mengutuk pelan. Ramuannya tampak seperti obat batuk hitam kental. Harry mencuri pandang ke sekitarnya. Sejauh yang bisa dilihatnya, tak ada ramuan anak lain yang sepucat ramuannya. Dia merasa senang sekali, sesuatu yang jelas belum pernah terjadi di dalam ruang kelas bawah tanah ini. "Dan waktunya ... habis!" seru Slughorn. "Tolong semua berhenti mengaduk!" Slughorn bergerak pelan di antara meja-meja, mengintip ke dalam kuali. Dia tidak memberi komentar, namun kadang-kadang mengaduk ramuan, atau mengendusnya. Akhirnya dia tiba di meja Harry, Ron, Hermione, dan Ernie. Dia tersenyum menyesal pada ramuan Ron yang seperti ter. Dia melewati begitu saja cairan Ernie yang berwarna biru tua. Ramuan Hermione diberinya anggukan setuju. Kemudian dia melihat ramuan Harry dan ekspresi kegembiraan dan tak percaya mewarnai wajahnya. "Jelas inilah pemenangnya!" serunya ke kelasnya. "Luar biasa, luar biasa, Harry! Astaga, jelas sekali kau mewarisi bakat ibumu, dia pintar sekali membuat Ramuan. Lily hebat sekali! Ini dia, kalau begitu, ini dia sebotol Felix Felicis, seperti yang ku janjikan, dan gunakan ini sebaik-baiknya!" Harry menyelipkan botol kecil mungil berisi cairan keemasan ke saku dalamnya, perasaannya campur aduk aneh, antara senang melihat kegusaran di wajah anak-anak Slytherin, dan rasa bersalah melihat kekecewaan di wajah Hermione. Ron hanya ternganga takjub. "Bagaimana kau melakukannya?" dia berbisik kepada Harry ketika mereka meninggalkan ruang bawah tanah itu. "Beruntung saja, kukira," kata Harry, karena Malfoy berada dalam jarak-dengar. Namun, begitu mereka sudah duduk nyaman di meja Gryffindor untuk makan malam, Harry merasa cukup aman untuk memberitahu mereka. Wajah Hermione semakin lama semakin membatu mendengar tiap kata yang diucapkannya. "Kurasa kau pikir aku curang?" Harry mengakhiri penuturannya, sakit hati melihat ekspresi Hermione. "Yah, itu bukan sepenuhnya hasil kerjamu, kan?" timpal Hermione kaku. "Dia cuma mengikuti instruksi yang berbeda dengan instruksi kita," kata Ron. "Bisa jadi malapetaka, kan? Tapi dia mengambil risiko dan berhasil." Ron menghela napas. "Slughorn bisa saja memberiku buku yang itu, tapi tidak, aku dapat buku yang tak ada tulisannya apa pun. Pernah dimuntahi, kalau lihat tampilan halaman lima-puluh-dua, tapi" "Tunggu," kata suara dekat telinga kiri Harry dan dia menghirup bau bunga-bungaan seperti dalam ruang kelas Slughorn tadi. Dia menoleh dan melihat Ginny telah bergabung dengan mereka. "Apakah aku mendengar dengan benar? Kau mengikuti petunjuk yang ditulis seseorang dalam buku, Harry?" Ginny tampak ketakutan dan gusar. Harry langsung tahu apa yang ada dalam pikirannya. "Bukan apa-apa," katanya menenangkan, merendahkan suaranya. "Sama sekali lain daripada, kau tahu, buku harian Riddle. Ini cuma buku pelajaran tua yang ditulisi seseorang." "Tapi kau melakukan apa yang dikatakannya?" "Aku cuma mencoba beberapa petunjuk yang tertulis di tepi bukunya. Tenang, Ginny, tak ada yang aneh" "Ginny betul," kata Hermione, langsung gembira. "Kita harus mengecek apakah tak ada yang aneh. Maksudku, semua instruksi itu, siapa tahu?" "Hei!" kata Harry jengkel, ketika Hermione menarik keluar buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut dari dalam tasnya dan mengangkat tongkat sihirnya. "Specialis revelio!" kata Hermione, dengan gesit mengetuk sampul depan buku itu. Tak ada yang terjadi. Bukunya hanya tergeletak, tampak tua dan kotor dan tepiannya compang-camping. "Selesai?" kata Harry kesal. "Atau kau mau menunggu dan melihat kalau-kalau buku ini akan terjun berputar?" "Kelihatannya oke," kata Hermione, masih menatap buku itu dengan curiga. "Maksudku, kelihatannya menantang ... cuma buku pelajaran." "Bagus. Kalau begitu kembalikan," kata Harry, menyambar buku itu dari atas meja. Namun buku itu terlepas dari tangannya dan mendarat terbuka di lantai. Tak ada orang lain yang melihat. Harry membungkuk rendah untuk mengambil buku itu, dan dia melihat ada tulisan sepanjang bagian bawah kulit belakang buku, dengan tulisan kecil-kecil rapat, sama dengan instruksi-instruksi yang membuatnya memenangkan sebotol Felix Felicis, yang sekarang tersembunyi aman dalam sepasang kaus kaki dalam koper di kamarnya di atas. This Book is the Property of the Half Blood Prince Buku ini Milik Pangeran Berdarah Campuran 10. RUMAH GAUNT Dalam pelajaran-pelajaran Ramuan selama sisa minggu itu Harry terus mengikuti petunjuk petunjuk si Pangeran Berdarah-Campuran setiap kali instruksinya berbeda dari instruksi Libatius Borage, dengan hasil pada pelajaran keempatnya Slughorn menjadi sangat antusias tentang kemampuan Harry, mengatakan bahwa dia jarang sekali mengajar orang seberbakat Harry. Baik Ron maupun Hermione tidak senang dengan keadaan ini. Kendati Harry telah menawarkan untuk berbagi bukunya dengan mereka berdua, Ron mendapat lebih banyak kesulitan dibanding Harry dalam menafsirkan tulisan Pangeran, dan tak mungkin terus-menerus meminta Harry membaca nya keras-keras, karena itu akan menimbulkan kecurigaan. Hermione, sementara itu, dengan tegas mengikuti apa yang disebutnya instruksi "resmi", namun dia menjadi semakin mudah-marah ketika instruksi "resmi" itu membuahkan hasil yang kurang bagus dibanding instruksi Pangeran. Harry bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan Pangeran Berdarah-Campuran itu. Meskipun jumlah pekerjaan rumah yang diberikan kepada mereka menghalanginya membaca habis seluruh buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut, dia telah cukup membalik-balik buku itu untuk melihat bahwa nyaris tak ada satu halaman pun yang tidak diberi catatan tambahan oleh Pangeran, tidak semua catatan itu tentang pembuatan-ramuan. Di sana-sini ada petunjuk tentang mantra-mantra yang rupanya diciptakan sendiri oleh si Pangeran. "Atau Putri," kata Hermione jengkel, mendengar Harry menceritakan ini kepada Ron di ruang rekreasi pada hari Sabtu malam. "Siapa tahu dia perempuan. Menurutku tulisannya lebih mirip tulisan anak perempuan daripada tulisan anak laki- laki." "The Half-Blood Prince, Pangeran Berdarah-Campuran, begitu dia menyebut dirinya," kata Harry. "Berapa banyak anak perempuan yang jadi pangeran?" Hermione tak bisa menjawab pertanyaan ini. Dia hanya memberengut dan menjauhkan esainya tentang "Prinsip-Prinsip Pemunculan-Kembali" dari Ron, yang berusaha membacanya secara terbalik. Harry melihat arlojinya dan bergegas memasukkan kembali buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut-nya ke dalam tasnya. "Jam delapan kurang lima, sebaiknya aku ke Dumbledore sekarang, kalau tidak bisa telat nanti." "Ooooh!" Hermione terpekik pelan, langsung mengangkat muka memandangnya. "Semoga sukses! Kami akan menunggu, kami ingin mendengar apa yang diajarkannya kepadamu!" "Semoga lancar," kata Ron, dan keduanya mengawasi Harry meninggalkan ruangan lewat lubang lukisan. Harry menyusuri koridor-koridor kosong, namun buru-buru melangkah ke belakang patung ketika Profesor Trelawney tiba-tiba muncul dari tikungan, bergumam sendiri seraya mengocok satu pak kartu-lusuh, dan membacanya sambil berjalan. "Dua sekop, konflik," gumamnya, ketika dia melewati tempat Harry meringkuk, tersembunyi. "Tujuh sekop, pertanda buruk. Sepuluh sekop, kekerasan. Pangeran sekop, seorang pemuda berkulit gelap, kemungkinan bermasalah, tidak menyukai si penanya" Dia mendadak berhenti, tepat di sisi lain patung Harry. "Yah, itu tak mungkin benar," katanya, kesal, dan Harry mendengarnya mengocok lagi kartunya dengan bersemangat, hanya meninggalkan bau sherry di belakangnya. Harry menunggu sampai dia yakin Profesor Trelawney sudah pergi, kemudian berjalan bergegas lagi sampai tiba di lantai tujuh di tempat yang ada gargoyle-nya berdiri di depan dinding. "Soda Asam," kata Harry. Si gargoyle melompat ke samping; dinding di belakangnya menggeser terbuka, dan tampaklah sebuah tangga batu spiral yang berputar. Harry melangkah ke tangga batu itu, sehingga dia dibawa dalam putaran-putaran lancar ke pintu kantor Dumbledore dengan pengetuk dari kuningan. Harry mengetuk pintu. "Masuk," kata suara Dumbledore. "Selamat malam, Sir," kata Harry, memasuki kantor Kepala Sekolah. "Ah, selamat malam, Harry," sambut Dumbledore, tersenyum. "Kuharap minggu pertamamu di sekolah menyenangkan?" "Ya, terima kasih, Sir," kata Harry. "Kau pasti sibuk, sudah langsung mendapat detensi!" "Er ... " Harry salah tingkah, namun Dumbledore tidak tampak terlalu galak. "Aku sudah mengatur dengan Profesor Snape supaya kau menjalankan detensimu Sabtu depan." "Baiklah," kata Harry, yang benaknya dipenuhi hal-hal lain yang lebih mendesak daripada detensi Snape, dan sekarang diam-diam memandang ke sekitarnya, mencari indikasi apa yang akan diajarkan Dumbledore kepadanya malam itu. Kantor bundar itu tampak sama seperti biasanya; peralatan perak yang halus rapuh di atas meja-meja berkaki kurus panjang, mengepulkan asap dan mendesing tenang; lukisan-lukisan para mantan kepala sekolah yang tertidur dalam pigura mereka; dan phoenix Dumbledore yang luar biasa, Fawkes, bertengger di tempat hinggapnya di balik pintu, mengawasi Harry dengan tertarik. Tampaknya Dumbledore tidak menyiapkan ruangan untuk berlatih duel. "Nah, Harry," kata Dumbledore dengan suara serius. "Kau pasti bertanya-tanya dalam hati, aku yakin, apa yang kurencanakan untukmu selama-karena tak ada kata yang lebih bagus pelajaran ini?" "Ya, Sir." "Aku telah memutuskan bahwa sudah waktunya, sekarang setelah kau tahu apa yang mendorong Lord Voldemort mencoba membunuhmu lima belas tahun lalu, kau diberi informasi-informasi tertentu." Hening sejenak. "Anda mengatakan, pada akhir tahun ajaran lalu, bahwa Anda akan memberitahu saya segalanya," kata Harry. Sulit mencegah adanya nada menuduh dalam suaranya. "Sir," katanya menambahkan. "Dan memang begitu," kata Dumbledore tenang. "Aku sudah memberitahumu segala yang kuketahui. Mulai saat ini, kita akan meninggalkan fondasi kuat fakta dan berkelana bersama menembus rawa-rawa suram kenangan menuju semak-semak liar dugaan. Setelah ini, Harry, aku bisa sama kelirunya dengan Humphrey Belcher, yang percaya sudah waktunya untuk membuat kuali keju." "Tetapi menurut Anda, Anda benar?" tanya Harry. "Tentu, tapi seperti telah kubuktikan kepadamu, aku bisa membuat kesalahan seperti orang lain. Malah, karena aku maafkan aku agak lebih pintar daripada sebagian besar orang, kesalahanku cenderung lebih besar juga." "Sir," kata Harry hati-hati, "apakah apa yang akan Anda beritahukan kepada saya ada hubungannya dengan ramalan? Apakah itu akan membantu saya ... bertahan?" "Sangat erat hubungannya dengan ramalan," kata Dumbledore, sesantai seakan Harry baru menanyainya soal cuaca hari berikutnya, "dan aku sungguh berharap ini akan membantumu bertahan." Dumbledore bangkit berdiri dan berjalan mengitari meja, melewati Harry, yang memutar dengan bersemangat di kursinya untuk mengawasi Dumbledore membungkuk di depan lemari di sebelah pintu. Ketika Dumbledore menegakkan diri lagi, dia memegang baskom batu dangkal yang sudah tak asing baginya, dengan tatahan simbol-simbol aneh di sekeliling tepiannya. Diletakkannya Pensieve di meja di depan Harry. "Kau tampak cemas." Harry memang memandang Pensieve agak takut. Pengalamannya sebelumnya dengan alat aneh yang bisa menyimpan dan membeberkan pikiran dan kenangan, kendatipun sangat banyak mengandung pelajaran, juga sangat tidak menyenangkan. Kali terakhir Harry mengganggu isinya, dia telah melihat lebih daripada yang diinginkannya. Namun Dumbledore tersenyum. "Kali ini, kau memasuki Pensieve bersamaku ... dan, yang lebih tidak lazim, dengan izin." "Ke mana kita akan pergi, Sir?" "Berjalan-jalan sepanjang jalan kenangan Bob Ogden," kata Dumbledore, mengeluarkan dari sakunya botol kristal berisi sesuatu yang bergulung, putih keperakan. "Siapakah Bob Ogden?" "Dia dulu bekerja di Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir," kata Dumbledore. "Dia meninggal beberapa waktu yang lalu, tetapi tidak sebelum aku berhasil melacaknya dan membujuknya memercayakan kenangannya ini kepadaku. Kita akan menemaninya dalam satu kunjungan yang dilakukannya dalam masa tugasnya. Silakan berdiri, Harry ... " Tetapi Dumbledore mengalami kesulitan menarik tutup botol kristal itu; tangannya yang terluka tampak kaku dan kesakitan. "Boleh-boleh saya bantu, Sir?" "Tak usah, Harry" Dumbledore mengacungkan tongkat sihirnya ke arah botol itu dan tutup gabusnya langsung terbang lepas. "Sir bagaimana sampai tangan Anda terluka?" Harry bertanya lagi, memandang jari-jari kehitaman itu dengan rasa kasihan bercampur jijik. "Sekarang bukan waktunya untuk cerita itu, Harry. Belum waktunya. Kita punya janji dengan Bob Ogden." Dumbledore menuang isi botol yang keperakan ke dalam Pensieve, yang langsung berputar dan berpendar, bukan cairan dan bukan gas. "Kau dulu," kata Dumbledore, memberi isyarat ke arah baskom. Harry membungkuk, menarik napas dalam-dalam, dan memasukkan wajahnya ke dalam zat keperakan itu. Dia merasa kakinya meninggalkan lantai kantor, dia terjatuh, memasuki kegelapan yang berpusar dan kemudian, cukup mendadak, dia sudah mengerjapkan matanya dalam cahaya matahari yang menyilaukan. Sebelum matanya sempat beradaptasi, Dumbledore sudah mendarat di sebelahnya. Mereka sedang berdiri di sebuah jalan pedesaan yang diapit pagar tanaman tinggi dan lebat, di bawah langit musim panas secerah dan sebiru bunga forgetme-not. Kira-kira tiga meter di depan mereka berdiri seorang laki-laki gemuk pendek memakai kacamata supertebal yang membuat matanya tampak kecil seperti bintik tahi lalat. Dia sedang membaca papan petunjuk jalan yang muncul dari dalam semak di sisi kiri jalan. Harry tahu dia pastilah Ogden; dia satusatunya orang yang tampak, dan dia juga memakai kombinasi aneh berbagai pakaian yang acap kali dipilih oleh.penyihir tak berpengalaman yang berusaha tampil sebagai Muggle. Dia memakai jas berkancing dua baris dan penutup mata kaki di atas baju renang sepotong. Sebelum Harry sempat meneliti lebih jauh penampilan yang ajaib ini, Ogden sudah berjalan cepat menyusuri jalan setapak. Dumbledore dan Harry mengikutinya. Ketika mereka melewati papan petunjuk jalan, Harry mendongak melihat dua petunjuknya. Yang menunjuk ke arah dari mana mereka datang berbunyi: "Great Hangleton, 5 mil". Yang menunjuk ke arah Ogden berbunyi: "Little Hangleton, 1 mil."* Selama beberapa waktu mereka berjalan, yang bisa mereka lihat hanyalah pagar tanaman, langit luas biru di atas mereka, dan sosok berjas yang bergerak cepat di depan mereka, sampai kemudian jalan membelok ke kiri dan menjadi curam, menuruni sisi bukit, sehingga mendadak, tanpa diduga, mereka melihat seluruh lembah terhampar di hadapan mereka. Harry bisa melihat desa, tak diragukan lagi Little Hangleton, bersarang di antara dua bukit curam, gereja dan pemakamannya terlihat jelas. Di seberang lembah, di sisi bukit yang berhadapan, berdiri sebuah rumah gedung yang megah dikelilingi halaman rumput luas bagai beludru hijau. Ogden sekarang berjalan hati-hati sehubungan dengan jalan setapak yang menurun curam. Dumbledore memanjangkan langkah dan Harry bergegas agar bisa merendenginya. Dia mengira Little Hangleton pastilah tujuan mereka dan bertanya dalam hati, seperti pada malam mereka menemukan Slughorn, kenapa mereka harus mendatanginya dari jarak sejauh itu. Meskipun demikian, tak lama kemudian dia tahu ternyata dia salah mengira akan ke desa itu. Jalan setapak itu membelok ke kanan, dan ketika membelok di sudut, mereka melihat ujung jas Ogden menghilang melewati lubang di pagar tanaman. Dumbledore dan Harry membuntutinya menyusuri jalan tanah sempit yang diapit pagar tanaman yang lebih tinggi dan lebih liar daripada yang mereka tinggalkan. Jalanan itu berliku-liku, berbatu-batu, dan berlubang-lubang, menurun seperti jalan sebelumnya, dan tampaknya menuju sepetak pepohonan gelap agak di bawah mereka. Betul saja, jalan tanah itu berhenti di depan hutan kecil. Dumbledore dan Harry berhenti di belakang Ogden, yang telah berhenti dan mencabut tongkat sihirnya. Walaupun langit tak berawan, pepohonan tua di depan mereka menimbulkan bayang-bayang gelap dan sejuk dan baru beberapa detik kemudian mata Harry bisa melihat bangunan yang setengah tersembunyi di antara batang-batang pohon yang campur aduk. Bagi Harry, pemilihan lokasi rumah itu aneh sekali; atau kalau tidak, keputusan yang aneh membiarkan pepohonan tumbuh rapat di sekitarnya, memblokir semua cahaya dan pemandangan ke lembah di bawahnya. Dia bertanya dalam hati, apakah rumah itu berpenghuni. Dinding-dindingnya berlumut dan banyak genteng yang sudah terjatuh dari atapnya, sehingga kasau-kasaunya tampak di beberapa tempat. Jelatang tumbuh di sekeliling rumah, puncaknya mencapai jendela-jendela rumah, yang kecil-kecil dan berlapis tebal kotoran. Baru saja dia menyimpulkan bahwa tak mungkin ada orang yang tinggal di situ, salah satu jendelanya menjeblak terbuka dengan bunyi dentang dan asap tipis melayang keluar, sepertinya ada orang yang sedang memasak. Ogden bergerak maju tanpa suara, dan tampaknya bagi Harry, agak berhati-hati. Selagi bayang-bayang gelap pepohonan bergerak di atasnya, dia berhenti lagi, memandang pintu depan. Ada orang yang memaku ular mati di pintu itu. Kemudian terdengar bunyi gemerisik, kertak, dan seorang laki-laki berpakaian compang-camping terjun dari pohon terdekat, mendarat dengan kakinya tepat di depan Ogden, yang melompat ke belakang cepat sekali sampai dia menginjak ujung ekor jasnya dan terhuyung. "Kau tidak diharapkan." Rambut laki-laki yang berdiri di hadapan mereka kusut masai berlapis debu tebal, sehingga tak jelas apa warnanya. Beberapa giginya ompong. Matanya kecil dan gelap dan memandang ke arah berlawanan. Mestinya tampangnya bisa konyol, tapi tidak, efeknya malah menakutkan, dan Harry tak bisa menyalahkan Ogden yang mundur beberapa langkah lagi sebelum dia bicara. "Er selamat pagi. Saya dari Kementerian Sihir" "Kau tidak diharapkan." "Er maaf saya tidak mengerti ucapanmu," kata Ogden gugup. Harry menyangka Ogden bodoh sekali, sosok asing itu bicara jelas sekali, menurut pendapatnya, apalagi karena dia mengacung-acungkan tongkat sihir di satu tangan dan pisau pendek berlumur darah di tangan yang lain. "Kau mengerti dia, aku yakin, Harry?" kata Dumbledore pelan. "Ya, tentu saja;" kata Harry,-sedikit heran. "Kenapa Ogden tidak" Namun ketika tertatap lagi olehnya ular mati di pintu, dia mendadak paham. "Dia bicara Parseltongue?" "Bagus sekali," kata Dumbledore, mengangguk dan tersenyum. Laki-laki berpakaian compang-camping itu sekarang maju mendekati Ogden, pisau di satu tangan, tongkat sihir di tangan lain. "Tunggu dulu" Ogden berkata, namun terlambat. Terdengar dentuman dan Ogden terkapar di tanah memegangi hidungnya, sementara cairan kental kekuningan menjijikkan menyembur dari antara jari-jarinya. "Morfin!" terdengar teriakan keras. Seorang laki-laki setengah-baya bergegas keluar dari gubuk, membanting pintu di belakangnya sehingga ular mati itu berayun memelas. Laki-laki ini lebih pendek daripada yang pertama, dan proporsi tubuhnya aneh; bahunya sangat lebar dan lengannya kelewat panjang, ini ditambah mata cokelatnya yang cerah, rambut pendeknya yang kaku dan wajahnya yang keriput, membuatnya tampak seperti kera tua yang berkuasa. Dia berhenti di sebelah laki-laki yang memegang pisau, yang sekarang terbahak-bahak melihat Ogden di tanah. "Kementerian, ya?" kata si laki-laki yang lebih tua, menunduk memandang Ogden. "Betul!" kata Ogden berang, mengelap wajahnya. "Dan Anda, saya kira, adalah Mr Gaunt?" "Betul," kata Gaunt. "Menyerang wajahmu, dia?" "Ya!" gertak Ogden. "Harusnya memberitahukan kedatangan Anda dulu, kan?" timpal Gaunt agresif. "Ini milik pribadi. Anda tak bisa masuk begitu saja dan tak mengharap anak saya membela diri." "Membela diri terhadap apa, coba?" kata Ogden, merangkak bangun. "Orang-orang yang ingin tahu. Pengganggu. Muggle dan sampah." Ogden mengacungkan tongkat sihir ke hidungnya sendiri, yang masih mengeluarkan banyak cairan seperti nanah kuning, dan cairan itu langsung berhenti. Mr Gaunt bicara dari sudut mulutnya kepada Morfin. "Masuk rumah. Jangan membantah." Kali ini, sudah siap, Harry langsung tahu itu Parseltongue. Bahkan sementara dia bisa memahami apa yang dikatakan, dia mengenali bunyi desis aneh yang mestinya hanya itu yang didengar Ogden. Morfin tampaknya akan membantah, namun ketika ayahnya melempar pandang mengancam dia berubah pikiran, beringsut menuju gubuk dengan langkah menggelinding yang aneh dan membanting pintu menutup di belakangnya, sehingga ular matinya berayun sedih lagi. "Anak Anda-lah yang ingin saya temui, Mr Gaunt," kata Ogden, sambil mengelap sisa nanah terakhir dari bagian depan jasnya. "Itu Morfin, kan?" "Ya, itu Morfin," kata laki-laki tua itu tak acuh. "Apakah Anda berdarah-murni?" dia bertanya, tiba-tiba agresif. "Itu tidak ada hubungannya," kata Ogden dingin, dan rasa hormat Harry terhadap Ogden meningkat. Rupanya yang dirasakan Gaunt agak berbeda. Matanya menyipit memandang wajah Ogden dan bergumam, dalam nada yang jelas menghina, "Kalau saya pikir-pikir, saya pernah melihat hidung seperti hidung Anda di desa." "Saya tidak meragukannya, jika anak Anda dilepas menyerang mereka," kata Ogden. "Barangkali kita bisa melanjutkan diskusi ini di dalam?" "Di dalam?" "Ya, Mr Gaunt. Sudah saya katakan tadi, saya datang soal Morfin. Kami sudah mengirim burung hantu-" "Burung hantu tak ada gunanya untuk saya," kata Gaunt. "Saya tidak membuka surat-surat." "Kalau begitu Anda tak bisa mengeluh tak diberi tahu lebih dulu akan kedatangan tamu," kata Ogden masam. "Saya berada di sini karena adanya pelanggaran hukum sihir yang serius, yang terjadi di sini pada pagi" "Baik, baik, baik!" teriak Gaunt. "Masuk saja, kalau begitu. Anda kira kalau masuk lebih baik!" Rumah itu tampaknya terdiri atas tiga ruangan kecil. Ada dua pintu menuju ruang utama, yang berfungsi sebagai dapur sekaligus ruang duduk. Morfin sedang duduk di kursi berlengan kotor di sebelah perapian berasap, menbelitkan ular beludak hidup di antara jari-jarinya yang gemuk dan menyanyi lembut kepada ular itu dalam Parseltongue: "Desis, desis, ular kecil mendesis, Menjalar-jalar di lantai batu, Baik-baiklah kepada Morfin, Kalau tak mau dipaku di pintu." Terdengar keresekan di sudut dekat jendela terbuka dan Harry menyadari ada orang lain dalam ruangan itu, seorang gadis yang gaun compang-campingnya berwarna kelabu persis warna dinding batu kotor di belakangnya. Dia sedang berdiri di sebelah panci berasap di atas tungku batu kotor, dan sedang membereskan panci dan belanga yang tampak kotor di atas rak. Rambutnya tipis dan kusam dan wajahnya sederhana, pucat, agak berat. Matanya, seperti mata abangnya, memandang ke arah berlawanan. Dia tampak sedikit lebih bersih daripada ayah dan abangnya, namun Harry belum pernah melihat orang yang bertampang lebih sengsara daripadanya. "Anak perempuan saya, Merope," kata Gaunt enggan, ketika Ogden memandang penuh tanya ke arahnya. "Selamat pagi," sapa Ogden. Gadis itu tidak menyahut, namun dengan pandangan takut ke arah ayahnya berbalik memunggungi ruangan dan meneruskan membereskan panci-panci di rak di belakangnya. "Nah, Mr Gaunt," kata Ogden, "kita langsung ke pokok persoalan. Kami punya alasan untuk memercayai bahwa anak Anda, Morfin, melakukan sihir di depan seorang Muggle larut malam kemarin." Terdengar bunyi dentang memekakkan telinga. Merope menjatuhkan salah satu panci. "Ambil!" Gaunt membentaknya. "Ya, terus saja menggerayang lantai seperti Muggle kotor. Buat apa tongkat sihirmu? Dasar kantong sampah tak berguna!" "Mr Gaunt, mohon jangan memaki!" kata Ogden dalam suara shock, sementara Merope, yang sudah memungut panci, wajahnya merah padam, sekali lagi pegangannya pada panci terlepas, dengan gemetar mencabut tongkat sihirnya dari sakunya, mengarahkannya ke panci dan buru-buru menggumamkan mantra yang membuat panci itu meluncur di lantai menjauh darinya, menabrak dinding seberang, dan retak menjadi dua. Morfin terbahak-bahak. Gaunt berteriak, "Betulkan, gumpalan lumpur bego, betulkan!" Merope terhuyung ke seberang ruangan, namun sebelum dia sempat mengangkat tongkat sihirnya, Ogden sudah mengangkat tongkatnya dan berkata tegas, "Reparo." Panci itu langsung utuh lagi. Sekejap tampaknya Gaunt akan membentak Ogden, tetapi rupanya berubah pikiran; alih-alih menegur Ogden, dia mencemooh anaknya, "Untung laki-laki baik dari Kementerian ini ada di sini, ya? Barangkali dia mau mengambilmu dari tanganku, barangkali dia tidak keberatan bergaul dengan Squib kotor ..." Tanpa memandang siapa pun ataupun berterima kasih kepada Ogden, Merope mengambil panci itu dan mengembalikannya, dengan tangan gemetar, ke raknya. Dia kemudian berdiri diam, punggungnya bersandar ke dinding di antara jendela kotor dan tungku, seakan tak ada yang lebih diinginkannya daripada terbenam ke dalam dinding batu dan lenyap. "Mr Gaunt," Ogden memulai lagi. "seperti sudah saya katakan tadi: alasan kedatangan saya ..." "Saya sudah dengar tadi!" bentak Gaunt. "Jadi, kenapa? Morfin memberi sedikit kejutan pada seorang Muggle-kenapa kalau begitu?" "Morfin telah melanggar hukum sihir," kata Ogden tegas. "Morfin telah melanggar hukum sihir," Gaunt menirukan Ogden, dengan nada angkuh dan datar. Morfin terbahak lagi. "Dia memberi pelajaran pada Muggle kotor, dan itu ilegal sekarang, begitu? "Ya," kata Ogden. "Sayangnya ya, itu ilegal." Ogden menarik gulungan kecil perkamen dari saku dalamnya dan membuka gulungannya. "Apa itu, vonisnya?" kata Gaunt, suaranya meninggi marah. "Ini panggilan agar dia datang di Kementerian untuk sidang" "Panggilan! Panggilan? Kaupikir siapa kau ini, beraniberaninya memanggil anakku?" "Saya Kepala Pasukan Pelaksanaan Hukum Sihir," kata Ogden. "Dan kau menganggap kami orang-orang tak berguna, kan?" teriak Gaunt, mendekati Ogden sekarang, dengan jari kotor berkuku kuning menunjuk ke dadanya. "Orang tak berguna yang akan segera berlari datang kalau dipanggil Kementerian? Tahukah kau, sedang bicara dengan siapa, kau Darah-campuran kotor?" "Saya sangka saya sedang bicara kepada Mr Gaunt," kata Ogden, tampak waspada, namun tetap bertahan. "Betul!" raung Gaunt. Sesaat Harry mengira Gaunt melakukan gerak tangan yang kurang ajar, namun kemudian sadar bahwa dia sedang menunjukkan kepada Ogden cincin jelek bermata-batu-hitam yang dipakainya di jari tengahnya, menggoyangkannya di depan mata Ogden. "Lihat ini? Lihat ini? Tahu apa ini? Tahu dari mana asalnya? Sudah berabad-abad cincin ini ada dalam keluarga kami, sudah sebegitu tuanyalah kami, dan seluruhnya berdarah-murni! Tahu berapa banyak yang ditawarkan kepadaku untuk inl, dengan lambang Peverell terukir di batunya?" "Saya sama sekali tak tahu," kata Ogden, mengerjap ketika cincin itu terbang dua setengah senti dari hidungnya, "dan itu tak penting, Mr Ogden. Anak Anda telah melanggar-" Dengan raung kemurkaan, Gaunt berlari ke arah anak perempuannya. Selama sepersekian detik, Harry mengira dia akan mencekiknya ketika tangannya melayang ke leher gadis itu; detik berikutnya, dia menarik anaknya ke arah Ogden pada rantai emas di sekeliling lehernya. "Lihat ini?" dia berteriak kepada Ogden, menggoyangkan liontin emas berat di depannya, sementara Merope gemetar dan tersengal kehabisan napas. "Saya lihat, saya lihat!" kata Ogden buru-buru. "Kalung Slytherin!" teriak Gaunt. "Kalung Salazar Slytherin! Kami turunan terakhirnya yang masih hidup, apa komentarmu, eh?" "Mr Gaunt, anak Anda!" kata Ogden cemas, namun Gaunt sudah melepaskan Merope. Gadis itu terhuyung menjauh darinya, kembali ke sudutnya, menggosok lehernya dan terengah menghirup udara. "Jadi!" kata Gaunt penuh kemenangan, seolah dia, baru saja berhasil membuktikan topik rumit tanpa bisa dibantah lagi. "Jangan berani-berani bicara kepada kami seakan kami debu di sepatumu! Bergenerasi-generasi darah-murni, semua penyihir lebih daripada yang bisa kau katakan, aku yakin!" Dan dia meludah di lantai di depan kaki Ogden. Morfin terbahak lagi. Merope, meringkuk di sebelah jendela, kepalanya menunduk dan wajahnya tersembunyi oleh rambutnya yang tipis, tidak berkata apa-apa. "Mr Gaunt," kata Ogden tabah, "sayangnya baik leluhur Anda maupun leluhur saya tak ada hubungannya dengan persoalan ini. Saya berada di sini karena Morfin, Morfin dan si Muggle yang diserangnya semalam. Informasi yang kami dapat," dia menunduk membaca gulungan perkamennya, "Morfin memantrai atau mengutuk Muggle itu, membuat wajahnya dipenuhi gatal-gatal yang menyakitkan." Morfin terkikik. "Diam, Nak, " bentak Gaunt dalam Parseltongue, dan Morfin terdiam lagi. "Memangnya kenapa kalau dia begitu?" Gaunt menantang Ogden. "Kukira kau sudah membersihkan wajah kotor si Muggle itu, dan memorinya sekalian-" "Bukan itu masalahnya, kan, Mr Gaunt?" kata Ogden. "Ini serangan tanpa provokasi pada seorang Muggle tak berdaya" "Ah, aku sudah mengenalimu sebagai pencinta Muggle begitu aku melihatmu," cibir Gaunt, dan dia meludah di lantai lagi. "Diskusi kita tidak maju-maju," kata Ogden tegas. "Jelas dari sikap anak Anda bahwa dia sama sekali tidak menyesali perbuatannya." Dia membaca perkamennya lagi. "Morfin akan menghadiri sidang pada tanggal empat belas September dengan tuduhan menggunakan sihir di depan Muggle dan menyebabkan celaka dan stres terhadap Muggle yang sam-" Ogden berhenti berbicara. Bunyi gemerincing, derap kaki kuda dan tawa Keras terdengar dan jendela yang terbuka. Rupanya jalan setapak berliku yang menuju desa melewati dekat sekali petak pepohonan tempat gubuk itu berada. Gaunt membeku, mendengarkan, matanya melebar. Morfin mendesis dan menoleh ke arah suara-suara itu, ekspresinya lapar. Merope mengangkat kepalanya. Harry melihat wajahnya pucat pasi. "Ya ampun, bikin sakit mata saja!" terdengar suara seorang gadis dari jendela yang terbuka, jelas sekali seolah dia berada dalam ruangan itu bersama mereka. "Tidak bisakah ayahmu menyingkirkan gubuk itu, Tom?" "Itu bukan milik kami," kata seorang pemuda. "Segala sesuatu di sisi lain lembah milik kami, tapi gubuk itu milik gelandangan tua bernama Gaunt dan anak-anaknya. Anak laki-lakinya agak gila, coba kalau kau mendengar cerita-cerita yang beredar di desa-" Gadis itu tertawa. Bunyi gemerincing dan derap kaki kuda semakin lama semakin keras. Morfin beranjak dari kursi berlengannya. "Tetap di tempat dudukmu," kata ayahnya memperingatkan, dalam Parseltongue. "Tom," kata suara si gadis lagi, sekarang dekat sekali, pasti mereka berada di sebelah rumah, "aku mungkin keliru-tapi apa ada orang yang memaku ular di pintu?" "Astaga, kau benar!" kata suara si pemuda. "Pasti anak laki-lakinya, kan sudah kubilang ada yang tidak beres dengan otaknya. Jangan melihatnya, Cecilia, darling." Bunyi gemerincing dan derap kaki kuda sekarang mungkin jauh dan pelan lagi. "Darling," bisik Morfin dalam Parseltongue, memandang adik perempuannya. "Dia memanggilnya 'darling'. Jadi, dia tak mau denganmu." Merope bukan main pucatnya Harry yakin dia akan pingsan. "Apa maksudmu?" tanya Gaunt tajam, juga dalam parseltongue, bergantian memandang anak laki-laki dan perempuannya. "Apa katamu, Morfin?" "Dia suka memandangi Muggle itu," kata Morfin, ekspresi wajahnya keji ketika dia memandang adiknya, yang sekarang tampak ketakutan. "Dia kan selalu berada di halaman kalau Muggle itu lewat, mengintipnya lewat pagar tanaman? Dan semalam-" Merope menggelengkan kepalanya dengan menyentak, memohon, namun Morfin melanjutkan tanpa belas kasihan, "Nongkrong di jendela, menunggu dia lewat pulang, kan?" "Nongkrong di jendela mau melihat Muggle?" kata Gaunt perlahan. Ketiganya rupanya sudah melupakan Ogden, yang tampaknya bingung dan jengkel karena mereka lagi mendesis-desis parau tak bisa dimengerti. "Betulkah?" kata Gaunt dengan suara mengerikan, maju satu atau dua langkah mendekati si gadis yang ketakutan. "Anakku keturunan Salazar Slytherin yang berdarah-murni mendambakan Muggle kotor, berpembuluh lumpur?" Merope menggelengkan kepala dengan panik, menekankan tubuhnya ke dinding, tak sanggup berbicara. "Tapi kukerjai dia, Ayah!" gelak Morfin. "Kukerjai dia waktu lewat, dan dia tidak tampan lagi dengan bintikbintik merah gatal di seluruh tubuhnya, iya kan, Merope?" "Kau Squib menjijikkan, pengkhianat kotor!" raung Gaunt, kehilangan kendali, dan tangannya mencekik leher anak perempuannya. Baik Harry maupun Ogden berteriak, "Jangan!" pada saat bersamaan. Ogden mengangkat tongkat sihirnya dan berseru, "Relashio!" Gaunt terlempar ke belakang, jauh dari anak perempuannya. Dia menabrak kursi dan jatuh terkapar. Dengan raung murka Morfin melompat dari kursinya dan berlari mendekati Ogden, mengayun-ayunkan pisaunya yang berlumuran darah dan melancarkan kutukan membabibuta dari tongkat sihirnya. Ogden berlari menyelamatkan diri: Dumbledore memberi isyarat bahwa mereka harus mengikutinya dan Harry patuh. Jeritan Merope bergaung di telinganya. Ogden berlari sepanjang jalan setapak dan tiba di jalan utama, lengannya di atas kepala. Dia menabrak kuda cokelat berkilat yang ditunggangi pemuda sangat tampan, berambut hitam. Dia dan gadis cantik di sebelahnya di atas kuda kelabu tertawa gelak-gelak melihat Ogden, yang terlempar dari panggul kuda dan kabur lagi, jasnya berkibar, dari kepala sampai kaki berlumur debu, berlari pontang-panting sepanjang jalan kecil. "Kurasa sudah cukup, Harry," kata Dumbledore. Dia memegang siku Harry dan menariknya. Detik berikutnya, mereka berdua melayang tanpa berat menembus kegelapan, sampai mereka mendarat mantap di kaki mereka, kembali di dalam kantor Dumbledore di senja hari. "Apa yang terjadi pada gadis di gubuk itu?" Harry langsung bertanya, ketika Dumbledore menyalakan lampu-lampu ekstra dengan jentikan tongkat sihirnya. "Merope, atau entah siapa tadi namanya?" "Oh, dia selamat," kata Dumbledore, kembali duduk di belakang mejanya dan memberi isyarat agar Harry juga duduk. "Ogden ber-Apparate ke Kementerian dan kembali membawa pasukan dalam waktu lima belas menit. Morfin dan ayahnya berusaha melawan, namun keduanya berhasil diringkus, dibawa dari gubuk, dan dijatuhi hukuman oleh Wizengamot. Morfin, yang sudah beberapa kali menyerang Muggle, dihukum tiga tahun di Azkaban. Marvolo, yang sudah melukai beberapa petugas Kementerian selain Ogden, kena enam bulan." "Marvolo?" Harry mengulang penasaran. "Betul," kata Dumbledore, mengangguk gembira. "Aku senang melihatmu mengikuti perkembangan." "Laki-laki tua itu-?" "Kakek Voldemort, ya," kata Dumbledore. "Marvolo, anak laki-lakinya Morfin, dan anak perempuannya Merope adalah Gaunt terakhir, keluarga penyihir yang sangat kuno, yang terkenal tidak stabil dan suka marah, yang semakin menjadi-jadi dalam generasi-generasi berikut, karena kebiasaan mereka menikah antar-sepupu. Kurang bijaksana ditambah kegemaran besar akan kemuliaan berarti bahwa emas keluarga telah dihambur-hamburkan dan habis beberapa generasi sebelum Marvolo lahir. Dia seperti yang kau lihat tadi, hidup dalam kekurangan dan kemiskinan, dengan temperamen yang meledak-ledak sangat mudah marah, keangkuhan yang luar biasa besar, dan dua pusaka keluarga yang baginya sama berharganya dengan anak laki-lakinya, dan agak lebih berharga daripada anak perempuannya." "Jadi, Merope," kata Harry, mencondongkan diri ke depan di kursinya dan menatap Dumbledore, "jadi, Merope adalah ... Sir, apakah itu berarti dia ... ibu Voldemort?" "Betul," kata Dumbledore. "Dan kebetulan kita tadi juga melihat ayah Voldemort sekilas. Apakah kau memperhatikan?" "Muggle yang diserang Morfin? Laki-laki yang naik kuda?" "Bagus sekali," kata Dumbledore, berseri-seri. "Ya, itu Tom Riddle senior, Muggle tampan yang selalu berkuda melewati gubuk keluarga Gaunt dan terhadap siapa Merope Gaunt menyimpan cinta rahasia yang membara." "Dan mereka akhirnya menikah?" kata Harry tak percaya, tak mampu membayangkan pasangan yang sangat tak serasi begitu bisa saling jatuh cinta. "Kurasa kau melupakan," kata Dumbledore, "bahwa Merope adalah penyihir. Kurasa kekuatan sihirnya tidak berfungsi sepenuhnya ketika dia masih diteror oleh ayahnya. Begitu Marvolo dan Morfin sudah aman di Azkaban, begitu dia sendirian dan bebas untuk pertama kalinya dalam hidupnya, maka, aku yakin, dia bisa mengembangkan kemampuan sihirnya sepenuhnya dan merencanakan pelariannya dari hidup sangat menyedihkan yang telah dijalaninya selama delapan belas tahun. "Tak bisakah kau memperkirakan, tindakan apa yang mungkin dilakukan Merope untuk membuat Tom Riddle melupakan teman Muggle-nya, dan jatuh cinta kepadanya?" "Kutukan Imperius?" Harry mengusulkan. "Atau ramuan cinta?" "Bagus sekali. Aku sendiri cenderung menduga bahwa dia menggunakan ramuan cinta. Aku yakin baginya itu lebih romantis dan kurasa tidak akan terlalu sulit, pada suatu hari yang panas, ketika Riddle berkuda sendirian, untuk membujuknya minum air. Yang jelas, dalam waktu beberapa bulan setelah peristiwa yang kita saksikan tadi, desa Little Hangleton menikmati skandal menghebohkan. Kau bisa membayangkan gosip yang beredar ketika anak laki-laki "Namun keterkejutan penduduk desa tak seberapa dibandingkan dengan shock yang dialami Marvolo. Dia kembali dari Azkaban, mengharap anak perempuannya dengan patuh menanti kepulangannya, dengan makanan panas siap terhidang di mejanya. Ternyata yang ditemukannya debu setebal dua setengah senti dan surat perpisahan Merope, yang menjelaskan apa yang telah dilakukannya." "Sejauh yang berhasil kuketahui, Marvolo tak pernah lagi menyebut namanya atau keberadaannya sejak saat itu. Shock akibat ditinggalkan anak perempuannya ini mungkin menjadi salah satu sebab dia mati muda atau mungkin dia tak pernah belajar memberi makan dirinya. Azkaban telah sangat melemahkan Marvolo dan dia tidak bertahan hidup untuk melihat Morfin kembali ke gubuk." "Dan Merope? Dia ... dia mati, kan? Bukankah Voldemort dibesarkan di panti asuhan?" "Ya, memang," kata Dumbledore. "Kita harus menebak-nebak di sini, meskipun kurasa tidak sulit menyimpulkan apa yang terjadi. Soalnya, beberapa bulan setelah mereka kawin lari, Tom Riddle muncul kembali di rumahnya di Little Hangleton tanpa istrinya. Desasdesus yang beredar di antara penduduk adalah dia mengatakan 'tertipu' dan 'teperdaya'. Yang dia maksudkan, aku yakin, adalah bahwa dia di bawah pengaruh sihir yang sekarang telah pudar, meskipun demikian kurasa dia tidak berani menggunakan kata-kata itu, karena takut dikira gila. Namun, ketika mereka mendengar apa yang dikatakannya, penduduk desa menduga Merope telah berbohong kepada Tom Riddle, berpura-pura mengandung anaknya, dan bahwa Riddle telah mengawininya karena alasan ini." keluarga terhormat kabur dengan anak perempuan gelandangan Merope." "Tapi dia memang melahirkan bayinya." "Ya, tapi baru setelah setahun mereka menikah. Tom Riddle meninggalkannya sewaktu dia masih mengandung." "Apa yang salah?" tanya Harry. "Kenapa ramuan cintanya berhenti berfungsi?" "Sekali lagi, ini, cuma tebakan," kata Dumbledore, "tapi kukira Merope, yang sangat mencintai suaminya, tidak tega terus memperbudaknva dengan cara sihir. Kukira dia memutuskan untuk berhenti memberinya ramuan. Barangkali, karena dia sendiri tergila-gila, dia meyakinkan diri bahwa suaminya saat itu juga sudah membalas mencintainya. Barangkali dia menyangka suaminya akan tinggal demi anaknya. Jika begitu, dugaannya dua-duanya keliru. Suaminya meninggalkannya, tak pernah menjenguknya lagi, dan tak pernah bersusah payah mencari tahu apa yang terjadi dengan anaknya." Langit di luar sudah sehitam tinta dan lampu lampu dalam kantor Dumbledore tampak bersinar lebih terang daripada sebelumnya. "Kurasa cukup untuk kali ini, Harry," kata Dumbledore setelah beberapa saat. "Ya, Sir," kata Harry. Dia bangkit berdiri, namun tidak pergi. "Sir ... pentingkah mengetahui semua masa lalu Voldemort ini?" "Sangat penting, kukira," kata Dumbledore. "Dan ini ... ini ada hubungannya dengan ramalan?" "Sangat erat hubungannya dengan ramalan." "Baiklah," kata Harry, sedikit bingung, namun toh diyakinkan. Dia berbalik untuk pergi, kemudian pertanyaan lain terlintas di benaknya dan dia berbalik lagi. "Sir, bolehkah saya memberitahu Ron dan Hermione segala sesuatu yang Anda katakan kepada saya?" Dumbledore mempertimbangkan sesaat, kemudian berkata, "Ya, kurasa Mr Weasley dan Miss Granger sudah membuktikan mereka bisa dipercaya. Tapi, Harry, aku akan memintamu meminta mereka agar tidak menceriakan apapun kepada siapapun. Tak baik baik jika tersiar berapa banyak yang kuketahui, atau kucurigai, tentang rahasia Voldemort." "Baik, Sir, saya akan memastikan hanya Ron dan Hermione yang tahu. Selamat malam." Dia berbalik lagi, dan sudah hampir tiba di pink ketika melihatnya. Sebentuk cincin emas jelek bermata batu hitam besar retak, tergeletak di atas salah satu meja berkaki kurus panjang, di antara banyak peralatan perak yang tampak rapuh. "Sir," kata Harry, memperhatikan cincin itu. "Cincin itu ..." "Ya?" kata Dumbledore. "Anda memakainya ketika kita mengunjungi Profesor Slughorn malam itu." "Betul," Dumbledore membenarkan. "Tapi bukankah ... Sir, bukankah ini cincin yang sama yang diperlihatkan Marvolo Gaunt kepada Ogdwen?" Dumbledore menganggukkan kepala. "Cincin yang sama." "Tapi bagaimana? Sudah lamakah Anda memilikinya?" "Belum, aku mendapatkannya baru-baru ini," kata Dumbledore. "Beberapa hari sebelum aku datang menjemputmu di rumah bibi dan pamanmu, sebetulnya." "Itu berarti sekitar waktu tangan Anda terluka kalau begitu, Sir?" "Sekitar waktu itu, ya, Harry." Harry bimbang. Dumbledore sedang tersenyum. "Sir, bagaimana tepatnya?" "Sudah kelewat malam, Harry! Kau akan mendengar ceritanya lain kali. Selamat tidur." "Selamat tidur." 11. HERMIONE TURUN TANGAN Seperti telah diramalkan Hermione, jam-jam bebas kelas enam bukanlah waktu santai menyenangkan seperti diharapkan Ron, melainkan waktu untuk mengerjakan sejumlah besar PR yang diberikan kepada mereka. Mereka tak hanya belajar seakan ada ujian setiap hari, pelajaran-pelajarannya sendiri semakin lama semakin sulit. Harry nyaris tak memahami setengah dan apa yang dikatakan Profesor McGonagall kepada mereka hari-hari ini, bahkan Hermione terpaksa memintanya mengulangi instruksi satu-dua kali. Yang luar biasa, dan membuat Hermione semakin sebal, pelajaran yang paling dikuasai Harry tiba-tiba saja adalah Ramuan, berkat si Pangeran Berdarah-Campuran. Mantra-mantra non-verbal sekarang diharapkan, tidak hanya di kelas Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, melainkan di pelajaran Mantra dan Transfigurasi juga. Harry acap kali memandang teman-teman sekelasnya di ruang rekreasi atau pada saat makan dan melihat wajah mereka berwarna ungu dan tegang seolah mereka kebanyakan makan U-No-Poo; tetapi dia tahu bahwa sebetulnya mereka sedang bekerja keras berusaha melakukan sihir tanpa mengucapkan mantranya. Lega rasanya bisa di luar di rumah-rumah kaca; mereka menangani tanaman-tanaman yang lebih berbahaya daripada sebelumnya dalam kelas Herbologi, tapi paling tidak mereka masih diizinkan mengumpat keras-keras jika Tentakula Berbisa tiba-tiba menyambar mereka dari belakang. Salah satu akibat menggunungnya tugas-tugas mereka dan berjam-jam berlatih mantra-mantra nonverbal adalah Harry, Ron, dan Hermione sejauh ini belum berhasil meluangkan waktu untuk mengunjungi Hagrid. Hagrid tak lagi datang untuk makan di meja guru, pertanda tak menyenangkan, dan dalam beberapa kesempatan ketika mereka berpapasan dengannya di koridor atau di halaman, secara misterius Hagrid tidak melihat mereka atau mendengar sapaan mereka. "Kita harus ke sana dan menjelaskan," kata Hermione, mendongak memandang kursi besar Hagrid yang kosong di meja guru hari Sabtu berikutnya pada saat sarapan. "Pagi ini kita uji coba Quidditch!" kata Ron. "Dan kita disuruh latihan mantra Aguamenti untuk Flitwick. Lagi pula, menjelaskan apa? Bagaimana kita akan menjelaskan kepadanya bahwa kita membenci pelajarannya yang konyol?" "Kita tidak membencinya!" kata Hermione. "Terserah deh, aku belum melupakan Skrewt-nya" kata Ron suram. "Dan kuberitahu kau, kita baru saja lolos dari lubang jarum. Kau tidak mendengar dia cerita tak habis-habisnya tentang adiknya yang bego -- kita sedang mengajari Grawp bagaimana mengikat tali sepatunya kalau kita tetap ikut pelajaran Hagrid." "Aku tak suka kita tidak bicara dengan Hagrid," kata Hermione, tampak sedih. "Kita ke sana sesudah Quidditch," Harry meyakinkannya. Dia juga merasa kehilangan Hagrid, meskipun seperti Ron, dia berpendapat bahwa mereka lebih baik tanpa adanya Grawp dalam kehidupan mereka. "Tapi uji coba bisa sepanjang pagi, banyak sekali anak yang mendaftar." Harry merasa agak gugup menghadapi tantangan pertamanya sebagai kapten. "Tahu deh, kenapa mendadak tim jadi ngetop banget." "Oh, yang benar, Harry," kata Hermione, tiba-tiba tak sabar. "Bukan Quidditch yang ngetop, tapi kau! Kau belum pernah semenarik ini, dan jujur saja, kau belum pernah sekeren ini." Ron tersedak sepotong besar ikan salmon. Hermione melempar pandang meremehkan sebelum kembali menoleh ke Harry. "Semua orang sekarang tahu kau mengatakan yang sebenarnya, kan? Seluruh dunia sihir harus mengakui kau benar soal Voldemort telah kembali dan bahwa kau telah menghadapinya dua kali dalam dua tahun terakhir ini dan berhasil selamat dalam dua-duanya. Dan sekarang mereka menyebutmu 'Sang Terpilih' nah, coba, tidak bisakah kau melihat kenapa orang terpesona olehmu?" Harry merasa Aula Besar mendadak sangat panas, meskipun langit-langitnya masih tampak dingin dan hujan. "Dan kau mengalami semua siksaan dari Kementerian itu ketika mereka berusaha menuduhmu tidak stabil dan pembohong. Kau masih bisa melihat bekas-bekas tempat perempuan jahat itu memaksamu menulis dengan darahmu sendiri, tapi kau toh tetap bertahan pada ceritamu ... " "Kau masih bisa melihat di mana otak itu mencengkeramku di Kementerian, lihat," kata Ron, menyingkap lengan bajunya. "Dan tidak ada ruginya juga kau bertambah tinggi tiga puluh senti selama musim panas," Hermione mengakhiri penjelasannya, tidak mengindahkan Ron. "Aku tinggi," kata Ron tak ada hubungannya. Pos burung hantu tiba, meluncur masuk lewat jendela-jendela yang basah kena hujan, menciprati anak-anak dengan tetes-tetes airnya. Sebagian besar anak menerima lebih banyak surat daripada biasanya. Para orangtua yang cemas ingin mendengar kabar dari anaknya dan meyakinkan mereka, pada gilirannya, bahwa segalanya baik-baik saja di rumah. Harry belum pernah menerima surat sejak awal tahun ajaran. Satusatunya orang yang biasa menulis surat kepadanya sekarang sudah meninggal dan meskipun dia berharap Lupin mungkin mau menulis dari waktu ke waktu, sejauh ini dia dikecewakan. Dia sangat terkejut, karenanya, melihat Hedwig yang seputih-salju terbang berputar-putar di antara burung-burung hantu cokelat dan kelabu. Hedwig mendarat di depan Harry, membawa bungkusan persegi besar. Sekejap kemudian, bungkusan yang sama mendarat di depan Ron; Pig widgeon, burung hantunya yang kecil mungil dan kelelahan, tergencet di bawahnya. "Ha!" kata Harry, membuka bungkusannya yang ternyata berisi buku baru Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut, dikirim oleh Flourish and Blotts. "Oh, bagus," kata Hermione, senang. "Sekarang kau bisa mengembalikan buku yang banyak tulisannya itu." "Apa kau gila?" kata Harry. "Tidak akan kukembalikan! Lihat, aku sudah memikirkannya -- " Dia mengeluarkan buku lama Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut dari dalam tasnya dan diketuknya sampulnya dengan tongkat sihirnya, seraya menggumamkan, "Diffindo!" Sampul buku itu terlepas. Dia melakukan hal yang sama dengan bukunya yang baru. (Hermione tampak kaget). Harry kemudian menukar kedua sampul buku itu, mengetuk keduanya dan berkata, "Reparo!" Sekarang buku Pangeran tersamar menjadi buku baru, sedangkan buku baru dari Flourish and Blotts kelihatan seperti buku bekas. "Yang baru akan kukembalikan kepada Slughorn. Dia tak bisa mengeluh, harganya sembilan Galleon." Hermione mengatupkan bibir rapat-rapat, tampak marah dan tidak setuju, tetapi perhatiannya teralih oleh burung hantu ketiga yang mendarat di depannya, membawa Daily Prophet edisi hari itu. Dia buru-buru membukanya dan membaca cepat halaman depannya. "Ada orang yang kita kenal yang mati?" tanya Ron, dengan sengaja bicara dengan nada biasa. Dia mengajukan pertanyaan yang sama setiap kali Hermione membuka korannya. "Tidak, tapi ada lebih banyak serangan Dementor," kata Hermione. "Dan ada yang ditangkap." "Bagus sekali, siapa?" kata Harry, mengharap itu Bellatrix Lestrange. "Stan Shunpike," kata Hermione. "Apa?" Harry kaget. "Stanley Shunpike, kondektur kendaraan penyihir yang populer, Bus Ksatria, ditangkap karena dicurigai soal aktivitas Pelahap Maut. Mr Shunpike, 21, ditahan larut malam kemarin setelah rumahnya di Dapham digerebek ... " "Stan Shunpike, Pelahap Maut?" kata Harry, teringat pemuda berjerawat yang pertama kali ditemuinya tiga tahun lalu. "Mana mungkin!" "Barangkali dia kena Kutukan Imperius," kata Ron, memberi penjelasan yang masuk akal. "Mana kita tahu." "Kelihatannya tidak begitu," kata Hermione, yang masih membaca. "Dikatakan di sini dia ditangkap setelah didengar berbicara tentang rencana rahasia Pelahap Maut di rumah minum." Hermione mengangkat muka dengan ekspresi bingung. "Jika kena Kutukan Imperius, dia tak akan menggosipkan rencana mereka, kan?" "Kedengarannya dia berusaha membual dia tahu lebih banyak daripada yang sebenarnya," kata Ron "Bukankah dia yang menyatakan dia akan menjadi Menteri Sihir waktu dia berusaha ngobrol dengan Veela-Veela itu?" "Yeah, dia orangnya," kata Harry. "Aku tak tahu permainan apa yang mereka mainkan, menganggap serius omongan Stan." "Mereka barangkali ingin kelihatan seakan mereka melakukan sesuatu," kata Hermione, mengernyit. "Orang-orang ketakutan kau tahu orangtua si kembar Patil menginginkan mereka pulang? Dan Eloise Midgeon sudah ditarik dari sekolah. Ayahnya menjemputnya semalam." "Apa!" kata Ron, terbelalak memandang Hermione. "Tapi Hogwarts lebih aman daripada rumah mereka, mestinya begitu, kan! Di sini kita punya Auror dan sihir-sihir perlindungan ekstra itu, dan kita punya Dumbledore!" "Kurasa dia tidak selalu ada di sini," kata Hermione, sangat pelan, mengerling meja guru dari atas Prophetnya. "Tidakkah kau perhatikan? Kursinya kosong sama seringnya dengan kursi Hagrid seminggu terakhir ini." Harry dan Ron memandang meja guru. Kursi Kepala Sekolah memang kosong. Sekarang kalau diingat-ingat lagi, Harry belum pernah melihat Dumbledore sejak pelajaran privat mereka seminggu yang lalu. "Kukira dia meninggalkan sekolah untuk melakukan sesuatu bersama Orde," kata Hermione dengan suara pelan. "Maksudku ... segalanya kelihatan serius, kan?" Harry dan Ron tidak menjawab, tetapi Harry tahu bahwa mereka semua memikirkan hal yang sama. Hari sebelumnya terjadi insiden menyedihkan, ketika Hannah Abbot dipanggil keluar dari pelajaran Herbologi untuk diberitahu ibunya ditemukan meninggal. Mereka tidak melihat Hannah lagi sejak saat itu. Ketika mereka meninggalkan meja Gryffindor lima menit kemudian untuk pergi ke lapangan Quidditch, mereka melewati Lavender Brown dan Parvati Patil. Teringat apa yang dikatakan Hermione tentang orangtua si kembar Patil menginginkan mereka meninggalkan Hogwarts, Harry tidak heran melihat kedua sahabat karib ini sedang berbisik-bisik, tampak sedih. Yang membuatnya heran adalah, ketika Ron melewati mereka, Parvati tiba-tiba menyenggol Lavender, yang menoleh dan memberi Ron senyum lebar. Ron mengerjap bingung, kemudian membalas senyumnya dengan ragu-ragu. Cara jalan Ron serentak digagah-gagahkan. Harry menahan keinginannya untuk tertawa, teringat bahwa Ron juga tidak menertawakannya setelah Malfoy mematahkan hidungnya. Namun Hermione menjadi dingin dan tidak ramah sepanjang perjalanan menuju stadion, melewati gerimis dingin berkabut, dan langsung pergi mencari tempat duduk di tribune, tanpa mengucapkan "semoga sukses" kepada Ron. Seperti telah diduga Harry, uji coba Quidditch berlangsung dari pagi sampai siang. Separo dari Asrama Gryffindor tampaknya muncul, dari anak-anak kelas satu yang dengan gugup mencengkeram sapu-sapu tua sekolah yang sudah parah, sampai anak-anak kelas tujuh yang menjulang di atas peserta lainnya, seakan mengancam yang lain. Di antara anak-anak kelas tujuh ini ada seorang cowok tinggi besar berambut kawat, yang langsung dikenali Harry sebagai cowok yang pernah dijumpainya di Hogwarts Express. "Kita bertemu di kereta, di kompartemen Sluggy," katanya penuh percaya diri, melangkah keluar dari rombongannya untuk menjabat tangan Harry. "Cormac Mdaggen, Keeper." "Kau tidak ikut uji coba tahun lalu, kan?" tanya Harry, melihat betapa lebarnya tubuh Mdaggen dan membatin dia barangkali bisa memblokir tiga gawang sekaligus bahkan tanpa bergerak. "Aku di rumah sakit ketika uji coba diadakan," kata Mdaggen, agak menyombong. "Makan setengah kilo telur Doxy untuk taruhan." "Baik," kata Harry. "Nah ... silakan tunggu di sana ... " Harry menunjuk ke tepi lapangan, dekat tempat Hermione duduk. Sekilas diilihatnya kejengkelan melintas di wajah Mdaggen dan Harry bertanya dalam hati apakah Mdaggen mengharapkan perlakuan khusus karena mereka berdua sama-sama menjadi favorit "Sluggy". Harry memutuskan untuk mulai dengan tes dasar, meminta semua pelamar berkelompok dalam grup yang terdiri atas sepuluh anak dan terbang satu kali memutari lapangan. Ini keputusan yang bijaksana: grup pertama terdiri atas sepuluh anak kelas satu dan jelas sekali mereka hampir-hampir belum pernah terbang sebelumnya. Hanya satu anak yang berhasil tetap melayang selama lebih dari beberapa detik, dan saking, tercengangnya anak ini menabrak salah satu tiang gawang. Grup kedua terdiri atas cewek-cewek paling konyol yang pernah dilihat Harry. Ketika Harry meniup peluitnya, mereka cuma cekikikan dan saling pegang. Romilda Vane ada di antara mereka. Ketika Harry menyuruh mereka meninggalkan lapangan mereka melakukannya dengan riang gembira dan pergi duduk di bangku penonton untuk mengganggu yang lain. Grup ketiga berjatuhan ketika baru terbang setengah lapangan. Sebagian besar grup keempat datang tanpa sapu. Grup kelima anak-anak Hufflepuff. "Kalau ada anak-anak lain di sini yang bukan Gryffindor;" raung Harry, yang mulai benar-benar jengkel, "silakan meninggalkan lapangan sekarang juga!" Hening sejenak, kemudian dua anak Ravendaw kecil berlari keluar lapangan, tertawa-tawa geli. Setelah lewat dua jam, banyak keluhan, dan beberapa kemarahan, salah satunya bersangkutan dengan Komet Dua Enam Puluh yang terjatuh dan beberapa gigi yang patah, Harry berhasil mendapatkan tiga Chaser: Katie Bell kembali menjadi anggota tim setelah uji coba yang luar biasa, penemuan baru bernama Demelza Robins, yang teristimewa andal mengelakkan Bludger, dan Ginny Weasley yang terbang lebih cepat daripada semua pesaingnya dan berhasil mencetak tujuh belas gol sebagai tambahan. Meskipun puas dengan pilihannya, Harry terpaksa berteriak-teriak sampai serak menghadapi banyaknya anak yang mengeluh dan sekarang sedang menghadapi pertengkaran yang sama dengan para Beater yang ditolak. "Itu keputusan finalku dan jika kalian tidak mau minggir untuk uji coba Keeper, akan kumantrai kalian," teriaknya. Kedua Beater terpilih tak ada yang memiliki kehebatan Fred dan George, namun Harry cukup puas dengan mereka. Jimmy Peakes, anak kelas tiga yang pendek tetapi berdada-bidang, yang berhasil membuat benjolan sebesar telur di belakang kepala Harry dengan Bludger yang dipukulnya dengan ganas, dan Ritchie Coote, yang tampak canggung, tapi bisa memukul dengan sasaran bagus. Mereka sekarang bergabung dengan para penonton di tribune untuk menonton seleksi anggota terakhir tim mereka. Harry sengaja melakukan uji coba Keeper yang terakhir, berharap stadion sudah lebih kosong sehingga tekanan bagi para calon pun berkurang. Celakanya, semua calon pemain yang gagal dan sejumlah anak yang datang untuk menonton usai sarapan yang berlarut, sekarang sudah bergabung dengan penonton yang lain, sehingga jumlah penonton malah lebih banyak daripada sebelumnya. Sementara masing-masing calon Keeper terbang ke tiang gawang, penonton bersorak menyemangati dan mengolok-olok sama serunya. Harry mengerling Ron, yang selalu bermasalah masalah dengan kegugupan. Harry tadinya berharap, memenangkan pertandingan final mereka akhir tahun ajaran lalu barangkali bisa menyembuhkan penyakit gugup Ron, namun rupanya tidak. Wajah Ron pucat agak kehijauan. Tak seorang pun dari lima pelamar pertama berhasil menyelamatkan lebih dari dua gol. Harry sangat kecewa ketika Cormac Mdaggen berhasil menyelamatkan empat dari lima-penalti. Pada penalti terakhir dia nyelonong ke arah yang sama sekali berlawanan; penonton tertawa dan mengejeknya, dan Mdaggen kembali ke tanah dengan mengertakkan gigi. Ron kelihatannya mau pingsan ketika menaiki Deansweep Eleven -- Sapu Bersih Sebelas-nya. "Semoga sukses!" terdengar teriakan dari tribune. Harry berpaling, mengira Hermione yang berteriak, namun ternyata Lavender Brown. Harry ingin sekali rasanya menyembunyikan wajah di balik tangannya, seperti yang dilakukan Lavender sesaat kemudian, namun berpendapat sebagai kapten dia mestinya lebih memperlihatkan ketabahan, maka dia berbalik untuk menonton Ron melakukan uji cobanya. Namun dia tak perlu khawatir: Ron berhasil menyelamatkan satu, dua, tiga, empat, lima penalti berturut-turut. Senang, dan dengan susah payah menahan keinginan untuk ikut bersorak bersama penonton, Harry menoleh untuk memberitahu Mdaggen bahwa, sayang sekali, Ron telah mengalahkannya. Ternyata wajah merah padam Mdaggen hanya beberapa senti dari wajahnya. Harry buru-buru mundur. "Adiknya tidak benar-benar serius," kata Mdaggen penuh ancaman. Ada nadi berdenyut di pelipisnya, seperti nadi yang sering Harry kagumi di pelipis Paman Vernon. "Dia memberinya lemparan yang mudah." "Omong kosong," kata Harry dingin. "Itu justru bola yang nyaris gagal ditangkapnya." Mdaggen maju selangkah mendekati Harry, yang kali ini bertahan di tempatnya. "Beri aku kesempatan mencoba lagi." "Tidak," kata Harry. "Kau sudah mencoba. Kau menyelamatkan empat bola. Ron menyelamatkan lima. Ron-lah Keeper-nya. Dia memenangkannya dengan jujur. Minggir." Sesaat kelihatannya Mdaggen akan meninjunya, namun akhirnya cuma menyeringai menyeramkan dan pergi, menggeramkan ancaman-ancaman. Harry berbalik dan mendapati timnya berseri-seri menyambutnya. "Bagus," katanya parau. "Kalian benar-benar terbang bagus-" "Kau hebat sekali, Ron!" Kali ini benar-benar Hermione yang berlari ke arah mereka dari tempat duduk penonton. Harry melihat Lavender meninggalkan lapangan, bergandengan tangan dengan Parvati, wajahnya agak masam. Ron luar biasa puas dah bahkan tampak lebih jangkung daripada biasanya ketika dia nyengir kepada teman-teman timnya dan Hermione. Setelah menentukan waktu latihan penuh pertama mereka untuk hari Kamis berikutnya, Harry, Ron, dan Hermione mengucapkan selamat tinggal kepada anggota tim yang lain dan menuju pondok Hagrid. Matahari pucat berusaha menembus awan sekarang dan akhirnya gerimis reda. Harry lapar sekali; dia berharap ada sesuatu yang bisa dimakan di tempat Hagrid. "Kupikir penalti keempat tadi akan lolos;" ujar Ron riang. "Lemparan sulit dari Demelza, kalian lihat, sedikit memelintir -" "ya, ya, kau luar biasa," kata Hermione, tampak geli. "Aku lebih baik daripada Mdaggen paling tidak," kata Ron dengan suara amat puas. "Kalian melihatnya meluncur ke arah yang salah pada tangkapan kelimanya? Seperti orang kena Mantra Confundus ... " Betapa herannya Harry, wajah Hermione menjadi merah padam mendengar kata-kata Ron. Ron tidak memperhatikan apa-apa; dia terlalu sibuk mendeskripsikan masing-masing penaltinya dengan bangga dan terperinci. Hippogriff kelabu besar, Buckbeak, diikat di depan pondok Hagrid. Dia mengatupkan paruhnya yang setajam silet ketika mereka mendekat dan menolehkan kepalanya yang besar ke arah mereka. "Ya ampun," kata Hermione gugup. "Dia masih agak menakutkan, ya?" "Tak perlu takut, kau kan sudah pernah menungganginya?" kata Ron. Harry melangkah maju dan membungkuk kepada si Hippogriff tanpa memutuskan kontak mata ataupun mengedip. Setelah beberapa saat, Buckbeack membalas membungkuk. "Apa kabar?" Harry menanyainya dengan suara rendah, maju untuk membelai kepala berbulu itu. "Kehilangan dia? Tapi kau oke di sini bersama Hagrid, kan?" "Oi!" terdengar suara keras. Hagrid muncul dari sudut pondoknya memakai celemek bermotif bunga dan membawa sekarung kentang. Anjingnya yang besar, Fang, mengikutinya.,Fang menggonggong keras dan melesat ke depan. "Jangan dekat-dekat dia! Dia akan caplok jari-jari mu -- oh, kalian." Fang melompat-lompat, berusaha menjilati telinga Hermione dan Ron. Hagrid berdiri memandang mereka selama sepersekian detik, kemudian berbalik dan masuk ke dalam gubuknya, membanting pintu di belakangnya. "Ya ampun!" kata Hermione, tampak terpukul. "Jangan kuatir," kata Harry muram. Dia berjalan ke pintu dan mengetuknya keras-keras. "Hagrid! Buka pintu, kami mau bicara denganmu!" Tak terdengar suara apa pun dari dalam. "Kalau kau tidak membuka pintu, kami akan menghancurkannya!" kata Harry, mencabut tongkat sihirnya. "Harry!" kata Hermione, kedengarannya kaget. "Kau tak bisa" "Yeah, aku bisa!" kata Harry. "Mundur" Namun sebelum dia bisa berkata apa-apa lagi, pintu menjeblak terbuka lagi seperti sudah diduganya, dan Hagrid berdiri di sana, menunduk mendelik kepadanya dan, walaupun memakai celemek berbunga-bunga, tampak sangat menakutkan. "Aku ini guru!" raungnya kepada Harry. "Guru, Potter! Berani-beraninya kau ancam mau hancurkan pintuku!" "Maaf, Sir," kata Harry, sengaja menekankan kata terakhir ketika dia menyimpan kembali tongkat sihir di dalam jubahnya. Hagrid terpana. "Sejak kapan kau panggil aku 'Sir'?" "Sejak kapan kau memanggilku 'Potter'?" "Oh, pintar sekali;" gerung Hagrid. "Sangat lucu. Aku dikalahkan, begitu? Baiklah, masuklah, kalian anak-anak yang tak tahu terima kasih ... " Menggerutu galak, dia mundur agar mereka bisa lewat. Hermione berjalan cepat-cepat di belakang Harry, tampak agak ketakutan. "Nah?" kata Hagrid masam, ketika Harry, Ron, dan Hermione sudah duduk mengitari meja kayunya yang luar biasa besar, Fang langsung meletakkan kepalanya di atas pangkuan. Harry dan membasahi jubahnya dengan air liurnya. "Ada apa? Kasihan padaku? Kalian pikir aku kesepian atau apa?" "Tidak," kata Harry segera. "Kami ingin bertemu kau." "Kami rindu padamu!" kata Hermione, suaranya bergetar. "Rindu, ya?" dengus Hagrid. "Yeah. Betul." Dia berjalan mondar-mandir, menyeduh teh dalam ceret tembaga raksasanya, menggerutu sepanjang waktu. Akhirnya dia membanting tiga cangkir sebesar ember berisi teh berwarna cokelat-mahogani di depan mereka dan sepiring kuenya yang sekeras karang. Saking laparnya Harry langsung mengambil sepotong kue buatan Hagrid itu. "Hagrid," kata Hermione takut-takut, ketika Hagrid sudah bergabung duduk dengan mereka di belakang meja dan mulai mengupas kentang dengan brutalitas seakan setiap butir kentang telah berbuat kesalahan pribadi terhadapnya, "kami sebetulnya ingin melanjutkan Pemeliharaan Satwa Gaib." Hagrid mendengus keras ,lagi. Harry menduga ingusnya ada yang mendarat di kentang, dan dalam hati bersyukur mereka tidak akan tinggal untuk makan malam. "Betul!" kata Hermione. "Tapi tak seorang pun dari kami yang bisa memasukkannya dalam daftar pelajaran kami!" "Yeah. Betul," kata Hagrid lagi. Terdengar bunyi celepak aneh dan mereka semua menoleh. Hermione menjerit kecil dan Ron melompat bangun dari kursinya dan bergegas mengitari meja, menjauhi tong besar yang berdiri di sudut, yang baru saja mereka sadari ada di sana. Tong itu penuh berisi sesuatu yang tampaknya seperti belatung sepanjang tiga puluh senti; berlendir, putih, dan menggeliat. "Apa itu, Hagrid?" tanya Harry, berusaha kedengaran tertarik alih-alih jijik, namun toh meletakkan kembali kue-karangnya. "Cuma tempayak raksasa," kata Hagrid. "Dan mereka akan tumbuh jadi ...?" tanya Ron, tampak cemas. "Mereka tidak akan tumbuh jadi apa-apa," kata Hagrid. "Mereka untuk makan Aragog." Dan tanpa diduga, air mata Hagrid bercucuran. "Hagrid!" seru Hermione, bergegas ke seberang meja dengan memilih jalan mengitar yang jauh, untuk menghindari tong berisi tempayak, dan melingkarkan tangannya ke bahu Hagrid yang bergetar. "Ada apa?" "Dia ... " isak Hagrid, air mata terus mengalir dari mata hitamnya yang seperti kumbang ketika dia mengelap wajah dengan celemeknya. "Dia ... Aragog ... kurasa dia akan mati ... dia sakit musim panas lalu dan tidak jadi lebih baik ... aku tak tahu apa yang akan kulakukan kalau dia ... kalau dia ... kami sudah bersama-sama begitu lama ... " Hermione membelai bahu Hagrid, tak tahu mau berkata apa. Harry tahu bagaimana perasaan Hermione. Dia tahu Hagrid pernah menghadiahkan boneka beruang kepada bayi naga yang ganas, pernah melihatnya bersenandung untuk kalajengking raksasa dengan sepit dan sengat berbisa, berusaha berunding dengan raksasa brutal yang adalah adik lain-ayahnya, tetapi ini mungkin yang paling tak bisa dimengerti dari seluruh kesukaannya akan monster: labah-labah raksasa yang bisa bicara, Aragog, yang tinggal jauh di dalam Hutan Terlarang. Harry dan Ron nyaris menjadi korban Aragog empat tahun yang lalu. "Apakah-apakah ada yang bisa kami lakukan?" Hermione bertanya, mengabaikan seringai panik dan gelengan kepala Ron. "Kurasa tak ada, Hermione," isak Hagrid, berusaha menghentikan banjir air matanya. "Soalnya, labah-labah yang lain, keluarga Aragog ... mereka jadi aneh sekarang setelah dia sakit ... jadi, agak gelisah ... " "Yeah, kurasa kami sudah melihat sifat itu pada mereka," kata Ron pelan. "... kurasa tak aman bagi siapa pun kecuali aku untuk mendekati koloni labah-labah saat ini" Hagrid mengakhiri ceritanya, membuang ingus keras-keras di celemeknya dan mendongak. "Tapi terima kasih telah tawari bantu, Hermione ... itu berarti sekali ... " Setelah itu suasana sangat berubah, karena kendati baik Harry maupun Ron tidak menunjukkan kecenderungan untuk pergi menyuapkan tempayak besar-besar kepada labah-labah raksasa pembunuh, Hagrid tampaknya menganggap mereka ingin melakukannya dan bersikap seperti dirinya yang biasa lagi. "Ah, aku sudah tahu sulit bagi kalian selipkan aku dalam daftar pelajaran kalian," katanya keras, menuang tambahan teh untuk mereka. "Bahkan kalau kalian memakai Pembalik-Waktu" "Wah, itu tidak bisa," kata Hermione. "Kami menghancurkan semua persediaan Pembalik-Waktu Kementerian waktu kami berada di sana musim panas lalu. Diberitakan di Daily Prophet." "Ah, sudahlah," kata Hagrid. "Tak ada kemungkinan kalian bisa lakukan itu ... aku minta maaf selama ini aku-kalian tahu-aku cuma cemaskan Aragog ... dan aku juga tanya dalam hati apakah ... Profesor Grubbly Plank ajari kalian-" Mendengar ini ketiganya menyatakan mentah-mentah dan sama sekali tidak benar bahwa Profesor Grubbly-Plank, yang beberapa kali menggantikan Hagrid, adalah guru yang parah, dengan hasil ketika tiba saatnya Hagrid melambai mengucapkan selamat tinggal kepada mereka di senja hari, dia tampak cukup gembira. "Aku lapar banget," kata Harry, begitu pintu sudah tertutup di belakangnya dan mereka bergegas melewati padang rumput yang gelap dan kosong. Harry menyerah terhadap kue-karangnya ketika terdengar bunyi keretak mengerikan dari salah satu gigi gerahamnya. "Dan hari ini aku detensi dengan Snape, aku tak punya banyak waktu untuk makan malam ." Ketika tiba di kastil mereka melihat Cormac Mdaggen memasuki Aula Besar. Perlu dua kali usaha baginya untuk masuk. Yang pertama dia seperti terpantul dari ambang pintu. Ron cuma terbahak senang dan melangkah masuk Aula sesudah Mdaggen, namun Harry menyambar lengan Hermione dan menahannya. "Apa?" tanya Hermione defensif. "Kalau kau tanya aku," kata Harry pelan, "Mdaggen waktu itu kelihatannya terkena Mantra Confundus. Dan dia berdiri persis di depan tempat dudukmu." Wajah Hermione merona merah. "Oh, baiklah, memang aku melakukannya," bisiknya. "Tapi kau tidak dengar apa yang dia katakan tentang Ron dan Ginny sih! Lagi pula, dia sangat pemarah, kau lihat sendiri bagaimana reaksinya ketika dia gagal terpilih kau tak akan menginginkan orang seperti dia dalam tim." "Tidak," kata Harry. "Tidak, kurasa memang tidak. Tapi bukankah itu curang, Hermione? Maksudku, kau prefek, kan?" "Oh, diamlah," bentak Hermione, sementara Harry nyengir. "Kalian berdua ngapain?" tuntut Ron, muncul lagi di pintu Aula Besar dan tampak curiga. "Tidak ngapa-ngapain," kata Harry dan Hermione bersamaan, dan mereka bergegas menyusul Ron. Aroma daging panggang membuat perut Harry melilit lapar, tapi mereka baru berjalan tiga langkah menuju meja Gryffindor, Profesor Slughorn sudah muncul di depan mereka, memblokir jalan mereka. "Harry, Harry, orang yang ingin kutemui!" serunya ramah, seraya memilin-milin ujung kumis beruang lautnya dan menggembungkan perutnya yang luar biasa besar. "Aku berharap bisa menemuimu sebelum makan malam. Bagaimana kalau kau makan malam di ruanganku malam ini? Kita adakan pesta kecil, hanya beberapa bintang yang sedang menanjak. Mdaggen sudah bersedia datang, dan Zabini, si cantik Melinda Bobbin -- aku tak tahu apakah kau kenal dia? Keluarganya punya jaringan toko obat dan, tentu saja, aku sangat berharap Miss Granger mau membuatku senang dengan kedatangannya juga." Slughorn membungkuk sedikit di depan Hermione ketika dia sudah selesai berbicara. Sikapnya seolah Ron tidak ada di sana. Melihat ke arahnya pun Slughorn tidak. "Saya tidak bisa datang, Profesor," kata Harry segera. "Saya ada detensi dengan Profesor Snape." "Oh, sayang sekali," kata Slughorn, wajahnya langsung kecut menggelikan. "Wah, wah, padahal aku sangat mengharapkan kehadiranmu, Harry! Kalau begitu aku akan bicara dengan Severus dan menjelaskan situasinya. Aku yakin aku akan bisa membujuknya untuk menunda detensimu. Ya, sampai ketemu dengan kalian berdua nanti!" Dia bergegas meninggalkan Aula. "Dia tak mungkin membujuk Snape," kata Harry, begitu Slughorn sudah berada di luar jangkauan pendengaran. "Detensi ini sudah ditunda sekali, Snape bersedia mengalah demi Dumbledore, tapi dia tak akan mau melakukannya untuk orang lain." "Oh, aku ingin sekali kau bisa datang, aku tak ingin pergi sendirian!" kata Hermione cemas. Harry tahu Hermione memikirkan Mdaggen. "Kurasa kau tidak akan sendirian. Ginny barangkali diundang," sergah Ron, yang tampak kesal dia diacuhkan Slughorn. Usai makan malam mereka kembali ke Menara Gryffindor. Ruang rekreasi sangat padat, karena banyak anak yang sudah selesai makan malam sekarang, namun mereka berhasil menemukan meja kosong dan duduk. Ron, yang suasana hatinya jadi buruk sejak pertemuan mereka dengan Slughorn, melipat lengannya dan mengernyit memandang langit-langit. Hermione menjangkau Evening Prophet, yang ditinggalkan seseorang di atas kursi. "Ada berita baru?" tanya Harry. "Tidak sih ... " Hermione telah membuka koran-sore itu dan membaca sekilas halaman-halaman dalamnya. "Oh, lihat, ayahmu ada di sini, Ron-dia baik-baik saja!" Hermione menambahkan cepat-cepat, karena Ron menoleh dengan cemas. "Berita ini cuma mengatakan dia telah mendatangi rumah keluarga Malfoy. 'Penggeledahan kedua di tempat tinggal Pelahap Maut ini tidak membawa hasil. Arthur Weasley dari Kantor Pendeteksian dan Penyitaan Mantra Pertahanan dan Benda Perlindungan Palsu berkata bahwa timnya bertindak setelah mendapat petunjuk rahasia.'" "Yeah, dariku!" kata Harry. "Kuberitahu dia di King's Cross tentang Malfoy dan benda yang dia coba minta Borgin perbaiki! Yah, jika tidak ada di rumah mereka, dia pasti membawa benda entah apa itu ke Hogwarts bersamanya" "Tapi bagaimana bisa, Harry?" kilah Hermione, meletakkan korannya dengan tampang heran. "Kita semua diperiksa ketika baru datang, kan?" "Kalian diperiksa?" kata Harry, terkejut. "Aku tidak!" "Oh, tentu saja kau tidak diperiksa, aku lupa kau datang terlambat ... yah, Filch memeriksa kami semua dengan Sensor Rahasia waktu kami tiba di Aula Depan. Benda-benda ilmu hitam apa pun pasti ditemukan, aku melihat sendiri tengkorak-kisut Crabbe disita. Jadi, kau lihat, Malfoy tak mungkin membawa barang berbahaya!" Untuk sementara gagasannya terhalang, Harry mengamati Ginny Weasley bermain dengan Arnold si Pygmy Puff selama beberapa saat sebelum melihat cara lain untuk menangkal keberatan Hermione. "Ada yang mengirimnya kepadanya dengan burung hantu, kalau begitu," katanya. "Ibunya atau orang lain." "Semua burung hantu juga diperiksa," kata Hermione. "Filch memberitahu kami selagi dia menusuk-nusukkan Sensor Rahasia ke mana saja yang bisa ditusuknya." Benar-benar menemui jalan buntu kali ini, Harry tak bisa berkata apa-apa lagi. Tampaknya tak ada cara bagi Malfoy untuk membawa benda berbahaya atau benda ilmu hitam ke dalam sekolah. Dengan penuh harap dia memandang Ron, yang duduk dengan lengan terlipat, menatap Lavender Brown. "Bisakah kau memikirkan dengan cara apa Malfoy-" "Oh, sudahlah, Harry," tukas Ron. "Dengar, bukan salahku Slughorn mengundang Hermione dan aku ke pesta konyolnya, kami berdua tak ingin pergi, kau tahu itu!" kata Harry, tersulut. "Nah, karena aku tidak diundang ke pesta mana pun" kata Ron bangkit berdiri lagi, "aku mau tidur." Dia berjalan mengentak menuju kamar anak laki-laki, meninggalkan Harry dan Hermione melongo memandangnya. "Harry?" kata Chaser baru, Demelza Robins, yang tiba-tiba muncul di bahu Harry. "Ada pesan untukmu." "Dari Profesor Slughorn?" tanya Harry, duduk lebih tegak dengan penuh harap. "Bukan ... dari Profesor Snape," kata Demelza. Hati Harry mencelos. "Dia bilang kau harus datang ke kantornya jam setengah sembilan malam ini untuk menjalankan detensimu -er -- tak peduli berapa banyak undangan pesta yang kau terima. Dan dia ingin kau tahu kau akan menyortir Cacing Flobber yang busuk dari yang sehat, untuk digunakan di kelas Ramuan, dan -- dan dia bilang kau tak perlu membawa sarung tangan pelindung." "Baiklah," kata Harry muram. "Terima kasih banyak, Demelza." 12. PERAK DAN OPAL Di manakah Dumbledore dan apakah yang di lakukannya? Harry hanya melihat Kepala Sekolah dua kali selama beberapa minggu berikutnya. Dia jarang lagi muncul di saat makan, dan Harry yakin dugaan Hermione benar bahwa Dumbledore meninggalkan sekolah selama beberapa hari setiap kali pergi. Apakah Dumbledore sudah melupakan pelajaran yang dijanjikannya akan diberikan kepada Harry? Dumbledore berkata bahwa pelajaran-pelajaran itu ada hubungannya dengan ramalan. Harry tadinya merasa disemangati, dihibur, dan sekarang dia merasa agak ditinggalkan. Kunjungan pertama mereka ke Hogsmeade dijadwalkan pada pertengahan Oktober. Harry bertanya-tanya dalam hati apakah kunjungan ini masih diizin kan, mengingat adanya langkah-langkah pengamanan yang begitu ketat di sekitar sekolah, namun Harry senang karena ternyata rencana ini akan dilaksanakan. Selalu menyenangkan kalau bisa keluar dari lingkungan kastil selama beberapa jam. Harry terbangun pagi-pagi pada hari kunjungan ke Hogsmeade. Hari itu berbadai, dan Harry melewatkan waktu sampai saat sarapan dengan membaca bukunya Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut. Biasanya dia tidak berbaring di tempat tidur membaca buku pelajaran. Sikap seperti ini, seperti yang dikatakan Ron dengan benar, tidak pantas bagi siapa pun, kecuali Hermione, yang memang sudah ajaib dari sononya. Meskipun demikian, Harry merasa buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut milik Pangeran Berdarah-Campuran ini hampir tak bisa dikategorikan sebagai buku pelajaran. Semakin dia baca dengan teliti, semakin dia menyadari betapa banyak yang ada dalam buku ini. Bukan hanya petunjuk-petunjuk dan jalan pintas yang berguna untuk Ramuan yang membuat reputasinya di mata Slughorn semakin berkilau, tetapi juga mantra-mantra dan kutukan-kutukan kecil yang ditulis di margin buku, yang Harry yakin, ditinjau dari coretan dan revisi-revisinya, diciptakan oleh. Pangeran sendiri. Harry sudah mencoba beberapa mantra ciptaan Pangeran. Ada mantra yang menyebabkan kuku jari kaki tumbuh luar biasa cepat (dia sudah menjajalnya pada Crabbe di koridor, dengan hasil yang sangat menggembirakan); kutukan yang merekatkan lidah ke langit-langit mulut (yang sudah digunakannya dua kali, dengan aplaus meriah dari teman-temannya, kepada Argus Filch yang tidak curiga), dan barangkali yang paling berguna dari semuanya, Mufliato, mantra yang memenuhi telinga siapa saja yang berada di dekatnya dengan bunyi dengung yang tak terlacak, sehingga dia bisa mengobrol lama di kelas tanpa takut terdengar. Satu-satunya orang yang tidak menganggap mantra-mantra ini menyenangkan adalah Hermione, yang sepanjang waktu ekspresinya kaku tidak setuju dan menolak bicara sama sekali jika Harry menggunakan mantra Mufliato kepada siapa pun yang ada di dekat mereka. Duduk di tempat tidurnya, Harry memutar bukunya menyamping, supaya dia bisa mengamati lebih teliti instruksi untuk kutukan yang kelihatannya cukup merepotkan Pangeran. Ada banyak coretan dan perubahan, tetapi akhirnya, terselip di sudut buku, tulisan berikut: Leyicorpys Sementara angin dan hujan mendera jendela tanpa henti dan Neville mendengkur keras, Harry menatap huruf-huruf dalam tanda kurung itu. N-vbl ... itu pasti berarti non-verbal. Harry agak ragu dia akan bisa melaksanakan kutukan ini; dia masih mengalami kesulitan dengan mantra-mantra non-verbal, sesuatu yang dengan cepat selalu dikomentari Snape dalam setiap kelas PTIH. Sebaliknya, Pangeran telah membuktikan dia guru yang jauh lebih efektif daripada Snape sejauh ini. Mengacungkan tongkat sihirnya asal saja, Harry menjentikkannya ke atas dan mengatakan Levicorpusi di dalam kepalanya. "Aaaaaaaargh!" Ada cahaya menyambar dan kamar langsung bising. Semua anak terbangun ketika Ron menjerit keras. Harry panik sampai buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut-nya terlempar. Ron tergantung terbalik di udara, seakan ada kait tak terlihat yang menggantungnya pada pergelangan kakinya. "Sori!" teriak Harry, sementara Dean dan Seamus terbahak-bahak dan Neville bangun dari lantai, karena terjatuh dari tempat tidur. "Tunggu akan kuturunkan kau-" Dia meraba-raba mencari buku ramuannya dan membuka-bukanya dengan panik, berusaha menemukan halaman yang benar. Akhirnya dia berhasil menemukannya dan membaca satu kata yang diselipkan rapat di bawah kutukan itu: berdoa agar ini kontrakutukannya, Harry membatin Liberacorpus! dengan sekuat tenaga. Cahaya berkilat menyambar lagi dan Ron jatuh terpuruk di tempat tidur. "Sori" ulang Harry lemas, sementara Dean dan Seamus masih terbahak. "Besok pagi," kata Ron dengan suara tak jelas, "aku lebih suka kau pasang beker saja." Saat mereka sudah berpakaian, melapisi tubuh mereka dengan beberapa sweter rajutan Mrs Weasley dan membawa mantel, syal, dan sarung tangan, shock Ron telah mereda dan dia telah memutuskan bahwa kutukan baru Harry sangat menggelikan, begitu menggelikannya, malah, sehingga dia langsung menceritakannya kepada Hermione begitu mereka duduk untuk sarapan. "... dan kemudian ada kilatan cahaya lagi dan aku mendarat di tempat tidur lagi!" Ron nyengir, sembari mengambil sosis. Hermione tidak tersenyum sedikit pun selama Ron menceritakan anekdot ini dan sekarang melempar ekspresi menegur sedingin es kepada Harry. "Apakah kutukan ini, kebetulan, salah satu kutukan dari buku ramuanmu?" tanyanya. Harry mengernyit kepadanya. "Selalu langsung menarik kesimpulan, ya?" "Dari buku ramuanmu?" "Yeah ... betul, tapi lalu kenapa?" "Jadi, kau memutuskan mencoba kutukan tak dikenal, ditulis tangan, dan melihat apa yang akan terjadi?" "Memangnya kenapa kalau itu ditulis tangan?" kata Harry, lebih suka tidak menjawab pertanyaannya yang lain. "Karena kemungkinan itu tidak disetujui oleh Kementerian Sihir," kata Hermione. "Dan juga," dia menambahkan, ketika Harry dan Ron memutar mata mereka, "karena aku mulai menganggap si Pangeran ini agak kurang waras." Harry dan Ron langsung berteriak memprotes. "Itu lucu!" kata Ron, menuang saus tomat ke atas sosisnya. "Cuma bercanda, Hermione!" "Menggantung orang terbalik pada pergelangan kakinya?" timpal Hermione. "Siapa yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menciptakan kutukan semacam itu?" "Fred dan George," kata Ron, mengangkat bahu, "hal-hal seperti itulah yang selalu mereka lakukan. Dan, er" "Ayahku" kata Harry. Dia baru ingat. "Apa?" seru Ron dan Hermione bersamaan. "Ayahku dulu menggunakan kutukan ini" kata Harry. "Aku -- Lupin yang memberitahuku." Bagian terakhir ini tidak benar. Sebetulnya Harry pernah melihat ayahnya menggunakan kutukan itu terhadap Snape, tetapi dia belum pernah menceritakan kepada Ron dan Hermione tentang perjalanannya ke dalam Pensieve yang itu. Namun sekarang, kemungkinan yang luar biasa menggembirakan muncul di benaknya. Mungkinkah Pangeran Berdarah-Campuran adalah-? "Mungkin ayahmu menggunakannya, Harry," kata Hermione, "tapi dia bukan satu-satunya. Kita sudah melihat serombongan orang menggunakannya, kalau kau sudah lupa. Menggantung orang di udara. Membuat mereka melayang, tertidur, tak berdaya." Harry terpaku menatap Hermione. Hatinya mencelos, karena dia juga ingat tingkah laku para Pelahap Maut sewaktu Piala Dunia Quidditch. Ron membantunya. "Itu lain," katanya tegas. "Mereka menyalahgunakannya. Harry dan ayahnya hanya mau melucu. Kau tidak menyukai Pangeran, Hermione," Ron menambahkan, menunjuk galak Hermione dengan sosis, "karena dia lebih pintar daripadamu dalam Ramuan." "Tak ada hubungannya dengan itu!" kilah Hermione pipinya merona merah. "Aku cuma menganggap sangat tidak bertanggung jawab mulai melakukan kutukan kalau kau bahkan tidak tahu kegunaann Ya, dan berhentilah bicara tentang Pangeran seakan itu gelarnya. Aku yakin ini cuma panggilan konyol dan bagiku dia kelihatannya bukan orang yang menyenangkan!" "Aku tak tahu bagaimana kau bisa menyimpulkan begitu," kata Harry panas, "kalau dia calon Pelahap Maut, dia tak akan menyombongkan soal Darah-Campuran-nya, kan?" Bahkan selagi mengatakan ini, Harry teringat bahwa ayahnya berdarah-murni, namun pikiran ini didorongnya keluar dari benaknya, dia akan merenungkannya lagi nanti ... "Para Pelahap Maut tak mungkin semuanya berdarah-murni, tak banyak lagi penyihir berdarah-murni yang tersisa," kata Hermione keras kepala. "Kukira sebagian besar dari mereka penyihir berdarah-campuran yang berpura-pura berdarah-murni. Hanya orang kelahiran Muggle yang mereka benci, mereka dengan senang hati akan mengizinkan kau dan Ron bergabung." "Tak mungkin mereka akan mengizinkanku jadi Pelahap Maut!" kata Ron naik darah, secuil sosis terbang dari garpu yang sekarang diacung-acungkannya di depan Hermione, menabrak kepala Ernie Macmillan. "Seluruh keluargaku darah-pengkhianat! Itu sama buruknya kelahiran-Muggle bagi Pelahap Maut!" "Dan mereka dengan senang menerimaku," kata Harry sinis. "Kami akan jadi sobat baik kalau saja mereka berhenti berusaha menghabisi aku." Ini membuat Ron tertawa, bahkan Hermione terpaksa tersenyum, dan pengalih perhatian muncul dalam sosok Ginny. "Hei, Harry, aku diminta memberikan ini kepadamu." Ginny mengulurkan segulung perkamen dengan nama Harry tertulis di atasnya dalam tulisan tangan ramping miring yang sudah dikenalnya. "Terima kasih, Ginny ... ini pelajaran Dumbledore berikutnya!" Harry memberitahu Ron dan Hermione, membuka perkamennya dan cepat-cepat membaca isinya. "Senin malam!" Dia tiba-tiba merasa ringan dan bahagia. "Mau bergabung dengan kami di Hogsmeade, Ginny?" tanyanya. "Aku pergi dengan Dean mungkin ketemu kalian di sana," Ginny menjawab, melambai sambil pergi. Filch berdiri di pintu depan seperti biasanya, mengecek nama anak-anak yang mendapat izin pergi ke Hogsmeade. Proses ini makan waktu lebih lama daripada biasanya karena Filch mengecek tiga kali semua anak dengan Sensor Rahasianya. "Apa persoalannya kalau kami menyelundupkan barang-barang Ilmu Hitam KELUAR?" tuntut Ron, mengawasi Sensor Rahasia yang kurus panjang dengan ketakutan. "Mestinya kan kau memeriksa apa yang nanti kami bawa MASUK?" Kelancangannya membuatnya menerima beberapa tusukan ekstra dengan Sensor Rahasia, dan dia masih mengernyit kesakitan ketika mereka melangkah memasuki angin dan hujan yang bercampur es dan salju. Perjalanan menuju Hogsmeade tidak menyenangkan. Harry membungkus bagian bawah wajahnya dengan syalnya, bagian yang tidak terbungkus segera terasa beku dan kebas. Jalan menuju desa penuh murid-murid yang membungkuk menahan terpaan angin dingin. Lebih dari sekali Harry membatin apakah mereka tidak akan lebih senang berada di ruang rekreasi yang hangat, dan ketika mereka akhirnya tiba di Hogsmeade dan melihat toko lelucon Zonko sudah ditutup papan, Harry menganggapnya sebagai konfirmasi bahwa kunjungan kali ini tidak ditakdirkan sebagai kunjungan yang menyenangkan. Ron menunjuk dengan tangan terbungkus sarung tangan tebal ke arah Honeydukes, yang untungnya buka, dan Harry dan Hermione terhuyung mengikuti Ron masuk ke toko permen yang ramai itu. "Untung," kata Ron menggigil kedinginan ketika mereka diselubungi udara yang hangat beraroma toffee, permen keras yang terbuat dari gula dan mentega. "Sudah, kita di sini saja sampai sore." "Harry, anakku!" kata suara membahana dari belakang mereka. "Oh, tidak," gumam Harry. Ketiganya menoleh dan melihat Profesor Slughorn, yang memakai topi besar berbulu dan mantel dengan kerah dari bulu yang sama, memegang sekantong besar permen nanas dan memenuhi paling tidak seperempat toko permen itu. "Harry, sudah tiga kali kau tidak ikut makan malamku!" kata Slughorn, menusuk dada Harry dengan ramah, "Tak bisa begitu, Nak. Aku sudah bertekad kau harus datang! Miss Granger senang hadir di acara makan malamku, betul?" "Ya" kata Hermione tak berdaya, "makan malamnya sungguh" "Jadi, kenapa kau tak ikut datang, Harry?" tuntut Slughorn. "Yah, ada latihan Quidditch, Profesor," kata Harry, yang memang menjadwalkan latihan setiap kali Slughorn mengiriminya undangan berhias-pita-ungu. Strategi ini berarti bahwa Ron tidak ditinggalkan dan mereka biasanya tertawa- tawa bersama Ginny membayangkan Hermione terperangkap bersama Mdaggen dan Zabini. "Wah, aku betul-betul berharap kau memenangkan pertandingan pertamamu setelah semua kerja keras ini!" kata Slughorn. "Tapi sedikit rekreasi tak ada salahnya. Nah, bagaimana kalau Senin malam, kau tak mungkin mau latihan dalam cuaca begini ... " "Saya tak bisa, Profesor, saya adaer--janji dengan Profesor Dumbledore malam itu." "Sial lagi!" seru Slughorn dramatis, "Ah, baiklah ... kau tak bisa menghindariku selamanya, Harry!" Dan dengan lambaian anggun, dia berjalan seperti bebek meninggalkan toko permen itu, sama sekali tidak mengacuhkan Ron, seolah Ron sekadar display Permen Kerumunan Kecoak. "Aku tak percaya kau berhasil lolos lagi," kata Hermione, menggelengkan kepala. "Makan malamnya tidak parah-parah amat, kau tahu ... kadang-kadang malah menyenangkan ... " Namun kemudian terlihat oleh Hermione ekspresi Ron. "Oh, lihat mereka jual Permen Pena-bulu Deluxe bisa tahan berjam-jam tuh!" Senang Hermione mengganti topik, Harry memperlihatkan minat yang jauh lebih besar daripada biasanya terhadap Permen Pena-bulu keluaran baru yang ekstra besar, tetapi Ron tetap tampak muram dan hanya mengangkat bahu ketika Hermione menanyainya ke mana dia ingin pergi berikutnya. "Yuk kita ke Three Broomstickz," kata Harry "Di sana hangat." Mereka kembali membungkus wajah dengan syal dan meninggalkan toko permen itu. Angin dingin menerpa wajah mereka seperti pisau tajam setelah kehangatan manis dalam Honeydukes. jalan tidak terlalu ramai; tak ada yang berhenti untuk mengobrol, semua bergegas ke tempat tujuan mereka. Kecuali dua laki-laki tak jauh di depan mereka, yang berdiri persis di depan Three Broomsticks. Yang satu sangat kurus dan jangkung, menyipitkan mata di balik kacamatanya yang basah terkena air hujan. Harry mengenalinya sebagai pelayan bar yang bekerja di rumah minum lain di Hogsmeade, Hog's Head. Sementara Harry, Ron, dan Hermione mendekat, si pelayan bar merapatkan mantelnya di sekeliling lehernya dan pergi, meninggalkan laki-laki yang lebih pendek repot dengan bawaannya. Kira-kira seperempat meter darinya, Harry menyadari siapa laki-laki itu. "Mundungus!" Laki-laki pendek, berkaki-bengkok dengan rambut panjang berantakan berwarna jingga terlonjak kaget dan koper antik di tangannya terjatuh. Koper itu terbuka, menampakkan isinya yang seperti seluruh etalase toko barang loakan. "Oh, 'alo, 'Arry," kata Mundungus Fletcher, dengan keramahan yang sangat dibuat-buat. "Nah, jangan biarkan aku menahan kalian." Dan dia mulai mengambil dan memasukkan kembali barang-barangnya ke koper dengan serabutan, seperti orang yang ingin buru-buru pergi. "Kau menjual barang-barang ini?" tanya Harry, memandang Mundungus menyambar berbagai barang kumuh dari tanah. "Oh, yah, kan harus cari nafkah," kata Mundungus. "Berikan itu padaku!" Ron telah membungkuk dan mengambil sesuatu dari perak. "Tunggu," kata Ron perlahan. "Ini kelihatannya tidak asing" "Terima kasih!" kata Mundungus, menjambret piala itu dari tangan Ron dan menjejalkannya kembali ke dalam kopernya. "Nah, sampai ketemu lagi--OUCH!" Harry menekan Mundungus ke dinding pada lehernya. Sembari menahannya kuat-kuat dengan satu tangan, dia mencabut tongkat sihirnya. "Harry!" jerit Hermione. "Kau mengambilnya dari rumah Sirius," kata Harry, yang nyaris beradu hidung dengan Mundungus dan menghirup bau tak sedap tembakau lama dan minuman keras. "Ada lambang keluarga Black pada piala itu." "Aku-tidak-apa?" sengal Mundungus gugup, Wajahnya perlahan berubah ungu. "Apa yang kau lakukan, kembali ke sana pada malam dia meninggal dan merampoknya?" bentak Harry. "Aku-tidak-" "Berikan padaku!" "Harry, jangan!" teriak Hermione, ketika Mundurigus mulai membiru. Terdengar bunyi ledakan dan Harry merasa tangannya terlempar dari leher Mundungus. Tersengal dan gemetar, Mundungus menyambar kopernya yang terjatuh, kemudian -DUAR -- dia ber-Disapparate. Harry mengumpat sekeras suaranya, berputar ditempatnya untuk melihat ke mana Mundungus pergi. "KEMBALI, KAU PENCURI-!" "Tak ada gunanya, Harry." Tonks muncul entah dari mana, rambut kelabunya basah kena hujan es dan salju. "Mundungus barangkali sudah di London sekarang. Percuma saja kau berteriak." "Dia mencuri barang-barang Sirius! Mencurinya!" "Ya, tapi tetap saja," kata Tonks, yang tampaknya sama sekali tak terpengaruh oleh informasi ini, "kau harus menyingkir dari hujan salju ini." Tonks mengawasi mereka masuk melalui pintu Three Broomsticks. Begitu sudah di dalam, Harry berteriak, "Dia mencuri barang-barang Sirius!" "Aku tahu, Harry, tapi tolong jangan teriak-teriak, orang-orang semua melihat kemari," bisik Hermione. "Duduklah, kuambilkan minuman." Harry masih berang ketika Hermione kembali ke meja mereka beberapa menit kemudian, membawa tiga botol Butterbeer. "Apa Orde tidak bisa mengontrol Mundungus?" tuntut Harry kepada kedua sahabatnya dalam bisikan marah. "Tak bisakah mereka paling tidak menghentikannya mencuri segala sesuatu yang tidak terpasang kalau dia sedang di Markas?" "Shh!" kata Hermione putus asa, memandang ke sekitarnya untuk memastikan tak ada yang mendengarkan mereka. Ada dua orang penyihir yang duduk dekat mereka sedang memandang Harry dengan penuh minat, dan Zabini bersandar malas di pilar tak jauh dari mereka. "Harry, aku juga akan jengkel. Aku tahu dia mencuri barang-barangmu-- " Harry tersedak Butterbeer-nya, untuk sementara tadi dia lupa bahwa Grimmauld Place nomor dua belas adalah miliknya. "Ya, itu barang-barangku!" katanya. "Pantas saja dia tak senang melihatku! Akan kulaporkan pada Dumbledore apa yang terjadi, dia satu-satunya yang ditakuti Mundungus." "Ide bagus," bisik Hermione, kentara dia senang Harry sudah mulai tetiang. "Ron, kau ngeliatin apa sih?" "Bukan apa-apa," kata Ron, buru-buru memalingkan pandang dari bar, tetapi Harry tahu dia sedang berusaha berkontak-mata dengan Madam Rosmerta, pelayan bar yang menarik dan bertubuh montok. Sudah lama Ron naksir Madam Rosmerta. "Kukira 'bukan apa-apa' sedang di belakang, mengambil Wiski Api," timpal Hermione sengit. Ron mengabaikan sindiran ini. Dia menghirup minumannya dalam diam, yang rupanya dianggapnya sebagai diam yang anggun. Harry sedang memikirkan Sirius, dan betapa dia sebetulnya membenci piala-piala perak itu. Hermione mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di meja, matanya bergantian memandang Ron dan bar. Begitu Harry menghirup tetes terakhir dalam botolnya, Hermione berkata, "Bagaimana kalau kita anggap cukup dan kita kembali ke sekolah?" Kedua sahabatnya mengangguk. Kunjungan hari itu tidak menyenangkan dan cuaca makin lama makin buruk. Sekali lagi mereka merapatkan mantel, melingkarkan syal, memakai sarung tangan mereka, dan mengikuti Katie Bell dan seorang temannya keluar rumah minum dan kembali ke jalan raya. Pikiran Harry melayang ke Ginny ketika mereka bersusah payah melewati lumpur salju membeku menuju Hogwarts. Mereka tidak bertemu Ginny, tak diragukan lagi, pikir Harry, karena Ginny dan Dean pasti sedang duduk mesra di Madam Puddifoot's, rumah minum yang sering dikunjungi pasangan-pasangan bahagia. Cemberut, dia menundukkan kepala, menghindari terpaan hujan salju, dan meneruskan berjalan. Baru beberapa saat kemudian Harry sadar bahwa suara Katie Bell dan temannya, yang terbawa angin ke arahnya, semakin lama semakin nyaring dan keras. Harry menyipitkan mata memandang sosok samar mereka. Kedua gadis itu sedang mempertengkarkan sesuatu yang dipegang Katie di tangannya. "Ini tak ada hubungannya denganmu, Leanne!" Harry mendengar Katie berkata. Mereka berbelok di ujung jalan, salju turun semakin lebat dan cepat, memburamkan kacamata Harry. Tepat ketika Harry mengangkat tangannya yang bersarung tangan untuk menyeka kacamatanya, Leanne berusaha merebut bungkusan yang dipegangi Katie; Katie menariknya kembali dan bungkusan itu jatuh di tanah. Dalam sekejap Katie terangkat ke angkasa, tidak seperti Ron, tergantung konyol pada pergelangan kakinya, melainkan dengan anggun, kedua lengannya terentang, seakan dia akan terbang. Namun ada yang tidak benar, ada sesuatu yang mengerikan ... rambutnya beterbangan di sekitarnya tertiup angin, tetapi matanya terpejam dan wajahnya hampa tanpa ekspresi. Harry, Ron, Hermione, dan Leanne semua berhenti, mengawasinya. Kemudian, kira-kira dua meter di atas tanah, Katie mengeluarkan jeritan menyeramkan. Matanya mendadak terbuka, namun apa pun yang bisa dilihatnya, atau apa pun yang dirasakannya, jelas membuatnya amat sangat menderita. Dia menjerit terus-menerus. Leanne juga mulai menjerit, dan menyambar pergelangan kaki Katie, berusaha menariknya kembali ke tanah. Harry, Ron, dan Hermione berlari untuk membantunya, namun baru mereka memegang kakinya, Katie sudah terjatuh di atas mereka. Harry dan Ron berhasil menangkapnya, tetapi dia meronta-ronta keras sekali, mereka nyaris tak bisa memeganginya. Maka mereka menurunkannya ke tanah. Katie terus saja meronta dan menjerit-jerit, rupanya tak bisa mengenali satu pun dari mereka. Harry memandang ke sekelilingnya. Tempat itu kosong. "Kalian tetap di sini!" dia berteriak mengatasi lolong angin. "Aku akan cari bantuan!" Harry berlari ke arah sekolah. Belum pernah dia melihat orang bersikap seperti Katie dan tak bisa berpikir apa penyebabnya. Ketika membelok di ujung jalan dia menabrak sesuatu yang kelihatannya seperti beruang raksasa yang berdiri pada kaki belakangnya. "Hagrid!" sengalnya, seraya melepaskan diri dari pagar tanaman tempatnya terpental jatuh. "Harry!" kata Hagrid, yang alis dan jenggotnya dipenuhi salju, dan memakai mantel kulit berang-berangnya yang besar. "Baru tengok Grawp, kemajuannya pesat kau tak akan- " "Hagrid, ada yang terluka di sana, atau kena kutuk, atau entah kenapa-" "Apa?" kata Hagrid, membungkuk rendah agar bisa mendengar apa yang dikatakan Harry dalam gemuruh angin. "Ada yang kena kutuk!" teriak Harry. "Kutuk? Siapa yang dikutuk-bukan Ron? Hermione?" "Bukan, bukan mereka, Katie Bell -- arah sini ... " Bersama-sama mereka berlari kembali sepanjang jalan bersalju. Dalam waktu singkat mereka sudah menemukan kerumunan kecil di sekeliling Katie, yang masih menggeliat dan menjerit-jerit di tanah. Ron, Hermione, dan Leanne sedang berusaha menenanakannva. "Minggir!" teriak Hagrid. "Coba kulihat dia!" "Dia kena sesuatu!" isak Leanne. "Aku tak tahu apa" Hagrid menatap Katie selama sedetik, kemudian, tanpa kata, membungkuk, menyambar dia ke dalam gendongannya dan berlari ke kastil. Dalam waktu beberapa detik jerit nyaring Katie sudah menghilang dan yang terdengar hanyalah deru angin. Hermione bergegas mendekati teman Katie yang tersedu-sedu dan merangkulnya. "Leanne, kan?" Gadis itu mengangguk. "Apakah terjadinya mendadak, atau?" "Terjadinya waktu bungkusannya robek," isak Leanne, seraya menunjuk bungkusan kertas-cokelat yang sekarang basah kuyup di tanah, yang sudah terbuka memperlihatkan kilau kehijauan. Ron membungkuk, tangannya terjulur, namun Harry menyambar lengannya dan menariknya mundur. "Jangan sentuh itu!" Harry berjongkok. Tampak sebuah kalung opal dengan banyak hiasan muncul dari dalam bungkusan yang robek itu. "Aku pernah melihatnya;" kata Harry, menatap kalung itu. "Kalung ini dipamerkan di toko Borgin and Burkes bertahun-tahun lalu. Labelnya menyebutkan kalung itu dikutuk. Katie pastilah menyentuhnya." Harry mendongak menatap Leanne, yang telah mulai gemetar tak terkendali. "Bagaimana Katie bisa mendapatkan kalung ini?" "Itulah yang kami pertengkarkan. Dia kembali dari toilet di Three Broomsticks membawa bungkusan ini, katanya itu kejutan untuk seseorang di Hogwarts dan dia harus menyerahkannya. Dia kelihatan aneh waktu mengatakan itu ... oh tidak, oh tidak, pasti dia kena Kutukan Imperius dan aku tidak menyadarinya!" Leanne gemetar tersedu-sedu lagi. Hermione membelai bahunya lembut. "Dia tidak bilang siapa yang memberikan bungkusan itu, Leanne?" "Tidak ... dia tak mau memberitahuku ... dan aku bilang dia bodoh dan melarangnya membawanya ke sekolah, tapi dia tak mau mendengar kata-kataku ... dan kemudian aku berusaha merebutnya darinya ... dan - dan ..." Leanne mengeluarkan jerit putus asa. "Sebaiknya kita ke sekolah," kata Hermione, lengannya masih merangkul Leanne, "kita akan tahu bagaimana keadaannya. Yuk ... " Harry bimbang sejenak, kemudian menarik syal dari sekeliling wajahnya dan, mengabaikan pekik tertahan Ron, dengan hati-hati menutupi kalung itu dengan syalnya dan memungutnya. "Kita perlu menunjukkan ini kepada Madam Pomfrey," katanya. Sementara mereka berjalan di belakang Hermione dan Leanne, Harry berpikir keras. Mereka baru saja memasuki halaman sekolah ketika Harry bicara, tak sanggup lagi menyimpan sendiri apa yang dipikirkannya. "Malfoy tahu tentang kalung ini. Kalung ini ada di lemari pajangan Borgin and Burkes empat tahun lalu, aku melihatnya memandangi kalung ini sementara aku bersembunyi darinya dan ayahnya. Inilah yang dibelinya hari itu waktu kita membuntutinya! Dia ingat kalung itu dan kembali ke sana untuk membelinya!" "Aku -- entahlah, Harry, kata Ron sangsi. "Banyak orang ke Borgin and Burkes ... dan bukankah cewek itu bilang Katie mendapatkannya di toilet cewek?" "Dia bilang Katie kembali dari toilet membawa bungkusan itu, itu tidak berarti dia mendapatkannya di toilet itu-" "McGonagall!" kata Ron memperingatkan. Harry mendongak. Betul saja, Profesor McGonagall bergegas menuruni undakan batu menembus hujan es dan salju yang berpusar untuk menyongsong mereka. "Hagrid mengatakan kalian berempat melihat apa yang terjadi pada Katie Bell-mohon langsung naik ke kantorku! Apa itu yang kau pegang, Potter?" "Ini barang yang disentuhnya," kata Harry. "Astaga," kata Profesor McGonagall, tampak khawatir ketika dia mengambil kalung itu dari Harry. "Tidak, tidak, Filch, mereka bersamaku!" dia menambahkan buru-buru, ketika Filch datang menyeret kaki dengan bersemangat menyeberang Aula Depart, Sensor Rahasia-nya terangkat tinggi-tinggi. "Langsung bawa kalung ini ke Profesor Snape, tapi pastikan jangan menyentuhnya, biarkan tetap terbungkus syal!" Harry dang yang lain mengikuti Profesor McGonagall naik ke kantornya. Jendela-jendelanya yang tertimpa hujan salju dan es bergetar dalam kosennya dan ruangan itu dingin sekali, walaupun api di perapian berkobar. Profesor McGonagall menutup pintu dan bergegas ke belakang mejanya untuk menghadapi Harry, Ron, Hermione, dan Leanne yang masih terisak. "Nah?" katanya tajam. "Apa yang terjadi?" Tersendat-sendat, dan berkali-kali berhenti selagi dia berusaha mengontrol tangisnya, Leanne menceritakan kepada Profesor McGonagall bagaimana Katie ke toilet di Three Broomsticks dan kembali membawa bungkusan tak bertanda, bagaimana Katie tampak agak aneh dan bagaimana mereka mempertengkarkan bijaksana tidaknya Katie bersedia membawa benda tak dikenal itu, pertengkaran mereka memuncak dengan perebutan bungkusan, yang lalu robek. Tiba di sini, Leanne sudah sangat dikuasai emosi, tak ada lagi satu kata pun yang bisa dipancing darinya. "Baiklah," kata Profesor McGonagall, lembut, "pergilah ke rumah sakit, Leanne, dan minta Madam Pomfrey memberimu sesuatu untuk mengatasi shock." Setelah Leanne meninggalkan ruangan, Profesor McGonagall kembali menghadapi Harry, Ron, dan Hermione. "Apa yang terjadi ketika Katie menyentuh kalung itu?" "Dia terangkat ke angkasa," kata Harry, sebelum Ron maupun Hermione bisa bicara. "Dan kemudian dia mulai menjerit, dan terjatuh. Profesor, bolehkah saya menemui Profesor Dumbledore, tolong?" "Kepala Sekolah pergi sampai Senin, Potter," kata Profesor McGonagall, tampak heran. "Pergi?" ulang Harry berang. "Ya, Potter, pergi!" kata Profesor McGonagall masam. "Tetapi apa pun yang akan kau sampaikan tentang urusan mengerikan ini bisa disampaikan kepadaku, aku yakin!" Selama sepersekian detik Harry ragu-ragu. Profesor McGonagall tidak membuat orang ingin memercayakan rahasianya. Dumbledore, meskipun dalam banyak hal lebih menakutkan, toh kemungkinannya untuk mencemooh teori lebih kecil, seliar apa pun teori itu. Namun ini urusan hidup-mati dan bukan saatnya untuk mencemaskan soal ditertawakan. "Menurut saya Draco Malfoy yang memberikan kalung itu kepada Katie, Profesor." Di salah satu sisinya, Ron menggosok hidungnya, jelas sekali dia malu, di sisinya yang lain Hermione menggeser kakinya, seakan ingin sekali membuat jarak antara dia dan Harry. "Itu tuduhan yang sangat serius, Potter," kata Profesor McGonagall, setelah terdiam karena shock. "Apa kau punya bukti?" "Tidak," kata Harry, "tapi ... " dan dia menceritakan kepada Profesor McGonagall bagaimana mereka membuntuti Malfoy ke Borgin and Burges dan percakapannya dengan Borgin yang mereka dengar. Setelah Harry selesai bicara, Profesor McGonagall tampak agak bingung. "Malfoy membawa sesuatu ke Borgin and Burkes untuk diperbaiki?" "Tidak, Profesor, dia hanya ingin Borgin memberitahunya bagaimana memperbaiki sesuatu, dia tidak membawa barang itu bersamanya. Tetapi bukan itu masalahnya. Persoalannya adalah dia saat itu juga membeli sesuatu dan saya kira yang dibelinya kalung itu" "Kau melihat Malfoy meninggalkan toko dengan bungkusan yang seperti itu?" "Tidak, Profesor, dia meminta Borgin menyimpannya di toko untuknya" "Tapi, Harry," Hermione menyela, "Borgin bertanya apakah dia ingin membawanya, dan Malfoy bilang 'tidak'" "Karena dia tak ingin menyentuhnya, jelas!" kata Harry gusar. "Yang dikatakannya tepatnya adalah, 'Mana mungkin aku membawa-bawa itu sepanjang jalan?'" kata Hermione. "Yah, dia akan tampak agak bego membawa-bawa kalung," Ron nimbrung. "Oh, Ron," kata Hermione putus asa, "kalung itu kan dibungkus, supaya dia tidak menyentuhnya, dan cukup mudah disembunyikan di dalam mantelnya, jadi tak akan ada yang melihat! Kurasa apa pun yang dipesannya di Borgin and Burkes mengeluarkan bunyi atau ukurannya besar; sesuatu yang dia tahu akan menarik perhatian kepadanya jika dia membawanya sepanjang jalan-dan lagi pula," dia menekankan dengan suara keras, sebelum Harry menyela, "aku bertanya kepada Borgin soal kalung itu, apakah kalian tidak ingat? Waktu aku masuk dan berusaha mencari tahu apa yang Malfoy minta disimpankan olehnya, aku melihat kalung itu di sana. Dan Borgin cuma memberitahuku harganya, dia tidak bilang kalung itu sudah terjual atau apa" "Yah, kau waktu itu kentara sekali sih, dia menyadari apa maumu dalam waktu kira-kira lima detik, tentu saja dia tak akan memberitahumu lagi pula, Malfoy tak mungkin meminta kalung itu dikirim karena "Cukup!" kata Profesor McGonagall, ketika Hermione membuka mulut akan berkilah, tampak gusar. "Potter, aku menghargaimu menceritakan semua ini kepadaku, tapi kita tak bisa menuding Malfoy bersalah hanya karena dia mengunjungi toko tempat kalung ini barangkali dibeli. Sama seperti kita barangkali tak bisa menyalahkan ratusan orang lain yang juga ke toko itu." "-itulah yang kukatakan-" gumam Ron. "-lagi pala, kita telah memberlakukan langkah-langkah keamanan yang ketat di tempat ini tahun ini. Aku tak percaya kalung itu bisa masuk ke sekolah ini tanpa kami ketahui-" "-tapi-" "-dan lebih-lebih lagi," kata Profesor McGonagall, dengan sikap mengakhiri debat itu, "Mr Malfoy tidak ada di Hogsmeade hari ini." Harry melongo memandangnya, kecewa. "Bagaimana Anda tahu, Profesor?" "Karena dia sedang detensi denganku. Dia telah gagal menyelesaikan PR Transfigurasi-nya dua kali berturut-turut. Jadi, terima kasih telah memberitahuku kecurigaanmu, Potter," katanya seraya berjalan melewati mereka, "tapi aku perlu ke rumah sakit sekarang Untuk mengecek Katie Bell. Selamat sore kepada kalian semua." Dia membukakan pintu kantornya dan memeganginya. Mereka tak punya pilihan selain beriringan melewatinya tanpa berkata apa-apa lagi. Harry marah kepada kedua sahabatnya karena berpihak kepada McGonagall, meskipun demikian dia merasa harus ikut begitu mereka mulai mendiskusikan apa yang telah terjadi. "Jadi, menurut kalian Katie diminta memberikan kalung itu kepada siapa?" tanya Ron, ketika mereka menaiki tangga menuju ruang rekreasi. "Tak ada yang tahu," kata Hermione. "Tapi siapa pun orangnya, dia lolos dari maut. Tak seorang pun bisa membuka bungkusan itu tanpa menyentuh kalungnya." "Kalung itu bisa dimaksudkan untuk banyak orang," kata Harry. "Dumbledore -- para Pelahap Maut akan senang kalau dia tersingkir, dia pastilah salah satu target top mereka. Atau Slughorn-Dumbledore menduga Voldemort benar-benar menginginkannya dan mereka pastilah tidak senang Slughorn memihak kepada Dumbledore. Atau-" "Atau kau," kata Hermione, tampak cemas. "Tak mungkin," kilah Harry, "kalau untukku, Katie tinggal berbalik di jalan dan memberikannya kepadaku, kan?" Aku di belakangnya terus sepanjang jalan dari Three Broomsticks. Jauh lebih masuk akal menyerahkan bungkusan itu di luar Hog-warts, mengingat Filch memeriksa siapa saja yang masuk dan keluar. "Aku ingin tahu kenapa Malfoy menyuruhnya membawanya ke dalam kastil?" "Harry, Malfoy tidak berada di Hogsmeade!" kata Hermione, benar-benar mengentakkan kaki saking frustrasinya. "Pasti dia memakai kaki tangan, kalau begitu," kata Harry. "Crabbe atau Goyle atau, kalau dipikir-pikir, sesama Pelahap Maut, dia pasti punya banyak kroni yang lebih pintar daripada Crabbe dan Goyle sekarang setelah dia bergabung-" Ron dan Hermione bertukar pandang yang jelas-jelas mengatakan "tak ada gunanya berdebat dengannya". "Dilligrout," kata Hermione mantap, ketika mereka tiba di depan Nyonya Gemuk. Lukisan itu terayun membuka dan mereka masuk ke ruang rekreasi. Ruangan itu cukup penuh dan berbau pakaian lembap. Banyak anak tampaknya pulang dari Hogsmeade lebih awal gara-gara cuaca yang buruk. Meskipun demikian tak ada dengung ketakutan ataupun spekulasi. Jelas, berita tentang nasib Katie belum menyebar. "Bukan serangan yang sangat hebat, sebetulnya, kalau kalian pikirkan" kata Ron, dengan seenaknya memaksa seorang anak kelas satu menyingkir dari salah satu kursi berlengan nyaman di dekat perapian, Supaya dia bisa duduk. "Kutukannya bahkan tidak sampai ke kastil. Tidak bisa dibilang terjamin." "Kau benar," kata Hermione, mendorong Ron dari kursinya dengan kakinya dan menawarkannya lagi kepada si anak kelas satu. "Sama sekali tidak dipikirkan dengan baik." "Tapi sejak kapan Malfoy menjadi salah satu pemikir besar dunia?" komentar Harry. Baik Ron maupun Hermione tidak menanggapinya. Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net 13. RIDDLE YANG SERBA RAHASIA Katie dipindahkan ke Rumah Sakit St Mungo untuk Penyakit dan Luka-Luka Sihir hari berikutnya. Saat itu berita bahwa dia kena kutukan telah menyebar ke seluruh sekolah, meskipun detailnya simpang-siur, dan kecuali Harry, Ron, Hermione, dan Leanne tampaknya tak seorang pun tahu bahwa Katie bukanlah target yang disasar. "Oh, dan Malfoy tahu, tentu," kata Harry kepada Ron dan Hermione, yang meneruskan sikap baru mereka, berpura-pura tuli setiap kali Harry menyebutkan teorinya bahwa Malfoy-adalah Pelahap-Maut. Harry bertanya-tanya dalam hati apakah Dumbledore akan pulang dari mana pun dia berada pada waktunya untuk pelajaran Senin malam, namun karena tak mendapat pesan pembatalan, Harry siap berada di depan kantor Dumbledore pada pukul delapan malam, mengetuk pintu, dan dipersilakan masuk. Dumbledore duduk di kantornya, tampak sangat lelah; tangannya masih sama hitam dan terbakar seperti sebelumnya, tetapi dia tersenyum ketika memberi isyarat agar Harry duduk. Pensieve sudah siap di atas meja, memancarkan titik-titik cahaya keperakan pada langit-langit "Kau sibuk sekali selama aku pergi," kata Dumbledore. "Kudengar kau menyaksikan kecelakaan Katie." "Ya, Sir. Bagaimana keadaannya?" "Masih sangat parah, meskipun bisa dikatakan dia beruntung. Rupanya dia menyentuh kalung itu dengan sesedikit mungkin kulit; ada lubang kecil pada sarung tangannya. Seandainya dia memakai kalung itu, seandainya dia bahkan memegangnya dengan tangan tanpa sarung tangan, dia akan mati, barangkali langsung. Untung Profesor Snape berhasil melakukan cukup pencegahan agar kutukan itu tidak menjalar dengan cepat" "Kenapa dia?" tanya Harry cepat-cepat. "Kenapa bukan Madam Pomfrey?" "Tidak sopan," kata suara pelan dari salah satu lukisan di dinding, dan Phineas Nigellus Black, kakek canggah Sirius, yang tadinya tampak sedang tidur, mengangkat kepala dari lengannya. "Aku tak akan mengizinkan murid mempertanyakan cara Hogwarts beroperasi pada zamanku." "Ya, terima kasih, Phineas," tukas Dumbledore. "Profesor Snape tahu lebih banyak tentang Ilmu Hitam daripada Madam Pomfrey, Harry. Bagaimanapun juga, staf St Mungo mengirimiku laporan setiap jam dan aku berharap Katie akan sembuh total pada waktunya." "Di mana Anda akhir pekan kemarin, Sir?" Harry bertanya, mengabaikan perasaan kuat bahwa dia barangkali terlalu nekat. Rupanya hal yang sama dirasakan oleh Phineas Nigellus, yang mendesis pelan. "Aku lebih suka tidak mengatakannya sekarang," kata Dumbledore. "Meskipun demikian, aku akan memberitahumu pada waktunya nanti." "Anda akan memberitahu saya?" tanya Harry, tercengang. "Ya, kurasa begitu," kata Dumbledore, mengeluarkan botol baru berisi ingatan perak dari dalam jubahnya dan membuka tutup-gabusnya dengan ketukan tongkat sihirnya. "Sir," kata Harry mencoba-coba. "Saya bertemu Mundungus di Hogsmeade." "Ah ya, aku sudah tahu bahwa Mundungus memperlakukan warisanmu dengan berpanjang-tangan seenaknya," kata Dumbledore, sedikit mengernyit. "Dia bersembunyi, sejak kau menegurnya di depan Three Broomsticks; kurasa dia takut menghadapiku. Meskipun demikian, yakinlah dia tidak akan membawa pergi barang-barang Sirius lagi." "Si Darah-campuran kudisan itu mencuri pusaka-pusaka Black?" kata Phineas Nigellus, naik darah; dan dia meninggalkan pigura lukisannya, tak diragukan lagi untuk mengunjungi lukisannya di Grimmauld Place nomor dua belas. "Profesor," kata Harrv. setelah hening sejenak, "apakah Profesor McGonagall memberitahu Anda apa yang saya sampaikan kepadanya setelah Katie terluka? Tentang Draco Malfoy?" "Dia memberitahuku tentang kecurigaanmu, ya," kata Dumbledore. "Dan apakah Anda?" "Aku akan melakukan tindakan yang sesuai untuk menginvestigasi siapa pun yang mungkin ada hubungannya dengan kecelakaan Katie," kata Dumbledore. "Tapi yang penting bagiku sekarang, Harry, adalah pelajaran kita." Harry agak kesal mendengar ini. Jika pelajaran mereka sangat penting, kenapa ada jeda begitu lama di antara pelajaran pertama dan kedua? Meskipun demikian dia tidak berkata apa-apa lagi tentang Draco Malfoy, melainkan mengawasi Dumbledore yang menuang ingatan baru ke dalam Pensieve, dan mulai memutar baskom batu itu sekali lagi di antara tangannya yang berjari panjang-panjang. "Kau masih ingat, aku yakin, bahwa kita meninggalkan kisah awal Lord Voldemort pada poin ketika si Muggle tampan, Tom Riddle, meninggalkan istrinya yang penyihir, Merope, dan pulang ke rumah keluarganya di Little Hangleton. Merope ditinggalkan sendirian di London, mengandung bayi yang suatu hari kelak akan menjadi Lord Voldemort." "Bagaimana Anda tahu dia di London, Sir?" "Berkat kesaksian orang yang bernama Caractacus Burke," kata Dumbledore, "yang, secara kebetulan yang luar biasa, membantu mendirikan toko tempat asal kalung yang baru saja kita bicarakan." Dia menggoyang isi Pensieve seperti yang pernah Harry lihat sebelumnya, seperti pendulang emas yang mengayak emasnya. Dari dalam pusaran keperakan itu muncul seorang lelaki tua kecil, yang berputar pelan di dalam Pensieve, perak seperti hantu, tetapi jauh lebih padat, dengan riapan rambut yang sepenuhnya menutupi matanya. "Ya, kami mendapatkannya dalam situasi yang aneh. Kalung itu dibawa oleh seorang penyihir wanita muda tepat sebelum Natal, oh, sudah bertahun-tahun silam sekarang. Dia berkata dia sangat membutuhkan emas, yah, itu kentara sekali. Pakaiannya compang-camping dan dia hamil tua ... sudah hampir melahirkan. Dia berkata kalung itu tadinya milik Slytherin. Nah, kami mendengar cerita semacam itu sepanjang waktu, 'Oh, ini punya Merlin, betul, teko favoritnya,' tapi ketika aku melihat liontin kalung itu, ternyata betul ada lambang Slytherin-nya, dan beberapa mantra sederhana cukup untuk memastikan kalung itu memang milik Slytherin. Tentu saja, itu membuat kalung itu nyaris tak ternilai. Perempuan itu rupanya tak menyadari kalungnya bernilai sangat tinggi. Dia senang mendapat sepuluh Galleon untuk kalung itu. Pembelian paling menguntungkan yang pernah kami buat!" Dumbledore menggoyang Pensieve itu ekstra keras dan Caractacus Burke turun kembali ke dalam pusaran memori dari mana tadi dia muncul. "Dia cuma memberinya sepuluh Galleon?" kata Harry berang "Caractacus Burke tidak terkenal sebagai orang yang murah hati," kata Dumbledore. "Jadi, kita tahu bahwa, mendekati akhir kehamilannya, Merope sendirian di London dan sangat membutuhkan uang, butuh sekali sampai dia terpaksa menjual satu-satunya miliknya yang berharga, kalung yang merupakan salah satu pusaka keluarga yang sangat dihargai Marvolo." "Tapi dia bisa melakukan sihir!" kata Harry tak sabar. "Dia bisa mendapatkan makanan dan segalanya untuk dirinya dengan sihir, kan?" "Ah," kata Dumbledore, "barangkali dia bisa. Tetapi kukira aku menduga-duga lagi, tapi aku yakin aku benar bahwa ketika suaminya meninggalkannya, Merope berhenti melakukan sihir. Kukira dia tak ingin lagi menjadi penyihir. Tentu, mungkin saja cintanya yang tak terbalas dan keputusasaan yang menderanya melemahkan kekuatan sihirnya; itu bisa terjadi. Bagaimanapun juga, seperti yang akan kau lihat, Merope menolak mengangkat tongkat sihirnya, bahkan untuk menyelamatkan nyawanya." "Dia bahkan tak mau hidup untuk anaknya?" Dumbledore mengangkat alisnya. "Mungkinkah kau merasa kasihan kepada Lord Voldemort?" "Tidak," kata Harry buru-buru, "tapi dia punya pilihan, kan, tidak seperti ibu saya" "Ibumu juga punya pilihan," kata Dumbledore lembut. "Ya, Merope Riddle memilih mati, walaupun dia punya anak yang membutuhkannya, tapi jangan menghakimi dia terlalu keras, Harry. Dia menjadi sangat lemah karena penderitaan yang panjang dan dia tak pernah memiliki keberanian yang dimiliki ibumu. Dan sekarang, kalau kau mau berdiri ... " "Kita akan ke mana?" Harry bertanya, ketika Dumbledore bergabung dengannya di depan meja. "Kali ini," kata Dumbledore, "kita akan memasuki kenanganku. Kurasa kau akan mendapati ingatanku sangat mendetail dan ketepatannya juga memuaskan. Kau lebih dulu, Harry ... " Harry membungkuk di depan Pensieve; wajahnya menyentuh permukaan kenangan yang sejuk dan kemudian dia terjatuh dalam kegelapan lagi ... Beberapa detik kemudian kakinya menginjak tanah padat, dia membuka mata dan ternyata dia dan Dumbledore berdiri di jalan kuno London yang ramai. "Itu aku," kata Dumbledore cerah, menunjuk ke depan ke sosok jangkung yang sedang menyeberang jalan di depan kereta susu yang ditarik kuda. Rambut dan jenggot panjang Albus Dumbledore muda ini berwarna pirang. Setiba di sisi jalan, dia berjalan sepanjang trotoar, membuat banyak orang melirik penasaran melihat setelan jas beludru ungu kemerahan sewarna buah plum berpotongan mewah yang dikenakannya. "Jas bagus, Sir," kata Harry, sebelum sempat menahan diri, namun Dumbledore hanya tertawa kecil ketika mereka mengikuti sosoknya yang lebih muda dalam jarak dekat, akhirnya melewati gerbang besi memasuki halaman kosong di depan bangunan persegi yang agak kusam, dikelilingi pagar tinggi. Dia menaiki undakan menuju ke pintu depan dan langsung mengetuknya. Beberapa saat kemudian pintu dibuka oleh seorang gadis berantakan bercelemek. "Selamat sore, saya ada janji dengan Mrs Cole, yang saya kira adalah pimpinan panti asuhan ini?" "Oh, kata si gadis yang tampak bingung melihat penampilan eksentrik Dumbledore. "Urn ... tunggu 'bentar ... MRS COLE!" teriaknya sambil menoleh. Harry mendengar suara di kejauhan meneriakkan sesuatu sebagai jawaban. Gadis itu berpaling kembali kepada Dumbledore. "Silakan masuk, dia datang." Dumbledore melangkah masuk ke ruang depan yang berlantai tegel hitam-putih. Seluruh tempat itu kusam namun bersih sekali. Harry dan Dumbledore yang lebih tua mengikuti. Sebelum pintu depan menutup di belakang mereka, seorang perempuan kurus bertampang bingung bergegas menuju mereka. Raut mukanya yang tajam lebih memperlihatkan kecemasan daripada ketidakramahan dan dia bicara sambil menoleh ke pembantu bercelemek lain ketika dia berjalan ke arah Dumbledore. "... dan bawa yodium ke atas ke Martha, Billy Stubbs mengelotoki keropengnya dan Eric Whalley ngompol, seprainya basah semua-masih kena cacar air, lagi," katanya tidak kepada siapa-siapa, kemudian terpandang olehnya Dumbledore dan dia langsung berhenti mendadak, tampak sangat kaget seakan ada jerapah yang baru masuk ke rumahnya. "Selamat sore," kata Dumbledore, mengulurkan tangannya. Mrs Cole hanya ternganga. "Nama sava Albus Dumbledore. Saya mengirim surat kepada Anda meminta bertemu dan Anda berbaik hati mengundang saya kemari hari ini." Mrs Cole mengerjap. Rupanya memutuskan bahwa Dumbledore bukan halusinasi, dia berkata lemah, "Oh Ya. Ah kalau begitu lebih baik Anda ke kantor saya Ya." Dia mengajak Dumbledore ke ruangan kecil yang tampaknya sebagian dipakai sebagai ruang duduk, sebagian kantor. Ruangan itu sama kusamnya dengan ruang depan dan perabotannya tidak serasi. Dia mempersilakan Dumbledore duduk di kursi reyot dan dia sendiri duduk di belakang meja yang berantakan, mengawasi Dumbledore dengan gugup. "Saya berada di sini, seperti telah saya sampaikan di dalam surat saya, untuk membicarakan Tom Riddwle dan pengaturan masa depannya," kata Dumbledore. "Apakah Anda keluarganya?" tanya Mrs Cole. "Bukan, saya guru," kata Dumbledorc. "Suntuk menawari Tom tempat di sekolah saya." "Sekolah apa itu?" "Namanya Hogwarts," jawab Dumbledore. "Dan bagaimana Anda bisa tertarik pada Tom?" "Kami percaya dia memiliki kecakapan yang kami cari." "Maksud Anda dia memenangkan beasiswa? Bagaimana mungkin? Dia tak pernah melamar beasiswa." "Namanya sudah terdaftar di sekolah kami sejak dia lahir" "Siapa yang mendaftarkannya? Orangtuanya?" Tak diragukan lagi bahwa Mrs Cole wanita yang cerdas dan ini tidak menguntungkan. Rupanya Dumbledore juga berpendapat sama, karena Harry sekarang melihatnya mencabut tongkat sihirnya dari dalam saku jas beludrunya, dan pada saat yang bersamaan mengambil selembar kertas kosong dari atas meja Mrs Cole. "Ini" kata Dumbledore, melambaikan tongkat sihirnya sekali ketika dia menyerahkan kertas itu kepada Mrs Cole, "saya rasa ini akan membuat segalanya jelas." Mata Mrs Cole bergerak-gerak meneliti kertas kosong itu selama beberapa saat. "Tampaknya semuanya beres," katanya tenang, mengembalikan kertas itu. Kemudian matanya menatap sebotol gin dan dua gelas yang jelas tak ada di situ beberapa detik sebelumnya. "Er -- bolehkah saya menawari Anda segelas gin?" katanya ekstra-sopan. "Terima kasih banyak," kata Dumbledore, berseri-seri. Segera nyata bahwa Mrs Cole bukan orang baru dalam soal minum gin. Menuangkan gin masing-masing segelas penuh untuk mereka berdua, dia menghabiskan isi gelasnya dalam sekali teguk. Mencecap lidahnya secara terang-terangan, dia tersenyum kepada Dumbledore untuk pertama kalinya, dan Dumbledore tidak ragu-ragu menggunakan kesempatan baik ini. "Saya tadi bertanya dalam hati, apakah Anda bisa menceritakan kepada saya tentang apa saja yang menyangkut sejarah Tom Riddle? Saya kira dia lahir di panti asuhan ini?" "Betul," kata Mrs Cole, menuang gin lagi untuk dia sendiri. "Saya masih ingat jelas, karena saya sendiri baru mulai bekerja di sini. Malam Tahun Baru dan dingin sekali, hujan salju, Anda tahu. Malam yang buruk. Dan gadis ini takjauh lebih tua daripada saya sendiri waktu itu, datang tertatih-tatih menaiki undakan depan. Yah, dia bukan yang pertama. Kami membawanya masuk dan dia melahirkan dalam waktu satu jam. Dan meninggal dalam jam berikutnya." Mrs Cole mengangguk impresif dan meneguk gin-nya lagi dengan lahap. "Apakah dia mengatakan sesuatu sebelum meninggal?" tanya Dumbledore. "Sesuatu tentang ayah si bayi, misalnya?" "Kebetulan memang ya," kata Mrs Cole, yang tampaknya meniknati perannya sekarang, dengan gin di satu tangan dan pendengar yang bersemangat mendengarkan ceritanya. "Saya ingat dia berkata kepada saya, 'kuharap dia seperti papanya,' dan saya tidak akan berbohong dia benar berharap begitu, karena dia tidak cantik dan kemudian dia memberitahu saya bayi itu harus di namakan Tom, seperti ayahnya, dan Marvolo, seperti ayahnya, ayah si gadis - ya, saya tahu, nama yang aneh, kan? Kami bertanya-tanya sendiri apakah dia datang dari sirkus -- dan dia berkata nama keluarga anak ini Riddle. Dan dia meninggal tak lama kemudian tanpa mengucapkan apa-apa lagi. "Nah, kami menamai dia seperti yang dimintanya, kelihatannya itu penting sekali bagi gadis malang itu, tapi tak ada Tom ataupun Marvolo maupun Riddle yang datang mencarinya. Tak ada 'teka-teki' apa pun, juga tak ada keluarga sama sekali, maka dia tinggal di panti asuhan sampai sekarang." Kata "riddle" memang artinya "teka-teki". Mrs Cole menuang gin lagi untuk dirinya, nyaris tanpa sadar, segelas penuh. Dua semburat merah telah muncul pada tulang pipinya yang tinggi. Kemudian dia berkata, "Dia anak yang aneh." "Ya," kata Dumbledore. "Saya sudah menduganya." "Dia bayi yang aneh juga. Dia hampir tak pernah menangis, Anda tahu. Dan kemudian, ketika dia sudah agak besar, dia ... ganjil." "Ganjil, seperti apa?" tanya Dumbledore lembut. "Yah, dia-" Namun Mrs Cole mendadak berhenti bicara, dan tak ada yang samar atau ragu tentang pandangan menyelidik yang dilayangkannya kepada Dumbledore di atas gelas gin-nya. "Dia sudah pasti diterima di sekolah Anda, kata Anda?" "Pasti," kata Dumbledore. "Dan tak ada apa pun yang saya - katakan akan mengubah itu?" "Tak ada," kata Dumbledore. "Anda akan tetap membawanya pergi, apa pun yang terjadi?" "Apa pun," ulang Dumbledore serius. Mrs Cole menyipit memandang Dumbledore, seolah mempertimbangkan akan memercayainya atau tidak. Rupanya dia memutuskan bisa memercayainya, karena dia mendadak berkata, "Dia membuat anak-anak lain, takut. " "Maksud Anda dia mengancam anak-anak lain?" tanya Dumbledore. "Saya rasa mestinya begitu," kata Mrs Cole, mengernyit sedikit, "tapi sulit sekali memergokinya. Telah terjadi beberapa insiden ... hal-hal mengerikan ..." Dumbledore tidak mendesaknya, meskipun Harry bisa melihat dia tertarik. Mrs Cole menghirup gin-nya lagi dan pipinya yang kemerahan menjadi semakin merah. "Kelinci Billy Stubs ... nah, Tom mengatakan dia tidak melakukannya dan saya juga tidak tahu bagaimana dia bisa melakukannya, meskipun demikian, kelinci itu tak mungkin gantung diri di kasau, kan?" "Saya kira tidak," kata Dumbledore pelan. "Tapi saya sungguh bingung, bagaimana dia bisa naik ke sana. Yang saya tahu hanyalah dia dan Billy bertengkar sehari sebelumnya. Dan kemudian-" Mrs Cole meneguk gin-nya lagi, kali ini tumpah sedikit di atas dagunya, "pada wisata musim panas kami membawa mereka keluar, Anda tahu, sekali setahun, ke pegunungan atau ke pantai -- nah, Amy Benson dan Dennis Bishop tak pernah kembali wajar sepenuhnya setelah itu, dan yang bisa kami ketahui dari mereka hanyalah bahwa mereka pergi ke gua bersama Tom Riddle. Dia bersumpah mereka cuma mengeksplorasi gua, tapi sesuatu terjadi di dalam gua, saya yakin. Dan, yah, ada banyak hal, hal-hal aneh ... " Mrs Cole memandang Dumbledore lagi, dan kendatipun pipinya merah, pandangannya mantap. "Saya rasa banyak orang akan senang melihatnya pergi." "Anda paham, saya yakin, bahwa dia tidak akan bersama kami sepanjang waktu?" kata Dumbledore. "Dia harus pulang ke sini, paling tidak setiap musim panas." "Oh, yah, itu lebih baik daripada hidung kita terhantam pengorek api berkarat," kata Mrs Cole sambil cegukan kecil. Dia bangkit berdiri dan Harry kagum melihat bahwa dia cukup mantap, walaupun dua per tiga gin sekarang sudah habis. "Saya rasa Anda ingin melihatnya?" "Sangat ingin, kata Dumbledore, ikut bangkit. Mrs Cole membawa Dumbledore keluar dari kantornya dan menaiki tangga batu, menyerukan instruksi dan teguran kepada para pembantunya dan anak-anak yang dilewatinya. Anak-anak yatim-piatu itu, Harry lihat, semua memakai semacam tunik kelabu. Mereka tampaknya cukup terpelihara, namun tak bisa disangkal bahwa ini tempat yang suram bagi anak-anak untuk dibesarkan. "Nah, kita sampai," kata Mrs Cole, ketika mereka berbelok di bordes kedua dan berhenti di depan pintu pertama pada koridor panjang. Dia mengetuk dua kali dan masuk. "Tom? Ada tamu untukmu. Ini Mr Dumberton sori, Dunderbore. Dia datang untuk memberitahumu yah, lebih baik dia yang mengatakannya." Harry dan kedua Dumbledore masuk kamar itu dan Mrs Cole menutup pintu di belakang mereka. Kamar itu kecil dan hanya berisi lemari pakaian tua, kursi kayu, dan tempat tidur besi. Seorang anak laki-laki sedang duduk di atas selimut kelabu terjulur di depannya, memegang buku. Tak ada sedikit pun tanda-tanda keluarga Gaunt di wajah Tom Riddle. Harapan terakhir Merope terkabul, dia adalah miniatur ayahnya yang tampan, jangkung untuk usianya yang sebelas tahun, berambut-hitam dan wajahnya pucat. Matanya agak menyipit ketika dia melihat penampilan eksentrik Dumbledore. Sejenak sunyi. "Apa kabar, Tom?" kata Dumbledore, berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangan. Anak laki-laki itu ragu-ragu, kemudian menerima tangan Dumbledore dan mereka berjabat tangan. Dumbledore menarik kursi kayu keras ke sebelah Riddle, sehingga mereka berdua tampak agak seperti pasien rumah sakit dan penjenguknya. "Aku Profesor Dumbledore." "Profesor?" ulang Riddle. Dia tampak waspada. "Apa itu seperti 'dokter'? Untuk apa Anda ke sini? Apakah dia memanggil Anda untuk memeriksa saya?" Dia menunjuk ke pintu, lewat mana Mrs Cole baru saja pergi. "Tidak, tidak," kata Dumbledore, tersenyum. "Saya tidak percaya pada Anda," kata Riddle. "Dia ingin saya diperiksa, kan? Katakan yang sebenarnya!" Dia mengucapkan ketiga kata terakhir dengan dering kekuatan yang mengejutkan. Itu perintah, dan kedengarannya dia telah sering kali mengucapkannya sebelumnya. Matanya melebar dan dia mendelik kepada Dumbledore, yang tidak menjawab apa pun kecuali terus tersenyum ramah. Setelah beberapa saat Riddle berhenti mendelik, namun dia tampak semakin waspada. "Siapa Anda?" "Sudah kukatakan tadi. Namaku Profesor Dumbledore dan aku bekerja di sekolah yang bernama Hogwarts. Aku datang untuk menawarimu tempat di sekolah-sekolah barumu, jika kau mau datang." Reaksi Riddle terhadap ucapan Dumbledore sungguh sangat mengejutkan. Dia melompat dari tempat tidur dan mundur menjauh dari Dumbledore, tampak marah. "Anda tak bisa membohongi saya! Rumah sakit jiwa, dari situlah Anda, kan? 'Profesor', ya tentu saja -- nah, saya tak mau pergi, tahu? Kucing tua itulah yang seharusnya masuk rumah sakit jiwa. Saya tak pernah melakukan apa pun terhadap Amy Benson atau Dennis Bishop, dan Anda bisa menanyai mereka, mereka akan memberitahu Anda!" "Aku bukan dari rumah sakit jiwa," kata Dumbledore sabar. "Aku guru dan, jika kau mau duduk tenang, akan kuceritakan kepadamu tentang Hogwarts. Tentu saja, jika kau tidak mau ke sekolah itu, tak akan ada yang memaksamu-" "Coba saja mereka memaksa saya. Saya mau lihat," cemooh Riddle. "Hogwarts," Dumbledore melanjutkan, seakan dia tidak mendengar kata-kata terakhir Riddle, "adalah sekolah untuk orang-orang dengan kemampuan istimewa-" "Saya tidak gila!" "Aku tahu kau tidak gila. Hogwarts bukan sekolah untuk orang gila. Hogwarts adalah sekolah sihir." Sunyi. Riddle membeku, wajahnya tanpa ekspresi namun matanya bergerak-gerak memandan bergantian kedua mata Dumbledore, seolah berusaha menangkap salah satunya berbohong. "Sihir?" dia mengulang dalam bisikan. "Betul," kata Dumbledore. "Apakah ... apakah itu sihir, apa yang bisa saya lakukan?" "Apa yang bisa kaulakukan?" "Segala macam," desah Riddle. Rona merah kegairahan menyebar dari leher ke pipinya yang cekung; dia tampak seperti orang demam. "Saya bisa membuat benda-benda bergerak tanpa menyentuhnya. Saya bisa membuat binatang-binatang melakukan apa yang saya ingin mereka lakukan, tanpa melatih mereka. Saya bisa membuat hal-hal buruk terjadi pada orang-orang yang menjengkelkan saya. Saya bisa membuat mereka celaka kalau saya mau." Kakinya gemetar. Dia terhuyung ke depan dan duduk di tempat tidur lagi, memandang tangannya, kepalanya menunduk seakan sedang berdoa. "Saya tahu saya berbeda, bisiknya kepada jari-jarinya yang gemetar. "Saya tahu saya istimewa. Dan dulu saya tahu ada sesuatu." "Kau benar," kata Dumbledore, yang tak lagi tersenyum, melainkan mengawasi Riddle dengan sungguh-sungguh, "Kau penyihir." Riddle mengangkat kepalanya. Wajahnya bertransfigurasi: ada kebahagiaan liar di wajah itu, namun entah kenapa itu tidak membuatnya semakin tampan; sebaliknya malah, roman mukanya yang tampan tampak lebih kasar, ekspresinya nyaris seperti binatang. "Apakah Anda juga penyihir?" "Ya." "Buktikan," kata Riddle segera, dengan nada memerintah yang sama seperti yang digunakannya ketika dia berkata "katakan yang sebenarnya". Dumbledore mengangkat alis. "Jika, seperti yang kuperkirakan, kau menerima tempatmu di Hogwarts-" "Tentu saja saya terima!" "Kalau begitu kau akan menyapaku dengan sebutan 'Profesor' atau 'Sir'." Ekspresi Riddle mengeras sekilas sebelum dia berkata, dalam suara sopan yang hampir tak bisa dikenali, "Saya minta maaf, Sir. Maksud saya tadi-tolong, Profesor, bisakah Anda memperlihatkan kepada saya?" Harry yakin bahwa Dumbledore akan menolak, bahwa dia akan memberitahu Riddle masih banyak waktu untuk demonstrasi praktek di Hogwarts, bahwa mereka saat itu dalam gedung yang penuh Muggle, dan karenanya harus berhati-hati. Betapa herannya Harry, ketika Dumbledore mencabut tongkat sihirnya dari saku dalam jasnya, mengacungkannya ke lemari kusam di sudut dan menjentik santai tongkat itu. Lemari langsung berkobar terbakar. Riddle melompat bangun. Harry hampir tak bisa menyalahkannya berteriak-teriak dalam shock dan kemarahan. Semua barang duniawinya pastilah di dalam lemari itu. Namun, baru saja Riddle maju untuk menyerang Dumbledore, lidah api sudah lenyap, meninggalkan lemari itu sama sekali tak bercacat. Riddle memandang lemari, lalu Dumbledore. Kemudian, ekspresinya tamak, dia menunjuk ke tongkat sihir. "Di mana saya bisa mendapatkan tongkat seperti itu?" "Semuanya pada waktunya," kata Dumbledore. "Ku rasa ada yang ingin keluar dari lemarimu." Dan betul saja, bunyi gemeretak samar terdengar dari dalam lemari. Untuk pertama kalinya, Riddle tampak ketakutan. "Buka pintunya," kata Dumbledore. Riddle bimbang, menyeberang ruangan dan membuka pintu lemarinya. Di rak paling atas, di atas sederet pakaian lusuh, sebuah kotak kardus kecil berguncang dan bergemeretak seolah ada beberapa tikus panik yang terperangkap di dalamnya. "Keluarkan," kata Dumbledore. Riddle menurunkan kotak yang bergetar itu. Dia tampak terkesima. "Apakah dalam kotak itu ada sesuatu yang seharusnya tidak kaumiliki?" tanya Dumbledore. Riddle melempar pandang lama, tajam, dan penuh pertimbangan ke arah Dumbledore. "Ya, saya rasa begitu, Sir," katanya akhirnya, dengan suara tanpa ekspresi. "Bukalah," kata Dumbledore. Riddle membuka tutupnya dan menuang isinya ke tempat tidurnya tanpa memandangnya. Harry, yang sudah mengharap sesuatu yang lebih seru, melihat sekumpulan barang kecil sehari-hari; di antaranya ada yo-yo, bidal perak, dan harmonika berkarat. Begitu bebas dari kungkungan kotaknya, barang-barang itu berhenti bergetar dan tergeletak diam di atas selimut tipis. "Kau akan mengembalikan barang-barang itu kepada pemiliknya disertai ucapan maafmu," kata Dumbledore kalem, mengembalikan tongkat sihir ke dalam jasnya. "Aku akan tahu apakah itu sudah dilaksanakan. Dan ketahuilah pencurian tidak bisa ditoleransi di Hogwarts." Riddle sama sekali tidak kelihatan malu; dia masih memandang Dumbledore dengan dingin dan menilai. Akhirnya dia berkata dengan suara datar, "Ya, Sir." "Di Hogwarts," Dumbledore melanjutkan, "kami tidak hanya mengajarimu menggunakan sihir, tetapi juga mengontrolnya. Selama ini kau -- dengan kurang hati-hati, aku yakin telah menggunakan kemampuanmu dalam cara yang tidak diajarkan ataupun ditoleransi di sekolah kami. Kau bukan yang pertama, ataupun yang terakhir, yang membiarkan sihirmu merajalela. Tetapi kau harus tahu bahwa Hogwarts bisa mengeluarkan murid, dan Kementerian Sihir-ya, ada Kementerian-akan menghukum pelanggar hukum dengan lebih berat lagi. Semua penyihir baru harus menerima itu, dengan memasuki dunia kami, mereka mematuhi undang-undang kami." "Ya, Sir," kata Riddle lagi. Tak mungkin menafsirkan apa yang dipikirkan Riddle, wajahnya hampa ketika dia mengembalikan barang-barang curiannya ke dalam kotak kardusnya. Setelah selesai dia berpaling kepada Dumbledore dan berkata tanpa basa-basi, "Saya tidak punya uang." "Itu dengan mudah bisa diatasi," kata Dumbledore, mengeluarkan kantong uang kulit dari dalam sakunya. "Ada dana di Hogwarts bagi mereka yang membutuhkan bantuan untuk membeli buku-buku dan jubah. Kau mungkin harus membeli beberapa buku sihirmu dan barang-barang lain di toko barang bekas, tapi-" "Di mana kita bisa membeli buku sihir bekas," sela Riddle, yang telah mengambil kantong-uang yang berat tanpa berterima kasih kepada Dumbledore dan sekarang sedang mengamati Galleon emas yang tebal. "Di Diagon Alley" kata Dumbledore. "Aku membawa daftar buku-buku dan peralatan sekolahmu. Aku bisa membantumu mendapatkan semuanya-" "Anda akan mengantar saya?" tanya Riddle, mendongak. "Tentu, jika kau-" "Saya tidak memerlukan Anda" kata Riddle. "Saya sudah biasa melakukan apa-apa sendiri. Saya setiap kali berkeliling London sendirian. Bagaimana kita bisa ke Diagen Alley Sir?" dia menambahkan, beradu pandang dengan Dumbledore. Harry menyangka Dumbledore akan berkeras menemani Riddle, namun sekali lagi tercengang. Dumbledore menyerahkan ke kepada Riddle amplop berisi daftar peralatannya, dan, setelah memberitahu Riddle bagaimana persisnya pergi ke Leaky Cauldron dari panti asuhan, dia berkata, "Kau akan bisa melihatnya, meskipun Muggle di sekitarmu tidak. Muggle adalah orang-orang non-penyihir. Carilah Tom si pelayan bar -- gampang diingat, karena namanya sama dengan namamu." Riddle mengedik dongkol, seakan berusaha mengusir lalat menjengkelkan. "Kau tidak menyukai nama 'Tom'?" "Ada banyak Tom," gumam Riddle. Kemudian, seolah dia tak bisa menahan diri, seakan pertanyaan itu muncul begitu saja,dari dalam dirinya, dia bertanya, "Apakah ayah saya penyihir? Namanya Tom Riddle juga, begitu kata mereka." "Sayang sekali aku tak tahu," jawab Dumbledore, suaranya lembut. "Ibu saya tak mungkin penyihir, kalau tidak dia tak akan mati," kata Riddle, lebih kepada diri sendiri daripada kepada Dumbledore. "Pastilah ayah saya yang penyihir. Jad kalau saya sudah mendapatkan semua barang yang diperlukan kapan saya datang di Hogwarts ini?" "Semua keterangan ada di lembar kedua perkamen dalam amplopmu," kata Dumbledore. "Kau akan berangkat dari Stasiun King's Cross pada tanggal satu September. Ada tiket kereta juga di dalam situ." Riddle mengangguk. Dumbledore bangkit dan mengulurkan tangannya lagi. Menjabat tangan Dumbledore, Riddle berkata, "Saya bisa bicara dengan ular. Saya tahu itu ketika kami berwisata ke pedesaan ular-ular mencari saya, mereka berbisik kepada saya. Apakah itu normal bagi penyihir?" "Itu luar biasa," kata Dumbledore setelah ragu-ragu sesaat, "tapi bukan belum pernah terjadi." Nadanya biasa namun matanya bergerak ingin tahu dari wajah Riddle. Mereka berdiri sesaat, pria dewasa dan anak laki-laki, saling pandang. Kemudian jabatan tangan terputus, Dumbledore tiba di pintu. "Selamat tinggal, Tom. Sampai ketemu di Hogwarts." "Kurasa itu cukup," kata Dumbledore berambut putih di sebelah Harry, dan beberapa detik kemudian mereka melayang ringan menembus kegelapan sekali lagi, sebelum mendarat di kantor Dumbledore yang sekarang. "Duduklah," kata Dumbledore, mendarat di sebelah Harry. Harry mematuhinya, benaknya masih dipenuhi apa yang baru saja dilihatnya. "Dia memercayainya lebih cepat daripada saya maksud saya, ketika Anda memberitahunya dia penyihir," kata Harry. "Saya awalnya tidak memercayai Hagrid, ketika dia memberitahu saya." "Ya, Riddle siap memercayai bahwa dia menggunakan kata-katanya sendiri 'istimewa'" kata Dumbledore. "Apakah Anda tahu waktu itu?" tanya Harry. "Apakah aku tahu bahwa aku baru saja bertemu penyihir Hitam paling berbahaya sepanjang masa?" kata Dumbledore. "Tidak, aku sama sekali tak tahu bahwa dia akan menjadi seperti ini. Meskipun demikian, dia jelas membangkitkan minatku. Aku kembali ke Hogwarts dengan niat akan mengawasinya, sesuatu yang memang harus kulakukan, mengingat dia sendirian dan tidak punya teman. Tetapi waktu itu pun aku sudah merasa harus mengawasinya demi keselamatan yang lain, selain dirinya sendiri." "Kekuatan sihirnya, seperti yang kaudengar, berkembang dengan mengherankan untuk penyihir semuda itu yang paling menarik dan paling mengerikan dari semuanya dia sudah tahu bahwa dia bisa mengontrol kekuatannya, dan mulai menggunakannya dengan sadar. Seperti yang kau lihat, peristiwa-peristiwa yang terjadi bukanlah eksperimen tak disengaja seperti yang khas terjadi pada penyihir-penyihir muda. Dia sudah menggunakan sihir terhadap orang lain, untuk menakut-nakuti, menghukum, mengontrol. Cerita kecil tentang kelinci yang tercekik dan anak lelaki dan perempuan yang dipikatnya ke dalam gua sangat jelas ... saya bisa mencelakai mereka kalau saya mau ... " "Dan dia Parselmouth," Harry menambahkan. "Ya, betul, kemampuan yang langka, dan biasanya dihubungkan dengan Ilmu Hitam, meskipun, seperti kita ketahui, ada juga Parselmouth di antara para penyihir besar dan baik. Sebetulnya, kemampuannya bicara dengan ular tidak membuatku terlalu kuatir. Yang membuatku lebih kuatir justru nalurinya yang jelas sekali, untuk melakukan kekejaman, berahasia, dan mendominasi. "Waktu membodohi kita lagi," kata Dumbledore, menunjuk langit gelap di luar jendela. "Tetapi sebelum kita berpisah, aku ingin menarik perhatianmu pada beberapa fakta dalam adegan yang baru saja kita saksikan, karena fakta-fakta itu erat hubungannya dengan hal-hal yang akan kita bicarakan dalam pertemuan-pertemuan yang akan datang." "Yang pertama, kuharap kau memperhatikan reaksi Riddle ketika aku menyebutkan bahwa ada orang lain yang nama depannya sama dengannya, 'Tom'?" Harry mengangguk. "Reaksinya memperlihatkan kejijikannya akan apa saja yang mengikatnya pada orang lain, apa saja yang membuatnya biasa. Bahkan waktu itu, dia sudah ingin berbeda, terpisah, terkenal. Dia melepas namanya, seperti kau tahu, beberapa tahun setelah percakapan itu dan menciptakan topeng 'Lord Voldemort'. Di balik topeng itulah dia telah bersembunyi selama ini." "Aku yakin kau juga memperhatikan bahwa Tom Riddle sudah sangat mandiri, suka berahasia, dan tampaknya tak punya teman? Dia tak menginginkan bantuan atau teman dalam perjalanannya ke Diagon Alley. Dia lebih suka beroperasi sendiri. Voldemort dewasa sama. Kau akan mendengar banyak Pelahap Maut-nya menyatakan bahwa mereka dipercaya oleh Voldemort, bahwa hanya merekalah yang dekat dengannya, bahkan memahaminya. Mereka teperdaya. Lord Voldemort tak pernah punya teman, dan kurasa dia memang tidak menginginkannya." "Dan terakhir kuharap kau belum terlalu mengantuk untuk memperhatikan ini, Harry -- Tom Riddle muda senang mengoleksi trofi. Kau sudah melihat kotak berisi barang-barang curian yang disembunyikannya di kamarnya. Barang-barang itu diambilnya dari korban yang ditakut-takutinya, suvenir tindakan sihirnya yang tidak menyenangkan, bisa kau sebut begitu. Ingatlah kecenderungannya yang seperti burung namdur ini, karena ini akan penting sekali kelak." "Dan sekarang, betul-betul sudah waktunya tidur." Harry bangkit berdiri. Ketika dia menyeberangi ruangan, matanya memandang meja kecil tempat cincin Marvolo Gaunt terletak kali yang lalu. Cincin itu sudah tak ada di sana. "Ya, Harry?" kata Dumbledore, karena Harry berhenti melangkah. "Cincinnya tidak ada," kata Harry, berpaling. "Tapi saya pikir Anda mungkin punya harmonikanya atau yang lain.", Dumbledore berseri-seri, memandangnya dari atas kacamata bulan-separonya. "Sangat cerdik, Harry, tetapi harmonika itu hanyalah harmonika." Dan dengan kata-kata membingungkan ini dia melambai kepada Harry, yang mengerti bahwa dia di suruh pergi. 14. FELIX FELICIS Pelajaran pertama Harry esok paginya adalah Herbologi. Dia tak bisa menceritakan kepada Ron dan Hermione tentang pelajarannya dengan Dumbledore sewaktu sarapan karena takut ada yang mendengar, namun dia bercerita ketika mereka berjalan menyeberangi kebun sayur menuju rumah-rumah kaca. Angin brutal selama akhir minggu akhirnya reda, kabut aneh telah kembali dan mereka perlu waktu sedikit lebih lama daripada biasanya untuk menemukan rumah kaca yang benar. "Wow, mengerikan, Kau-Tahu-Siapa waktu masih anak-anak," kata Ron pelan, ketika mereka mengambil tempat di sekeliling salah satu batang Snargaluff berbonggol yang merupakan proyek mereka semester itu, dan mulai memakai sarung tangan pelindung. "Tapi aku masih tak mengerti kenapa Dumbledore memperlihatkan semua ini kepadamu. Maksudku, memang sih menarik, tapi apa tujuannya?" "Entahlah," kata Harry, memakai karet pelindung "Tapi dia bilang semuanya penting dan akan membantuku bertahan." "Menurutku itu menarik sekali," kata Hermione bergairah. "Masuk akal mengetahui sebanyak mungkin tentang Voldemort. Bagaimana lagi kau bisa mengetahui kelemahannya?" "Jadi, bagaimana pesta terakhir Slughorn?" Harry bertanya kurang jelas terhalang pelindung gigi. "Oh, cukup menyenangkan sebetulnya," kata Hermione, sekarang memakai kacamata pelindung. "Maksudku, dia banyak ngoceh tentang mantan-mantan murid yang tersohor, dan dia benar-benar menjilat McLaggen karena dia banyak punya koneksi, tapi dia memberi kami makanan yang benar-benar enak dan dia memperkenalkan kami kepada Gwenog Jones." "Gwenog Jones?" kata Ron, matanya melebar di balik kacamata pelindungnya. "Gwenog Jones yang itu? Kapten Holyhead Harpies?" "Betul," kata Hermione. "Menurutku sih Jones agak memuja diri sendiri, tapi-" "Cukup sudah obrolan di sana!" kata Profesor Sprout tegas, mendatangi mereka dan tampak galak. "Kalian ketinggalan, yang lain semua sudah mulai dan Neville sudah berhasil mendapatkan polong pertamanya!" Mereka berpaling. Betul saja, Neville duduk dengan bibir berdarah dan beberapa cakaran parah di salah satu pipinya, namun memegang benda menjijikkan berwarna hijau dan berdenyut, seukuran buah anggur. "Oke, Profesor, kami mulai sekarang!" kata Ron. Lalu menambahkan pelan setelah Profesor Sprout berbalik lagi, "Mestinya pakai Mufliato, Harry." "Tidak, tidak boleh!" kata Hermione segera, seperti biasanya tampak gusar teringat Pangeran Berdarah Campuran dan mantra-mantranya. "Nah, ayo ... sebaiknya kita mulai ... " Hermione memandang cemas mereka berdua. Mereka bertiga menarik napas dalam-dalam dan kemudian menyerbu batang berbonggol di depan mereka. Batang itu langsung hidup; sulur-sulur panjang berduri seperti belukar menjulur-julur dari bagian atasnya dan melecut-lecut di udara. Satu sulur membelit rambut Hermione dan Ron memukulnya mundur dengan gunting tanaman. Harry berhasil menangkap beberapa sulur dan mengikatnya bersama-sama. Sebuah lubang terbuka di tengah-tengah dahan yang seperti tentakel. Hermione memasukkan lengannya dengan berani ke dalam lubang ini, yang langsung menutup seperti perangkap di sekitar sikunya. Harry dan Ron menarik dan merenggut sulur-sulur itu, memaksa lubang itu membuka lagi dan Hermione menarik keluar tangannya, jari-jarinya menggenggam polong seperti polong Neville. Dalam sekejap sulur-sulur itu meluncur lagi ke dalam dan batang berbonggol itu kembali tampak seperti sepotong kayu tak berbahaya. "Kalian tahu, aku tak mau menanam ini di kebunku kalau aku punya rumah sendiri nanti," kata Ron mendorong kacamata pelindungnya ke atas kepala dan menyeka keringat dari wajahnya. "Ambilkan mangkuk," kata Hermione, memegang polong berdenyut itu di tangannya yang terjulur. Harry mengangsurkan mangkuk dan Hermione menjatuhkan polong ke dalamnya dengan wajah jijik. "Jangan gampang jijik, langsung pencet, paling baik kalau mereka masih segar!" seru Profesor Sprout. "Ngomong-ngomong, kata Hermione, melanjutkan obrolan mereka yang terputus, seolah tak ada sepotong kayu yang baru saja menyerang mereka, "Slughorn akan mengadakan pesta Natal, Harry, dan tak ada jalan kau bisa menghindari pesta ini, karena dia memintaku mengecek malam-malammu yang bebas, supaya dia bisa mengadakan pestanya pada malam yang kau pasti bisa datang." Harry mengeluh. Ron, sementara itu, yang sedang berusaha memencet polong di dalam mangkuk dengan menekankan kedua tangannya, berdiri dan memencet sekuat tenaga, berkata marah, "Dan ini pesta lain yang hanya untuk murid-murid favorit Slughorn, kan?" "Hanya untuk Klub Slug, ya," kata Hermione. Polong melesat dari bawah jari-jari Ron dan menghantam langit-langit rumah kaca, lalu terpental ke belakang kepala Profesor Sprout, menjatuhkan topi tuanya yang bertambal-tambal. Harry pergi mengambil polong itu. Sewaktu dia kembali, Hermione sedang berkata, "Dengar, bukan aku yang menciptakan nama 'Klub Slug'" "'Klub Slug'," Ron mengulang dengan seringai yang sama sangarnya dengan seringai Malfoy. "Kasihan deh. Yah, kuharap kau menikmati pestamu. kau tidak berusaha jadian dengan McLaggen, jadi Slughorn bisa meresmikan kalian sebagai Raja jadi Ratu Siput" "Kami diizinkan membawa teman," kata Hermione, yang entah kenapa wajahnya berubah merah pada,, "dan aku tadinya akan mengajakmu, tapi kalau kau berpendapat pestanya sekonyol itu, buat aku repot-repot!" Harry mendadak berharap polongnya terbang sedikit lebih jauh, sehingga dia tak perlu duduk di sana bersama mereka berdua. Kehadiranya tak disadari, dai menarik mangkuk yang berisi polong dan berusaha membukanya dengan cara-cara yang paling bising dan paling energik yang bisa dipikirkannya. Sayangnya, dia masih bisa mendengar setiap kata dari percakapan mereka. "Kau akan mengajakku?" tanya Ron, suaranya berubah total. "Ya," jawab Hermione berang. "Tapi kalau kau lebih suka aku jadian dengan McLaggen ... " Mereka diam sejenak sementara Harry terus memukuli polong dengan sekop. "Tidak," kata Ron, dengan suara amat pelan. Pukulan Harry meleset, memukul mangkuk alih-alih polong, dan mangkuknya pecah berkeping-keping. "Reparo" katanya buru-buru, menyentuh pecahannya dengan tongkat sihirnya, dan mangkuk itu utuh lagi. Namun bunyi mangkuk pecah itu rupanya meyadarkan Ron dan Hermione akan kehadiran Harry. Hermione tampak salah tingkah dan segera sibuk membuka-buka bukunya Pohon-Pohon Pemakan-Daging di Dunia untuk mencari cara yang benar memeras polong Snargaluff. Ron, sebaliknya, tampak malu-malu tapi juga agak berpuas diri. "Berikan padaku, Harry," kata Hermione buru-buru, "katanya kita disuruh menusuknya dengan sesuatu yang tajam ll Harry menyerahkan polong dalam mangkuk kepada Hermione, dia dan Ron kembali menarik kacamata pelindung menutupi mata mereka dan sekali lagi menyerbu batang pohon berbonggol itu. Dia sih sebetulnya tidak benar-benar terkejut, pikir Harry, sementara dia berkutat dengan sulur berduri yang berniat mencekiknya. Dia sudah. punya dugaan ini akan terjadi cepat atau lambat. Namun dia tak yakin bagaimana perasaannya tentang ini, dia dan Cho sekarang terlalu malu untuk saling pandang, apalagi untuk saling bicara. Bagaimana kalau Ron dan Hermione mulai pacaran, lalu putus? Bisakah persahabatan mereka bertahan? Harry teringat beberapa minggu ketika mereka saling mendiamkan waktu mereka kelas tiga; dia tidak menikmati berusaha menjembatani jarak di antara mereka. Dan kemudian, bagaimana jika mereka tidak putus? Bagaimana jika mereka menjadi seperti Bill dan Fleur, dan berada bersama mereka membuatnya menjadi sangat salah tingkah, sehingga untuk selamanya dia tersingkir? "Kena!" teriak Ron, menarik polong kedua dari dalam batang, tepat ketika Hermione berhasil membuka polong yang pertama, sehingga mangkuk sekarang pebuh akar umbi yang menggeliat-geliat seperti cacing hijau pucat. Sisa pelajaran berlangsung tanpa mereka menyebut-nyebut lagi pesta Slughorn. Meskipun Harry mengamati kedua sahabatnya dengan lebih teliti selama beberapa hari berikutnya, Ron dan Hermione tidak tampak berbeda kecuali bahwa mereka sedikit lebih sopan daripada biasanya terhadap masing-masing. Harry menganggap dia tinggal menunggu apa yang akan terjadi di bawah pengaruh Butterbeer dalam ruang Slughorn yang berlampu remang-remang pada malam pesta nanti. Untuk sementara ini, dia punya kecemasan yang lebih mendesak. Katie masih dirawat di Rumah Sakit St Mungo tanpa prospek akan pulang, yang berarti bahwa tim Gryffindor yang menjanjikan, yang telah dilatih Harry dengan cermat sejak bulan Desember, kekurangan satu Chaser. Dia terus-menerus menunda mencari pengganti Katie dengan harapan dia akan pulang, namun pertandingan pembuka mereka melawan Slytherin sudah akan berlangsung dan akhirnya dia harus menerima kenyataan bahwa Katie tak akan pulang pada waktunya untuk bermain. Harry merasa dia tak akan tahan menghadapi uji coba terbuka lagi. Dengan perasaan tertekan yang nyaris tak ada hubungannya dengan Quidditch, dia mendekati Dean Thomas sesudah pelajaran Transfigurasi pada suatu hari. Sebagian besar anak-anak sudah pergi, meskipun beberapa burung kuning yang berkicau masih berputar-putar dalam ruangan, semua ciptaan Hermione, tak ada anak lain yang berhasil menyulap bahkan sehelai bulu pun dari udara kosong. "Apakah kau masih berminat bermain sebagai Chaser?" "Ap-? Yeah, tentu saja!" kata Dean bersemangat. Lewat atas bahu Dean, Harry melihat Seamus Finnigan menjejalkan buku-bukunya ke dalam tas, tampangnya masam. Salah satu alasan kenapa Harry sebetulnya lebih suka tidak meminta Dean bermain adalah karena dia tahu Seamus tidak akan suka. Sebaliknya, Harry harus melakukan apa yang terbaik bagi tim, dan Dean terbang mengalahkan Seamus dalam uji coba. "Nah, kalau begitu kau masuk tim," kata Harry. "Ada latihan malam ini, jam tujuh." "Baik" kata Dean. "Trims, Harry! Wah, aku sudah tak sabar mau memberitahu Ginny!" Dia berlari keluar ruangan, meninggalkan Harry dan Seamus berdua saja, saat tidak menyenangkan yang tidak menjadi lebih enak ketika ada kotoran burung mendarat di kepala Seamus, selagi salah satu kenari Hermione meluncur di atas mereka. Seamus bukan satu-satunya yang tidak puas atas pilihan pengganti Katie. Ada banyak kasak-kusuk dalam ruang rekreasi tentang fakta bahwa Harry sekarang telah memilih dua teman sekelasnya sebagai anggota tim. Berhubung Harry sudah menerima kasak-kusuk yang lebih buruk daripada ini dalam kariernya di sekolah, dia tidak begitu terganggu, namun tetap saja tekanan untuk memenangkan pertandingan yang akan datang melawan Slytherin semakin besar. Jika Gryffindor menang, Harry tahu seluruh asrama akan bersumpah bahwa mereka telah mengkritiknya dan bersumpah bahwa mereka dari awal sudah tahu tim itu tim hebat. Jika mereka kalah ... yah, harry membatin kecut, dia toh sudah pernah menderita kasak-kusuk yang lebih parah. Harry tak punya alasan menyesali pilihannya begitu dia melihat Dean terbang malam itu. Dean bekerja sama baik dengan Ginny dan Demelza. Kedua Beater, Peakes dan Coote, semakin lama semakin baik. Satu-satunya masalah hanyalah Ron. Harry sudah tahu Ron pemain tidak konsisten yang gampang senewen dan kurang percaya diri, dan celakanya, prospek pertandingan pembukaan untuk musim ini yang semakin mendekat membuat semua rasa tidak amannya keluar. Setelah kebobolan setengah lusin gol, sebagian besar dicetak oleh Ginny, teknik Ron semakin lama semakin liar, sampai akhirnya dia meninju Demelza yang terbang mendekat pada mulutnya. "Itu kecelakaan, sori, Demelza, aku benar-benar minta maaf!" Ron berteriak di belakang Demelza yang terbang zig-zag turun ke tanah, darah bercucuran di mana-mana. "Aku hanya-" "Panik," kata Ginny marah, mendarat di sebelah Demelza dan memeriksa bibirnya yang rata. "Dasar bego, kau, Ron, lihat keadaannya!" "Aku bisa membetulkannya," kata Harry, mendarat di sebelah kedua gadis itu, mengarahkan tongkat sihirnya ke mulut Demelza dan berkata "Episkey". "Dan, Ginny, jangan membego-begokan Ron, kau bukan kapten tim ini-" "Nah, kau tampaknya terlalu sibuk untuk membegobegokan dia dan menurutku harus ada yang mengatakannya-" Harry memaksa diri agar tidak tertawa. "Naik lagi, semua, kita mulai lagi ... " Secara keseluruhan itu latihan mereka yang terburuk sepanjang semester ini, meskipun demikian Harry berpendapat tidaklah bijaksana menerapkan kejujuran adalah yang terbaik, mengingat waktu pertandingan sudah begini dekat. "Kerja bagus, kawan-kawan, kurasa kita akan menggilas Slytherin," dia berkata cerah, dan para Chaser dan Beater meninggalkan ruang ganti dengan wajah cukup cerah. "Aku bermain seperti sekarung kotoran naga," kata Ron dengan suara hampa, ketika pintu sudah menutup di belakang Ginny. "Tidak," kata Harry tegas. "Kau Keeper terbaik yang kuujicoba, Ron. Satu-satunya masalahmu adalah senewen." Harry terus memberikan semangat sepanjang perjalanan pulang ke kastil, dan saat mereka tiba di lantai dua Ron sudah tampak sedikit lebih ceria. Namun, ketika Harry mendorong permadani hias untuk mengambil jalan pintas menuju Menara Gryffindor, ternyata mereka melihat Dean dan Ginny, yang sedang berpelukan erat dan berciuman mesra, seakan direkat dengan lem. Rasanya ada sesuatu yang besar dan bersisik mendadak hidup dalam perut, Harry, mencakari organ-organ dalamnya: darah panas seakan mengaliri otaknya, sehingga semua pikiran dipadamkan, digantikan keinginan liar untuk mengutuk Dean menjadi agar-agar. Bergulat dengan kegilaan mendadak ini, dia mendengar suara Ron seakan dari tempat yang sangat jauh. "Oi!" Dean dan Ginny memisahkan diri dan menoleh. "Apa?", kata Ginny. "Aku tak mau menemukan adikku ciuman di depan umum!" "Ini koridor kosong sebelum kalian muncul mengganggu" kata Ginny. Dean tampak malu. Dia nyengir salah tingkah kepada Harry, namun Harry tidak membalas, karena monster yang baru lahir dalam dirinya meraung agar Dean langsung dikeluarkan dari tim. "Er ... yuk, Ginny," ajak Dean, "kita kembali ke ruang rekreasi ... " "Kau duluan!" kata Ginny. "Aku mau bicara dengan kakakku tersayang!" Dean pergi, kelihatannya dia tidak menyesal meninggalkan situasi itu. "Baik," kata Ginny, menyibak rambut merahnya yang panjang dari wajahnya dan memelototi Ron, "kita luruskan ini supaya jelas. Bukan urusanmu dengan siapa aku berkencan atau apa yang kulakukan dengan mereka, Ron-" N "Yeah, itu urusanku!" sanggah Ron, sama marahnya. "Kaupikir aku mau orang-orang mengatakan adikku adalah-" "Adaian apa: teriak Ginny, mencabut tongkat sihirnya. "Adalah apa tepatnya?" "Dia tidak bermaksud apa-apa, Ginny-" kata Harry otomatis, meskipun monsternya meraungkan persetujuannya atas kata-kata Ron. "Oh ya, dia mengata-ngataiku" kata Ginny, menjadi panas terhadap Harry. "Hanya karena dia belum pernah berciuman dengan siapa pun seumur hidupnya, hanya karena ciuman terbaik yang pernah diterimanya adalah ciuman dari bibi kami Muriel-" "Tutup mulutmu!" bentak Ron, langsung merah padam tanpa melewati merah dulu. "Tidak, aku tak mau tutup mulut!" teriak Ginny, tak dapat menguasai diri. "Aku sudah melihatmu dengan Dahak, berharap dia akan mencium pipimu setiap kali kau bertemu dengannya. Kasihan deh, kau! Jika kau sendiri kencan dan ciuman, kau tak akan begitu keberatan orang lain melakukannya!" Ron telah mencabut tongkat sihirnya juga; Harry dengan cepat melangkah di antara mereka. "Kau tak tahu apa yang kaubicarakan!" raung Ron, berusaha menyerang Ginny melewati Harry, yang sekarang berdiri di depan Ginny dengan tangan terentang. "Hanya karena aku tidak melakukannya di depan umum-!" Ginny tertawa mengejek, berusaha menyingkirkan Harry. "Habis nyiumin Pigwidgeon, ya? Atau kau menyimpan foto Bibi Muriel di bawah bantalmu?" "Kau-" Kilatan cahaya jingga meluncur dari bawah lengan kiri Harry dan nyaris saja mengenai Ginny, hanya meleset beberapa senti. Harry mendorong Ron ke dinding. "Jangan bodoh-" "Harry mencium Cho Chang!" teriak Ginny, yang sekarang kedengarannya hampir menangis. "Dan Hermione mencium Viktor Krum, hanya kau yang bersikap seakan ciuman itu sesuatu yang menjijikkan, Ron, dan itu karena pengalamanmu sama banyaknya dengan anak dua belas tahun!" Usai berkata begitu, Ginny pergi. Harry cepat-cepat melepaskan Ron. Tampang Ron seperti orang yang siap membunuh. Mereka berdua berdiri di sana, bernapas berat, sampai Mrs Norris, kucing Filch, muncul dari belokan, memecah ketegangan. "Ayo," ajak Harry, ketika bunyi kaki Filch yang diseret mencapai telinga mereka. Mereka bergegas menaiki tangga dan berjalan sepanjang koridor lantai tujuh. "Oi, minggir!" bentak Ron pada seorang anak perempuan kecil yang terlonjak ketakutan dan menjatuhkan sebotol telur katak. Harry hampir tak menyadari bunyi botol yang pecah. Dia merasa bingung, pusing; tersambar petir pastilah begini rasanya. Ini hanya karena dia adik Ron, dia memberitahu diri sendiri. Kau tidak suka melihatnya mencium Dean hanya karena dia adik Ron. Namun tanpa bisa dicegah muncullah dalam benaknya bayangan koridor kosong yang sama, dengan dirinya yang mencium Ginny ... monster di dalam dadanya mendengkur senang ... tetapi kemudian dilihatnya Ron menarik terbuka permadani hias dan mengacungkan tongkat sihirnya kepada Harry, meneriakkan tuduhan-tuduhan seperti "pelanggaran kepercayaan" ... "katanya kau temanku" ... "Menurutmu Hermione benar mencium Krum?" Ron bertanya tiba-tiba, ketika mereka sudah dekat si Nyonya Gemuk. Harry tersentak dan merasa bersalah. Direnggutkannya khayalannya menjauh dari koridor yang tak didatangi Ron yang mengganggu, koridor tempat dia dan Ginny hanya berdua saja "Apa?" tanyanya bingung. "Oh ... er ... " Jawaban yang jujur adalah "ya", tetapi dia tak ingin memberikannya. Meskipun demikian Ron rupanya menyimpulkan yang terburuk dari ekspresi di wajah Harry. "Dilligrout," katanya muram kepada si Nyonya Gemuk, dan mereka memanjat masuk melalui lubang lukisan ke dalam ruang rekreasi. Tak seorang pun dari mereka menyebut-nyebut Ginny atau Hermione lagi. Malah, mereka nyaris tak saling bicara malam itu dan pergi tidur dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lama Harry berbaring tak bisa tidur, memandang langit-langit kelambu tempat tidurnya dan berusaha meyakinkan diri bahwa perasaannya terhadap Ginny sepenuhnya perasaan kakak terhadap adiknya. Bukankah mereka hidup bersama seperti kakak dan adik sepanjang musim panas, bermain Quidditch, menggoda Ron, dan menertawakan Bill dan Dahak? Dia sudah mengenal Ginny selama beberapa tahun sekarang ... wajar kalau dia merasa protektif ... wajar kalau dia ingin menjaganya ... ingin mencabik-cabik Dean karena menciumnya ... tidak ... dia harus mengontrol perasaan kakak-adik khusus yang ini ... Ron mendengkur. Dia adik Ron, Harry menegur dirinya dengan tegas. Adik Ron. Dia terlarang. Dia tak mau mempertaruhkan persahabatannya dengan Ron demi apa pun. Dia meninju bantalnya ke bentuk yang lebih nyaman dan menunggu datangnya kantuk, berusaha keras tidak membiarkan pikirannya melayang ke dekat-dekat Ginny. Harry terbangun keesokan harinya merasa agak linglung dan bingung gara-gara tidurnya diganggu sederet impian dan dalam mimpinya dia dikejar-kejar Ron yang membawa pemukul Beater, namun tengah harinya dia dengan senang hati menukar Ron dalam impiannya dengan Ron yang sebenarnya, yang tidak hanya mendiamkan Ginny dan Dean, namun juga memperlakukan Hermione yang sakit hati dan bingung dengan sikap tak peduli yang dingin dan mencemooh. Lebih-lebih lagi, dalam semalam Ron tampaknya berubah menjadi gampang tersinggung dan gampang marah seperti Skrewt Ujung-Meletup. Harry melewatkan hari itu berusaha mendamaikan Ron dan Hermione, namun sia-sia saja. Akhirnya Hermione pergi tidur dengan mendongkol dan Ron berjalan ke kamar anak laki-laki setelah menyumpah-nyumpah marah pada beberapa anak kelas satu yang ketakutan, hanya karena anak-anak itu memandangnya. Betapa kecewanya Harry, agresi baru Ron ini tidak mereda selama beberapa hari berikutnya. Yang lebih buruk lagi, kemampuannya sebagai Keeper juga mecuram, dan membuatnya semakin agresif, sehingga dalam latihan final Quidditch sebelum pertandingan pada hari Sabtu, dia gagal menangkap semua gol yang diarahkan Chaser kepadanya, namun rnembentak-bentak semua pemain lain terus-menerus, sampai Demelza Robins menangis. "Tutup mulut dan jangan ganggu dia!" teriak Peakes, yang tingginya cuma dua per tiga Ron, namun membawa pemukul yang berat. "CUKUP!" bentak Harry, yang sudah melihat Ginny mendelik ke arah Ron, dan teringat reputasinya sebagai ahli Kutukan Kepak-Kelelawar. Harry meluncur mendekati mereka untuk menengahi sebelum situasi menjadi tak terkendali. "Peakzes, simpan Bludger-nya. Demelza, kuasai dirimu, kau bermain baik hari ini. Ron ... " dia menunggu sampai anggota tim yang lain sudah di luar jangkauan pendengaran sebelum mengatakannya, "kau sahabatku terkarib, tapi kalau kau terus memperlakukan anggota tim yang lain seperti tadi, aku akan mengeluarkanmu dari tim." Sejenak dia benar-benar mengira Ron mungkin akan memukulnya, tetapi sesuatu yang jauh lebih buruk terjadi. Ron tampak merosot di atas sapunya, semua keinginan melawan tampaknya telah meninggalkan dirinya, dan dia berkata, "Aku mengundurkan diri, aku parah sekali." "Kau tidak parah dan kau tidak mengundurkan diri!" kata Harry tegas, menyambar bagian depan jubah Ron. "Kau bisa menangkap apa saja kalau kau sedang oke, sakitmu ini mental, kaitannya dengan jiwa!" "Kau mengataiku sakit jiwa?" "Yeah, mungkin begitu!" Mereka saling melotot selama beberapa saat, kemudian Ron menggelengkan kepala dengan letih. "Aku tahu kau tak punya waktu lagi untuk mencari Keeper lain, jadi aku akan bermain besok pagi, tapi kalau kita kalah, dan kita pasti kalah, aku akan mengeluarkan diri dari tim." Apa pun yang dikatakan Harry tak membawa hasil. Harry berusaha membesarkan semangat Ron selama makan malam, tetapi Ron terlalu sibuk marah dan bermuka masam kepada Hermione sehingga tidak memperhatikannya. Harry melanjutkannya di ruang rekreasi, namun pernyataan tegasnya bahwa seluruh tim akan kecewa berat jika Ron mundur agak diruntuhkan oleh fakta bahwa para anggota tim yang lain duduk bergerombol di sudut yang jauh, jelas sedang kasak-kusuk tentang Ron dan melempar pandang sebal ke arahnya. Akhirnya, Harry mencoba marah lagi dengan harapan bisa memprovokasi Ron agar bersikap menantang dan mudah-mudahan bertekad akan menyelamatkan gol, namun strategi ini sama tak berhasilnya seperti dorongan semangat. Ron pergi tidur dengan masih patah semangat dan tanpa harapan seperti sebelumnya. Harry berbaring terjaga lama sekali dalam kegelapan. Dia tak ingin kalah dalam pertandingan besok. Bukan hanya ini pertama kalinya dia sebagai Kapten, namun dia bertekad mengalahkan Draco Malfoy dalam Quidditch, sekalipun dia belum bisa membuktikan kecurigaannya terhadap Draco. Tetapi, kalau Ron bermain seperti dalam beberapa kali latihan belakangan ini, kemungkinan mereka menang tipis sekali ... Kalau saja ada sesuatu yang bisa dilakukannya untuk membuat Ron menguasai diri ... membuatnya bermain dalam kondisi top ... sesuatu yang bisa memastikan bahwa besok hari yang benar-benar menyenangkan bagi Ron ... Dan jawabannya datang mendadak kepada Harry dalam bentuk inspirasi yang gilang-gemilang. Suasana sarapan meriah seperti biasanya esok paginya. Anak-anak Slytherin mendesis dan mem-buu keras-keras setiap ada anggota tim Gryffindor yang memasuki Aula Besar. Harry memandang sekilas langit-langit dan melihat langit yang cerah, biru pucat: pertanda yang baik. Meja Gryffindor, yang seluruhnya berwarna merah dan emas, bersorak ketika Harry dan Ron datang. Harry nyengir dan melambai; Ron menyeringai lemah dan menggelengkan kepala. "Bergembiralah, Ron!" seru Lavender. "Aku tahu kau pasti hebat!" Ron tidak mengindahkannya. "Teh?" Harry bertanya. "Kopi? Jus labu kuning?" "Apa saja," kata Ron murung, menggigit roti panggang dengan lesu. Beberapa menit kemudian Hermione, yang sudah sangat bosan dengan sikap sangar Ron belakangan ini sehingga tidak turun sarapan bersama mereka, berhenti dalam perjalanan ke tempat duduknya. "Bagaimana perasaan kalian berdua?" dia bertanya hati-hati, matanya menatap belakang kepala Ron. "Baik," kata Harry, yang sedang berkonsentrasi mengulurkan segelas jus labu kuning kepada Ron, "Ini, Ron. Minumlah sampai habis." Ron baru saja mengangkat gelasnya ke bibir ketika Hermione berkata tajam. "Jangan minum itu, Ron!" Baik Harry maupun Ron mengangkat muka menatapnya. "Kenapa tidak boleh?" tanya Ron. Hermione sekarang menatap Harry seolah dia tidak memercayai matanya. "Kau baru saja memasukkan sesuatu ke dalam minuman itu." "Maaf?" kata Harry. "Kau mendengarku. Aku tadi melihatmu. Kau menuang sesuatu ke dalam minuman Ron. Botolnya masih ada di tanganmu sekarang!" "Aku tak tahu kau omong apa," kata Harry, buru-buru menyimpan kembali botol kecilnya ke dalam saku. "Ron, kuperingatkan kau, jangan meminumnya!" Hermione berkata lagi, cemas, namun Ron mengambil gelasnya, menghabiskannya dalam sekali teguk dan berkata, "Berhentilah memerintah-merintahku, Hermione." Hermione tampak sangat tersinggung. Membungkuk rendah sehingga hanya Harry yang bisa mendengarnya dia mendesis, "Kau mestinya dikeluarkan karena itu. Aku tak percaya kau melakukan itu, Harry!" "Dengar siapa yang bicara," Harry balas berbisik. "Membuat orang bingung lagi belakangan ini?" Hermione langsung meninggalkan mereka. Harry memandangnya pergi tanpa penyesalan. Hermione tak pernah benar-benar memahami betapa seriusnya urusan Quidditch. Dia kemudian berpaling, memandang Ron yang sedang mencecap-cecap bibirnya. "Sudah hampir waktunya," kata Harry gembira. Rumput yang bersalju berderik di bawah kaki mereka ketika mereka berjalan ke stadion. "Untung sekali cuacanya sebagus ini, eh?" kata Harry kepada Ron. "Yeah," kata Ron, yang pucat seperti orang sakit. Ginny dan Demelza sudah memakai seragam Quidditch mereka dan menunggu di ruang ganti. "Kondisinya tampak ideal," kata Ginny, mengabaikan Ron. "Dan coba tebak? Chaser Slytherin Vaisey kepalanya kena hantam Bludger kemarin waktu mereka latihan, dan sekarang masih sakit sehingga tak bisa bermain! Dan yang lebih bagus daripada itu Malfoy juga sakit!" "Apa?" kata Harry, berputar di tempat untuk memandang Ginny. "Dia sakit? Kenapa dia?" "'Tahu deh, tapi kan bagus untuk kita," kata Ginny cerah. "Sebagai gantinya mereka memasang Harper; dia seangkatan denganku dan dia idiot." Harry tersenyum samar, namun ketika dia memakai jubah merahnya, pikirannya jauh dari Quidditch. Malfoy sebelumnya pernah menyatakan dia tak bisa bermain karena luka, tetapi dalam kesempatan itu dia memastikan semua pertandingan dijadwalkan ulang ke waktu yang lebih cocok untuk Slytherin. Kenapa sekarang dia membiarkan orang lain menggantikannya? Apakah dia benar-benar sakit, atau cuma pura-pura saja?" "Mencurigakan, ya?" katanya pelan kepada Ron "Malfoy tidak ikut main?" "Beruntung, menurutku," kata Ron, tampak sedikit lebih bersemangat. "Dan Vaisey tidak main juga, dia pencetak gol terbaik mereka, tak kusangka hei ikatanya tiba-tiba, membeku dan berhenti setengah jalan memakai sarung tangan Keepernya dan menatap Harry. "Apa?" "Aku ... kau ..." Ron telah memelankan suaranya, dia tampak takut sekaligus bergairah. "Minumanku ... jus labu kuningku ... kau tidak?" Harry mengangkat alisnya, namun tidak berkata apa-apa, kecuali, "Kita mulai kira-kira lima menit lagi, sebaiknya kaupakai botmu." Mereka berjalan memasuki stadion disambut sorakan dan teriak "buu" yang gegap-gempita. Salah satu sisi stadion total berwarna merah dan emas; sisi lainnya lautan hijau dan perak. Anak-anak Hufflepuff dan Ravendaw ada yang berpihak ke Gryffindor, ada pula yang ke Slytherin. Di antara riuh-rendahnya teriakan dan tepukan, Harry bisa mendengar sayup-sayup raungan topi berkepala-singa Luna yang terkenal. Harry melangkah ke Madam Hooch, wasit mereka, yang sudah siap melepas bola-bola dari dalam kotaknya. "Kapten, jabat tangan," katanya, dan Harry merasa tangannya diremuk oleh kapten baru Slytherin, Urquhart. "Naik ke atas sapu kalian. Mulai pada tiupan peluit ... tiga ... dua ... satu ... " peluit berbunyi, Harry dan yang lain menjejak keras-keras dari tanah yang membeku dan melesat ke angkasa. Harry terbang mengitari stadion, mencari Snitch dan sebelah matanya mengawasi Harper, yang terbang zig-zag jauh di bawahnya. Kemudian suara yang berbeda daripada suara komentator yang biasanya menggelegar terdengar. "Nah, mereka terbang, dan kurasa kita semua heran melihat tim yang dibentuk Potter tahun ini. Banyak yang tadinya mengira, melihat penampilan Ronald Weasley yang setengah-setengah sebagai Keeper tahun lalu, dia akan keluar dari tim, tapi tentu saja, persahabatan erat dengan si Kapten membantu ... " Kata-kata ini disambut dengan teriakan cemooh dan aplaus dari pihak Slytherin. Harry menoleh menjulurkan leher dari atas sapunya untuk melihat ke podium komentator. Seorang anak laki-laki jangkung, kurus, berambut pirang, dengan hidung mencuat berdiri di sana, berbicara di depan megafon sihir menggantikan Lee Jordan. Harry mengenali Zacharias Smith, seorang pemain Hufflepuff yang sangat tidak disukainya. "Oh, dan sekarang usaha pertama Slytherin untuk mencetak gol. Urquhart melesat menyeberangi lapangan dan-" Perut Harry berjumpalitan. "-Weasley menyelamatkan gawangnya, yah, kadang-kadang bisa saja dia beruntung, kurasa ... " "Betul. Smith, memaniz bisa," gumam Harry, nyengir kepada diri sendiri, seraya menukik ke antara para Chaser dengan pandangan terarah ke segala jurusan, mencari jejak Snitch yang sukar ditangkap. Selewat setengah jam Gryffindor memimpin enam puluh lawan nol, Ron berhasil menyelamatkan gawangnya dengan tangkapan-tangkapan yang benar-benar spektakuler, beberapa bahkan dengan ujung jari sarung tangannya, dan Ginny mencetak empat dari enam gol Gryffindor. Ini secara efektif menghentikan ocehan Zacharias yang mempertanyakan keraskeras apakah kedua Weasley berada dalam tim hanya karena Harry menyukai mereka, dan dia berganti menyerang Peakes dan Coote. "Tentu saja, sosok Coote tidak seperti sosok Beater pada umumnya," kata Zacharias sok, "mereka biasanya lebih berotot " "Pukul Bludger ke arahnya!" seru Harry kepada Coote ketika dia meluncur melewatinya, tetapi Coote, nyengir lebar, memilih mengarahkan Bludger berikutnya kepada Harper, yang baru saja berpapasan dengan Harry, terbang ke arah yang berlawanan. Harry senang mendengar bunyi blug teredam yang berarti Bludger telah mengenai sasarannya. Tampaknya seolah Gryffindor tak bisa berbuat salah. Lagi dan lagi mereka mencetak gol, dan lagi dan lagi, di ujung lapangan, Ron menyelamatkan gawang dengan santai. Dia malah tersenyum sekarang, dan ketika penonton menyambut tangkapan yang hebat dengan koor membahana lagu favorit Weasley Raja Kami, dia bersikap seperti raja yang membalas sambutan rakyatnya dari singgasananya yang tinggi. "Mengira dia istimewa hari ini, rupanya," kata suara mencemooh, dan Harry nyaris terjungkal dari sapunya ketika Harper dengan sengaja menabraknya keras-keras. "Temanmu si darah-pengkhianat ... " Madam Hooch memunggungi mereka, dan meskipun anak-anak Gryffindor di bawah berteriak-teriak marah, ketika Madam Hooch berputar Harper sudah melesat pergi. Dengan bahu sakit, Harry meluncur mengejarnya, bertekad akan membalas menabraknya ... "Dan kurasa Seeker Slytherin Harper sudah melihat Snitch-nya!" kata Zacharias Smith lewat megafonnya. "Ya, dia jelas sudah melihat sesuatu yang tak dilihat Potter!" Smith benar-benar idiot, pikir Harry, tidakkah dia melihat mereka bertabrakan? Tetapi detik berikutnya, hati Harry serasa mencelos jatuh dari langit Smith benar dan Harry keliru. Harper tidak asal saja melesat ke atas; dia telah melihat apa yang tidak dilihat Harry: Snitch meluncur tinggi di atas mereka, gemerlap berkilauan dilatari langit biru yang cerah. Harry menambah kecepatan terbangnya; angin berkesiur di telinganya sehingga menenggelamkan semua suara, baik komentar Smith maupun teriakan penonton. Namun Harper tetap berada di depan, dan Gryffindor hanya unggul seratus angka. Jika Harper berhasil menangkapnya, Gryffindor akan kalah ... dan sekarang Harper tinggal beberapa meter dari Snitch, tangannya terjulur ... "Oi, Harper!" teriak Harry putus asa. "Berapa banyak Malfoy membayarmu untuk menggantikannya?" Harry tak tahu apa yang membuatnya mengatakan itu, namun Harper terperanjat, dia geragapan menangkap Snitch, membiarkannya lolos lewat jari-jarinya dan meluncur melewatinya. Harry melesat menyongsong bola mungil yang sayapnya berkepak-kepak itu dan menangkapnya. "YES!" Harry berteriak. Seraya berputar dia meluncur ke tanah, Snitch diangkat tinggi-tinggi di tangannya. Ketika penonton menyadari apa yang telah terjadi, teriakan gegap gempita menggelegar, nyaris menenggelamkan bunyi peluit yang menandakan pertandingan telah berakhir. "Ginny, kau mau ke mana?" teriak Harry, yang terperangkap dalam pelukan di tengah udara dengan teman- teman timnya, namun Ginny melesat melewati mereka sampai, dengan bunyi gemuruh, dia menabrak podium si komentator. Sementara penonton menjerit dan tertawa, tim Gryffindor mendarat dekat tumpukan serpihan kayu, di bawahnya Zacharias bergerak lemah. Harry mendengar Ginny berkata riang kepada Profesor McGonagall yang berang, "Lupa mengerem, Profesor, maaf." Tertawa, Harry melepaskan diri dari anggota tim yang lain dan memeluk Ginny, namun cepat-cepat melepasnya lagi. Menghindari tatapannya, Harry ganti menepuk riang punggung Ron ketika, semua permusuhan terlupakan, tim Gryffindor meninggalkan lapangan bergandengan tangan, mengacungkan tinju ke udara, dan melambai kepada suporter mereka. Suasana di ruang ganti pakaian sangat riang gembira. "Pesta di ruang rekreasi, kata Seamus!" seru Dean kegirangan. "Ayo, Ginny, Demelza!" Ron dan Harry adalah orang terakhir yang berada di ruang ganti. Mereka baru saja akan pergi, ketika Hermione masuk. Dia memilin-milin syal Gryffindor di tangannya dan tampak cemas, namun mantap. "Aku mau bicara denganmu, Harry." Dia menarik napas dalam-dalam. "Kau mestinya tak boleh melakukannya. Kau sudah mendengar apa kata Slughorn, itu ilegal." "Apa yang akan kaulakukan, melaporkan kami?" tuntut Ron. "Apa sih yang kalian bicarakan?" tanya Harry, berbalik untuk menggantungkan jubahnya sehingga mereka berdua tak melihatnya nyengir. "Kau tahu betul apa yang kami bicarakan!" kata Hermione nyaring. "Kau membubuhkan ramuan keberuntungan pada minuman Ron pada waktu sarapan! Felix Felicis!" "Tidak!" kata Harry, berbalik kembali untuk menghadapi mereka berdua. "Ya, Harry, dan itulah sebabnya segalanya menjadi beres, ada pemain-pemain Slytherin yang tidak ikut bermain dan Ron menangkap semua bola!" "Aku tidak membubuhkan apa-apa!" kata Harry, sekarang nyengir lebar. Dia memasukkan tangannya ke saku jaketnya dan mengeluarkan botol mungil yang dilihat Hermione ada di tangannya pagi tadi. Botol itu penuh berisi ramuan dan gabusnya masih disegel rapat dengan lilin. "Aku ingin Ron berpikir aku melakukannya, maka aku berpura-pura menuangnya ketika aku tahu kau melihatku." Harry memandang Ron, "Kau menangkap semua bola karena iau merasa beruntung. Kau melakukannya sendiri." Dia mengantongi ramuannya lagi. "Jadi, benar-benar tak ada apa-apa di dalam jus labu kuningku?" Ron bertanya, terperangah. "Tapi cuaca baik ... dan Vaisey tak bisa bermain ... aku benar-benar tidak diberi ramuan keberuntungan?" Harry menggelengkan kepala. Ron ternganga memandangnya sejenak, kemudian berpaling menghadapi Hermione, menirukan suaranya. "Kau membubuhkan Felix Felicis pada jus Ron tadi pagi, itulah sebabnya dia berhasil menangkap semua bola! Lihat! Aku bisa menyelamatkan gawang tanpa bantuan, Hermione!" "Aku tak pernah mengatakan kau tak bisa -- Ron, kau tadinya juga mengira jusmu diberi ramuan keberuntungan!" Namun Ron sudah melewatinya keluar dari pintu dengan sapu di atas bahunya. "Er," kata Harry dalam keheningan yang mendadak muncul; dia tak mengira rencananya akan berbalik menyerang seperti ini, "bagaimana ... bagaimana kalau kita ke pesta sekarang?" "Kau pergilah!" kata Hermione, mengedip menahan jatuhnya air matanya. "Aku kesal pada Ron saat ini, aku tak tahu apa salahku ... " Dan Hermione berlari meninggalkan ruang ganti juga. Harry berjalan perlahan menuju kastil, melewati kerumunan teman-temannya, banyak di antaranya menyerukan ucapan selamat kepadanya, namun dia merasa sangat terpukul. Dia tadinya yakin bahwa jika Ron memenangkan pertandingan, dia dan Hermione akan langsung rukun lagi. Dia tak tahu bagaimana dia bisa menjelaskan kepada Hermione bahwa yang telah dilakukannya yang membuat Ron sakit hati adalah berciuman dengan Viktor Krum, karena peristiwa itu terjadinya sudah lama sekali. Harry tidak melihat Hermione dalam pesta kemenangan Gryffindor, yang sedang ramai-ramainya ketika dia tiba. Sorakan dan tepuk tangan kembali terdengar menyambut kemunculannya dan dia segera diserbu kerumunan anak-anak yang memberinya selamat. Dia bersusah-payah menyingkirkan kakak-beradik Creevey, yang menginginkan analisa pertandingan secara terperinci, dan serombongan besar cewek yang mengerumuninya, tertawa mendengar komentarnya yang sama sekali tidak lucu, dan mengerjap-ngerjapkan bulu mata mereka; perlu waktu beberapa lama baginya sebelum dia bisa mencari Ron. Akhirnya, dia berhasil membebaskan diri dari Romilda Vane, yang terang-terangan memberi isyarat bahwa dia ingin pergi ke pesta Slughorn bersamanya. Ketika menyelinap menuju meja minuman dia berpapasan dengan Ginny, Arnold si Pigmy Puff bertengger di bahunya dan Crookshanks mengeong penuh harap di kakinya. "Mencari Ron?" tanyanya, mencibir. "Di sana tuh, munafik brengsek." Harry memandang ke sudut yang ditunjuk Ginny. Di sana, di depan seluruh ruangan, Ron berdiri berpelukan erat dengan Lavender Brown, sampai sulit mengatakan tangan siapa yang mana. "Kelihatannya Ron memakan wajahnya, kan?" kata Ginny tenang. "Tapi kurasa dia harus memperhalus tekniknya dulu. Permainan bagus, Harry." Ginny membelai lengannya; Harry merasa seperti melayang, namun kemudian Ginny pergi untuk mengambil Butterbeer. Crookzhanks membuntutinya, matanya yang kuning terpancang pada Arnold. Harry berpaling dari Ron, yang tampaknya tak akan segera sadar, tepat saat itu dilihatnya lubang lukisan menutup. Dengan hati mencelos dia merasa melihat rambut cokelat lebat menghilang dari pandangan. Harry berlari menyusul, mengelak dari Romilda Vane lagi, dan mendorong terbuka lukisan Nyonya Gemuk. Koridor di luar tampaknya kosong. "Hermione?" Harry menemukannya dalam ruang kelas tak terkunci pertama yang dibukanya. Dia sedang duduk di meja guru, sendirian, hanya ditemani lingkaran kecil burung-burung kuning yang berkicau mengitari kepalanya, yang pasti baru saja disihirnya dari udara kosong. Harry mau tak mau mengagumi kemampuannya menguasai mantra dalam situasi seperti ini. "Oh, halo, Harry," katanya dengan suara getas. "Aku cuma berlatih." "Yeah ... mereka-er-benar-benar bagus ... " kata Harry. Harry tak tahu harus berkata apa kepadanya. Dia sedang bertanya dalam hati apakah ada kemungkinan Hermione tidak melihat Ron, bahwa dia hanya meninggalkan ruangan karena pestanya agak terlalu ramai, ketika Hermione berkata, dengan suara tinggi nyaring yang tidak wajar, "Ron kelihatannya menikmati pesta kemenangan." "Er ... betulkah?" kata Harry. "Jangan berpura-pura kau tidak melihatnya," kata Hermione. "Dia toh tidak menyembunyikannya, malah-" Pintu di belakang mereka menjeblak terbuka. Betapa kagetnya Harry, Ron masuk, tertawa-tawa, menarik tangan Lavender. "Oh," katanya, berhenti mendadak melihat Harry dan Hermione. "Uups!" kata Lavender, dan dia keluar dari ruangan, terkikik. Pintu mengayun menutup di belakangnya. Keheningan yang menyusul sungguh menegangkan dan menyesakkan. Hermione menatap Ron, yang menolak memandangnya, namun berkata dengan campuran antara besar mulut dan salah tingkah, "Hai, Harry! Pantas aku tidak melihatmu!" Hermione meluncur turun dari meja. Lingkaran kecil burung-burung keemasan terus berkicau mengitari kepalanya, sehingga dia tampak seperti model tata surya yang ajaib dan berbulu. "Jangan biarkan Lavender menunggu di luar," katanya pelan. "Dia akan bertanya-tanya kau ke mana." Hermione berjalan sangat perlahan dan tegak ke arah pintu. Harry mengerling Ron, yang tampak lega tak ada hal lebih buruk yang terjadi. "Oppugno!" terdengar teriakan dari pintu. Harry berputar dan melihat Hermione mengacungkan tongkat sihirnya ke arah Ron, ekspresinya liar. Kerumunan kecil burung itu meluncur seperti peluru-peluru keemasan gemuk ke arah Ron, yang menjerit dan menutupi wajah dengan tangannya, namun burung-burung itu menyerangnya, mematuki dan mencakar-cakar tiap jengkal daging yang bisa mereka raih. "Singkirkan burung-burung ini!" teriak Ron, namun dengan pandangan terakhir yang penuh dendam kesumat membara, Hermione membuka pintu dan menghilang. Harry merasa mendengar isakan sebelum pintu terbanting menutup. 15. SUMPAH TAK TERLANGGAR Salju beterbangan berputar-putar menerpa lagi jendela-jendela sedingin es. Sebentar lagi Natal. Hagrid seorang diri membawa dua belas pohon Natal untuk Aula Besar. Untaian holi dan perada kertas emas dan perak telah dililitkan ke sekeliling pegangan tangga, lilin abadi berpendar dari dalam ketopong baju-baju zirah dan rangkaian besar mistletoe telah digantungkan pada jarak-jarak tertentu sepanjang kori dor-koridor. Anak-anak perempuan cenderung berkeru mun ramai-ramai di bawah rangkaian mistletoe itu setiap kali Harry lewat, menyebabkan kemacetan di koridor-koridor. Untungnya, sering keluyuran di malam hari bisa melewati rute-rute bebas-misletoe untuk pindah kelas di antara pelajaran. Ron, yang dulu pasti menganggap perlunya mencari jalan memutar ini penyebab kecemburuan bukannya kelucuan, sekarang hanya terbahak menertawakan Harry. Meskipun Harry lebih menyukai Ron baru, yang mudah tertawa dan begurau, daripada Ron yang pemurung dan agresif seperti yang berlangsung selama beberapa minggu terakhir, Ron yang lebih baik ini harus dibayar mahal. Yang pertama, Harry harus menerima kehadiran terus-menerus Lavender Brown, yang menganggap setiap saat yang tidak digunakannya untuk mencium Ron adalah saat yang tersia-sia; dan yang kedua, sekali lagi Harry menjadi sahabat dua orang yang tampaknya tak akan pernah saling bicara lagi. Ron, yang pada tangan dan lengannya masih tampak bekas-bekas cakaran dan patukan serangan burung Hermione, bersikap defensif dan marah. "Dia tak bisa mengeluh," katanya kepada Harry "Dia mencium Krum. Nah, sekarang dia tahu ada orang yang ingin menciumku juga. Ini kan negara bebas. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah." Harry tidak menjawab, melainkan berpura-pura sibuk membaca buku yang ditugaskan untuk mereka baca sebelum pelajaran Mantra keesokan harinya (Saripati: Sebuah Pencarian). Bertekad ingin tetap berteman dengan baik Ron maupun Hermione, Harry melewatkan banyak waktunya dengan menutup mulut rapat-rapat. "Aku tak pernah berjanji apa-apa kepada Hermione," gumam Ron. "Maksudku, iya sih aku akan pergi ke pesta Natal Slughorn dengannya, tapi dia tak pernah bilang ... hanya sebagai teman ... aku cowok bebas ... " Harry membalik halaman Saripati, sadar bahwa Ron mengawasinya. Suara. Ron berubah menjadi gumam pelan, nyaris tak terdengar tertimpa retih keras api, meskipun Harry merasa dia mendengar kata-kata "Krum" dan "tak bisa mengeluh" lagi. Daftar pelajaran Hermione penuh sekali sehingga Harry hanya bisa benar-benar bicara dengannya pada malam hari, ketika Ron berpelukan erat dengan Lavender sehingga dia tidak memperhatikan apa yang dilakukan Harry. Hermione menolak duduk di ruang rekreasi kalau Ron ada di sana, maka Harry biasanya bergabung dengannya di perpustakaan, yang berarti percakapan mereka dilakukan dengan berbisik. "Dia bebas mau mencium siapa saja yang dia mau," kata Hermione, sementara petugas perpustakaan, Madam Pince, berpatroli menyusur rak-rak di belakang mereka. "Aku tak peduli." Hermione mengangkat pena-bulunya dan memberi titik pada huruf "i"-nya dengan sangat geram sampai perkamennya berlubang. Harry diam saja. Dia membatin suaranya sebentar lagi mungkin hilang, saking jarangnya digunakan. Dia membungkuk sedikit lebih rendah di atas Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut dan melanjutkan membuat catatan tentang Eliksir Abadi, kadang-kadang berhenti untuk membaca catatan bermanfaat yang ditambahkan Pangeran pada teks Libatius Borage. "Dan ngomong-ngomong," Kata Hermione, setelah beberapa saat, "kau perlu berhati-hati." "Untuk terakhir kalinya," kata Harry, dalam bisikan agak parau setelah tiga per empat jam diam, "aku tidak akan mengembalikan buku ini, aku belajar lebih banyak dari Pangeran Berdarah-Campuran daripada yang telah diajarkan Snape ataupun Slughorn dalam-" "Aku tidak bicara soal Pangeran-mu yang konyol," kata Hermione, memandang sebal buku Harry, seakan buku itu telah berbuat tidak sopan kepadanya. "Aku bicara tentang apa yang kualami tadi. Aku ke toilet anak perempuan sebelum , ke sini dan ada kira-kira setengah lusin cewek di sana, termasuk si Romilda Vane, sedang merundingkan bagaimana caranya memberimu ramuan cinta. Mereka semua berharap akan bisa membuatmu mengajak mereka ke pesta Slughorn dan mereka semua kelihatannya sudah membeli ramuan cinta Fred dan George, yang aku khawatir kemungkinan manjur" "Kenapa kau tidak menyitanya, kalau begitu?" tuntut Harry. Aneh, Hermione yang biasanya keranjingan menegakkan peraturan, justru tidak bertindak pada saat yang penting begini. "Mereka tidak membawa ramuan itu ke toilet," kata Hermione mencela. "Mereka hanya merundingkan taktik. Karena aku ragu apakah bahkan si Pangeran Berdarah-Campuran," kembali dia memandang sebal buku itu, "bisa menciptakan penangkal untuk selusin ramuan cinta sekaligus, mendingan kau mengajak siapa deh, untuk pergi bersamamu -- itu akan menghentikan yang lain mengira mereka masih punya kesempatan. Pestanya besok malam, mereka sudah nekat tuh." "Tak ada yang ingin kundang" gumam Harry, yang masih berusaha sebisanya tidak memikirkan Ginny, kendati Ginny terus-menerus muncul dalam mimpinya dalam cara-cara yang membuatnya sangat bersyukur Ron tidak menguasai Legilimency. "Yah, kalau begitu hati-hati saja apa yang kau minum, karena Romilda Vane tampaknya sangat serius," kata Hermione muram. Dia menyentakkan gulungan panjang perkamen yang sedang dipakainya untuk menulis esai Arithmancy-nya dan meneruskan menulis dengan penabulunya. Harry mengawasinya dengan pikiran melayang jauh. "Tunggu dulu" kata Harry lambat-lambat. "Bukankah Filch sudah melarang segala sesuatu yang dibeli di Sihir Sakti Weasley?" "Dan sejak kapan ada anak yang mematuhi larangan Filch?" kilah Hermione, masih berkonsentrasi pada esainya. "Tapi bukankah semua burung hantu diperiksa? Jadi, bagaimana cewek-cewek ini bisa membawa ramuan cinta ke dalam sekolah?" "Fred dan George mengirimnya disamarkan sebagai parfum atau obat batuk," kata Hermione. "Ini bagian dari Layanan Pesanan Burung Hantu mereka." "Kau tahu banyak tentang itu." Hermione memberinya pandangan sebal seperti yang telah diberikannya kepada buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut-nya. "Keterangannya ada di belakang botol-botol yang mereka tunjukkan kepada Ginny dan aku musirn panas lalu," katanya dingin. "Aku tidak memasukkan ramuan ke dalam minuman orang-orang ataupun berpura-pura melakukannya, hal yang sama buruknya ." "Yeah, yang itu sudahlah," kata Harry cepat-cepat. "Persoalannya adalah, Filch diperdayai, kan? Cewek-cewek ini memasukkan barang-barang ke sekolah dengan disamarkan menjadi barang lain! Jadi, kenapa Malfoy tidak bisa memasukkan kalung itu ke dalam sekolah?" "Oh, Harry ... jangan itu lagi ..." "Ayolah, kenapa tidak?" tuntut Harry. "Dengar," desah Hermione. "Sensor Rahasia mendeteksi jampi-jampi, kutukan, dan mantra penyembunyi, kan? Sensor itu digunakan untuk menemukan Sihir Hitam dan benda-benda ilmu Hitam. Sensor itu akan menangkap kutukan hebat, seperti yang ada pada kalung itu, dalam waktu beberapa detik. Tetapi sesuatu yang dimasukkan dalam botol yang lain tak akan terdeteksi -- lagi pula, ramuan cinta bukan benda Ilmu Hitam dan tidak berbahaya" "Gampang bagimu ngomong begitu," gumam Harry, teringat Romilda Vane. "jadi, tergantung pada Filch untuk menyadari bahwa itu bukan obat batuk, dan dia penyihir yang tidak terlalu cakap, aku ragu dia bisa membedakan satu ramuan dari-" Hermione mendadak berhenti. Harry juga mendengarnya. Ada yang bergerak dekat di belakang mereka di antara rak-rak buku yang gelap. Mereka menunggu dan sejenak kemudian wajah Madam Pince yang mirip burung nasar muncul dari sudut. Pipinya yang cekung, kulitnya yang seperti perkamen, dan hidung bengkoknya yang panjang bertambah seram terkena cahaya lampu yang dibawanya. "Perpustakaan sekarang tutup," katanya. "Jangan lupa kembalikan apa pun yang telah kalian pinjam ke tempatnya yang ben -- apa yang telah kau lakukan ke buku itu, anak bejat?" "Ini bukan buku perpustakaan, ini buku saya!" kata Harry buru-buru, menyambar buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut-nya dari meja selagi Madam Pince menyergap buku itu dengan tangannya yang seperti cakar. "Hancur!" desisnya. "Ternoda! Rusak!" "Ini cuma buku yang ditulisi!" kata Harry, merebut buku itu dari pegangan Madam Pince. Madam Pince tampak seperti orang yang akan mendapat serangan jantung. Hermione, yang buru-buru membereskan barang-barangnya, menyambar lengan Harry dan menyeretnya pergi. "Dia akan melarangmu ke perpus kalau kau tidak berhati-hati. Kenapa sih kau membawa-bawa buku konyol itu?" "Bukan salahku dia marah-marah, Hermione. Atau kau pikir dia mepdengar kau membodoh-bodohkan Filch? Dari dulu aku menduga ada sesuatu di antara mereka ... " "Oh, ha, ha ... " Menikmati fakta bahwa mereka bisa bicara normal lagi, mereka menyusur koridor kosong yang diterangi lampu kembali ke ruang rekreasi, memperdebatkan apakah Filch dan Madam Pince diam-diam saling mencintai atau tidak. "Kepala keledai," kata Harry kepada si Nyonya Gemuk, karena ini kata kunci yang baru dalam suasana pesta Natal. "Sama, kau juga," kata si Nyonya Gemuk dengan senyum nakal, dan dia mengayun ke depan agar mereka bisa masuk. "Hai, Harry!" kata Romilda Vane, begitu Harry memanjat masuk dari lubang lukisan. "Mau Gillywater?" Hermione menoleh, memberinya pandangan "apa kubilang tadi". "Tidak, terima kasih," kata Harry cepat-cepat. "Aku tidak terlalu suka." "Kalau begitu, ambil ini;" kata Romilda, mengangsurkan sebuah kotak ke tangannya. "Cokelat Kuali, isinya Wiski Api. Nenekku yang kirim, tapi aku tidak suka." "Oh baiklah terima kasih banyak," kata Harry, yang tak tahu harus berkata apa lagi. "Er aku cuma ke sini dengan ..." Dia bergegas ke belakang Hermione, suaranya melemah. "Sudah kubilang, kan?" kata Hermione ringkas. "Lebih cepat ada yang kau ajak, lebih cepat mereka tidak menggerecokimu lagi dan kau bisa-" Wajah Hermione tiba-tiba hampa. Dia baru saja melihat Ron dan Lavender, yang duduk berpelukan erat dalam satu kursi berlengan. "Nah, selamat tidur, Harry," kata Hermione, meskipun saat itu baru pukul tujuh malam, dan dia pergi ke kamar anak-anak perempuan tanpa berkata apa-apa lagi. Harry pergi tidur menghibur diri bahwa hanya tinggal satu hari lagi dia bergulat dengan pelajaran, plus pesta Slughorn, setelah itu dia dan Ron akan berangkat bersama-sama ke The Burrow. Sekarang tampaknya tak mungkin Ron dan Hermione akan berbaikan sebelum liburan mulai, tetapi barangkali, entah bagaimana, perpisahan ini akan memberi mereka waktu untuk menenangkan diri, memikirkan dengan lebih baik sikap mereka ... Namun harapannya tidak terlalu tinggi, dan harapan itu malah merosot setelah ikut pelajaran Transfigurasi dalam suasana tak nyaman dengan mereka berdua hari berikutnya. Mereka baru saja membahas topik yang bukan main sulitnya tentang transfigurasi manusia, berlatih di depan cermin. Mereka ditugasi mengubah warna alis mereka sendiri. Hermione menertawakan usaha pertama Ron tanpa kasihan. Ron entah bagaimana malah berhasil membuat wajahnya berhias kumis baplang yang spektakuler. Ron membalas dengan sadis, menirukan dengan persis Hermione yang melompat-lompat di tempat duduknya setiap kali Profesor McGonagall mengajukan pertanyaan, yang dianggap sangat lucu oleh Lavender dan Parvati dan yang membuat Hermione nyaris menangis lagi. Dia berlari keluar kelas begitu bel berbunyi, meninggalkan separo barang-barangnya. Harry memutuskan saat itu Hermione lebih membutuhkannya daripada Ron. Dia mengambil barang-barang Hermione yang ketinggalan dan mengikutinya. Dia akhirnya berhasil menemukannya, ketika Hermione keluar dari toilet perempuan di lantai bawah. Hermione ditemani Luna Lovegood, yang membelai-belai punggungnya sambil melamun. "Oh, halo, Harry," kata Luna. "Apakah kau tahu salah satu alismu berwarna kuning cerah?" "Hai, Luna. Hermione, barang-barangmu ketinggalan ... " Harry mengulurkan buku-bukunya. "Oh, ya," kata Hermione dengan suara tersekat, mengambil buku-bukunya dan cepat-cepat berpaling untuk menyembunyikan fakta bahwa dia mengusap matanya dengan tempat pensilnya. "Terima kasih, Harry. Sebaiknya aku pergi " Dan dia bergegas pergi, tanpa memberi Harry kesempatan untuk menyampaikan kata-kata penghiburan, meskipun terus terang Harry tak bisa memikirkan mau bicara apa. "Dia agak sedih," kata Luna. "Tadinya kupikir si Myrtle Merana di dalam situ, tapi ternyata Hermione. Dia ngomong sesuatu tentang si Ron Weasley ... " "Yeah, mereka bertengkar," kata Harry. "Ron kadang-kadang ngomong sangat lucu, ya?" kata Luna, ketika mereka menyusuri koridor bersamasama. "Tapi dia bisa agak kejam. Aku perhatikan itu tahun lalu." "Kurasa begitu," kata Harry. Luna memperlihatkan kemampuannya yang khas untuk mengatakan fakta yang membuat salah tingkah. Harry belum pernah bertemu orang lain seperti Luna. "Nah, semester ini menyenangkan bagimu?" "Oh, cukup oke" kata Luna. "Agak kesepian tanpa LD. Tapi Ginny baik. Dia menghentikan dua cowok di kelas Transfigurasi kami memanggilku 'Loony' kemarin dulu" "Maukah kau datang di pesta Slughorn denganku malam ini?" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Harry sebelum dia bisa mencegahnya. Harry mendengar dirinya mengatakan itu seolah orang asing yang bicara. Luna memandangnya keheranan dengan matanya yang menonjol. "Pesta Slughorn? Denganmu?" "Yeah," kata Harry. "Kami boleh mengajak teman, jadi kupikir kau mau ... maksudku ..." Harry ingin intensinya jelas sejelas-jelasnya. "Maksudku, hanya sebagai teman, kau tahu, kan? Tapi kalau kau tak mau ... " Dia sudah setengah berharap Luna tak mau. "Oh, mau. Aku akan senang sekali pergi denganmu sebagai teman" kata Luna, sangat berseri-seri. Belum pernah Harry melihatnya berseri-seri seperti itu. "Tak pernah ada yang mengajakku ke pesta sebelumnya, sebagai teman! Itukah sebabnya kau mengecat alismu, Untuk pesta? Apakah sebaiknya aku mengecat alisku juga?" "Tidak" kata Harry tegas, "ini kekeliruan, aku akan meminta tolong Hermione membetulkannya. Jadi, kita bertemu di Aula Depan jam delapan, kalau begitu." "AHA!" jerit suara dari atas dan keduanya terlonjak kaget. Tanpa mereka sadari, mereka baru saja lewat di bawah Peeves, yang bergantung terbalik dari kandelar dan menyeringai jahat kepada mereka. "Potty mengajak Loony ke pesta! Potty cinta Loony! Potty ciiiiinta Looooooony!" Dan Peeves melayang pergi, terkekeh dan berteriak-teriak, "Potty cinta Loony!" "Tak ada yang bisa dirahasiakan di sini," kata Harry. Dan benar saja, dalam sekejap seluruh sekolah tampaknya tahu bahwa Harry Potter mengajak Luna Lovegood ke pesta Slughorn. "Kau bisa mengajak siapa saja!" kata Ron tak percaya waktu mereka makan malam. "Siapa saja! Dan kau memilih Loony Lovegood?" "Jangan memanggilnya begitu, Ron," bentak Ginny, berhenti di belakang Harry dalam perjalanannya bergabung dengan teman-temannya. "Aku benar-benar senang kau mengajaknya, Harry, dia gembira sekali." Dan Ginny pergi duduk dengan Dean. Harry berusaha merasa gembira Ginny senang dia mengajak Luna ke pesta, namun tak berhasil. Di ujung meja Hermione duduk sendirian, mengaduk-aduk kuah kaldunya. Harry memperhatikan Ron mencuri-curi pandang ke arahnya. "Kau bisa bilang maaf," Harry menyarankan terus terang. "Apa? Dan diserang serombongan kenari lagi?" gumam Ron. "Kenapa kau harus menirukan dia?" "Dia menertawakan kumisku!" "Aku juga, itu hal paling konyol yang pernah kulihat." Namun Ron tampaknya tidak mendengar. Lavender baru saja tiba dengan Parvati. Mendesakkan diri di antara Harry dan Ron, Lavender langsung mengalungkan lengan ke leher Ron. "Hai, Harry," kata Parvati, yang seperti Harry, tampaknya agak malu dan bosan melihat kelakuan kedua teman mereka. "Hai," kata Harry. "Apa kabar? Kau tetap di Hogwarts kalau begitu? Kudengar orangtuamu ingin kau pulang." "Aku berhasil membujuk mereka untuk sementara ini" kata Parvati. "Musibah yang menimpa Katie betul-betul membuat mereka panik, tetapi karena tak ada kejadian lain lagi setelah ... oh, hai, Hermione!" Parvati tersenyum ramah. Harry menduga dia merasa bersalah meriertawakan Hermione di kelas Transfigurasi. Dia menoleh dan melihat Hermione membalas tersenyum, bahkan lebih ramah lagi. Cewek-cewek memang kadang sangat aneh. "Hai, Parvati!" kata Hermione, sama sekali tidak memedulikan Ron dan Lavender. "Kau ke pesta Slughorn malam ini?" "Tidak diundang," kata Parvati muram. "Kepingin sih, kedengarannya pestanya bakal seru ... kau pergi, kan?" "Ya, aku janjian dengan Cormac jam delapan dan kami" Ada suara seperti sumbat wastafel yang dicabut dan Ron muncul. Hermione bersikap seolah dia tidak melihat atau mendengar apa-apa. "-kami akan ke pesta bersama-sama." "Cormac?" kata Parvati. "Cormac McLaggen, maksudmu?" "Betul," kata Hermione manis. "Cowok yang hampir, dia memberi tekanan khusus pada kata itu, "menjadi Keeper Gryffindor." "Kau jadian dengannya, kalau begitu?" tanya Parvati, matanya terbelalak. "Oh-ya-kau tidak tahu?" kata Hermione, dengan kikik yang sama sekali tidak-seperti-Hermione. "Tidak!" kata Parvati, yang sangat bergairah mendengar gosip seru ini. "Wow, kau suka pemain Quidditch, ya? Dulu Krum, sekarang McLaggen ... " "Aku suka pemain Quidditch yang benar-benar hebat," Hermione mengoreksinya, masih tersenyum. "Nah, sampai ketemu lagi ... aku harus bersiap-siap untuk pesta ..." Hermione pergi. Segera saja Lavender dan Parvati saling mendekatkan kepala untuk membicarakan perkembangan baru ini, dengan segala sesuatu yang pernah mereka dengar tentang McLaggen, dan segala sesuatu yang pernah mereka tebak-tebak tentang Hermione. Ron anehnya tampak hampa dan tidak berkata apa-apa. Tinggal Harry sendiri yang merenungkan dalam diam betapa jauhnya cewek bersedia merendah demi balas dendam. Ketika Harry tiba di Aula Depan pada pukul delapan malam itu, tidak seperti biasanya, ada banyak sekali cewek berkerumun di sana, semuanya tampak memandangnya dengan sebal ketika dia mendekati Luna. Luna memakai jubah perak berkelip-kelip yang memancing kikik dari para penontonnya, namun lepas dari itu dia tampak manis. Bagaimanapun juga Harry senang dia melepas anting-anting wortelnya, kalung gabus Butterbeer, dan kacamata hantunya. "Hai" sapanya. "Kita pergi sekarang?" "Oh, ya," kata Luna senang. "Di mana pestanya?" Kantor Slughorn," kata Harry, mengajaknya menaiki tangga pualam, menjauhi segala tatapan dan bisik-bisik. "Apakah kau mendengar, katanya ada vampir yang akan datang?" "Rufus Scrimgeour?" tanya Luna. "Aku-apa?" kata Harry, bingung. "Maksudmu Menteri Sihir?" "Ya, dia kan vampir," kata Luna tanpa berbelit-belit. "Ayah menulis artikel panjang tentang itu ketika Scrimgeour baru menggantikan Cornelius Fudge, tapi dia dilarang menerbitkannya oleh orang Kementerian. Jelas mereka tak ingin kebenaran ini bocor!" Harry, yang berpendapat sangatlah tidak mungkin Rufus Scrimgeour adalah vampir, namun terbiasa mendengar Luna mengulangi pandangan-pandangan ayahnya yang ajaib seolah semua itu fakta, tidak menanggapi. Mereka sudah hampir tiba di kantor Slughorn dan semakin dekat, suara tawa, musik, dan obrolan semakin keras terdengar. Entah apakah memang demikian, ataukah karena dia memakai trik sihir, kantor Slughorn tampak lebih besar daripada kantor guru yang biasanya. Langit-langit dan dinding-dindingnya didekorasi dengan hiasan gantung hijau- zamrud, merah, dan emas, sehingga kesannya mereka berada di dalam tenda yang sangat luas. Ruangan itu padat dan pengap dan bermandi cahaya merah yang dipancarkan oleh lampu emas berhias yang tergantung di tengah langit-langit. Di dalam lampu itu peri-peri sungguhan mengepakkan sayap, masing-masing merupakan bola cahaya cemerlang. Nyanyian keras diiringi musik yang kedengarannya mandolin terdengar dari sudut yang jauh; kepulan asap pipa menggantung di atas beberapa penyihir berusia lanjut yang sedang asyik mengobrol, dan sejumlah peri-rumah berjalan menyelip-nyelip dengan bising di antara hutan lutut, tersembunyi oleh piringpiring perak berat berisi makanan yang mereka bawa, sehingga mereka tampak seperti meja berjalan. "Harry, anakku!" dentum Slughorn, segera setelah Harry dan Luna menyeruak masuk. "Masuk, masuk, banyak orang yang aku ingin kautemui!" Slughorn memakai topi beludru berjambul yang serasi dengan jasnya. Mencengkeram lengan Harry kuat-kuat seolah akan ber-Disapparate dengannya, Slughorn dengan sengaja membawanya ke tengah pesta. Harry menyambar tangan Luna dan menyeretnya ikut. "Harry, aku ingin kau bertemu Eldred Worple, mantan muridku, pengarang buku Saudara Sedarah: Hidupku di Tengah Para Vampir-dan, tentu slaja, temannya Sanguini." Nama yang cocok untuk vampir, karena kata Latin "sanguinis" berarti "darah". Worple, seorang laki-laki kecil, berkacamata, menyambar tangan Harry dan menjabatnya dengan antusias. Si vampir Sanguini, yang jangkung dan kurus kerempeng dengan lingkaran hitam di bawah matanya, hanya mengangguk. Dia tampak agak bosan. Sekelompok gadis berdiri di dekatnya, tampak ingin tahu dan bergairah. "Harry Potter, aku senang sekali!" kata Worple, memandang wajah Harry dengan matanya yang minus. "Aku baru berkata kepada Profesor Slughorn kemarin dulu, Mana biografi Harry Potter yang sudah ditunggu-tunggu kita semua?" "Er," kata Harry, "begitukah?" "Sungguh rendah hati seperti dikatakan Horace!" kata Worple. "Tapi serius nih-" sikapnya berubah, mendadak menjadi seperti sedang bertransaksi, "aku senang sekali kalau bisa menulisnya orang-orang ingin sekali tahu tentang, kau, Nak, ingin sekali! Jika kau bersedia memberiku beberapa kali wawancara, katakanlah setiap kali pertemuan empat atau lima jam, nah, kita bisa menyelesaikan bukunya dalam hitungan bulan. Dan kau sama sekali tak perlu bersusah payah, kupastikan itu tanyalah Sanguini ini kalau itu tidak Sanguini, tetap di sini!" Worple menambahkan, mendadak galak, karena si vampir sudah bergeser mendekati kelompok gadis-gadis yang ada di dekat situ, ada pancaran agak kelaparan di matanya. "Ini, makan pai saja," kata Worple, menyambar sebuah pai dari peri-rumah yang lewat dan menjejalkannya ke tangan Sanguini sebelum kembali mencurahkan perhatiannya ke Harry. "Nak, emas yang bisa kau hasilkan, tak bisa kaubayangkan" "Saya sama sekali tidak tertarik," kata Harry tegas, "dan saya baru saja melihat teman saya, maaf." Dia menyeret Luna mengikutinya ke dalam kerumunan, dia memang baru saja melihat rambut cokelat panjang menghilang di antara dua orang yang kelihatannya anggota Weird Sisters. "Hermione! Hermione!" "Harry! Untung kau datang! Hai, Luna!" "Kau kenapa?" tanya Harry, karena Hermione kentara sekali berantakan, sepertinya dia baru berhasil meloloskan diri dari belitan Jerat Setan. "Oh, aku baru kabur -- maksudku, aku baru meninggalkan Cormac," katanya. "Di bawah mistletoe," dia menambahkan keterangan, ketika Harry terus menatapnya dengan pandang bertanya. "Rasain kau, pergi dengannya sih," tegur Harry keras. "Kupikir dia yang akan membuat Ron paling sakit hati," kata Hermione datar. "Aku sempat mau mengajak Zacharias Smith, tapi kupikir, secara keseluruhan" "Kau mempertimbangkan Smith?" kata Harry, muak. "Ya, dan aku menyesal tidak memilihnya. Grawp saja lebih sopan daripada McLaggen. Yuk kita ke sana, kita akan bisa melihat kalau dia datang, dia jangkung sekali ... " Mereka bertiga menuju ke sisi lain ruangan, mengambil piala berisi mead sembari berjalan, terlambat menyadari bahwa Profesor Trelawney berdiri di sana sendirian. "Halo," Luna menyapa sopan Profesor Trelawney., "Selamat malam, Nak," kata Profesor Trelawney, sedikit kesulitan memandang Luna dengan jelas. Harry bisa membaui sherry lagi. "Aku tidak melihatmu di kelasku belakangan ini ... " "Tidak, saya mendapat Firenze tahun ini;" kata Luna. "Oh, tentu saja," kata Profesor Trelawney dengan kekeh marah dan mabuk. "Atau si kuda beban, aku lebih suka menganggapnya begitu. Pastinya kalian mengira sekarang setelah aku kembali ke sekolah, Profesor Dumbledore akan menyingkirkan kuda itu, kan? Tapi tidak ... kami berbagi kelas ... ini penghinaan, betul-betul penghinaan. Tahukah kau ... " Profesor Trelawney tampaknya terlalu mabuk untuk mengenali Harry. Selagi dia gencar mengritik Firenze, Harry mendekat ke Hermione dan berkata, "Ada yang perlu kita luruskan. Apakah kau berencana memberitahu Ron bahwa kau campur tangan dalam uji coba Keeper?" Hermione mengangkat alisnya. "Apakah kau mengira aku akan serendah itu?" Harry menatapnya tajam. "Hermione, kalau kau bisa mengajak McLaggen-" "Itu beda," kata Hermione gengsi. "Aku tak punya rencana memberitahu Ron apa yang mungkin terjadi, atau tidak terjadi, pada saat uji coba Keeper." "Bagus," kata Harry sungguh-sungguh. "Karena dia akan terpukul dan hancur lagi dan kita akan kalah dalam pertandingan berikutnya" "Quidditch!" kata Hermione berang. "Cuma itukah yang dipedulikan cowok? Cormac tidak mengajukan satu pertanyaan pun mengenai diriku, tidak, aku disuguhi Seratus Tangkapan Hebat oleh Cormac McLaggen non-stop, dari-oh tidak, dia datang!" Hermione bergerak cepat sekali sehingga sepertinya dia ber-Disapparate. Satu saat dia masih di sana, dan saat berikutnya dia menyelinap di antara dua penyihir wanita yang sedang terbahak-bahak dan menghilang. "Lihat Hermione?" tanya McLaggen, menyeruak di antara kerumunan tamu sekejap kemudian. "Tidak, sori," kata Harry, dan dia cepat-cepat berpaling untuk ikut mengobrol bersama Luna, selama sepersekian detik lupa kepada siapa Luna sedang bicara. "Harry Potter!" kata Profesor Trelawney dengan suara dalam bergetar, baru saat itu menyadari ada Harry. "Oh, halo," kata Harry tidak antusias. "Anakku!" katanya dalam bisikan yang bisa terdengar ke mana-mana. "Desas-desus yang beredar! Macam-macam cerita! Sang Terpilih! Tentu saja, aku sudah lama sekali tahu ... pertanda-pertandanya tidak pernah bagus, Harry ... tapi kenapa kau tidak ikut , Ramalan lagi? Untukmu, terutama, pelajaran ini sangatlah penting!" "Ah, Sybill, kami semua menganggap pelajaran kitalah yang paling penting!" kata suara keras, dan Slughorn muncul di sisi lain Profesor Trelawney, wajahnya merah padam, topi beludrunya agak miring, segelas mead di satu tangan dan sepotong besar pai daging di tangan yang lain. "Tapi menurutku belum pernah aku mendapat murid seberbakat dia di kelas Ramuan!" kata Slughorn, memandang Harry dengan sayang, kendatipun matanya merah. "Instingtif, kau tahu seperti ibunya! Aku hanya pernah mengajar sedikit murid saja yang punya kemampuan seperti kuberitahu kau, Sybill-betul, bahkan Severus" Dan betapa ngerinya Harry, Slughorn menjulurkan tangan dan seolah menyambar Snape dari udara kosong ke arah mereka. "Berhenti bersungut-sungut dan bergabunglah dengan kami, Severus!" Slughorn cegukan dengan senang. "Aku baru saja membicarakan kemampuan luar biasa Harry dalam membuat ramuan! Sebagian pujian harus diberikan kepadamu, tentu, kau mengajarnya selama lima tahun!" Terperangkap, dengan lengan Slughorn melingkari bahunya, Snape menunduk memandang Harry melalui hidungnya yang bengkok, mata hitamnya menyipit. "Aneh, aku tak pernah mendapat kesan aku berhasil mengajar Potter apa pun." "Wah, kalau begitu, itu bakat alam!" seru Slughorn. "Coba kalau kau melihat apa yang diberikannya kepadaku, pelajaran pertama, Tegukan Hidup Bagai Mati -- belum pernah ada murid yang menghasilkan ramuan yang lebih baik pada percobaan pertama. Bahkan kau pun kurasa tidak, Severus" "Betulkah?" kata Snape pelan, matanya masih mengebor mata Harry, yang merasa gelisah. Hal terakhir yang diinginkannya adalah Snape mulai menginvestigasi sumber kecemerlangannya dalam pelajaran Ramuan. "Ingatkan aku pelajaran apa lagi yang kauambil, Harry?" tanya Slughorn. "Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, Mantra, Transfigurasi, Herbologi ... " "Semua pelajaran yang menjadi persyaratan untuk menjadi Auror, singkatnya," kata Snape dengan cemooh samar. "Yeah, saya memang ingin menjadi Auror," kata Harry menantang. "Dan kau akan jadi Auror yang hebat!" dentum lughorn. "Kurasa sebaiknya kau jangan jadi Auror, Harry" kata Luna tanpa terduga. Semua orang memandang Luna. "Auror adalah bagian dari Konspirasi Rotfang, kupikir semua orang tahu itu. Mereka bekerja dari alam untuk menjatuhkan Kementerian Sihir, mengunakan kombinasi Ilmu Hitam dan penyakit gusi." Harry tak sengaja menghirup separo mead-nya ke hidung ketika dia mulai tertawa. Bukan main, betul-betul layak mengajak Luna hanya untuk ini. Muncul dari balik pialanya, basah kuyup, namun masih nyegir, dia melihat sesuatu yang menaikkan semangatnya lebih tinggi lagi: Draco Malfoy diseret pada telinganya oleh Argus Filch. "Profesor Slughorn," desis Filch, rahangnya bergetar dan kilat maniak deteksi pelanggaran di matanya yang menonjol, "saya menemukan anak ini bersembunyi di koridor di atas. Dia ngotot katanya diundang ke pesta Anda dan terlambat datang. Apakah Anda mengirim undangan kepadanya?" Malfoy menarik diri lepas dari pegangan Filch, tampangnya murka. "Baiklah, aku tidak diundang!" katanya marah. "Aku mencoba nyelonong masuk, senang?" "Tidak, aku tidak senang!" kata Filch, pernyataan yang betul-betul berkebalikan dengan kegembiraan pada wajahnya. "Kau dalam kesulitan! Bukankah Kepala Sekolah melarang berkeliaran di malam hari, kecuali kau mendapat izin, eh?" "Sudahlah, Argus, tak apa-apa," kata Slughorn, melambaikan tangan. "Ini Hari Natal, dan ingin datang ke pesta bukanlah kejahatan. Hanya untuk sekali ini, kita akan melupakan hukuman, kau boleh tinggal, Draco." Ekspresi kecewa dan marah Filch sudah bisa diduga, namun kenapa, Harry bertanya dalam hati, mengawasinya, Malfoy tampak hampir sama tak senangnya? Dan kenapa Snape memandang Malfoy seperti marah dan sekaligus ... mungkinkah ini? ... agak takut? Namun hampir sebelum Harry sempat mencerna apa yang dilihatnya, Filch sudah berbalik dan berjalan pergi dengan kaki terseret, mengomel pelan; Malfoy sudah memasang senyum pada wajahnya dan berterima kasih kepada Slughorn atas kebaikannya, dan wajah Snape sudah mulus tak dapat ditebak lagi. "Tak masalah, tak masalah," kata Slughorn, melambai menolak ucapan terima kasih Malfoy. "Aku toh memang kenal kakekmu ... " "Beliau selalu memuji-muji Anda, Sir," kata Malfoy cepat-cepat. "Katanya Anda ahli-ramuan paling hebat yang pernah dikenalnya ... " Harry menatap tajam Malfoy. Bukan caranya menjilat yang membuatnya tertarik; dia sudah lama melihat Malfoy melakukan itu kepada Snape. Yang menggugah minatnya adalah fakta bahwa Malfoy benar-benar tampak agak sakit ini pertama kalinya dia melihat Malfoy dari dekat setelah waktu yang lama, sekarang dilihatnya ada lingkaran-lingkaran hitam di bawah mata Malfoy dan kulitnya kentara sekali pucat agak kelabu. "Aku mau bicara denganmu, Draco," kata Snape tiba-tiba. "Oh, sudahlah, Severus," kata Slughorn, cegukan lagi, "ini Hari Natal, jangan terlalu keras" "Aku kepala asramanya, dan aku yang akan menentukan sekeras apa, atau tidak perlu keras terhadapnya;" kata Snape kaku. "Ikut aku, Draco." Mereka pergi, Snape di depan, Malfoy tampak kesal. Harry berdiri di sana selama beberapa saat, ragu-ragu, kemudian berkata, "Aku akan kembali sebentar lagi, Luna -er- toilet." "Baiklah," kata Luna ceria, dan ketika Harry bergegas menyeruak di antara kerumunan tamu, didengarnya Luna melanjutkan topik Konspirasi Rotfang dengan Profesor Trelawney, yang tampaknya benar-benar tertarik. Begitu keluar dari pesta, mudah bagi Harry untuk mengeluarkan Jubah Gaib dari sakunya dan mengerudungkannya di atas tubuhnya, karena koridor kosong. Yang lebih sulit adalah menemukan Snape dan Malfoy. Harry berlari sepanjang koridor, bunyi langkah kakinya tersamar oleh musik dan obrolan keras yang masih terdengar dari kantor Slughorn di belakangnya. Barangkali Snape membawa Malfoy ke kantornya di bawah tanah ... atau barangkali dia mengantarnya kembali ke ruang rekreasi Slytherin ... namun Harry menempelkan telinganya dari pintu ke pintu ketika dia berlari sepanjang koridor sampai dengan sentakan kegembiraan besar, dia berjongkok di depan lubang kunci kelas terakhir di koridor itu dan mendengar suara-suara. "... berbahaya sekali membuat kesalahan, Draco, karena kalau kau sampai dikeluarkan-" "Saya tak ada hubungannya dengan itu, oke?" "Kuharap kau mengatakan yang sebenarnya, karena itu sungguh konyol dan bodoh. Kau malah sudah dicurigai berperan dalam peristiwa itu." "Siapa yang mencurigai saya?" kata Malfoy marah. "Untuk terakhir kalinya, saya tidak melakukannya, oke? Si Katie Bell itu pastilah punya musuh yang tak diketahui orang lain jangan memandang saya seperti itu! Saya tahu apa yang Anda lakukan, saya tidak bodoh, tapi percuma saja -- saya bisa menghentikan Anda!" Hening sejenak, kemudian Snape berkata pelan, "Ah ... Bibi Bellatrix sudah mengajarimu Ocdumency, rupanya. Pikiran-pikiran apa yang kau coba sembunyikan dari tuanmu, Draco?" "Saya tidak berusaha menyembunyikan apa pun dari dia, saya hanya tak ingin Anda mengganggu!" Harry lebih merapatkan telinganya ke lubang kunci ... apa yang telah terjadi yang membuat Malfoy berbicara seperti itu kepada Snape? Padahal selama ini Malfoy selalu menunjukkan rasa hormat, bahkan suka, terhadap Snape! "Jadi, itukah sebabnya kau menghindariku semester ini? Kau takut aku akan ikut campur? Kau tentunya sadar bahwa, kalau orang lain yang tidak datang ke kantorku setelah beberapa kali kusuruh, Draco-" "Kalau begitu beri saya detensi. Laporkan saya kepada Dumbledore!" cemooh Malfoy. Hening lagi. Kemudian Snape berkata, "Kau tahu betul aku tak ingin melakukan kedua hal itu." "Kalau begitu jangan menyuruh saya datang ke kantor Anda lagi!" "Dengarkan aku," kata Snape, suaranya pelan sekali sekarang, sehingga Harry harus menekankan telinganya rapat- rapat ke lubang kunci agar bisa mendengarnya. "Aku berusaha membantumu. Aku bersumpah kepada ibumu akan melindungimu. Aku membuat sumpah Tak-Terlanggar, Draco-" "Kelihatannya Anda harus melanggarnya, kalau begitu karena saya tak memerlukan perlindungan Anda! Ini pekerjaan saya, dia memberikannya kepada saya dan saya sedang melakukannya. Saya sudah punya rencana dan rencana itu akan berhasil, hanya saja memerlukan waktu lebih lama daripada yang saya kira!" "Apakah rencanamu?" "Bukan urusan Anda!" "Kalau kauberitahu aku apa yang sedang kau coba lakukan, aku bisa membantumu" "Saya sudah mendapatkan semua bantuan yang saya butuhkan, terima kasih, saya tidak sendirian!" "Kau jelas sendirian malam ini, dan ini tindakan yang bodoh bukan kepalang, berkeliaran di koridor tanpa ada yang membantu mengawasi ataupun pendukung. Ini kesalahan mendasar" "Crabbe dan Goyle akan bersama saya jika Anda tidk mendetensi mereka!" "Pelankan suaramu!" bentak pelan Snape, karena suara Malfoy sudah meninggi marah. "Kalau temanmu Crabbe dan Goyle ingin lulus OWL Pertahanan terhadap Ilmu Hitam mereka kali ini, mereka perlu bekerja lebih keras daripada yang mereka lakukan seka-" "Apa gunanya?" kata Malfoy. "Pertahanan terhadap Ilmu Hitam ini cuma lelucon, kan, cuma akting? Memangnya ada di antara kita yang perlu perlindungan terhadap Ilmu Hitam" "Itu bukan akting, itu hal penting untuk sukses, Draco!" kata Snape. "Di mana kau pikir aku akan berada selama bertahun-tahun ini, jika aku tak bisa berakting? Sekarang dengarkan aku! Kau ceroboh, berkeliaran di malam hari, membiarkan dirimu tertangkap, dan jika kau mengandalkan bantuan dari asisten seperti Crabbe dan Goyle-" "Bukan hanya mereka berdua, saya punya orang lain yang membantu saya, orang-orang yang lebih baik!" "Kalau begitu kenapa tidak memercayaiku, dan aku akan bisa" "Saya tahu apa yang Anda inginkan! Anda ingin mencuri kejayaan saya!" Hening lagi, kemudian Snape berkata dingin, "Kau bicara seperti anak kecil. Aku cukup mengerti bahwa penangkapan dan penahanan ayahmu telah membuatmu guncang, tetapi-" Harry cuma punya waktu sedetik; dia mendengar langkah-langkah Malfoy di balik pintu dan melompat menyingkir tepat ketika pintu menjeblak terbuka. Malfoy melangkah sepanjang koridor, melewati pintu kantor Slughorn yang terbuka, membelok di tikungan yang jauh dan menghilang dari pandangan. Nyaris tak berani bernapas, Harry tetap berjongkok ketika Snape keluar perlahan dari ruang kelas itu. Dengan ekspresi tak bisa diduga, Snape kembali ke pesta. Harry tetap tinggal di tempatnya, tersembunyi di bawah Jubah, pikirannya sibuk bekerja. 16. NATAL YANG SANGAT DINGIN "Jadi Snape menawarkan diri mau membantunya? Dia benar-benar menawarkan diri mau membantunya?" "Kalau kau tanyakan itu sekali lagi," kata Harry, "kujejalkan taoge ini-" "Aku cuma ngecek!" kata Ron. Mereka berdiri hanya berdua di depan tempat cuci piring di dapur The Burrow, menguliti segunung taoge untuk Mrs Weasley. Salju beterbangan melewati jendela di depan mereka. "Ya, Snape menawarkan diri mau membantunya!" kata Harry. "Dia bilang dia sudah berjanji kepada ibu Malfoy akan melindunginya, bahwa dia sudah melakukan Janji Tak-Terlanggar atau apa-" "Sumpah Tak-Terlanggar?" kata Ron, terperangah. "Ah, mana mungkin ... kau yakin?" "Ya, aku yakin," kata Harry. "Kenapa, apa maksudnya itu?" "Yah, kau tak bisa melanggar Sumpah Tak-Terlanggar ... " "Yee, itu sih sudah kutebak sendiri. Heran ya, aku bisa tahu. Apa yang terjadi kalau kau melanggarnya?" "Kau mati" kata Ron sederhana. "Fred dan George mencoba menyuruhku melakukan Sumpah Tak-Terlanggar waktu aku berumur lima tahun. Aku nyaris melakukannya, aku sudah berpegangan tangan dengan Fred, sudah siap, ketika Dad menemukan kami. Dia marah sekali," kata Ron, matanya berkilat teringat saat itu. "Itu sekali-sekalinya aku pernah melihat Dad semarah Mum. Kata Fred pantat kirinya tak pernah sama lagi sejak saat itu." "Yeah, nah, kita lupakan pantat kiri Fredw-" "Maaf?" terdengar suara Fred ketika si kembar memasuki dapur. "Aaah, George, lihat ini. Mereka menggunakan pisau dan segala macam. Hebat sekali." "Aku akan tujuh belas tahun dua bulan lagi lebih sedikit," kata Ron menggerutu, "dan kemudian aku akan bisa melakukannya dengan sihir!" "Tetapi sementara itu," kata George, duduk di depan meja dan meletakkan kaki di atasnya, "kami bisa menikmati menonton kau mendemonstrasikan whuups keahlianmu." "Gara-gara kau nih!" kata Ron berang, mengisap ibu jarinya yang teriris. "Tunggu saja, kalau aku sudah tujuh belas tahun" "Aku yakin kau akan memesona kami semua dengan kemampuan sihir yang sampai sekarang tak terduga" Fred menguap. "Dan ngomong-ngomong soal kemampuan yang sampai sekarang tak terduga, Ronald," kata George, "berita apa ini yang kami dengar dari Ginny tentang kau dan seorang gadis bernama kalau informasi kami tidak keliru Lavender Brown?" Wajah Ron merona merah, tetapi dia tidak tampak tidak senang ketika kembali menghadapi taogenya. "Urus saja urusanmu sendiri." "Judes betul jawabannya," kata Fred. "Aku sih sebenarnya tidak tahu bagaimana pendapatmu tentang kemampuanmu itu. Tidak, yang kami ingin tahu adalah ... bagaimana terjadinya?" "Apa maksudmu?" "Apa cewek itu kecelakaan atau kenapa?" "Apa?" "Yah, bagaimana dia bisa menderita kerusakan otak yang begitu parah? Eh, hati-hati!" Mrs Weasley memasuki dapur tepat pada saat Ron melempar pisau taoge kepada Fred, yang mengubahnya menjadi pesawat kertas dengan sentilan malasmalasan pada tongkat sihirnya. "Ron!" tegur ibunya gusar. "Jangan sampai aku pernah melihatmu melempar-lempar pisau lagi!" "Tidak," kata Ron, "Mum tak akan lihat" dia menambahkan pelan, seraya berbalik menghadapi gunungan taoge lagi. "Fred, George, sori, Nak, tapi Remus datang malam ini, jadi Bill terpaksa tidur bersama kalian berdua!" "Tak masalah," kata George. "Lalu, karena Charlie tidak pulang, berarti tinggal Harry dan Ron di loteng, dan jika Fleur tidur bersama Ginny" "ini akan jadi pesta Natal menyenangkan bagi Ginny" gumam Fred. "semua orang akan nyaman. Yah, paling tidak mereka punya tempat tidur" kata Mrs Weasley, kedengarannya sedikit cemas. "Percy sudah jelas tidak setor mukanya yang jelek, kalau begitu?" tanya Fred. Mrs Weasley memalingkan muka dari mereka sebelum menjawab. "Tidak, dia sibuk, kukira, di Kementerian." "Atau dia cowok paling bego di seluruh dunia," kata Fred, ketika Mrs Weasley meninggalkan dapur. "Salah satu dari dua itu. Nah, yuk kita berangkat, George." "Kalian berdua mau ngapain?" tanya Ron. "Tidak bisakah kalian membantu kami mengupas taoge ini? Kalian tinggal menggunakan tongkat sihir kalian, dan kami akan bebas juga!" "Tidak, kurasa kami tak boleh begitu," kata Fred berlagak serius. "Belajar mengupas taoge tanpa menggunakan sihir sangat membentuk karakter, membuat kalian menghargai betapa sulitnya bagi para Muggle dan Squib" "dan jika kau ingin orang membantumu, Ron," George menambahkan, melempar pesawat kertas kepadanya, "jangan "Mereka tidak mendengarnya," kata Harry datar. "Tak ada aktor yang sepiawai itu, bahkan Snape pun tidak." "Yeah ... aku sih cuma bilang saja," kata Ron. Harry berpaling menghadap Ron, mengernyit. melempar pisau ke orang itu. Ini cuma sedikit nasihat. Kami mau ke desa, ada cewek cantik banget bekerja di toko kertas, yang menganggap permainan kartuku luar biasa ... hampir seperti sihir betulan ..." "Brengsek" sungut Ron sebal, mengawasi Fred dan George menyeberangi halaman bersalju. "Mereka paling cuma perlu sepuluh detik dan kemudian kita juga bisa pergi." "Aku tak bisa," kata Harry. "Aku sudah berjanji pada Dumbledore tidak akan pergi-pergi selama tinggal di sini." "Oh, yeah," kata Ron. Dia mengupas beberapa taoge lagi dan kemudian berkata, "Apakah kau akan memberitahu Dumbledore apa yang kau dengar dikatakan Snape dan Malfoy?" "Yep," kata Harry. "Aku akan memberitahu siapa saja yang bisa menghentikan itu dan Dumbledore paling atas dalam daftarku. Aku mungkin akan bicara lagi dengan ayahmu juga." "Sayang kau tidak mendengar apa yang sebetulnya sedang dikerjakan Malfoy." "Tak mungkin, kan? Justru itulah masalahnya, dia menolak memberitahu Snape." Sunyi sejenak, kemudian Ron berkata, "Tentunya kau tahu apa yang akan mereka semua katakan? Dad dan Dumbledore dan yang lain? Mereka akan bilang Snape tidak betul-betul mau membantu Malfoy, dia cuma berusaha mencari tahu apa yang sedang dilakukan Malfoy." "Kau berpendapat aku benar, tapi?" "Yeah!" kata Ron buru-buru. "Serius, aku berpendapat kau benar! Tapi mereka semua yakin Snape berpihak pada Orde, kan?" Harry tidak berkata apa-apa. Sudah terpikir olehnya bahwa ini akan menjadi keberatan paling utama bagi bukti barunya. Sekarang saja bisa didengarnya Hermione berkata. "Sudah jelas, kan, Harry, dia berpura-pura menawarkan bantuan supaya Malfoy teperdaya dan bersedia memberitahunya apa yang sedang dilakukannya ... Namun, ini sepenuhnya hanya imajinasi, karena dia tak punya kesempatan memberitahu Hermione apa yang didengarnya. Hermione sudah menghilang dari pesta Slughorn sebelum Harry kembali ke sana, atau begitulah yang diinformasikan kepadanya oleh McLaggen yang marah, dan Hermione sudah pergi tidur ketika Harry kembali ke ruang rekreasi. Ketika dia dan Ron akan berangkat ke The Burrow keesokan harinya, dia hanya sempat mengucapkan Selamat Natal kepadanya dan memberitahunya bahwa dia punya berita sangat penting sepulang mereka dari liburan. Namun dia tidak sepenuhnya yakin Hermione mendengarnya; Ron dan Lavender sedang saling mengucapkan selamat tinggal non-verbal tepat di belakang Harry waktu itu. Meskipun demikian, bahkan Hermione tak akan bisa menyangkal satu hal. Malfoy jelas sedang melakukan sesuatu, dan Snape tahu itu, maka Harry merasa berhak mengatakan "Sudah kubilang, kan", yang sudah diucapkannya kepada Ron beberapa kali. Harry tidak mendapat kesempatan bicara kepada Mr Weasley, yang setiap hari lembur di Kementerian, sampai Malam Natal. Keluarga Weasley dan tamutamu mereka duduk di ruang keluarga, yang sudah didekorasi Ginny secara berlebihan, sehingga rasanya seperti duduk di antara ledakan untaian kertas-hias. Hanya Fred, George, Harry, dan Ron yang tahu bahwa malaikat di puncak pohon Natal itu sebetulnya jembalang kebun yang telah menggigit pergelangan kaki Fred ketika dia sedang mencabuti wortel untuk santapan Natal. Dikenai Mantra Bius, dicat emas, dan dijejalkan dalam tutu mini, dengan sayap kecil direkatkan pada punggungnya, dia mendelik marah kepada mereka semua, malaikat paling jelek yang pernah dilihat Harry, dengan kepala besar botak seperti kentang dan kaki agak berbulu. Mereka semua sedang mendengarkan siaran khusus Natal oleh penyanyi favorit Mrs Weasley, Celestina Warbeck, yang suaranya mendayu-dayu dari radio kayu besar. Fleur, yang tampaknya menganggap Celestina sangat membosankan, bicara keras sekali di sudut sehingga Mrs Weasley yang jengkel berkali-kali mengacungkan tongkat sihirnya ke tombol volume, sehingga Celestina makin lama makin keras. Selagi Celestina mendendangkan lagu berirama jazz, Sekuali Penuh Cinta Panas dan Pekat, Fred dan George memulai permainan kartu Exploding Snap dengan Ginny. Ron berulangkali mencuri pandang ke arah Bill dan Fleur, seolah berharap bisa mendapatkan tips. Sementara itu Remus Lupin, yang semakin kurus dan lebih lusuh daripada biasanya, duduk di sebelah perapian, menatap apinya seakan dia tidak bisa mendengar suara Celestina, "Oh, datanglah kepadaku, Dan aduklah kualiku ini Akan kurebuskan cinta yang panas dan pekat Untuk menghangatkanmu malam ini." "Kami berdansa diiringi lagu ini waktu berusia delapan belas tahun!" kata Mrs Weasley, mengusap mata pada rajutannya. "Kau ingat, Arthur?" "Mph?" kata Mr Weasley, yang kepalanya terangguk-angguk di atas jeruk satsuma yang sedang dikupasnya. "Oh ya ... lagu yang bagus ... " Dengan susah payah dia duduk sedikit lebih tegak dan berpaling kepada Harry, yang duduk di sebelahnya. "Sori soal ini," katanya, mengedikkan kepalanya ke arah radio ketika Celestina menyanyikan refrein. "Sebentar lagi selesai." "Tidak apa-apa," kata Harry, nyengir. "Sibukkah di Kementerian?" "Sangat," kata Mr Weasley. "Aku tak keberatan kalau ada kemajuan, tapi dari tiga penangkapan yang telah kami lakukan dalam dua bulan terakhir ini, aku meragukan bahwa di antara mereka ada yang benarbenar Pelahap Maut tapi jangan bilang siapa-siapa, Harry," dia cepat-cepat menambahkan, kantuknya seperti tiba-tiba saja menghilang. "Mereka sudah tidak menahan Stan Shunpike, kan?" tanya Harry. "Sayangnya masih," kata Mr Weasley. "Aku tahu Dumbledore sudah mencoba bicara langsung dengan Scrimgeour tentang Stan ... Maksudku, siapa saja yang telah benar-benar mewawancarainya setuju tak mungkin dia Pelahap Maut, sama tak mungkinnya dengan satsuma ini ... tapi orang-orang di atas ingin mereka tampak sudah membuat kemajuan, dan 'tiga penangkapan' kedengarannya jauh lebih baik daripada 'tiga penangkapan' yang keliru dan pelepasan kembali ... tapi sekali lagi, semua ini top secret ... " "Saya tak akan bilang siapa-siapa," kata Harry. Dia ragu-ragu sejenak, bertanya dalam hati bagaimana sebaiknya memulai apa yang ingin disampaikannya. Selagi dia menyusun pikirannya, Celestina Warbeck mulai menyenandungkan balada berjudul Kaucuri Hatiku dengan Mantra. "Mr Weasley, Anda ingat apa yang saya sampaikan kepada Anda di stasiun ketika kami akan berangkat ke sekolah?" "Aku sudah mengeceknya, Harry," kata Mr Weasley segera. "Aku ke rumah Malfoy dan menggeledahnya. Tak ada apa-apa, baik yang rusak maupun yang utuh, yang seharusnya tak ada di sana." "Yeah, saya tahu, saya melihat di Prophet bahwa Anda memeriksa ... tapi ini lain ... yah, ini lebih ..." Dan dia menyampaikan kepada Mr Weasley segalanya yang telah dia dengar, di antara Malfoy dan Snape. Ketika Harry bicara, dia melihat kepala Lupin sedikit menoleh ke arahnya, menyerap setiap kata. Setelah Harry selesai, suasana hening, yang terdengar hanyalah ratapan Celestina. "Oh, hatiku yang malang, ke mana perginya? Dia meninggalkanku karena mantra ... " "Pernahkah terpikir olehmu, Harry," kata Mr Weasley, "bahwa Snape hanya berpura-pura" "Berpura-pura mau membantu, sehingga dia bisa tahu apa yang dikerjakan Malfoy?" kata Harry cepatcepat. "Yeah, saya sudah menduga Anda akan berkata begitu. Tapi bagaimana kita bisa tahu?" "Bukan urusan kita untuk tahu," kata Lupin tanpa diduga. Dia sudah memunggungi api sekarang, dan menghadap ke Harry di seberang Mr Weasley. "Itu urusan Dumbledore. Dumbledore memercayai Severus, dan itu seharusnya sudah cukup untuk kita semua." "Tapi," kata Harry, "misalnya saja -- misalnya saja Dumbledore keliru tentang Snape-- " "Banyak orang berkata begitu, acap kali. Persoalannya adalah, kau memercayai keputusan Dumbledore atau tidak. Aku memercayainya; karena itu aku memercayai Severus." "Tapi Dumbledore bisa saja keliru," bantah Harry. "Dia sendiri bilang begitu. Dan kau-" Dia memandang tajam Lupin. "apakah kau sejujurnya menyukai Snape?" "Aku bukannya tidak suka ataupun suka kepada Severus," kata Lupin. "Benar, Harry, aku mengatakan yang sebenarnya, dia menambahkan ketika ekspresi Harry menunjukkan keraguan. "Kami tak akan pernah menjadi sahabat, barangkali; setelah apa yang terjadi di antara James dan Sirius dan Severus, ada banyak sakit hati di sana. Tapi aku tidak melupakan bahwa selama setahun aku mengajar di Hogwarts, Severus membuatkanku Ramuan Kutukan-Serigala setiap bulan, membuatnya dengan sempurna, sehingga aku tak perlu menderita seperti biasanya pada waktu bulan purnama." "Tapi dia 'tak sengaja' kelepasan omong bahwa kau manusia serigala, jadi kau terpaksa pergi!" kata Harry berang. Lupin mengangkat bahu. "Kabar itu toh pasti akan bocor. Kita berdua tahu dia menginginkan pekerjaanku, tapi dia bisa membuatku celaka lebih parah dengan memasukkan sesuatu pada Ramuan-nya. Dia menjagaku tetap sehat. Aku seharusnya berterima kasih." "Mungkin dia tidak berani main-main dengan Ramuan-nya karena Dumbledore mengawasinya!" kata Harry. "Kau bertekad mau membencinya, Harry," kata Lupin dengan senyum samar. "Dan aku paham; dengan James sebagai ayahmu, dengan Sirius sebagai walimu, kau sudah mewarisi prasangka lama. Silakan saja menceritakan kepada Dumbledore apa yang telah kau ceritakan kepada Arthur dan aku, tapi jangan mengharap dia terkejut mendengar ceritamu. Barangkali malah Severus menginterogasi Draco atas perintah Dumbledore." "... dan kini setelah kau cabik-cabik hatiku kumohon kembalikanlah dia kepadaku!" Celestina mengakhiri lagunya dengan nada panjang melengking, disambut aplaus meriah dari radio. Mrs Weasley dengan antusias ikut bertepuk tangan. "Sudah selesai?" kata Fleur keras. "Syukurlah, lagu-lagunya par-" "Bagaimana kalau kita minum sebelum tidur?" tanya Mr Weasley keras-keras, seraya melompat bangun. "Siapa yang mau egg-nog?" Egg-nog adalah minuman mirip milkshake yang terbuat dari campuran susu, telur, gula, plus sedikit brendi, dan secara tradisi diminum saat Natal. "Apa yang kau lakukan akhir-akhir ini?" Harry menanyai Lupin, ketika Mr Weasley pergi mengambil eggnog dan yang lain menggeliat dan mulai mengobrol. "Oh, aku bekerja di bawah tanah," kata Lupin. "Nyaris harfiah. Itulah sebabnya aku tak bisa menulis, Harry mengirim surat kepadamu sama saja dengan membuka rahasia." "Apa maksudmu?" "Aku hidup di tengah kawan-kawanku, sesamaku" kata Lupin. "Manusia serigala," dia menambahkan, melihat Harry tampak tak paham. "Hampir semua di antara mereka berpihak kepada Voldemort. Dumbledore menginginkan mata-mata dan inilah aku ... siap pakai." Lupin kedengarannya agak getir, dan barangkali menyadarinya, karena dia tersenyum lebih hangat ketika meneruskan, "Aku tidak mengeluh; ini pekerjaan yang perlu dilakukan dan siapa yang bisa melakukannya lebih baik daripadaku? Meskipun demikian, sulit untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Aku memiliki tanda-tanda jelas sudah pernah berusaha hidup di antara para penyihir, soalnya, sementara mereka menghindari masyarakat normal dan hidup sulit, mencuri-dan kadang-kadang membunuh untuk bisa makan." "Bagaimana mereka bisa menyukai Voldemort?" "Mereka menganggap bahwa, di bawah pemerintahan Voldemort, mereka akan memiliki kehidupan yang lebih baik," kata Lupin. "Dan sulit dibantah dengan Greyback di luar sana ll "Siapakah Greyback?" Nama Greyback berarti "punggung kelabu". "Kau belum pernah mendengar tentang dia?" tangan Lupin terkepal mengejang di pangkuannya. "Fenrir Greyback barangkali adalah manusia serigala paling buas yang hidup saat ini. Dia menganggap menggigit dan mengontaminasi sebanyak mungkin orang sebagai misi hidupnya; dia ingin menciptakan cukup manusia serigala untuk menguasai penyihir. Voldemort telah menjanjikan akan memberinya mangsa sebagai imbalan atas pelayanannya. Greyback mengkhususkan diri pada anak-anak ... gigitlah selagi mereka muda, katanya, dan besarkan mereka jauh dari orang tua mereka, besarkan mereka untuk membenci para penyihir yang normal. Voldemort telah mengancam akan melepas Greyback kepada anak orang-orang. Ancaman yang biasanya membuahkan hasil yang baik." Lupin diam sesaat dan kemudian berkata, "Greybacklah yang menggigitku." "Apa?" kata Harry, kaget. "Waktu-waktu kau masih kecil, maksudmu?" "Ya. Ayahku telah membuatnya marah. Aku tidak tahu, sampai lama sekali, identitas manusia serigala yang menyerangku. Aku bahkan kasihan kepadanya, mengira dia tak bisa mengontrol diri, karena waktu itu aku sudah tahu bagaimana rasanya bertransformasi. Tetapi Greyback tidak seperti itu. Pada waktu bulan purnama dia memposisikan diri dekat dengan korbannya, memastikan bahwa dia cukup dekat untuk menyerang. Semuanya direncanakannya. Dan inilah orang yang digunakan Voldemort untuk menyatukan kekuatan para manusia serigala. Aku tak bisa berpurapura bahwa argumenku, yang sebetulnya masuk akal, memperoleh kemajuan melawan kampanye Greyback yang bertubi-tubi bahwa kami para manusia serigala layak memperoleh darah, bahwa kami harus membalas dendam kepada orang-orang yang normal." "Tapi kau normal!" kata Harry tegas. "Kau cuma punya-punya masalah-" Lupin meledak tertawa. "Kadang-kadang kau sangat mengingatkanku akan James. Dia menyebut itu 'masalah bulu kecil'-ku kalau ada orang lain. Banyak orang mengira aku punya kelinci yang sangat nakal." Dia menerima segelas egg-nog dari Mr Weasley sambil mengucapkan terima kasih, tampak sedikit lebih riang. Harry, sementara itu, merasa dialiri kegairahan: ayahnya yang disebut-sebut membuatnya teringat bahwa ada sesuatu yang ingin sekali ditanyakannya kepada Lupin. "Pernahkah kau mendengar ada orang yang dijuluki pangeran Berdarah-Campuran?" "Apa yang Berdarah-Campuran?" "Pangeran," kata Harry, mengawasinya dengan tajam untuk mencari tanda-tanda pengenalan. "Tak ada pangeran sihir, kata Lupin, sekarang tersenyum. "Apakah ini gelar yang akan kau pakai? Kupikir menjadi 'Sang Terpilih' sudah cukup." "Tak ada hubungannya denganku!" kata Harry jengkel. Pangeran Berdarah-Campuran adalah orang yang dulunya bersekolah di Hogwarts. Buku Ramuan-nya sekarang ada padaku. Dia menulis macam-macam mantra di buku itu, mantra-mantra ciptaannya. Salah satunya adalah Levicorpus-" "Oh, mantra itu populer sekali waktu aku di Hogwarts," kata Lupin mengenang. "Ada beberapa bulan di tahun kelimaku ketika kau tak bisa bergerak karena digantung terbalik di udara pada pergelangan kakimu." "Ayahku menggunakannya," kata Harry. "Aku melihatnya di Pensieve, dia menggunakannya terhadap Snape." Harry berusaha terdengar biasa, seolah ini sekadar komentar yang tak punya makna penting, namun dia tak yakin dia berhasil mendapatkan efek yang benar; senyum Lupin agak terlalu penuh pengertian. "Ya," katanya, "tapi dia bukan satu-satunya. Seperti yang kukatakan, mantra itu sangat populer ... kau tahu sendiri bagaimana mantra-mantra ini datang dan pergi ... " "Tapi kedengarannya mantra itu diciptakan ketika kau di Hogwarts," Harry bertahan. "Tidak harus begitu," kata Lupin. "Mantra dan kutukan menjadi mode dan ketinggalan mode seperti semua hal lain." Dia menatap wajah Harry dan kemudian berkata tenang, "James berdarah murni, Harry, dan kupastikan, dia tak pernah meminta kami memanggilnya 'Pangeran'." Menanggalkan kepura-puraan, Harry berkata, "Dan itu bukan Sirius? Atau kau sendiri?" "Pasti bukan." "Oh." Harry menatap api. "Aku cuma mengira -- yah, dia telah banyak membantuku di kelas Ramuan, si Pangeran itu." "Sudah berapa tuanya buku ini, Harry?" "Entahlah, aku tak pernah mengeceknya." "Nah, barangkali itu bisa memberimu petunjuk kapan kira-kira si Pangeran berada di Hogwarts," kata Lupin. Tak lama setelah itu, Fleur memutuskan untuk menirukan Celestina menyanyikan Sekuali Penuh Cinta yang Panas dan Pekat. Semua orang, begitu melihat ekspresi Mrs Weasley, menganggap ini sebagai tanda untuk pergi tidur. Harry dan Ron naik ke kamar Ron di loteng. Sebuah tempat tidur lipat telah ditambahkan di kamar itu. untuk Harry. Ron langsung tertidur, namun Harry mengaduk isi kopernya dan mengeluarkan buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjutnya sebelum ke tempat tidurnya. Di sana dia membuka-buka halamannya, mencari-cari, sampai akhirnya ditemukannya, di bagian depan buku, tahun buku itu diterbitkan. Hampir lima puluh tahun yang lalu. Baik ayahnya maupun teman-teman ayahnya belum di Hogwarts lima puluh tahun lalu. Kecewa, Harry melempar kembali buku itu ke dalam kopernya, mematikan lampu, dan berguling menyamping, memikirkan manusia serigala dan Snape, Stan Shunpike dan Pangeran Berdarah-Campuran, dan akhirnya tertidur. Tidurnya gelisah, penuh bayang-bayang yang merayap mendekat dan jeritan anakanak yang digigit manusia serigala ... "Dia pasti bercanda ... " Harry terbangun kaget. Sebuah stocking penuh berisi hadiah tergeletak di ujung tempat tidurnya. Dia memakai kacamatanya dan memandang ke sekitarnya; jendela kecil di kamar itu nyaris tertutup salju dan di depan jendela itu Ron duduk tegak di tempat tidurnya, sedang mengamati sesuatu yang tampaknya seperti kalung emas tebal. "Apa itu?" tanya Harry "Ini dari Lavender," kata Ron, kedengaran jijik. "Masa dia mengira aku mau memakai ... " Harry memandang lebih teliti dan meledak tertawa. Tergantung pada rantai itu huruf-huruf emas yang membentuk tulisan "My Sweetheart". "Bagus," katanya. "Berkelas. Kau jelas harus memakainya di depan Fred dan George." "Kalau kau beritahu mereka," ancam Ron, menjejalkan kalung itu ke bawah bantalnya, "aku-aku-aku-akan-" "Ngomong gagap kepadaku?" kata Harry, nyengir. "Yang benar saja, masa aku mau melapor ke mereka?" "Tapi bagaimana dia bisa mengira aku akan suka sesuatu seperti itu?" Ron bertanya pada udara kosong, tampak agak shock. "Coba pikir kembali," kata Harry. "Apa kau pernah kelepasan omong bahwa kau senang tampil di muka umum dengan kata-kata 'My Sweetheart' tergantung di lehermu?" "Yah ... kami tidak begitu banyak bicara sih," kata Ron. "Kebanyakan hanya ... " "Ciuman," kata Harry. "Yeah, memang," kata Ron. Dia bimbang sejenak, kemudian berkata, "Apakah Hermione betul-betul jadian dengan McLaggen?" "Aku tak tahu," kata Harry. "Mereka datang berdua di pesta Slughorn, tapi kurasa akhirnya tidak begitu oke." Ron tampak sedikit lebih ceria ketika dia merogoh lebih dalam ke dalam stocking-nya. Hadiah Harry di antaranya adalah sebuah sweter dengan gambar Golden Snitch besar pada bagian depannya, dirajut sendiri oleh Mrs Weasley, satu kotak besar berisi produk-produk Sihir Sakti Weasley dari si kembar, dan sebuah bungkusan agak lembap berbau apak yang ada labelnya dengan tulisan "Untuk Tuan, dari Kreacher". Harry menatap bungkusan itu. "Menurutmu ini aman untuk dibuka?" dia bertanya. "Mestinya bukan sesuatu yang berbahaya, semua kiriman kita masih diperiksa di Kementerian," jawab Ron, kendati dia mengawasi bungkusan itu dengan curiga. "Tak terpikir olehku akan memberi Kreacher sesuatu! Apakah orang biasanya memberi hadiah Natal kepada peri-rumah mereka?" tanya Harry, menusuk-nusuk bungkusan itu dengan hati-hati. "Kalau Hermione sih iya," kata Ron. "Tapi kita tunggu dulu dan lihat apa isinya sebelum kau merasa bersalah." Beberapa saat kemudian, Harry berteriak keras dan melompat turun dari tempat tidur lipatnya. Bungkusannya berisi belatung banyak sekali. "Menyenangkan," kata Ron, terbahak-bahak. "Sangat penuh perhatian." "Aku lebih suka dapat belatung daripada kalung," kata Harry. Ron langsung terdiam. Semua orang memakai sweter baru ketika mereka duduk untuk makan siang Natal, semua kecuali Fleur (rupanya Mrs Weasley tak ingin membuang-buang sweter untuk Fleur) dan Mrs Weasley sendiri. Mrs Weasley memakai topi penyihir baru berwarna biru-malam dengan hiasan kelap-kelip yang kelihatannya berlian-berlian kecil seperti bintang, dan kalung emas spektakuler. "Fred dan George yang menghadiahkan ini kepadaku! Bagus, kan?" "Soalnya kami makin lama makin menghargai Mom, sekarang setelah kami mencuci kaus kaki kami sendiri" kata George, melambaikan tangan dengan enteng. "Parsnip, Remus?" dia menawarkan sayur semacam wortel kepada Lupin. "Harry, ada belatung di rambutmu," kata Ginny riang, mencondongkan tubuh di atas meja untuk mengambil belatung itu. Harry merasa bulu kuduknya langsung meremang, yang tak ada hubungannya dengan belatung. "Ih, jijik," kata Fleur, dengan bahu sedikit bergidik. "Ya, memang," kata Ron. "Saus, Fleur?" Saking bersemangatnya mau membantu Fleur, Ron membuat mangkuk saus melayang. Bill melambaikan tongkat sihirnya dan saus yang melompat ke udara masuk lagi dengan patuh ke dalam mangkuknya. "Kau sama parahnya dengan Tonks," kata Fleur kepada Ron, setelah dia mencium Bill sebagai ucapan terima kasih. "Dia selalu menabrak-nabrak-" "Aku mengundang Tonks yang baik untuk datang hari ini;" kata Mrs Weasley, menaruh wortel dengap kekuatan berlebihan dan mendelik pada Fleur. "Tapi dia tak mau datang. Kau sudah bicara dengannya belakangan ini, Remus?" "Belum, aku tidak banyak mengontak teman," kata Lupin. "Tapi Tonks punya keluarga sendiri yang bisa dia datangi, kan?" "Hmmm," kata Mrs Weasley. "Barangkali. Aku mendapat kesan dia berencana melewatkan Natal sendirian, sebetulnya." Dia memandang kesal pada Lupin, seolah salah Lupin-lah dia mendapatkan Fleur sebagai menantu alih-alih Tonks, namun Harry, mengerling Fleur yang sedang menyuapkan potongan-potongan kalkun kepada Bill dengan garpunya, berpikir bahwa Mrs Weasley sudah kalah perang. Meskipun demikian dia jadi ingat satu pertanyaan yang ada hubungannya dengan Tonks, dan siapa lagi yang paling tepat ditanya selain Lupin, orang yang tahu segalanya tentang Patronus? "Patronus Tonks berubah bentuk," dia memberitahu Lupin. "Begitulah kata Snape, paling tidak. Aku tak tahu itu bisa terjadi. Kenapa Patronus kita berubah?" Lupin mengambil waktu mengunyah kalkunnya dan menelannya sebelum berkata lambat-lambat, "Kadang-kadang ... shock yang hebat ... guncangan emosional ... " "Kelihatan besar dan punya empat kaki," kata Harry, mendadak sebuah pikiran melintas di benaknya dan dia merendahkan suaranya, "Hei ... mungkinkah?" "Arthur!" kata Mrs Weasley tiba-tiba. Dia telah bangkit dari kursinya, tangannya menekan jantungnya dan dia menatap ke luar jendela dapur. "Arthur-Percy datang!" "Apa?" Mr Weasley menoleh ke belakang. Semua orang cepat-cepat melihat ke jendela. Ginny berdiri agar bisa melihat lebih baik. Betul juga, tampak Percy Weasley berjalan di halaman bersalju, kacamatanya yang berbingkai-tulang berkilat tertimpa cahaya matahari. Namun dia tidak sendirian. "Arthur, dia-dia bersama Menteri!" Dan betul saja, laki-laki yang pernah Harry lihat di Daily Prophet berjalan di belakang Percy, agak timpang, rambut lebatnya yang kelabu dan mantel hitamnya tertempel salju di sana-sini. Sebelum salah satu dari mereka bisa mengatakan apa-apa, sebelum Mr dan Mrs Weasley bisa melakukan sesuatu selain bertukar pandang, pintu belakang terbuka dan Percy berdiri di sana. Keheningan yang menyusul menyakitkan. Kemudian Percy berkata agak kaku, "Selamat Natal, Ibu." "Oh, Percy!" kata Mrs Weasley, dan dia melempar dirinya ke dalam pelukan Percy. Rufus Scrimgeour berhenti di ambang pintu, bertumpu pada tongkatnya dan tersenyum mengawasi adegan penuh kasih-sayang ini. "Kalian harus memaafkan gangguan ini," katanya, ketika Mrs Weasley menoleh memandangnya, tersenyum dan menyeka matanya. "Percy dan aku berada di dekat sini bekerja, kalian tahu dan dia tak tahan tidak mampir dan bertemu kalian semua." Namun Percy tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyalami anggota keluarganya yang lain. Dia berdiri tegak dan tampak kikuk, dan memandang di atas kepala semua orang. Mr Weasley, Fred, dan George mengawasinya, dengan pandangan dingin. "Silakan, silakan masuk, silakan duduk, Pak Menteri!" kata Mrs Weasley gugup, merapikan rambutnya. "Silakan mencicipi palkun, atau kuding ... maksud saya-" "Tak usah, tak usah, Molly," kata Scrimgeour. Harry menduga dia sudah menanyakan nama Mrs Weasley kepada Percy sebelum mereka masuk rumah. "Aku tak mau mengganggu, tak akan berada di sini kalau Percy tidak ingin sekali bertemu kalian semua ... " "Oh, Perce!" kata Mrs Weasley bercucuran air mata, berjingkat untuk menciumnya. "... kami cuma mampir lima menit, jadi aku akan berjalan-jalan di halaman selama kalian melepas rindu dengan Percy. Tidak, tidak, aku betul-betul tak mau mengganggu! Nah, kalau ada yang bersedia mengantarku melihat kebun kalian yang indah ... ah, pemuda itu sudah selesai, bagaimana kalau dia berjalan-jalan bersamaku?" Suasana di sekeliling meja makan kentara sekali berubah. Semua orang memandang Scrimgeour dan Harry bergantian. Tak seorang pun menganggap kepura-puraan Scrimgeour tidak tahu nama Harry meyakinkan, atau menganggap wajar bahwa Harry-lah yang dipilih menemani Menteri berkeliling kebun, sementara piring Ginny, Fleur, dan George juga sudah bersih. "Yeah, baiklah," kata Harry ke dalam kesunyian. Harry tidak teperdaya. Walaupun Scrimgeour mengatakan mereka kebetulan ada di daerah itu, bahwa Percy ingin bertemu keluarganya, ini pastilah alasan sebenarnya kenapa mereka datang, supaya Scrimgeour bisa bicara berdua saja dengan Harry. "Tak apa-apa," katanya pelan, ketika dia melewati Lupin, yang sudah setengah bangkit dari kursinya. "Tak apa-apa," dia menambahkan, ketika Mr Weasley membuka mulut untuk bicara. "Bagus sekali!" kata Scrimgeour, mundur untuk membiarkan Harry melewati pintu, mendahuluinya. "Kami akan berkeliling kebun sekali, dan kemudian Percy dan aku pergi. Silakan melanjutkan makan kalian!" Harry berjalan menyeberangi kebun keluarga Weasley yang tanamannya sudah perlu dipangkas dan berselimut salju. Scrimgeour berjalan agak pincang di sebelahnya. Harry tahu dia sebelumnya menjabat Kepala kantor Auror. Penampilannya tegar dan banyak bekas luka pertempurannya, sangat berbeda dengan si gendut Fudge dengan topi bowler-nya. "Indah," kata Scrimgeour, berhenti di pagar halaman dan memandang ke padang rumput bersalju dan tanam-tanaman yang tak bisa dikenali. "Indah." Harry diam saja. Dia merasa Scrimgeour mengawasinya. "Aku sudah lama sekali ingin bertemu denganmu," kata Scrimgeour, selewat beberapa saat. "Kau tahu itu?" "Tidak," kata Harry jujur. "Oh ya, sudah lama sekali. Tapi Dumbledore sangat protektif terhadapmu," kata Scrimgeour. "Wajar, tentu saja, wajar, setelah apa yang kau alami ... teristimewa apa yang terjadi di Kementerian ... " Dia menunggu Harry mengatakan sesuatu, namun Harry diam saja, maka dia melanjutkan, "Aku sudah berharap mendapat kesempatan bicara denganmu sejak aku menjabat, tapi Dumbledore-sangat bisa di pahami, seperti kataku-mencegahnya." Harry tetap belum berkata apa-apa, menunggu. "Desas-desus yang beredar!" kata Scrimgeour. "Yah, tentu saja kita berdua tahu bagaimana cerita-cerita ini dibumbui ... semua bisik-bisik tentang ramalan ... tentang kau yang adalah 'Sang Terpilih' ..." Mereka sudah dekat ke pokok masalah sekarang, Harry membatin, alasan Scrimgeour berada di sini. "... kukira Dumbledore telah membicarakan hal-hal ini denganmu?" Harry berbohong atau tidak. Dia memandang jejak-jejak jembalang pada petak-petak bunga, dan bagian tanah yang licin tempat Fred menangkap jembalang yang sekarang memakai tutu di puncak pohon Natal. Akhirnya dia memutuskan mengatakan yang sebenarnya ... atau sebagian kecil dari kebenaran. "Yeah, kami telah membicarakannya." "Ah, kalian telah membicarakannya ... " kata Scrimgeour. Harry bisa melihat, dari sudut matanya, Scrimgeour menyipitkan mata memandangnya, maka dia berpura-pura sangat tertarik pada jembalang yang baru saja memunculkan kepalanya dari bawah rumpun bunga rhododendron yang membeku. "Dan apa yang dikatakan Dumbledore kepadamu, Harry?" "Maaf, tapi itu antara kami berdua," kata Harry. Diusahakannya suaranya semenyenangkan mungkin, dan nada Scrimgeour juga ringan dan ramah ketika dia berkata, "Oh, tentu saja, jika itu masalah kepercayaan, aku tak ingin kau membuka rahasia ... oh, tidak ... dan lagi pula, apakah betul-betul penting kau ini Sang Terpilih atau bukan?" Harry harus memikirkan kalimat terakhir itu selama beberapa detik sebelum menanggapi. "Saya sungguh tidak tahu apa yang Anda maksudkan, Pak Menteri." "Yah, tentu saja, bagimu itu sangat berarti," kata Scrimgeour sambil tertawa. "Tapi untuk komunitas sihir secara umum ... itu semua hanya persepsi, kan? Yang penting adalah apa yang dipercaya orang." Harry tidak berkata apa-apa. Dia mengira dia melihat, samar-samar, ke mana arah pembicaraan mereka, namun dia tak akan membantu Scrimgeogur tiba di sana. Jembalang di bawah rhododendron sekarang menggali cacing di akarnya dan Harry menancapkan pandangannya ke jembalang itu. "Orang-orang mengira kaulah Sang Terpilih," kata Scrimgeour. "Mereka menganggapmu sebagai pahlawan tentu saja kau pahlawan, Harry, terpilih ataupun tidak! Berapa kali sudah kau menghadapi Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut? Yah, bagaimanapun juga," dia melanjutkan, tanpa menunggu jawaban, "poinnya adalah, kau simbol harapan bagi banyak orang, Harry. Ide bahwa ada orang yang mungkin bisa, yang mungkin sudah ditakdirkan, untuk membinasakan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebutyah, wajar saja itu membuat orang-orang bersemangat. Dan mau tak mau aku merasa bahwa, begitu kau menyadari ini, kau akan menganggap bahwa, yah, sudah menjadi kewajibanmulah, untuk berdiri berdampingan dengan Kementerian, dan memberi semangat kepada semua orang." Si jembalang baru saja berhasil memegang cacing. Sekarang dia menarik cacing itu kuat-kuat, berusaha mencabutnya dari tanah beku. Harry lama diam saja sehingga Scrimgeour berkata, memandang Harry dan si jembalang bergantian, "Makhluk aneh, ya? Tapi bagaimana menurutmu, Harry?" "Saya tidak sepenuhnya mengerti apa yang Anda inginkan," kata Harry lambat-lambat. "Berdiri berdampingan dengan Kementerian ... apa maksudnya itu?" "Oh, sama sekali bukan sesuatu yang membebani, kupastikan," kata Scrimgeour. "Jika kau terlihat masuk dan keluar Kementerian dari waktu ke waktu, misalnya, itu akan memberi kesan yang benar. Dan tentu saja, sementara kau di sana, kau akan punya banyak kesempatan untuk bicara kepada Gadwain Robards, penggantiku sebagai Kepala Kantor Auror. Dolores Umbridge memberitahuku bahwa kau bercita-cita menjadi Auror. Yah, itu bisa diatur dengan sangat mudah " Harry merasa kemarahan bergolak di dasar perutnya. Jadi, Dolores Umbridge masih di Kementerian rupanya. "Jadi, pada dasarnya," kata Harry, seolah dia ingin mengklarifikasi beberapa poin, "Anda ingin memberi kesan bahwa saya bekerja untuk Kementerian?" "Akan membangkitkan semangat semua orang jika mereka berpikir kau lebih terlibat, Harry," kata Scrimgeour, kedengarannya lega bahwa Harry begitu cepat menyukai idenya. Sang Terpilih, kau tahu ... ini memberi harapan pada orang-orang, perasaan bahwa hal-hal menggairahkan sedang terjadi ... " "Tetapi kalau saya terus-menerus masuk-keluar Kementerian, kata Harry, masih berusaha menjaga suaranya tetap ramah, "bukankah itu sepertinya saya menyetujui apa yang dilakukan Kementerian?" "Yah," kata Scrimgeour, sedikit mengernyit, "ya, itulah sebagian alasan kenapa kami ingin-" "Tidak, saya rasa itu tidak akan berhasil," kata Harry ramah. "Soalnya, saya tidak menyukai beberapa hal yang dilakukan Kementerian. Mengurung Stan Shunpike, misalnya." Scrimgeour tidak bicara selama beberapa saat, namun ekspresinya langsung mengeras. "Aku tidak mengharap kau memahaminya," katanya, dan dia tidak sesukses Harry dalam menyembunyikan kemarahan dalam suaranya. "Ini masa-masa berbahaya dan tindakan-tindakan tertentu harus dilakukan. Kau baru enam belas tahun" "Dumbledore jauh lebih tua daripada enam belas, dan dia juga tidak berpendapat Stan harus dikurung di Azkaban," kata Harry. "Anda menjadikan Stan kambing hitam, seperti Anda ingin menjadikan saya maskot." Mereka saling pandang, lama dan tajam. Akhirnya Scrimgeour berkata, tak lagi berpura-pura hangat, "Rupanya kau lebih suka seperti pahlawanmu Dumbledore untuk tidak berhubungan dengan Kementerian?" "Saya tidak ingin digunakan," kata Harry. "Beberapa orang akan mengatakan, kewajibanmulah untuk digunakan oleh Kementerian!" "Yeah, dan yang lain barangkali akan berkata, kewajiban Anda-lah untuk mengecek apakah orang-orang itu benar-benar Pelahap Maut sebelum menjebloskan mereka ke penjara," kata Harry, mulai naik darah sekarang. "Anda melakukan apa yang dilakukan Barty Zrouch. Kalian tidak pernah melakukan yang benar, kan? Tadinya Fudge, berpura-pura segalanya baik-baik saja, sementara orang-orang dibunuh di depan hidungnya. Sekarang Anda, menjebloskan orang-orang yang tak bersalah ke penjara. dan berusaha berpura-pura Sang Terpilih bekerja untuk Anda!" "Jadi, kau bukan Sang Terpilih?" tanya Scrimgeour. "Bukankah tadi Anda bilang itu tidak penting?" kata Harry, dengan tawa getir. "Tidak penting bagi Anda, paling tidak." "Mestinya aku tak berkata begitu," kata Scrimgeour cepat-cepat. "Aku tidak bijaksana" "Tidak, itu jujur," kata Harry. "Satu-satunya hal jujur yang Anda sampaikan kepada saya. Anda tidak peduli apakah saya hidup atau mati, tapi Anda peduli saya membantu Anda meyakinkan semua orang Anda memenangkan perang melawan Voldemort. Saya belum lupa, Pak Menteri ..." Harry mengangkat kepalan tangan kanannya. Di tangan yang dingin itu, tampak putih berkilau bekas luka yang dipaksakan Dolores Umbridge ditorehkan pada dagingnya sendiri: Saya tak boleh berbohong. "Saya tak ingat Anda tergopoh-gopoh membela saya ketika saya berusaha memberitahu semua orang bahwa Voldemort sudah kembali. Kementerian tidak ingin berteman dengan saya tahun lalu." Mereka berdiri diam, sama dinginnya dengan tanah di bawah kaki mereka. Si jembalang akhirnya berhasil mencabut cacingnya dan sekarang mengisap-isapnya dengan gembira, bersandar pada dahan-dahan paling bawah rumpun rhododendron. "Apa yang sedang dilakukan Dumbledore?" tanya Slughorn kasar. "Ke mana dia pergi, kalau dia absen dari Hogwarts?" "Saya tak tahu," jawab Harry. "Dan kau tak akan memberitahuku kalau kau tahu," kata Scrimgeour, "iya, kan?" "Ya, saya tidak akan memberitahu Anda," kata Harry. "Yah, kalau begitu aku harus mencoba apakah aku berhasil tahu dengan cara lain." "Anda bisa mencoba," kata Harry tak acuh. "Tapi Anda kelihatannya lebih pintar daripada Fudge, jadi saya kira Anda sudah belajar dari kesalahannya. Dia mencoba ikut campur di Hogwarts. Anda tentunya sadar sekarang dia bukan lagi Menteri, tetapi Dumbledore masih tetap Kepala Sekolah. Kalau saya jadi Anda, saya tidak akan mengganggu Dumbledore." Sunyi lama. "Yah, nyata sekali bagiku dia berhasil mendidikmu dengan sangat baik," kata Scrimgeour, matanya dingin dan keras di balik kacamatanya yang bergagang kawat. "Orang Dumbledore luar-dalam ya, kau, Potter?" "Yeah, memang," kata Harry. "Senang itu sudah luruskan." Dan berbalik membelakangi Menteri Sihir, Harry berjalan kembali menuju rumah. 17. KENANGAN YANG DIMODIFIKASI Suatu senja menjelang malam, beberapa hari setelah Tahun Baru, Harry, Ron, dan Gnny berderet di sebelah perapian di dapur untuk kembali ke Hogwarts. Kementerian telah mengatur koneksi sekali pakai ke Jaringan Floo untuk memulangkan anak-anak dengan cepat dan aman ke sekolah. Hanya Mrs Weasley yang ada untuk mengucapkan selamat tinggal, karena Mr Weasley, Fred, George, Bill, dan Fleur semua bekerja. Air mata Mrs Weasley bercucuran ketika tiba saat perpisahan. Harus diakui, belakangan ini dia mudah sekali menangis. Dia menangis dari waktu ke waktu sejak Percy kabur dari rumah pada Hari Natal dengan kacamata penuh cipratan parsnip (Fred, George, dan Ginny semua mengaku mengambil bagian dalam pelemparan parsnip itu). "Jangan menangis, Mum" kata Ginny, membelai punggung Mrs Weasley ketika ibunya terisak di bahunya. "Kami tidak apa-apa ... " "Yeah, jangan mencemaskan kami," kata Ron, mengizinkan ibunya memberinya ciuman sangat basah pada pipinya, "ataupun Percy. Dia bego sekali, tidak begitu rugi kehilangan dia, kan?" Mrs Weasley terisak makin keras ketika dia merengkuh Harry ke dalam pelukannya. "Berjanjilah kau akan menjaga dirimu ... jangan bikin masalah ... " "Pasti, Mrs Weasley," kata Harry. "Saya suka hidup tenang, Anda kan kenal saya." Mrs Weasley terkekeh tersedu dan mundur. "Baik-baiklah, kalau begitu, kalian bertiga ... " Harry melangkah ke dalam api hijau-zamrud dan berseru, "Hogdwarts!" Sekilas masih dilihatnya dapur keluarga Weasley dan wajah Mrs Weasley yang bersimbah air mata sebelum lidah-lidah api menelannya; berpusing sangat cepat, dia melihat kilasan-kilasan ruangan keluarga penyihir yang lain, yang langsung menghilang dari pandangan sebelum dia sempat melihatnya dengan benar; kemudian dia mulai melambat, akhirnya berhenti di dalam perapian di kantor Profesor McGonagall. Dia hampir-hampir tak mengangkat muka dari pekerjaannya ketika Harry melangkah keluar dari perapian. "Malam, Potter. Usahakan jangan terlalu banyak mengotori karpet dengan abu." "Ya, Profesor." Harry meluruskan kacamatanya dan merapikan rambutnya ketika Ron muncul dalam pusingan. Setelah Ginny tiba, ketiganya meninggalkan kantor McGonagall dan berjalan ke Menara Gryffindor. Harry melihat ke luar dari jendela-jendela koridor yang mereka lewati; matahari sudah terbenam di atas tanah yang berselimut karpet salju yang lebih tebal daripada yang terhampar di halaman The Burrow. Di kejauhan dia bisa melihat Hagrid sedang memberi makan Buckbeak di depan pondoknya. "Kepala keledai," kata Ron mantap, ketika mereka tiba di depan Nyonya Gemuk, yang tampak lebih pucat daripada biasanya, dan berjengit mendengar suara keras Ron. "Bukan," katanya. "Apa maksudmu, bukan?" "Ada kata kunci baru," katanya. "Dan tolong jangan teriak-teriak." "Tapi kami kan habis liburan, bagaimana mungkin kami?" "Harry! Ginny!" Hermione bergegas ke arah mereka, pipinya sangat kemerahan dan dia memakai mantel, topi, dan sarung tangan. "Aku tiba beberapa jam lalu, aku baru saja mengunjungi Hagrid dan Buck maksudku Witherwings," katanya terengah. "Apakah Natal kalian menyenangkan?" "Yeah," kata Ron segera, "cukup seru, Rufus Scrim-" "Ada sesuatu untukmu, Harry," kata Hermione, tanpa memandang Ron ataupun menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mendengarnya. "Oh, tunggu-kata kunci. Pantang." "Tepat," kata si Nyonya Gemuk dengan suara lemah, dan mengayun ke depan memperlihatkan lubang lukisannya. "Kenapa sih dia?" tanya Harry. "Terlalu banyak minum selama Natal, rupanya" kata Hermione, memutar matanya sambil masuk lebih dulu ke ruang rekreasi yang penuh. "Dia dan temannya Violet meminum semua anggur dalam lukisan para rahib mabuk di koridor kelas Mantra. Ini ..." Dia mencari-cari di dalam sakunya sebentar, kemudian menarik keluar gulungan perkamen dengan tulisan Dumbledore di atasnya. "Bagus," kata Harry, yang langsung membuka gulungannya dan ternyata pelajaran berikutnya dengan Dumbledore dijadwalkan esok malamnya. "Banyak yang mau kusampaikan kepadanya dan kepadamu. Yuk, kita duduk" Namun saat itu terdengar pekik keras "Won-Won!" dan Lavender Brown tiba-tiba saja muncul dan melempar dirinya ke dalam pelukan Ron. Beberapa anak yang melihat cekikikan. Hermione tertawa nyaring dan berkata, "Ada meja di sana ... ikut, Ginny?" "Tidak, terima kasih, aku sudah janji mau ketemu Dean," kata Ginny, meskipun Harry mau tak mau memperhatikan bahwa dia kedengarannya tidak terlalu antusias. Meninggalkan Ron dan Lavender berkutat dalam semacam adu gulat vertikal, Harry mengajak Hermione ke meja yang kosong. "Bagaimana Natal-mu?" "Oh, baik," Hermione mengangkat bahu. "Tak ada yang istimewa. Bagaimana di rumah Won-Won?" "Akan kuceritakan sebentar lagi," kata Harry. "Dengar, Hermione, tidak bisakah kau?" "Tidak, tidak bisa," katanya tegas. "Jadi, jangan minta." "Kupikir barangkali, kau tahu, setelah Natal-" "Nyonya Gemuk yang minum satu tong anggur berusia lima-ratus-tahun, Harry, bukan aku. Jadi, berita penting apa yang ingin kau sampaikan kepadaku?" Hermione tampak terlalu galak untuk dibantah saat itu, maka Harry melepas topik tentang Ron dan menceritakan semua yang telah didengarnya dalam pembicaraan antara Malfoy dan Snape. Setelah dia selesai, Hermione berpikir sejenak dan kemudian berkata, "Tidakkah kau berpikir?" "dia hanya berpura-pura menawarkan bantuan supaya Malfoy teperdaya mau memberitahunya apa yang sedang dilakukannya?" "Ya," kata Hermione. "Ayah Ron dan Lupin juga berpendapat begitu," kata Harry enggan. "Tapi ini jelas membuktikan Malfoy sedang merencanakan sesuatu, kau tak bisa membantah itu." "Memang," kata Hermione lambat-lambat. "Dan dia bertindak atas perintah Voldemort, seperti yang kukatakan!" "Hmmm ... apakah salah satu dari mereka betul-betul menyebut nama Voldemort?" Harry mengernyit, berusaha mengingat-ingat. "Aku tak yakin ... Snape jelas mengatakan 'tuanmu' dan siapa lagi itu?" "Aku tak tahu," kata Hermione, menggigit bibirnya, "Mungkin ayahnya?" Dia menatap ke seberang ruangan, sibuk berpikir, bahkan tidak menyadari Lavender menggelitik Ron. "Bagaimana kabarnya Lupin?" "Tidak baik," kata Harry, dan dia menceritakan kepada Hermione segalanya tentang misi Lupin di antara para manusia serigala dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. "Apakah kau pernah dengar tentang Fenrir Greyback ini?" "Ya, pernah!" kata Hermione, kedengarannya kaget. "Dan kau juga pernah, Harry!" "Kapan, Sejarah Sihir? Kau tahu benar aku tak pernah mendengarkan ... " "Bukan, bukan, bukan Sejarah Sihir Malfoy mengancam Borgin dengannya!" kata Hermione. "Waktu di Knockturn Alley, kau tidak ingat? Dia bilang kepada Borgin bahwa Greyback adalah teman lama keluarga mereka dan bahwa dia akan mengecek progres Borgin!" Harry melongo menatapnya. "Aku lupa! Tapi ini membuktikan Malfoy adalah Pelahap Maut, kalau tidak bagaimana dia bisa berhubungan dengan Greyback dan memberitahunya apa yang harus dilakukan?" "Memang cukup mencurigakan," desah Hermione. "Kecuali " "Oh, ayolah," kata Harry kesal, "kau tak bisa mengingkari yang satu ini!" "Yah ... ada kemungkinan itu cuma ancaman kosong." "Kau ini keterlaluan, kata Harry, menggelengkan kepala. "Kita akan lihat siapa yang benar ... kau akan menjilat ludahmu sendiri, Hermione, sama seperti Kementerian. Oh yeah, aku bertengkar dengan Rufus Scrimgeour juga ... " Dan sisa malam itu berlalu damai, dengan keduanya memaki-maki Menteri Sihir, karena Hermione, seperti Ron, menganggap bahwa setelah semua kesulitan yang mereka timpakan kepada Harry sepanjang tahun lalu, nekat sekali mereka meminta Harry membantu sekarang. Semester baru mulai esok paginya dengan kejutan menyenangkan untuk anak-anak kelas enam: sebuah pengumuman besar telah ditempelkan di papan pengumuman di ruang rekreasi semalam. KURSUS APPARITION Jika kau berusia tujuh belas tahun, atau akan menjadi tujuh belas pada atau sebelum tanggal 31 Agustus, kau memenuhi syarat untuk ikut kursus Apparition selama dua-belas-minggu dari Instruktur Apparition Kementerian Sihir. Silakan mencatatkan nama di bawah jika kau ingin ikut. Biaya: 12 Galleon. Harry dan Ron bergabung dengan kerumunan yang berdesakan di sekeliling pengumuman dan bergiliran menuliskan nama mereka di bawahnya. Ron baru mengeluarkan pena-bulunya untuk mendaftar setelah Hermione ketika Lavender mengendap-endap di belakangnya, menutup mata Ron dengan tangannya, dan bertanya manja, "Coba tebak siapa, Won-Won?" Harry berpaling dan melihat Hermione pergi. Dia menyusulnya, karena tak ingin tinggal bersama Ron dan Lavender, namun dia heran karena belum jauh dari lubang lukisan Ron sudah menyusul mereka, telinganya merah padam dan ekspresinya jengkel. Tanpa kata, Hermione mempercepat langkah untuk berjalan bersama Neville. "Jadi Apparition," kata Ron, nadanya menyiratkan dengan jelas bahwa Harry dilarang menyebut-nyebut apa yang baru saja terjadi. "Pasti asyik, eh?" "Entahlah," kata Harry. "Mungkin lebih baik kalau kau mencobanya sendiri. Aku tidak begitu menikmatinya ketika Dumbledore membawaku ber-Apparate." "Aku lupa kau pernah melakukannya ... sebaiknya aku langsung lulus pada ujian pertama," kata Ron, tampak cemas. "Fred dan George langsung lulus." "Tapi Charlie tidak lulus, kan?" "Yeah, tapi Charlie lebih besar daripadaku," Ron menjulurkan lengannya dari tubuhnya seolah dia gorila, "jadi Fred dan George tidak begitu mengolokoloknya ... tidak di depannya, paling tidak ... " "Kapan kita ikut ujian yang sebenarnya?" "Begitu umur kita tujuh belas tahun. Baru bulan Maret untukku!" "Yeah, tapi kau tak akan bisa ber-Apparate di sini, tidak di dalam kastil ... " "Bukan itu masalahnya, kan? Semua orang akan tahu aku bisa ber-Apparate kalau aku mau." Ron bukan satu-satunya yang bersemangat menyambut kursus Apparition. Sepanjang hari itu banyak pembicaraan tentang kursus itu; mereka menganggap hebat kemampuan menghilang dan muncul lagi kapan saja mereka mau. "Cool banget kalau kita bisa" Seamus menjentikkan jari-jarinya untuk mengisyaratkan menghilang. "Sepupuku Fergus melakukannya hanya untuk membuatku kesal, tunggu sampai aku bisa membalasnya ... hidupnya tak akan bisa tenang lagi " Saking asyiknya membayangkan prospek menyenangkan ini, dia menjentikkan tongkat sihirnya agak terlalu antusias, sehingga alih-alih menghasilkan air mancur, yang merupakan objek pelajaran Mantra hari itu, dia menghasilkan semburan keras air seperti dari slang, yang memantul dari langit-langit dan menghantam wajah Profesor Flitwick. "Harry sudah pernah ber-Apparate," Ron memberitahu Seamus yang agak malu, setelah Profesor Flitwick mengeringkan diri dengan lambaian tongkat sihirnya dan menghukum Seamus dengan tugas menulis ("Saya penyihir, bukan babon yang mengacung-acungkan tongkat"). "Dum-er-ada yang mengajaknya ikut ber-Apparate." "Whoa!" bisik Seamus, dan dia, Dean, dan Neville saling mendekatkan kepala untuk mendengar bagaimana rasanya Apparition. Selama sisa hari itu Harry diserbu permintaan dari anak-anak kelas enam lainnya untuk mendeskripsikan sensasi Apparition. Semuanya tampak terpesona, bukan malah ketakutan, ketika dia memberitahu mereka betapa tidak nyaman rasanya, dan dia masih menjawab pertanyaan terperinci pada pukul delapan kurang sepuluh malam itu. Terpaksa dia berbohong dan mengatakan dia harus mengembalikan buku ke perpustakaan, supaya bisa kabur pada waktunya untuk ikut pelajaran dengan Dumbledore. Lampu-lampu di kantor Dumbledore sudah dinyalakan, lukisan para mantan kepala sekolah mendengkur halus di dalam pigura mereka, dan Pensieve sudah siap di atas meja sekali lagi. Tangan Dumbledore terletak di kanan-kirinya. Tangan kanannya sama hitam dan terbakarnya seperti sebelumnya, sama sekali tak ada tanda-tanda kesembuhan dan Harry bertanya-tanya dalam hati, mungkin untuk keseratus kalinya, apa yang telah menyebabkan luka begitu parah, namun tidak bertanya. Dumbledore sudah mengatakan bahwa dia nantinya akan tahu dan, lagi pula, ada topik lain yang ingin dibicarakannya. Namun sebelum Harry bisa mengatakan apa-apa tentang Snape dan Malfoy, Dumbledore berbicara. "Kudengar kau bertemu Menteri Sihir Natal yang lalu?" "Ya," kata Harry. "Dia tidak begitu senang dengan saya." "Ya," Dumbledore menghela napas. "Dia juga tidak begitu senang denganku. Kita harus berusaha tidak tenggelam dalam kesedihan kita, Harry, melainkan terus berjuang." Harry nyengir. "Dia ingin saya memberitahu komunitas sihir bahwa Kementerian melakukan hal yang luar biasa." Dumbledore tersenyum. "Itu sebetulnya ide Fudge, kau tahu. Dalam hari-hari terakhirnya menjabat, ketika dia berusaha keras mempertahankan kedudukannya, dia meminta bertemu denganmu, berharap kau mau memberinya dukungan" "Setelah semua yang Fudge lakukan tahun lalu?" kata Harry berang. "Setelah Umbridge?" "Kuberitahu Cornelius tak ada kans untuk itu, tetapi ide ini tidak mati setelah dia pergi. Beberapa jam setelah Scrimgeour diangkat kami bertemu dan dia menuntut agar aku mengatur pertemuan denganmu-" "Jadi, itulah sebabnya Anda berdua bertengkar!" celetuk Harry. "Ada di Daily Prophet." "Prophet kadang-kadang melaporkan hal yang benar," kata Dumbledore, "kalaupun hanya secara kebetulan. Ya, itulah sebabnya kami bertengkar. Nah, tampaknya Rufus menemukan jalan untuk menyudutkanmu akhirnya." "Dia menuduh saya 'orang Dumbledore luar-dalam'." "Sungguh sangat tidak sopan." "Saya katakan kepadanya memang begitu." Dumbledore membuka mulut untuk bicara dan kemudian menutupnya lagi. Di belakang Harry, Fawkes si burung phoenix mengeluarkan jeritan pelan, lembut, merdu. Harry menjadi sangat salah tingkah ketika tiba-tiba menyadari bahwa mata biru cerah Dumbledore tampak agak berair dan buru-buru memandang lututnya sendiri. Namun ketika Dumbledore bicara, suaranya cukup mantap. "Aku sangat terharu, Harry." "Scrimgeour ingin tahu ke mana Anda pergi ketika Anda tidak berada di Hogwarts," kata Harry, masih terus memandang lututnya. "Ya, dia penasaran sekali soal itu," kata Dumbledore, sekarang kedengaran ceria, dan Harry menganggap sudah aman untuk mengangkat mukanya lagi. "Dia bahkan berusaha menyuruh orang membuntutiku. Menggelikan, sebetulnya. Dia menyuruh Dawlish membuntutiku. Kasihan Dawlish. Aku pernah terpaksa memantrai Dawlish, sekali lagi aku memantrainya dengan sangat menyesal." "Jadi, mereka masih belum tahu ke mana Anda pergi?" tanya Harry, berharap mendapat lebih banyak informasi tentang topik yang menarik ini, namun Dumbledore hanya tersenyum dari atas kacamata bulan-separonya. "Belum, mereka belum tahu, dan waktunya juga belum tepat bagimu untuk tahu. Nah, sekarang kusarankan kita melanjutkan pelajaran kita, kecuali ada sesuatu yang lain?" "Ada, sebetulnya, Sir," kata Harry. "Tentang Malfoy dan Snape." "Profesor Snape, Harry." "Ya, Sir. Saya mendengar pembicaraan mereka waktu ke pesta Profesor Slughorn ... yah, saya sengaja membuntuti mereka, sebetulnya ... " Dumbledore mendengarkan cerita Harry dengan wajah tenang. Setelah Harry selesai dia tidak bicara selama beberapa saat, kemudian berkata, "Terima kasih telah memberitahuku semua ini, Harry, tapi kusarankan kau melupakannya. Kurasa itu, tidak terlalu penting." "Tidak terlalu penting?" ulang Harry tak percaya. "Profesor, apakah Anda mengerti?" "Ya, Harry, dianugerahi kemampuan otak yang luar biasa seperti ini, aku mengerti semua yang kau ceritakan kepadaku, kata Dumbledore, agak tajam. "Kurasa kau bahkan bisa mempertimbangkan kemungkinan bahwa aku mengerti lebih daripada kau. Sekali lagi, aku senang kau memercayakan rahasia ini kepadaku, tetapi izinkan aku menenteramkanmu bahwa kau tidak menceritakan sesuatu yang membuatku gelisah." Harry marah dalam diam, menatap tajam Dumbledore. Apa yang sedang terjadi? Apakah ini berarti bahwa Dumbledore benar-benar memerintahkan Snape untuk mencari tahu apa yang sedang dikerjakan Malfoy, sehingga dalam hal ini dia sudah mendengar segalanya yang baru saja diceritakan Harry kepadanya dari Snape? Atau apakah dia sebetulnya cemas mendengar semua itu namun berpura-pura tidak cemas? "Jadi Sir" kata Harry, dalam suara yang diharapkannya terdengar sopan dan kalem, "Anda pasti masih memercayai?" "Aku sudah cukup toleran untuk menjawab pertanyaan itu," kata Dumbledore, namun dia tidak lagi terdengar sangat toleran. "Jawabanku belum berubah." "Mestinya memang begitu," kata suara menyindir. Phineas Nigellus jelas hanya berpura-pura tertidur. Dumbledore tidak menghiraukannya. "Dan sekarang, Harry, aku harus mendesak kita melanjutkan pelajaran kita. Aku punya hal-hal yang lebih penting untuk dibicarakan denganmu malam ini." Ingin rasanya Harry memberontak. Bagaimana jika dia menolak mengganti topik, jika dia berkeras mengajak berdebat soal Malfoy? Seakan telah memikiran Harry, Dumbledore menggelengkan kepala. "Ah, Harry, betapa seringnya ini terjadi, bahkan di antara sahabat yang paling karib! Kita masing-masing yakin bahwa apa yang ingin dikatakan jauh lebih penting daripada apa pun yang akan disampaikan yang lain!" "Saya tidak menganggap apa yang akan Anda sampaikan tidak penting, Sir!" kata Harry kaku. "Yah, kau betul, karena yang akan kusampaikan memang penting," kata Dumbledore tajam. "Ada dua kenangan yang akan kutunjukkan kepadamu malam ini. Keduanya didapatkan dengan kesulitan luar biasa, dan yang kedua adalah, kurasa, yang paling penting yang sudah kukumpulkan." Harry tidak berkomentar apa-apa. Dia masih merasa marah atas tanggapan yang diterimanya terhadap ceritanya, namun tak melihat apa untungnya kalau dia terus berargumentasi. "Jadi," kata Dumbledore, dengan suara nyaring, "kita bertemu malam ini untuk melanjutkan kisah Tom Riddle, yang kita tinggalkan dalam pelajaran yang lalu siap memasuki Hogwarts. Kau pasti ingat betapa bersemangatnya dia mendengar bahwa dia adalah penyihir, bahwa dia menolak kutemani ke Diagon Alley dan bahwa aku, sebaliknya, memperingatkannya agar tidak terus melakukan pencurian ketika dia sudah tiba di sekolah." "Nah, awal tahun ajaran baru tiba dan bersama itu tiba jugalah Tom Riddle, seorang anak laki-laki pendiam memakai jubah bekas, yang antre bersama anak-anak kelas satu lainnya untuk diseleksi. Dia ditempatkan di Asrama Slytherin nyaris langsung setelah Topi Seleksi menyentuh kepalanya, Dumbledore melanjutkan, melambaikan tangannya yang hitam ke arah rak di atas kepalanya, tempat Topi Seleksi berada, kuno dan tak bergerak. "Seberapa cepat Riddle tahu bahwa pendiri asramanya yang tersohor bisa bicara dengan ular, aku tidak tahu barangkali malam itu juga. Pengetahuan ini hanya bisa menambah semangatnya dan memperbesar perasaan bahwa dirinya penting." "Meskipun demikian, jika dia menakut-nakuti atau membuat teman-teman Slytherin-nya terkesan dengan memperlihatkan kemampuannya berbicara Parseltongue di ruang rekreasi, tak ada petunjuk tentang itu yang sampai ke ruang guru. Dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda keangkuhan ataupun agresi. Sebagai anak yatim-piatu yang berbakat luar biasa dan sangat tampan, wajar kalau dia menarik perhatian dan simpati dari para guru, hampir dari saat kedatangannya. Dia tampak sopan, pendiam, dan haus pengetahuan. Hampir semua sangat terkesan olehnya." "Apakah Anda tidak memberitahu mereka, Sir, seperti apa dia waktu Anda menemuinya di panti asuhan?" tanya Harry. "Tidak. Meskipun dia tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan, mungkin saja dia menyesali sikapnya sebelumnya dan memutuskan untuk memulai hidup baru. Aku memilih memberinya kesempatan itu." Dumbledore berhenti dan memandang ingin tahu Harry, yang sudah membuka mulut siap bicara. Di sini, sekali lagi, tampak kecenderungan Dumbledore untuk memercayai orang, meskipun sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang itu tak layak dipercaya! Namun kemudian Harry teringat sesuatu ... "Tetapi Anda tidak betul-betul memercayainya, kan, Sir? Dia memberitahu saya ... si Riddle yang keluar dari buku harian mengatakan 'Dumbledore tak pernah menyukaiku, tidak seperti guru-guru lainnya'." "Kita katakan saja aku tidak begitu saja menganggap bahwa dia bisa dipercaya," kata Dumbledore. "Aku sudah memutuskan, seperti yang sudah kutunjukkan, untuk mengawasinya dengan ketat, dan itu kulakukan. Aku tak bisa berpura-pura mengatakan banyak yang kudapatkan dari pengamatanku awalnya. Dia sangat menjaga diri terhadapku; dia merasa, aku yakin, bahwa dalam kegembiraannya mengetahui identitasnya yang sebenarnya dia telah memberitahuku terlalu banyak. Dia berhati-hati agar tak pernah lagi membuka diri sebanyak itu, tetapi dia tak dapat menarik kembali apa yang telah telanjur dibukanya dalam kegembiraannya, ataupun apa yang telah disampaikan Mrs Cole kepadaku. Meskipun demikian, dia cukup bijaksana untuk tak pernah mencoba memikatku seperti dia memikat begitu banyak rekan guruku." "Setelah naik ke kelas yang lebih tinggi, dia mengumpulkan sekelompok teman yang berdedikasi kepadanya. Aku menyebutnya begitu, karena tak ada istilah yang lebih baik, meskipun seperti yang telah kutunjukkan, Riddle tak diragukan lagi tidak memiliki perasaan sayang kepada satu pun dan mereka. Grup ini memiliki semacam glamor gelap di dalam kastil. Mereka bervariasi; campuran orang-orang lemah yang mencari perlindungan, orang-orang ambisius yang mencari cipratan kebesaran, dan orang-orang kejam yang tertarik kepada pemimpin yang bisa menunjukkan kepada mereka bentuk-bentuk kekejaman yang lebih canggih. Dengan kata lain, mereka adalah pelopor Pelahap Maut, dan memang beberapa di antaranya menjadi para Pelahap Maut pertama setelah meninggalkan Hogwarts." "Dikontrol ketat oleh Riddle, mereka tak pernah terdeteksi melakukan pelanggaran secara terbuka. Kendati selama tujuh tahun mereka di Hogwarts ditandai dengan sejumlah insiden mengerikan, tak bisa dibuktikan secara memuaskan mereka ada hubungannya dengan insiden-insiden itu. Insiden yang paling serius tentunya adalah dibukanya Kamar Rahasia, yang berakibat meninggalnya seorang anak perempuan. Seperti yang kau ketahui, Hagrid telah keliru dituduh melakukan kejahatan itu." "Aku tidak berhasil menemukan banyak kenangan tentang Riddle di Hogwarts," kata Dumbledore, meletakkan tangannya yang gosong di atas Pensieve. "Hanya sedikit orang yang kenal dia waktu itu bersedia bicara tentangnya; mereka kelewat takut. Apa yang berhasil kuketahui, kudapatkan setelah dia meninggalkan Hogwarts, dengan usaha yang sangat berhati-hati, setelah melacak sedikit orang yang bisa diperdaya itu agar bicara, setelah mencari-cari catatan lama dan menanyai saksi-saksi Muggle maupun penyihir. "Mereka yang berhasil kubujuk untuk bicara memberitahuku bahwa Riddle terobsesi dengan asal-usulnya. Ini bisa dimengerti, tentunya; dia besar di panti asuhan dan wajar kalau ingin tahu bagaimana dia bisa sampai di sana. Rupanya dia tak berhasil mencari jejak Tom Riddle Senior pada plakat di ruang piala; pada daftar prefek di arsip lama sekolah, bahkan dalam buku-buku sejarah sihir. Akhirnya dia terpaksa menerima bahwa ayahnya belum pernah menginjakkan kaki di Hogwarts. Aku yakin saat itulah dia melepas namanya untuk selamanya, mengganti identitas dengan Lord Voldemort, dan mulai menginvestigasi keluarga ibunya yang semula dilecehkannya. Kau pasti ingat, dia tadinya menganggap ibunya tak mungkin penyihir kalau dia mengalah pada kelemahan manusia yang memalukan, yaitu kematian." "Satu-satunya petunjuk yang dimilikinya hanyalah nama 'Marvolo', yang diketahuinya dari mereka yang mengelola panti asuhan sebagai nama kakeknya dari pihak ibu. Akhirnya, setelah melakukan riset yang sangat teliti pada buku-buku lama tentang keluarga-keluarga sihir, dia menemukan keberadaan garis keturunan Slytherin yang masih hidup. Pada musim panas di usianya yang keenam belas, dia meninggalkan panti asuhan, tempat dia pulang setahun sekali, dan mulai mencari keluarganya yang bermarga Gaunt. Dan sekarang, Harry, jika kau mau berdiri ... " Dumbledore bangkit, dan Harry melihat bahwa dia sekali lagi memegang botol kristal kecil berisi kenangan yang berpusar dan berkilau seperti mutiara. "Aku beruntung sekali bisa mendapatkan ini;" kata nya, seraya menuang zat berkilauan itu ke dalam pensieve. "Kau akan mengerti setelah kita berdua mengalaminya. Kita berangkat?" Harry melangkah mendekati baskom batu dan menunduk dengan patuh sampai wajahnya membenam di permukaan kenangan itu; dia merasakan sensasi yang sudah dikenalnya, seperti terjatuh dalam kekosongan dan kemudian mendarat pada lantai kotor dalam kegelapan yang nyaris total. Perlu beberapa detik baginya untuk mengenali tempat itu; saat itu Dumbledore sudah mendarat di sebelahnya. Rumah keluarga Gaunt sekarang sudah jauh lebih kotor daripada tempat mana pun yang pernah dilihat Harry. Langit-langitnya dipenuhi sarang labah-labah, lantainya berlapis debu dan kotoran; makanan busuk dan berjamur tergeletak di atas meja, di antara tumpukan panci berkerak. Satu-satunya penerangan berasal dari Win meleleh yang ditempatkan di kaki seorang laki-laki dengan rambut dan jenggot yang sudah kelewat panjang-berantakan, sampai Harry tak bisa melihat mata ataupun mulutnya. Dia duduk merosot di kursi berlengan di sebelah perapian, dan sesaat Harry membatin apakah dia mati. Namun kemudian terdengar ketukan keras di pintu dan laki-laki itu tersentak bangun, mengangkat tongkat sihir di tangan kanannya, dan pisau pendek di tangan kirinya. Pintu berderik terbuka. Di ambang pintu, memegang sebuah lampu model lama, berdiri seorang pemuda. Harry langsung mengenalinya, jangkung, pucat, berambut hitam, dan tampan -- Voldemort remaja. Mata Voldemort bergerak lambat-lambat mengitari gubuk itu dan kemudian menemukan laki-laki di kursi berlengan. Selama beberapa saat mereka saling pandang, kemudian laki-laki itu terhuyung berdiri, botol-botol kosong yang banyak berserakan di kakinya berkelontangan dan berdenting menggelinding ke seberang ruangan. "KAU!" raungnya. "KAU!" Dan dia terhuyung menyerbu Riddle dengan mabuk, tongkat sihir dan pisau diangkat tinggi. "Stop." Riddle bicara dalam Parseltongue. Laki-laki itu berhenti menabrak meja, membuat panci-panci berlumut berkelontangan jatuh ke lantai. Dia menatap Riddle. Sunyi lama selagi mereka saling pandang. Laki-laki itu yang memecah keheningan. "Kau bisa Parseltongue?" "Ya, aku bisa," kata Riddle. Dia melangkah masuk ruangan, membiarkan pintu berayun menutup di belakangnya. Mau tak mau Harry mengagumi Voldemort yang sama sekali tak kenal rasa takut. Wajahnya cuma mengekspresikan kejijikan dan, barangkali, kekecewaan. "Di mana Marvolo?" dia bertanya. "Mati," jawab yang lain. "Sudah mati bertahun-tahun yang lalu, kan?" Riddle mengernyit. "Kau siapa, kalau begitu?" "Aku Morfin, kan?" "Anak Marvolo?" "Tentu saja ... " Morfin menyibakkan rambut dari wajahnya yang kotor, agar bisa melihat Riddle lebih jelas, dan Harry melihat dia memakai cincin Marvolo yang berbatu hitam pada tangan kanannya. "Kukira tadi kau si Muggle itu," bisik Marvolo. "Kau mirip sekali dengan Muggle itu." "Muggle mana?" kata Riddle tajam. "Si Muggle yang ditaksir adikku, Muggle yang tinggal di rumah besar di sana itu," kata Morfin, dan tanpa diduga dia meludah di lantai di antara mereka. "Kau persis seperti dia. Riddle. Tapi dia sudah lebih tua sekarang, kan? Dia lebih tua daripada kau, kalau kupikir ... " Morfin tampak agak bingung dan berayun sedikit, masih mencengkeram tepi meja untuk menyangga tubuhnya. "Dia pulang, tahu," dia menambahkan dengan bego. Voldemort menatap tajam Morfin, seolah mempertimbangkan kemungkinannya. Sekarang dia bergerak mendekat sedikit dan berkata, "Riddle pulang?" "Ya, dia meninggalkannya. Tahu rasa dia, menikahi sampah!" kata Morfin, meludah di lantai lagi. "Merampok kami, sebelum dia kabur! Di mana kalungnya, eh, di mana kalung Slytherin?" Voldemort tidak menjawab. Morfin marah-marah lagi, dia mengayun-ayunkan pisaunya dan berteriak, "Bikin malu kami, sundal murahan! Dan siapa kau, datang , ke sini dan tanya-tanya tentang semua itu? Sudah berakhir, kan ... sudah berakhir ... " Laki-laki itu berpaling, sedikit terhuyung, dan Voldemort bergerak maju. Ketika dia bergerak, kegelapan yang tak wajar menyelimuti, memadamkan lampu Voldemort dan Win Morfin, memadamkan segalanya ... Jari-jari Dumbledore memegang erat lengan Harry dan mereka meluncur kembali ke masa kini. Cahaya keemasan lembut di kantor Dumbledore serasa menyilaukan mata Harry setelah gelap gulita yang tak tertembus tadi. "Hanya itu?" tanya Harry segera. "Kenapa jadi gelap, apa yang terjadi?" "Karena Morfin tak bisa mengingat apa-apa lagi dari saat itu," kata Dumbledore, memberi isyarat agar Harry duduk lagi di kursinya. "Ketika dia bangun keesokan harinya, dia terbaring di lantai, sendirian. Cincin Marvolo sudah lenyap." "Sementara itu, di desa Little Hangleton, seorang pembantu berlari ke jalan raya, menjerit-jerit ada tiga mayat di ruang keluarga rumah besar. Tom Riddle Senior, serta ibu dan ayahnya." "Pihak berwenang Muggle bingung. Sejauh yang kutahu, mereka tetap tidak tahu sampai hari ini bagaimana keluarga Riddle meninggal, karena Kutukan Avada Kedavra biasanya tidak meninggalkan tanda-tanda kerusakan, perkecualiannya duduk di depanku," Dumbledore menambahkan, mengangguk ke arah bekas luka Harry. "Kementerian, sebaliknya, langsung tahu ini pembunuhan oleh penyihir. Mereka juga tahu seorang mantan napi pembenci-Muggle tinggal di seberang lembah dari rumah Riddle; pembenci-Muggle yang pernah dipenjara sekali karena menyerang salah satu korban pembunuhan." "Maka Kementerian mendatangi Morfin. Mereka tidak perlu menanyainya, menggunakan Veritaserum ataupun Legilimency. Dia langsung mengakui pembunuhan itu, memberikan rincian yang hanya bisa diketahui oleh si pembunuh. Dia bangga, katanya, berhasil membunuh Muggle-Muggle itu, dia sudah menunggu kesempatan ini selama bertahun-tahun. Dia menyerahkan tongkat sihirnya, yang langsung terbukti telah digunakan untuk membunuh keluarga Riddle. Dan dia membiarkan dirinya dibawa ke Azkaban tanpa perlawanan. Satu-satunya yang mengganggunya adalah lenyapnya cincin ayahnya. 'Dia akan membunuhku karena menghilangkannya,' dia memberitahu para penangkapnya, berulang-ulang. Dan hanya itulah, rupanya, yang diucapkannya sesudah itu. Dia menghabiskan sisa hidupnya di Azkaban, meratapi hilangnya pusaka terakhir Marvolo, dan dikubur di sebelah penjara, berdampingan dengan jiwa-jiwa malang lainnya, yang meninggal di dalam temboknya." "Jadi, Voldemort mencuri tongkat sihir Morfin dan menggunakannya?" tanya Harry, duduk tegak. "Betul," kata Dumbledore. "Kita tak punya kenangan untuk menunjukkan ini, tapi kurasa kita bisa cukup yakin apa yang terjadi. Voldemort memantrai pamannya dengan Mantra Bius, mengambil tongkat sihirnya, dan menyeberang lembah ke 'rumah besar di sana itu'. Di sana dia membunuh laki-laki Muggle yang telah meninggalkan ibunya yang penyihir, dan, sebagai tambahan, kakek-nenek Muggle-nya, dengan demikian melenyapkan keturunan terakhir dalam garis keluarga Riddle yang tak berharga dan membalas dendamnya terhadap ayah yang tak pernah menginginkannya. Kemudian dia kembali ke gubuk Gaunt, melakukan sihir rumit yang akan menanamkan ingatan yang keliru dalam pikiran pamannya, meletakkan tongkat sihir Morfin di sebelah pemiliknya yang pingsan, mengantongi cincin kuno yang dipakainya, dan pergi." "Dan Morfin tak pernah menyadari dia tidak melakukannya?" "Tak pernah," kata Dumbledore. "Seperti kukatakan, dengan bangga dia memberikan pengakuan yang terperinci." "Tapi kan selama ini dia masih punya ingatannya yang sebenarnya!" "Ya, tapi perlu Legilimency yang hebat untuk mengorek ini darinya," kata Dumbledore, "dan kenapa harus ada orang yang masuk lebih dalam ke dalam pikiran Morfin kalau dia sudah mengakui melakukan kejahatan itu? Bagaimanapun juga, aku berhasil melakukan kunjungan kepada Morfin dalam mingguminggu terakhir hidupnya, pada saat itu aku sedang berusaha menemukan sebanyak mungkin tentang masa lalu Voldemort. Aku mengeluarkan kenangan ini dengan susah payah. Ketika melihat apa isinya, aku berusaha menggunakannya untuk mendapatkan kebebasan Morfin dari Azkaban. Sebelum Kementerian mengambil keputusan, Morfin telah meninggal." "Tapi bagaimana Kementerian bisa tidak menyadari bahwa Voldemort-lah yang telah melakukan itu semua kepada Morfin?" Harry bertanya berang. "Dia masih di bawah-umur waktu itu, kan? Saya pikir mereka bisa mendeteksi sihir di bawah-umur!" "Kau betul -- mereka bisa mendeteksi sihir, tapi bukan pelakunya. Kau pasti ingat kau pernah disalahkan oleh Kementerian melakukan Mantra Melayang. yang sebetulnya dilakukan oleh" "Dobby" geram Harry; ketidakadilan ini masih melukai perasaannya. "Jadi, kalau kita di bawah umur dan kita melakukan sihir di dalam rumah penyihir dewasa, Kementerian tidak akan tahu?" "Mereka pasti tidak akan tahu siapa yang melakukan sihirnya" kata Dumbledore, tersenyum kecil melihat kegusaran besar di wajah Harry. "Mereka mengandalkan orangtua penyihir untuk melaksanakan kepatuhan anak-anak mereka selagi berada dalam rumah mereka." "Itu omong kosong," bantah Harry keras. "Lihat apa yang terjadi di sini, lihat apa yang terjadi pada Morfin!" "Aku setuju," kata Dumbledore. "Bagaimanapun sikap Morfin, dia tidak layak meninggal seperti itu, dipersalahkan melakukan pembunuhan yang tidak dilakukannya. Tapi sudah semakin malam, dan aku ingin kau melihat kenangan yang satu lagi sebelum kita berpisah ... " Dumbledore mengeluarkan dari saku dalamnya botol kristal kecil lain dan Harry langsung terdiam, teringat Dumbledore mengatakan bahwa itu kenangan paling penting yang telah dikumpulkannya. Harry memperhatikan bahwa isinya sulit dikeluarkan ke dalam Pensieve, sepertinya sudah agak membeku. Apakah kenangan bisa hilang? "Ini tidak akan makan waktu lama," kata Dumbledore setelah akhirnya berhasil mengosongkan botol kecil itu. "Kita sudah akan kembali sebelum kau menyadarinya. Sekali lagi masuk Pensieve, kalau begitu ... " Dan Harry terjatuh lagi menembus permukaan perak, kali ini mendarat di hadapan seorang laki-laki yang langsung dikenalinya. Horace Slughorn yang jauh lebih muda. Harry sudah sangat terbiasa melihatnya botak, sehingga melihat Slughorn dengan rambut tebal, berkilau, berwarna jerami cukup membuatnya bingung; kelihatannya seolah kepalanya ditambal, meskipun sudah ada kebotakan seukuran Galleon yang berkilat di kepalanya. Kumisnya, yang kalah besar daripada yang sekarang, berwarna jingga-pirang. Dia tidak segemuk Slughorn yang dikenal Harry, meskipun rompinya yang berbordir indah tampak sesak, sehingga kancing-kancing emasnya tertarik. Kakinya yang kecil diletakkan pada tumpuan kaki beludru. Dia sedang duduk bersandar pada kursi berlengan yang nyaman, satu tangan memegang gelas anggur kecil, tangan yang lain merogoh kotak permen nanas. Harry berpaling ketika Dumbledore muncul di sebelahnya dan melihat bahwa mereka berdiri di kantor Slughorn. Enam anak laki-laki duduk mengelilingi Slughorn, semuanya di tempat duduk yang lebih keras atau lebih rendah daripada tempat duduknya, dan semuanya remaja belasan tahun. Harry langsung mengenali Riddle. Wajahnya paling tampan dan dia yang paling santai di antara remaja-remaja pria itu. Tangan kanannya tergeletak sembarangan di lengan kursi. Harry tersentak melihat dia memakai cincin emas Marvolo yang berbatu hitam; dia sudah membunuh ayahnya. "Sir, betulkah Profesor Merrythought akan pensiun?" Riddle bertanya. "Tom, Tom, kalaupun tahu aku tak bisa memberitahumu," kata Slughorn, menegur dengan menggoangkan jari berlumur-gula ke arah Riddle, namun efeknya agak gagal karena dia mengedip. "Terus terang, aku ingin tahu dari mana kau dapatkan informasimu, Nak kau ini lebih tahu daripada separo staf guru." Riddle tersenyum; anak-anak yang lain tertawa dan melempar pandang kagum kepadanya. "Dengan kemampuanmu yang luar biasa untuk mengetahui hal-hal yang seharusnya tak boleh kau ketahui, dan sanjungan penuh perhitungan kepada orang-orang yang penting -- oh ya, terima kasih untuk permen nanas ini, kau benar, ini favoritku" Sementara beberapa anak terkekeh, sesuatu yang sangat aneh terjadi. Seluruh ruangan mendadak dipenuhi kabut putih tebal, sehingga Harry tak bisa melihat apa-apa kecuali wajah Dumbledore, yang berdiri di sampingnya. Kemudian suara Slughorn terdengar dari dalam kabut, keras tak wajar, "kau akan jadi orang hebat, Tom, aku belum pernah keliru menilai muridku." Kabut menghilang sama mendadaknya seperti munculnya, namun tak seorang pun menyebut-nyebutnya, dan tak seorang pun tampaknya merasa sesuatu yang aneh baru saja terjadi. Bingung, Harry berpaling ketika jam meja emas kecil di atas meja Slughorn mendentangkan pukul sebelas malam. "Astaga, sudah semalam ini?" kata Slughorn. "Kalian sebaiknya pergi, anak-anak, kalau tidak kita semua bisa mendapat kesulitan. Lestxange, aku menginginkan esaimu besok pagi, kalau tidak detensi. Sama, kau juga, Avery." Slughorn bangkit dari kursi berlengannya dan membawa gelas kosongnya ke mejanya, sementara anak-anak meninggalkan ruangannya. Meskipun demikian, Riddle tinggal. Harry bisa melihat bahwa dia sengaja berlama-lama, ingin menjadi yang terakhir berada di ruangan itu bersama Slughorn. "Hati-hati, Tom," kata Slughorn, berbalik dan melihatnya masih ada. "Kau tak ingin tertangkap masih belum di tempat tidur di luar jam yang ditentukan, dan kau prefek ... " "Sir, saya ingin menanyakan sesuatu kepada Anda." "Tanyakan saja, kalau begitu, Nak, tanyakan saja ..." "Sir, saya ingin tahu apa yang Anda ketahui tentang ... tentang Horcrux?" Dan kejadian tadi berulang lagi: kabut tebal memenuhi ruangan sehingga Harry sama sekali tidak bisa melihat Slughorn maupun Riddle, hanya Dumbledore, tersenyum tenang di sisinya. Kemudian suara Slughorn menggelegar lagi, persis seperti sebelumnya, "Aku tak tahu apa-apa tentang Horcrux dan aku tak akan memberitahumu kalaupun aku tahu! Nah, sekarang tinggalkan tempat ini segera dan jangan sampai aku mendengarmu menyebut-nyebut itu lagi!" "Nah, itu semua," kata Dumbledore tenang di samping Harry. "Sudah waktunya kita pulang." Dan kaki Harry terangkat dari lantai, lalu mendarat, beberapa detik kemudian, kembali di karpet di depan meja Dumbledore. "Hanya itu?" tanya Harry bingung. Dumbledore telah berkata bahwa ini kenangan yang paling penting, namun Harry tak bisa melihat apanya yang penting. Harus diakui bahwa kabut itu, dan fakta bahwa tak seorang pun tampaknya menyadarinya, memang aneh, tetapi selain itu tak ada yang terjadi, kecuali bahwa Riddle mengajukan pertanyaan dan gagal memperoleh jawaban. "Seperti yang mungkin kau perhatikan," kata Dumbledore, duduk kembali di belakang mejanya, "kenangan itu sudah dikotak-katik." "Dikotak-katik?" ulang Harry, ikut duduk juga. "Tentu," kata Dumbledore. "Profesor Slughorn telah memodifikasi kenangannya sendiri." "Tapi kenapa begitu?" "Karena, kurasa, dia malu akan apa yang diingatnya," kata Dumbledore. "Dia berusaha mengubah kenangannya agar dirinya tampak lebih baik, dengan menghilangkan bagian-bagian yang dia tak ingin kulihat. Seperti yang kau lihat, penghilangan bagian-bagian itu dilakukan dengan sangat kasar, dan itu menguntungkan kita, karena itu menunjukkan bahwa kenangan yang sebenarnya masih ada di bawah perubahan itu." "Maka, untuk pertama kalinya, aku memberimu PR, Harry. Tugasmulah untuk membujuk Profesor Slughorn agar mau memberitahukan kenangan yang sebenarnya, yang tak diragukan lagi akan menjadi informasi kita yang paling penting." Harry menatapnya. "Tetapi tentunya, Sir," katanya, menjaga agar suaranya sehormat mungkin, "Anda tidak memerlukannya tidak bisa menggunakan Legihmency ... atau Leritaserum ... " "Profesor Slughorn penyihir sangat cakap yang akan menduga dua cara itu," kata Dumbledore. "Dia jauh lebih lihai dalam Ocdumency dibanding Morfin Gaunt ang malang, dan aku akan heran kalau dia tidak membawa penangkal Veritaserum ke mana-mana sejakku berhasil membujuknya memberiku kenangannya yang disamarkan itu. "Tidak, kurasa bodoh kalau kita berusaha mendapatkan kebenaran dari Profesor Slughorn dengan keerasan, dan mungkin akan lebih banyak mudaratnya aripada manfaatnya. Aku tak ingin dia meninggalkan Hogwarts. Meskipun demikian, dia juga punya kelemahan, seperti kita semua, dan aku yakin kaulah itu satunya orang yang barangkali bisa menembus pertahanannya. Penting sekali kita mendapatkan kenangan yang sebenarnya, Harry ... seberapa pentingnya, kita baru akan tahu setelah kita melihatnya. Jadi, semoga berhasil ... dan selamat tidur." Agak kaget karena mendadak diminta pergi, Harry cepat-cepat bangkit dari kursinya. "Selamat tidur, Sir." Ketika menutup pintu kantor di belakangnya, dia jelas sekali mendengar Phineas Nigellus berkata, "Aku tak mengerti kenapa anak itu akan bisa melakukannya lebih baik daripadamu, Dumbledore." "Aku tak mengharap kau mengerti, Phineas," jawab Dumbledore dan Fawkes kembali mengeluarkan jeritan merdu, pelan. 18. KEJUTAN ULANG TAHUN Esoknya Harry memberitahu Ron dan Hermione tentang tugas yang diberikan Dumbledore kepadanya, sendiri-sendiri, karena Hermione masih menolak berada bersama Ron lebih lama daripada waktu yang dibutuhkannya untuk memberinya pandang menghina. Ron berpendapat Harry tak akan mendapat kesulitan sama sekali dengan Slughorn. "Dia menyayangimu," katanya selagi sarapan, melambaikan garpunya yang telah mencucus telur goreng. "Tak akan menolak apa pun yang kau minta. Kau kan Pangeran Ramuannya yang tersayang. Tinggallah di kelas setelah pelajaran sore ini dan tanyai dia." "Dia pasti bertekad menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi jika Dumbledore tidak berhasil megoreknya" katanya. dengan suara pelan, ketika mereka berdiri di halaman kosong, bersalju, waktu istirahat. "Horcrux ... Horcrux ... aku belum pernah mendegarnya ... " "Belum?" Harry kecewa. Dia tadinya berharap Hermione bisa memberinya petunjuk, Horcrux itu apa. "Pastinya ini Sihir Hitam tingkat tinggi, kalau tidak kenapa Voldemort ingin tahu tentangnya? Kurasa akan sulit mendapatkan informasi itu, Harry, kau harus sangat berhati-hati dalam caramu mendekati Slughorn, pikirkan strateginya " "Menurut Ron aku cuma perlu tinggal di kelas setelah pelajaran Ramuan sore ini ... " "Oh, yah, kalau Won-Won berpendapat begitu, sebaiknya kau lakukan saja," katanya, langsung naik pitam. "Lagian, kapan sih pertimbangan Won-Won pernah keliru?" "Hermione, tak bisakah kau" "Tidak!" katanya marah, dan langsung pergi, meninggalkan Harry sendirian dan terbenam di salju sampai pergelangan kakinya. Pelajaran Ramuan tidak nyaman hari-hari ini, mengingat Harry, Ron, dan Hermione harus berbagi meja. Hari ini Hermione memindahkan kualinya sehingga dia dekat dengan Ernie, dan tidak mengacuhkan baik Harry maupun Ron. "Apa yang telah kau lakukan?" gumam Ron kepada Harry, memandang profil angkuh Hermione. Namun sebelum Harry sempat menjawab, Slughorn menyuruh diam dari depan kelas. "Tenang, harap tenang! Cepat-cepat, sekarang, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sore ini! Hukum Ketiga Golpalott ... siapa yang bisa memberitahuku? Tetapi Miss Granger bisa, tentu!" Hermione menyitir dengan kecepatan kilat: "Hukum-Ketiga-Golpalott-menyatakan-bahwa-penangkaluntuk-racun-campuran-jumlahnya-lebih-banyak-daripada-jumlah-penangkal-untuk-masing-masing-komponen-secara-terpisah." "Persis!" sambut Slughorn berseri-seri. "Sepuluh angka untuk Gryffindor. Nah, kalau kita menerima Hukum Ketiga Golpalott ini benar ... " Harry terpaksa menerima saja kata-kata Slughorn bahwa Hukum Ketiga Golpalott benar, karena dia sama sekali tidak mengerti. Juga, tak seorang pun, kecuali Hermione, tampaknya bisa mengikuti apa yang dikatakan Slughorn berikutnya. "... yang berarti, tentu saja, bahwa mengandaikan kita sudah berhasil mengidentifikasi dengan benar bahan-bahan racun itu menggunakan Mantra Pengungkapan Scarpin, tujuan utama kita bukanlah menyeleksi penangkal untuk masing-masing bahan itu, yang relatif mudah, melainkan menemukan komponen tambahannya, yang dengan proses yang hampir alkimia, mentransformasi elemen-elemen yang berlainan ini" Ron duduk di sebelah Harry dengan mulut separo terbuka, sambil melamum menggambar-gambar asal di buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut-nya yang baru. Ron lupa terus bahwa dia tak bisa lagi mengandalkan Hermione untuk membantunya keluar dari kesulitan jika dia tak berhasil memahami apa yang sedang terjadi. "... nah," Slughorn mengakhiri, "aku ingin kalian semua maju dan masing-masing mengambil botol dari mejaku. Tugas kalian adalah membuat penangkal untuk racun dalam botol itu sebelum akhir pelajaran. Semoga sukses, dan jangan lupa memakai sarung tangan kalian!" Hermione meninggalkan bangkunya dan sudah separo jalan menuju meja Slughorn sebelum anak-anak yang lain menyadari sudah waktunya bergerak, dan pada saat Harry, Ron, dan Ernie kembali ke meja, Hermione sudah menuang isi botolnya ke dalam kualinya dan sedang menyalakan api di bawahnya. "Sayang Pangeran tidak bisa banyak membantumu dalam hal ini, Harry," katanya cerah ketika dia menegakkan diri. "Kau harus mengerti prinsip-prinsip yang digunakan kali ini. Tak ada jalan pintas atau tipuan!" Jengkel, Harry membuka gabus botol racun yang diambilnya dari meja Slughorn, yang warnanya merah jambu berkilat, menuangnya ke dalam kualinya, dan menyalakan api di bawahnya. Dia sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukannya berikutnya. Dia nengerling Ron, yang sekarang berdiri saja, agak bengong, setelah meniru segalanya yang dilakukan, Harry. "Kau yakin Pangeran tidak punya petunjuk?" Ron bergumam kepada Harry. Harry mengeluarkan buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut yang diandalkannya dan membuka bab tentang Penangkal. Ada Hukum Ketiga Golpalott, persis seperti yang dikatakan Hermione, namun tak ada satu catatan pun dalam tulisan tangan Pangeran yang menjelaskan apa artinya itu. Rupanya Pangeran, seperti Hermione, tak mendapat kesulitan memahaminya. "Tak ada," kata Harry muram. Hermione sekarang melambai-lambaikan tongkat sihirnya dengan antusias di atas kualinya. Sayangnya, mereka tidak bisa meniru mantra yang digunakannya karena dia sekarang sudah mahir sekali melakukan mantra non-verbal, sehingga dia tak perlu mengucapkan kata-kata mantranya keras-keras. Namun Ernie Macmillan menggumamkan, "Specialis revelio!" di atas kualinya, yang kedengarannya mengesankan, maka Harry dan Ron buru-buru menirunya. Hanya perlu lima menit bagi Harry untuk menyadari bahwa reputasinya sebagai pembuat-ramuan paling hebat di kelasnya sudah hancur. Slughorn telah mengintip kualinya dengan penuh harap dalam putaran pertamanya keliling kelas, sudah siap menyerukan kegirangannya seperti biasanya, namun alih-alih girang, dia buru-buru menarik kembali kepalanya, terbatuk-batuk, ketika bau telur busuk menerpanya. Ekspresi Hermione tak bisa lebih senang dari itu; dia selama ini sebal dikalahkan dalam setiap pelajaran Ramuan. Sekarang Hermione sedang menuang bahan-bahan racunnya yang telah berhasil dipisahkannya secara misterius ke dalam sepuluh botol kristal berlainan. Lebih untuk menghindari melihat pemandangan mengesalkan ini daripada karena alasan lain. Harry membungkuk di atas buku Pangeran Berdarah-Campuran dan membalik-balik beberapa halaman dengan kekuatan berlebihan. Dan itu dia, tercatat di atas daftar panjang penangkal racun. Masukkan saja bezoar ke tenggorokan mereka. Harry menatap kata-kata itu selama beberapa saat. Bukankah dia pernah, dulu sekali, mendengar tentang bezoar? Bukankah Snape menyebutnya dalam pelajaran Ramuan mereka yang pertama? "Batu yang diambil dari perut kambing, yang akan menangkal hampir semua racun." Ini bukan pemecahan untuk masalah Golpalott, dan seandainya Snape masih guru mereka, Harry tak akan berani melakukannya, namun ini saat untuk melakukan tindakan terpepet. Dia bergegas ke lemari bahan dan mencari-cari di dalamnya, menyingkirkan tanduk unicorn dan tanam-tanaman obat kering sampai dia menemukan, di bagian paling belakang lemari, sebuah kotak kardus kecil dengan tulisan "Bezoar". Dia membuka kotak itu tepat ketika Slughorn berseru, "Tinggal dua menit, anak-anak!" Di dalamnya ada setengah lusin benda cokelat berkerut, lebih kelihatan seperti ginjal yang dikeringkan daripada batu betulan. Harry mengambil sebutir, mengembalikan kotak itu ke bagian belakang lemari, dan bergegas kembali ke kualinya. "Waktunya .... HABIS!" seru Slughorn riang. "Nah, mari kita lihat hasil pekerjaan kalian! Blaise ... apa yang telah kau hasilkan untukku?" Perlahan, Slughorn bergerak berkeliling ruangan, mengamati berbagai penangkal. Tak seorang pun berhasil menyelesaikan tugas itu, meskipun Hermione berusaha memasukkan beberapa bahan lagi ke dalam botolnya sebelum Slughorn mencapai tempatnya. Ron sudah menyerah sama sekali, dan hanya berusaha menghindari menghirup asap berbau busuk yang keluar dari kualinya. Harry berdiri menunggu, dengan bezoar tergenggam dalam tangannya yang agak berkeringat. Slughorn mendatangi meja mereka paling akhir. Dia mengendus ramuan Ernie dan berpindah ke kuali Ron sambil meringis. Dia tidak berlama-lama di depan kuali Ron, melainkan buru-buru mundur, mau muntah. "Dan kau, Harry," katanya. "Apa yang bisa kau perlihatkan kepadaku?" Harry mengulurkan tangannya, dengan bezoar tergeletak di atas telapaknya. Slughorn menatapnya selama sepuluh detik penuh. Harry membatin, apakah dia akan memarahinya. Kemudian Slughorn mendongak dan terbahak-bahak. "Berani sekali kau, Nak!" gelegarnya, seraya mengambil bezoar itu dan mengangkatnya sehingga seluruh kelas bisa melihatnya. "Oh, kau seperti ibumu ... yah, aku tak bisa menyalahkanmu ... bezoar jelas akan menjadi penangkal semua racun ini!" Hermione, yang wajahnya berkeringat dan hidungnya tercoreng hangus, tampak pucat. Penangkalnya yang separo-selesai, terdiri atas lima puluh dua bahan termasuk sejumput rambutnya sendiri, menggelegak di belakang Slughorn, yang tak memperhatikan siapa pun kecuali Harry. "Dan kau berhasil memikirkan sendiri bezoar itu kan Harry?" tanya Hermione dengan gigi mengertak. "Itu semangat individu yang diperlukan oleh pemuat ramuan sejati!" kata Slughorn senang, sebelum Harry bisa menjawab. "Persis ibunya, dia dulu juga memiliki intuisi yang sama dalam hal pembuatan ramuan, tak diragukan lagi dia mewarisinya dari Lily ... ya, Harry, ya, jika kau punya bezoar untuk diserahkan, tentu saja itu benar ... meskipun demikian, karena bezoar tidak bisa menangkal segala racun, dan cukup langka, Ia perlu tahu bagaimana meramu penangkal ... " Satu-satunya orang di ruangan itu yang tampak lebih marah daripada Hermione adalah Malfoy, yang Harry senang melihatnya, telah menumpahkan sesuatu seperti muntahan kucing di tubuhnya sendiri. Namun, belum salah satu dari mereka bisa mengutarakan kemarahan mereka karena Harry telah menjadi paling hebat di kelas tanpa melakukan sesuatu, bel telah berbunyi. "Waktunya berkemas!" kata Slughorn. "Dan sepuluh angka ekstra untuk Gryffindor karena kelancangan!" Masih terkekeh, dia berjalan kembali ke mejanya di depan kelas. Harry sengaja berlama-lama, mengambil banyak sekali waktu untuk membereskan tasnya. Baik Ron maupun Hermione tidak mengucapkan semoga sukses ketika mereka pergi; keduanya tampak agak jengkel. Akhirnya tinggal Harry dan Slaughorn yang masih ada dalam ruangan itu. "Ayo, Harry, kau akan terlambat untuk pelajaranmu yang berikutnya" kata Slughorn ramah, menceklek jepitan-penutup dari emas pada tas kerjanya. "Sir," kata Harry, mau tak mau jadi teringat Voldemort, "saya ingin menanyakan sesuatu." "Tanyakan saja, kalau begitu, anakku, tanyakan saja ... " "Sir, apakah yang Anda ketahui tentang ... tentang Horcrux?" Slughorn membeku. Wajahnya yang bundar tampak seperti terbenam sendiri. Dia menjilat bibirnya dan berkata parau, "Apa katamu?" "Saya bertanya apakah Anda tahu sesuatu tentang Horcrux, Sir. Soalnya ." "Dumbledore yang menyuruhmu," bisik Slughorn. Suaranya sudah berubah total. Tak lagi ramah, melainkan kaget, takut. Dia mencari-cari di saku dalamnya dan menarik keluar saputangan, menyeka alisnya yang berkeringat. "Dumbledore sudah memperlihatkan kepadamu ... kenangan itu," kata Slughorn. "Betul, kan?" "Ya," kata Harry, memutuskan saat itu juga bahwa paling baik tidak berbohong. "Ya, tentu saja," kata Slughorn pelan, masih mengusap-usap wajahnya yang pucat. "Tentu saja ... nah, kalau kau sudah melihat kenangan itu, Harry, kau akan tahu bahwa aku tak tahu apa pun -- apa pun-- " dia mengulang kata itu dengan tekanan kuat "tentang Horcux." Dia menyambar tas kulit-naganya, menjejalkan kembali saputangan ke dalam sakunya, dan keluar dari pintu kelas bawah tanah. "Sir," kata Harry putus asa, "Saya hanya mengira ada sedikit yang belum disampaikan dalam kenangan itu" "Begitu?" kata Slughorn. "Kalau begitu kau keliru, kan? KELIRU!" Dia meneriakkan kata terakhir itu, dan sebelum Harry bisa mengatakan apa-apa lagi, membanting pintu tertutup di belakangnya. Baik Ron maupun Hermione tidak bersimpati ketika Harry menceritakan kepada mereka wawancara yang membawa malapetaka, ini. Hermione masih marah pada cara Harry menang tanpa melakukan tugasnya dengan benar. Ron menyesalinya karena Harry tidak mengambilkan bezoar untuknya juga. "Kan konyol kalau kita berdua sama-sama pegang bezoar!" kata Harry jengkel. "Aku harus berusaha melunakkannya supaya bisa menanyainya tentang Voldemort, kan? Oh, masa masih belum terbiasa sih!" dia menambahkan dengan putus asa, ketika Ron berjengit mendengar nama itu. Jengkel atas kegagalannya dan atas sikap Ron dan Hermione, Harry memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya terhadap Slughorn. Dia memutuskan bahwa, untuk sementara waktu, dia akan membiarkan Slughorn berpikir bahwa dia telah lupa sama sekali tentang Horcrux. Pastinya paling baik membiarkan Slughorn merasa aman dulu sebelum dia kembali menyerangnya. Ketika Harry tidak menanyai Slughorn lagi, guru ramuan itu kembali memperlakukannya dengan penuh kasih sayang seperti biasanya, dan tampaknya sudah melupakan peristiwa itu. Harry menunggu undangan ke salah satu pesta-malamnya, bertekad untuk menerimanya kali ini, bahkan sekalipun dia harus menjadwal ulang latihan Qudditch-nya. Sayangnya, undangan itu tak pernah datang. Harry menanyai Hermione dan Ginny; mereka juga tidak menerima undangan, dan sejauh mereka tahu, tak ada anak-anak lain yang menerimanya. Mau tak mau Harry bertanya-tanya dalam hati apakah ini berarti Slughorn tidak sepelupa tampaknya, melainkan hanya bertekad tidak memberi Harry kesempatan tambahan untuk menanyainya. Sementara itu, perpustakaan Hogwarts telah mengecewakan Hermione untuk pertama kalinya sepanjang ingatannya. Dia shock sekali, sampai lupa dia jengkel kepada Harry atas tipuannya dengan bezoar. "Aku tak berhasil menemukan satu keterangan pun tentang apa yang dilakukan Horcrux!" katanya kepada Harry. "Satu pun tidak! Aku sudah ke Seksi Terlarang dan bahkan melihat buku-buku paling menyeramkan, yang memberitahumu bagaimana merebus ramuan paling mengerikan tak ada keterangan apa-apa! Satu-satunya yang bisa kutemukan hanya ini, dalam pengantar Sihir Paling Jahat dengar 'tentang Horcrux, penemuan sihir yang paling keji, kami tidak akan membicarakannya maupun memberikan petunjuk' ... maksudku, ngapain menyebut-nyebutnya, kalau begitu?" katanya tak sabar, membanting menutup buku tua itu, yang langsung mengeluarkan jeritan menyeramkan. "Oh diam," bentak Hermione, menjejalkan kembali buku itu ke dalam tasnya. Salju meleleh di sekeliling sekolah ketika bulan Februari tiba, digantikan oleh suasana basah yang dingin dan suram. Awan-awan kelabu-keunguan menggantung rendah di atas kastil dan hujan dingin yang turun terus-menerus membuat padang rumput menjadi licin dan berlumpur. Akibatnya pelajaran pertama, Apparition untuk anak kelas enam, yang dijadwalkan pada hari Sabtu pagi, supaya tak mengambil jam pelajaran-pelajaran normal lainnya, berlangsung di Aula Besar alih-alih di halaman. Ketika Harry dan Hermione tiba di Aula (Ron sudah turun bersama Lavender), ternyata meja-meja telah menghilang. Hujan menerpa jendela-jendela tinggi dan langit-langit sihir berpusar gelap di atas mereka ketika mereka berkumpul di depan Profesor McGonagall, Snape, Flit-wick, dan Sprout-para Kepala Asramadan seorang penyihir pria yang Harry duga adalah Instruktur Apparition dari Kementerian. Tampangnya aneh sekali, seperti tak punya warna, dengan bulu mata transparan, rambut halus tipis, dan penampilan rapuh, seakan satu tiupan angin bisa menerbangkannya. Harry bertanya-tanya dalam hati apakah terus-menerus menghilang dan muncul kembali membuat substansinya menipis; atau apakah sosoknya yang rapuh ini memang ideal bagi mereka yang ingin menghilang. "Selamat pagi," kata penyihir Kementerian ini, ketika semua murid telah tiba dan para Kepala Asrama sudah menyuruh mereka diam. "Namaku Wilkie Twycross dan aku akan menjadi Instruktur Apparition kalian selama dua belas minggu ke depan. Aku berharap bisa menyiapkan kalian untuk ujian Apparition kalian pada saat itu" "Malfoy, diam dan perhatikan!" bentak Profesor McGonagall. Semua orang menoleh. Wajah Malfoy merona merah; dia tampak berang ketika menjauh dari Crabbe, dengan siapa dia tampaknya baru saja bertengkar dengan berbisik. Harry cepat-cepat melirik Snape, yang juga tampak jengkel, meskipun kuat dugaan Harry bahwa kejengkelannya lebih disebabkan bahwa McGonagall menegur salah satu murid asramanya daripada karena ketidaksopanan Malfoy. "pada saat itu, sebagian besar dari kalian mungkin sudah siap menghadapi ujian kalian," Twycross melanjutkan, seakan tak ada interupsi. "Seperti yang mungkin kalian ketahui, biasanya tidak mungkin ber-Apparate atau Disapparate di dalam Hogwarts. Kepala Sekolah telah mengangkat sihir ini khusus di dalam Aula Besar, selama satu jam, agar kalian bisa berlatih. Aku ingin menekankan bahwa kalian tidak akan bisa ber-Apparate di luar dinding Aula ini, dan tidaklah bijaksana kalian mencobanya." "Sekarang aku ingin kalian mengatur posisi berdiri kalian, sehingga di depan masing-masing ada jarak satu setengah meter." Terjadilah perebutan tempat dan dorong-mendorong ketika anak-anak saling menjauh, saling tabrak, dan menyuruh temannya menyingkir dari tempatnya. Para Kepala Asrama bergerak di antara anak-anak, mengatur posisi mereka dan meredakan pertengkaran. "Harry, mau ke mana kau?" tuntut Hermione. Namun Harry tidak menjawab, dia bergerak gesit di antara kerumunan, melewati tempat di mana Profesor Flitwick sedang melengking-lengking berusaha mengatur beberapa anak Ravenclaw, yang semuanya igin di depan, melewati Profesor Sprout, yang menuntut anak-anak Hufflepuff agar berderet, sampai dengan memutari Ernie Macmillan, dia berhasil menempatkan diri paling belakang, tepat di belakang Malfoy, yang menggunakan kesempatan hiruk-pikuk " untuk melanjutkan pertengkarannya dengan Crabbe, yang berdiri satu setengah meter jauhnya dan tampak memberontak. "Aku tak tahu berapa lama lagi, oke?" Malfoy membentaknya, tak sadar ada Harry di belakangnya. "Teryata lebih lama daripada yang kuperkirakan." Crabbe membuka mulutnya, namun Malfoy tampakya sudah menduga apa yang akan dikatakannya. "Dengar, bukan urusanmu apa yang kulakukan, Crabbe, kau dan Goyle tinggal melakukan saja apa yang kuperintahkan dan berjaga!" "Aku memberitahu teman-temanku apa yang kulakukan, kalau aku ingin mereka berjaga untukku," kata Harry, cukup keras untuk didengar Malfoy. Malfoy berputar di tempatnya, tangannya melayang ke tongkat sihirnya, namun tepat saat itu empat Kepala Asrama berteriak, "Diam!" dan suasana hening. Malfoy berputar perlahan menghadap ke depan. "Terima kasih," kata Twycross. "Nah, sekarang ..." Dia melambaikan tongkat sihirnya. Lingkaran hulahop kayu model lama langsung muncul di lantai di depan masing-masing anak. "Hal penting yang harus diingat sewaktu ber-Apparate adalah tiga D!" kata Twycross. "Destinasi, Determinasi, dan Deliberasi!" "Langkah pertama: pusatkan pikiran kalian pada destinasi atau tujuan yang diinginkan," kata Twycross. "Dalam hal ini, bagian dalam hulahop kalian. Silakan berkonsentrasi pada destinasi itu sekarang." Semua anak memandang ke sekitarnya secara sembunyi-sembunyi, memastikan bahwa yang lain berkonsentrasi memandang hulahop mereka, kemudian buru-buru melakukan seperti yang diperintahkan. Harry menatap lingkaran lantai berdebu di dalam hulahopnya dan berusaha keras untuk tidak memikirkan apa-apa lagi. Ternyata ini tak mungkin, karena dia tak bisa berhenti memikirkan apa yang sedang dilakukan Malfoy, sehingga perlu dijagai. "Langkah kedua," kata Twycross, "fokuskan determinasi atau tekad kalian untuk berada dalam ruang yang dibayangkan! Biarkan keinginan kalian untuk memasuki tempat itu mengalir dari pikiran kalian ke semua partikel tubuh kalian!" Harry mencuri-curi pandang ke sekitarnya. Dekat di sebelah kirinya Ernie Macmillan berkonsentrasi pada hulahopnya begitu keras sehingga wajahnya kemerahan; kelihatan seperti dia sedang mengejan untuk menelurkan telur sebesar-Quaffle. Harry menahan tawa dan buru-buru mengembalikan pandangannya ke hulahopnya sendiri. "Langkah ketiga," seru Twycross, "dan baru laku setelah aku memerintahkannya ... berputar di tempat rasakan kalian masuk dalam kekosongan, bergerak dengan deliberasi, dengan pertimbangan matang! Tunggu aba-aba, sekarang ... satu-" Harry mengerling sekitarnya lagi; banyak anak tampak ketakutan disuruh langsung ber-Apparate begitu cepat. "-dua-" Harry berusaha memusatkan pikirannya pada hulahopnya lagi; dia sudah lupa tiga D tadi apa saja. "-TIGA-" Harry berputar di tempatnya, kehilangan keseimbangan dan nyaris terjungkal. Dia bukan satu-satunya. Seluruh Aula mendadak penuh anak yang terhuyung. Neville terkapar menelentang. Ernie Macmillan, sebaliknya, melakukan lompatan memutar ke dalam hulahopnya dan sesaat tampak senang sekali, sampai terlihat olehnya Dean Thomas yang terbahak menertawakannya. "Tak apa, tak apa," kata Twycross garing, dan rupanya tidak mengharapkan sesuatu yang lebih baik. "Atur hulahop kalian, silakan, dan kembali ke posisi semula ... " Usaha kedua tidak lebih baik daripada yang pertama. Yang ketiga sama buruknya. Baru pada usaha keempat terjadi sesuatu yang seru. Terdengar jerit kesakitan mengerikan dan semua anak menoleh, ketakutan, melihat Susan Bones, anak Hufflepuff melompat-lompat di dalam hulahopnya sementara kaki kirinya masih ketinggalan berdiri satu setengah meter jauhnya di tempat dia semula berdiri. Keempat Kepala Asrama mengerumuninya, terdengar letusan keras dan muncullah asap ungu. Ketika asap memudar tampaklah Susan Bones terisak, sudah bersatu kembali dengan kakinya, namun masih tampak ngeri. "Splinching, atau terpisahnya bagian-bagian tubuh," kata Wilkie Twycross tenang, "terjadi jika pikiran kita kurang determinasi. Kalian harus berkonsentrasi terus pada destinasi kalian, dan bergerak, tanpa terburu-buru, tapi dengan pertimbangan matang, dengan deliberasi ... begini." Twycross melangkah maju, berputar anggun di tempat dengan tangan terentang dan lenyap dalam pusaran jubah, muncul kembali di bagian belakang Aula. "Ingatlah tiga D," katanya, "dan coba lagi ... satu-dua-tiga-" Namun satu jam kemudian, Splinching yang terjadi pada Susan masih tetap hal paling menarik yang terjadi. Twycross tampaknya tidak berkecil hati. "Sampai Sabtu depan, anak-anak, dan jangan lupa: Destinasi. Determinasi. Deliberasi." Dengan kata-kata itu dia melambaikan tongkat sihirnya, melenyapkan hulahop, dan meninggalkan Aula ditemani Profesor McGonagall. Anak-anak langsung ramai sambil bergerak ke Aula. "Bagaimana kau tadi?" tanya Ron, bergegas mendekati Harry. "Aku merasa sesuatu waktu terakhir kali mencoba seperti kesemutan di kaki." "Sepatumu kekecilan kali, Won-Won," kata suara di belakang mereka menyeringai. "Aku tidak merasakan apa-apa," kata Harry, mengabaikan interupsi ini. "Tapi aku tidak peduli soal itu sekarang" "Apa maksudmu, kau tidak peduli ... apa kau tidak ingin belajar ber-Apparate?" tanya Ron tak percaya. "Aku tidak terlalu mementingkan soal ini sih, sebetulnya. Aku lebih suka terbang," kata Harry, menoleh mencari di mana Malfoy, dan mempercepat langkahnya ketika mereka tiba di Aula Depan. "Yuk, cepat, ada yang ingin kulakukan ..." Bingung, Ron mengikuti Harry berlari kembali ke Menara Gryffindor. Untuk sementara mereka tertahan oleh Peeves, yang telah mengganjal pintu di lantai empat dan menolak siapa pun masuk kalau mereka tidak membakar celana mereka sendiri, namun Harry dan Ron langsung berbalik dan mengambil salah satu jalan pintas mereka yang tepercaya. Dalam waktu lima menit mereka sudah memanjat lubang lukisan. "Apa kau mau memberitahuku apa yang akan kita lakukan?" tanya Ron, sedikit terengah. "Di atas," kata Harry, dan dia menyeberangi ruang rekreasi, lalu masuk lebih dulu ke pintu yang menuju tangga ke kamar anak laki-laki. Kamar mereka, seperti diharapkan Harry, kosong. Dia membuka kopernya dan mulai mencari-cari di dalamnya, sementara Ron mengawasi tak sabar. "Harry ... " "Malfoy menggunakan Crabbe dan Goyle sebagai pengintai. Dia bertengkar dengan Crabbe tadi. Aku ingin tahu ... aha." Dia telah menemukannya, lipatan perkamen yang kelihatannya kosong, yang sekarang dibukanya dan diketuknya dengan ujung tongkat sihirnya. "Aku bersumpah dengan sepenuh hati bahwa aku orang tak berguna ... atau Malfoy yang tak berguna, paling tidak." Langsung saja Peta Perampok muncul pada permukaan perkamen. Peta itu memperlihatkan secara rinci bagan masing-masing lantai di kastil itu dan, bergerak pada setiap lantai, titik-titik hitam mungil yang merupakan masing-masing penghuni kastil. "Bantu aku menemukan Malfoy," kata Harry mendesak. Dihamparkannya peta itu di atas tempat tidurnya dan dia dan Ron membungkuk di atasnya, mencari. "Itu dia!" kata Ron setelah beberapa saat. "Dia di ruang rekreasi Slytherin, lihat ... dengan Parkinson dan Zabini dan Crabbe dan Goyle ... " Harry memandang peta itu, kecewa, namun langsung pulih lagi. "Aku akan mengawasinya mulai sekarang," katanya tegas. "Dan begitu aku melihatnya di suatu tempat, dengan Crabbe dan Goyle berjaga di luar, aku akan langsung memakai Jubah Gaib dan mencari tahu apa yang di-" Dia berhenti karena Neville masuk kamar, membawa bersamanya bau kain terbakar, dan mulai mencari-cari celana untuk ganti. Kendati bertekad untuk menangkap basah Malfoy, Harry sama sekali tak beruntung selama dua minggu berikutnya. Meskipun dia mengecek petanya sesering mungkin, di antara pelajaran kadang-kadang ke toilet walaupun tak ingin ke belakang, untuk mengecek, dia tidak sekali pun melihat Malfoy di tempat yang mencurigakan. Harus diakui dia melihat Crabbe dan Goyle berkeliaran di kastil berdua saja lebih sering daripada biasanya, kadang-kadang hanya berdiri di koridor-koridor kosong, namun pada saat-saat itu Malfoy bukan hanya tidak berada di dekat mereka, melainkan bahkan sama sekali tak bisa ditemukan di peta. Ini sangatlah misterius. Harry mempertimbangkan kemungkinan bahwa Malfoy benar-benar meninggalkan lahan sekolah, namun tak tahu bagaimana dia bisa melakukannya, mengingat tingkat keamanan yang sangat tinggi yang sekarang diberlakukan dalam kastil. Dia hanya bisa menduga bahwa Malfoy tak bisa ditemukan di antara ratusan bintik hitam kecil di peta. Sedangkan soal fakta bahwa Malfoy, Crabbe, dan Goyle tampaknya berjalan sendiri-sendiri, padahal biasanya mereka tak terpisahkan, hal-hal seperti ini sa terjadi kalau orang sudah bertambah dewasa -- Ron dan Hermione, Harry mengingat dengan sedih, adalah bukti nyatanya. Februari berganti Maret tanpa perubahan cuaca, kecuali selain hujan sekarang juga berangin. Anak-anak kesal ketika ada pengumuman muncul di papan pengumuman di semua ruang rekreasi bahwa kunjungan berikut ke Hogsmeade dibatalkan. Ron marah kali. "Kunjungan itu pas hari ulang tahunku!" katanya. "Bukan kejutan besar, kan?" kata Harry. "Tidak setelah apa yang terjadi pada Katie." Katie belum pulang dari St Mungo. Tambahan lagi, berita-berita tentang orang hilang bermunculan di prophet, termasuk beberapa saudara murid-murid Hogwarts. "Tapi sekarang yang bisa kutunggu-tunggu hanyalah Apparition konyol itu!" gerutu Ron. "Hadiah ulang tahun hebat deh ... " Tiga pelajaran kemudian, Apparition ternyata masih sama saja sulitnya, meskipun beberapa anak telah berhasil ber-Splinching. Frustrasi semakin memuncak dan ada kesebalan terhadap Wilkie Twycross dan tiga D-nya, yang telah menginspirasikan sejumlah panggilan untuknya, yang paling sopan adalah Dogol dan Dungu. "Selamat ulang tahun, Ron," kata Harry, ketika mereka terbangun pada tanggal satu Maret oleh Seamus dan Dean yang turun sarapan dengan bising. "Ini hadiahmu." Dia melemparkan bungkusannya ke tempat tidur Ron, di sana bungkusan itu bergabung dengan gundukan kecil hadiah lain yang mestinya, Harry memperkirakan, diantar oleh para peri-rumah semalam. "Trims," kata Ron masih mengantuk, dan selagi dia merobek bungkusnya, Harry turun dari tempat tidur, membuka kopernya sendiri dan mulai mencari-cari Peta Perampok, yang selalu disimpannya setelah digunakannya. Dia melempar keluar separo isi kopernya sebelum menemukan peta itu tersembunyi di bawah gulungan kaus kaki yang dipakainya menyimpan botol ramuan keberuntungannya, Felix Felicis. "Bagus," dia bergumam. Dibawanya peta itu ke tempat tidurnya, diketuknya pelan sambil bergumam, "Aku bersumpah dengan sepenuh hati bahwa orang tak berguna," supaya Neville yang sedang melewati kaki tempat tidurnya tidak mendengarnya. "Bagus banget Harry!" kata Ron antusias, melambaikan sepasang sarung tangan Keeper Quidditch yang dihadiahkan Harry kepadanya. "Tak masalah," kata Harry asal, sementara dia meneliti asrama Slytherin, mencari-cari Malfoy. "Hei ... dia tak ada di tempat tidurnya ... " Ron tidak menjawab, dia terlalu sibuk membukai hadiah-hadiahnya, dari waktu ke waktu berseru girang. "Bagus-bagus tahun ini!" dia mengumumkan, mengangkat arloji emas berat dengan simbol-simbol aneh di sekeliling tepi lingkarannya dan bintang-bintang mungil yang bergerak alih-alih jarum. "Lihat apa yang diberikan Mum dan Dad kepadaku? Wah, asyik banget kalau tahun depan aku akil balig lagi ... " "Keren," gumam Harry, sekilas melirik arloji itu sebelum kembali meneliti peta dengan lebih cermat. Di mana Malfoy? Dia tampaknya tidak sedang sarapan di meja Slytherin di Aula Besar ... dia tak ada di dekat Snape, yang sedang duduk dalam kantornya ... dia tidak ada di toilet mana pun ataupun di rumah sakit ... "Mau?" kata Ron dengan mulut penuh, mengulurkan sekotak Cokelat Kuali. "Tidak, terima kasih," kata Harry, mengangkat keila. "Malfoy pergi lagi!" "Tak mungkin," kata Ron, menjejalkan cokelat kedua ke dalam mulutnya seraya meluncur turun dari tempat tidur untuk berganti pakaian. "Yuk, kalau tidak buru-buru kau harus ber-Apparate dengan perut kosong barangkali malah lebih mudah, ya ." Ron memandang kotak Cokelat Kuali sambil berpikir, kemudian mengangkat bahu dan melahap cokelat ketiga. Harry mengetuk peta dengan tongkat sihirnya, menggumamkan, "Keonaran sudah terlaksana," kendatipun belum, dan berganti pakaian, berpikir keras. Harus ada penjelasan untuk menghilangnya Malfoy secara berkala, namun dia tak bisa memikirkan apa penjelasannya. Cara terbaik untuk mengetahuinya adalah menguntitnya, tetapi sekalipun memakai Jubah Gaib, ide ini tidak praktis. Harry harus ikut pelajaran, latihan Quidditch, mengerjakan PR, dan ikut pelajaran Apparition. Dia tak mungkin mengikuti Malfoy ke mana-mana keliling sekolah sepanjang hari tanpa mengundang komentar atas absennya sendiri. "Siap?" katanya kepada Ron. Dia sudah separo jalan menuju pintu kamar ketika menyadari bahwa Ron tidak bergerak, melainkan hanya bersandar ke tiang tempat tidurnya, memandang jendela yang tersiram hujan dengan pandangan hampa yang ganjil. "Ron? Sarapan?" "Aku tidak lapar." Harry terbelalak. "Lho, bukarikah kau baru saja bilang?" "Oke, baiklah, aku akan turun denganmu" Ron menghela napas, "tapi aku tak mau makan." Harry mengamati Ron dengan teliti. "Kau baru saja menghabiskan setengah dos Cokelat Kuali, kan?" "Bukan itu," Ron menghela napas lagi. "Kau ... kau tak akan mengerti." "Ya sudah," kata Harry, walaupun dia bingung, ambil berbalik membuka pintu. "Harry!" panggil Ron tiba-tiba. "Apa?" "Harry, aku tak tahan lagi!" "Kau tak tahan apa?" tanya Harry, sekarang benar-benar mulai takut. Ron agak pucat dan kelihatannya mau muntah. "Aku tak bisa berhenti memikirkannya!" kata Ron parau. Harry melongo memandangnya. Dia sama sekali tak mengira Ron akan berkata begitu dan tak yakin dia ingin mendengarnya. Kendatipun mereka sahabat karib, kalau Ron mulai memanggil Lavender "Lav-Lav", dia terpaksa harus mengambil tindakan tegas. "Tapi kenapa kau jadi tak mau sarapan?" tanya Harry, berusaha membuat Ron berpikir menggunakan akal sehat. "Kurasa dia tak tahu aku ada," kata Ron dengan gerakan putus asa. "Dia jelas tahu kau ada," kata Harry, bingung. "Bukankah dia tak henti-hentinya menciummu?" Ron mengerjap. "Siapa yang kau bicarakan?" "Siapa yang kau bicarakan?" timpal Harry, semakin merasa bahwa mereka membicarakan pepesan kosong. "Romilda Vane," kata Ron lembut, dan seluruh wajahnya tampak bercahaya ketika dia mengucapkan nama itu, seolah diterpa sinar matahari yang paling murni. Mereka saling pandang selama hampir semenit penuh, sebelum Harry berkata, "Ini gurauan, kan? Kau cuma bercanda." "Kurasa ... Harry, kurasa aku mencintainya," kata Ron dengan suara tersendat. "Oke," kata Harry, berjalan mendekati Ron sehingga bisa melihat lebih jelas matanya yang kosong dan wajahnya yang pucat. "Oke ... katakan sekali lagi dengan serius." "Aku mencintainya," ulang Ron mendesah. "Kau sudah melihat rambutnya, hitam dan berkilau dan selembut sutra ... dan matanya? Matanya yang besar hitam? Dan-" "Iya deh, memang lucu," kata Harry tak sabar, "tapi lelucon sudah selesai, oke? Tak perlu diteruskan." Harry berbalik untuk pergi. Dia baru berjalan dua langkah menuju pintu ketika pukulan keras menghantam telinga kanannya. Terhuyung, dia menoleh. Tinju Ron sudah ditarik kembali, wajahnya tegang diliputi kemarahan, Ron siap memukul lagi. Harry bereaksi secara naluriah, tongkat sihirnya sudah dicabut dari sakunya dan, mantra diucapkan dalam benaknya tanpa disadarinya: Levicorpus! Ron berteriak ketika tumitnya sekali lagi ditarik ke atas dengan paksa; dia terjungkir menggantung tak berdaya, kepala di bawah, jubahnya terjuntai di sekelilingnya. "Kenapa kau memukulku?" Harry berteriak "Kau menghinanya, Harry! Kau bilang itu cuma lelucon!" Ron balas berteriak, wajahnya perlahan berubah menjadi ungu ketika semua darah mengalir ke kepalanya. "Ini gila!" kata Harry. "Kau kerasukan apa s-?" Dan saat itu terlihat olehnya kotak yang terbuka di atas tempat tidur Ron dan kesadaran menghantamnya seperti serbuan troll. "Dari mana kau dapatkan Cokelat Kuali itu?" "Hadiah ulang tahun!" teriak Ron, berputar perlahan di udara ketika dia meronta ingin membebaskan diri. "Kan tadi kau kutawari?" "Kau mengambilnya dari lantai, kan?" "Cokelat itu terjatuh dari tempat tidurku, oke? Lepaskan aku!" "Cokelat itu tidak terjatuh dari tempat tidurmu, bego, tak mengertikah kau? Cokelat itu punyaku, kulemparkan dari koper ketika aku mencari peta. Itu Cokelat Kuali yang diberikan Romilda kepadaku sebelum Natal dan semuanya sudah diberi ramuan cinta!" Namun rupanya hanya satu kata yang ditangkap Ron. "Romilda?" dia mengulang. "Kau bilang Romilda? Harry kau kenal dia? Kenalin aku dong!" Harry menatap Ron yang tergantung terbalik, yang wajahnya sekarang tampak sangat berharap, dan susah-payah menahan diri untuk tidak tertawa. Sebagian dirinya bagian yang paling dekat dengan telinga kanannya yang berdenyut-denyut ingin sekali menurunkan Ron dan menontonnya bertingkah gila-gilaan sampai efek ramuan itu memudar ... namun di lain pihak, mereka kan sahabat. Ron tidak sadar ketika menyerangnya, dan Harry berpikir dia layak mendapat satu pukulan lagi kalau dia membiarkan Ron menyatakan cinta abadinya kepada Romilda Vane. "Yeah, akan kukenalkan kau," kata Harry, berpikir cepat. "Aku akan menurunkanmu sekarang, oke?" Dia melepas Ron terjun keras ke lantai (telinganya benar-benar sakit), namun Ron cuma melompat bangun lagi, nyengir "Dia akan ada di kantor Slughorn," kata Harry yakin, berjalan lebih dulu ke pintu. "Kenapa dia di sana?" tanya Ron cemas, bergegas menyusul Harry. "Oh, dia ada pelajaran tambahan dengan Slughorn" kata Harry, mengarang alasan asal saja. "Barangkali aku bisa tanya kalau-kalau boleh ikut pelajaran tambahan bersamanya?" tanya Ron bersemangat. "Ide hebat," kata Harry. Lavender sudah menunggu di sebelah lubang lukisan, komplikasi yang tidak diperhitungkan Harry. "Kau telat, Won-Won!" dia memberengut. "Aku punya hadiah ulang-" "Jangan ganggu aku," kata Ron tak sabar. "Harry akan memperkenalkanku pada Romilda Vane." Dan tanpa sepatah kata pun lagi kepada Lavendwer, Ron langsung keluar lewat lubang lukisan. Harry berusaha menampilkan wajah minta maaf kepada Lavender, namun rupanya wajahnya malah cuma tampak geli, karena Lavender kelihatan semakin tersinggung ketika si Nyonya Gemuk berayun menutup di belakang mereka. Harry agak cemas kalau-kalau Slughorn sedang sarapan, namun dia langsung membuka pintu ketika Harry mengetuknya, memakai kimono rumah beludru-hijau dan topi yang serasi, dan matanya kuyu. "Harry," gumamnya. "Ini terlalu pagi untuk berkunjung ... aku biasanya bangun siang kalau hari Sabtu ... " "Profesor, saya benar-benar minta maaf mengganggu Anda," kata Harry setenang mungkin, sementara Ron berjingkat-jingkat di belakangnya, berusaha melihat melewati Slughorn ke dalam ruangannya, "tetapi teman saya Ron tak sengaja menelan ramuan cinta. Anda bisa menolongnya membuatkan penangkalnya, kan? Saya bisa saja membawanya ke Madam Pomfrey, tapi kami kan dilarang memiliki apa pun dari Sihir Sakti Weasley dan, Anda tahu ... pertanyaan-pertanyaan yang membuat kikuk ... " "Kenapa tidak membuat penangkal sendiri saja, Harry? Kau kan ahli ramuan?" tanya Slughorn. "Er," kata Harry, pikirannya agak kacau karena Ron sekarang menyikut-nyikut rusuknya, dalam usahanya memaksa masuk ke dalam ruangan, "yah, saya belum pernah membuat penangkal ramuan cinta, Sir, dan saat saya berhasil membuatnya Ron mungkin sudah melakukan sesuatu yang serius" Untung saja Ron memilih saat itu untuk meratap, "Aku tak bisa melihatnya, Harry apakah dia menyembunyikannya?" "Apakah ramuan itu masih dalam batas waktu?" tanya Slughorn, sekarang mengamati Ron dengan ketertarikan profesional. "Soalnya ramuan itu bisa semakin kuat, kau tahu kan, jika semakin lama disimpan." "Pantas saja," engah Harry, sekarang betul-betul bergulat dengan Ron untuk mencegahnya menabrak jatuh Slughorn. "Ini hari ulang tahunnya, Profesor," dia menambahkan dengan memohon. "Oh, baiklah, masuklah kalau begitu, masuklah," kata Slughorn melunak. "Aku punya bahannya yang diperlukan di dalam tasku, bukan penangkal yang sulit ... " Ron menyerbu masuk ke kamar Slughorn yang terlalu panas dan penuh barang, terantuk bangku tumpuan kaki berjumbai, memperoleh kembali keseimbangannya dengan menyambar leher Harry dan berkata, "Romilda tidak lihat, kan?" "Dia belum datang," kata Harry, memandang Slughorn membuka kotak bahan-ramuannya dan menambahkan beberapa jumput ini dan itu ke dalam sebuah botol kristal kecil. "Bagus," kata Ron sungguh-sungguh. "Bagaimana penampilanku?" "Tampan sekali," kata Slughorn lancar, menyerahkan segelas cairan bening kepada Ron. "Sekarang minum ini dulu, ini tonik untuk saraf, membuatmu tenang ketika dia datang nanti, kau tahu." "Brilian" kata Ron bersemangat, dan diminumnya penangkal itu sampai habis dengan berisik. Harry dan Slughorn mengawasinya. Sejenak Ron tersenyum kepada mereka. Kemudian, sangat perlahan, senyumnya memudar dan lenyap, digantikan oleh ekspresi penuh horor. "Sudah balik normal lagi?" kata Harry, nyengir. Slughorn terkekeh. "Terima kasih banyak, Profesor." "Sama-sama, Nak, sama-sama," kata Slughorn, sementara Ron terenyak ke kursi berlengan terdekat, tampak terpukul sekali. "Minuman penambah semangat, itu yang dibutuhkannya," Slughorn melanjutkan, sekarang bergegas ke meja penuh minuman. "Aku punya Butterbeer, anggur, dan botol terakhir mead aroma-ek ... hmm ... tadinya mau kuberikan kepada Dumbledore sebagai hadiah Natal ... yah, sudahlah ... " dia mengangkat bahu "... dia tak akan kehilangan sesuatu yang tak pernah dimilikinya! Kenapa tidak kita buka sekarang dan kita rayakan ulang tahun Mr Weasley? Tak ada yang lebih hebat daripada minuman keras untuk mengusir kekecewaan cinta ... " Dia terkekeh lagi dan Harry ikut terkekeh. Ini pertama kalinya dia berada hampir sendirian dengan Slughorn sejak usaha pertamanya yang gagal untuk mengorek kenangannya yang sebenarnya darinya. Barangkali, kalau dia bisa membuat Slughorn senang terus ... barangkali kalau mereka minum cukup banyak mead itu ... "Ini dia," kata Slughorn, mengulurkan kepada Harry dan Ron masing-masing segelas mead, sebelum mengangkat gelasnya sendiri, "Nah, selamat ulang tahun, Ralph-" "-Ron-" bisik Harry. Namun Ron, yang tampaknya tidak mendengarkan ucapan selamat itu, sudah menenggak minumannya dan menelannya. Selama sedetik berikutnya, nyaris tak lebih dari satu denyutan jantung, Harry tahu ada yang sangat tidak beres dan Slughorn, tampaknya, tidak menyadarinya. "-semoga selalu berbahagia-" "Ron!" Ron telah menjatuhkan gelasnya; dia separo-bangkit dari kursinya dan kemudian terpuruk, tangan dan kakinya berkelojotan tak terkontrol. Mulutnya berbuih dan matanya melotot seperti mau keluar dari rongganya. "Profesor!" teriak Harry. "Lakukan sesuatu!" Namun Slughorn tampaknya menjadi lumpuh saking shock-nya. Ron mengejang dan tersedak, kulitnya sudah mulai membiru. "Apa tapi " gagap Slughorn. Harry melompati sebuah meja rendah dan berlari ke arah kotak bahan-ramuan Slughorn yang terbuka, mengeluarkan botol-botol dan kantong-kantong, sementara bunyi napas Ron yang seperti dengkur mengerikan memenuhi ruangan. Kemudian Harry menemukannya batu berkeriput seperti ginjal kering yang diambil Slughorn darinya dalam pelajaran Ramuan. Harry berlari kembali ke sisi Ron, membuka paksa rahangnya dan menjejalkan bezoar itu ke dalam mulutnya. Ron bergetar hebat, mengembuskan napas dengan berderik, dan kemudian tubuhnya menjadi lemas dan diam. 19. TUGAS RAHASIA PERI-RUMAH "Jadi, setelah dipertimbangkan semuanya, bukan salah satu ulang tahun terbaik Ron?" kata Fred. Saat itu malam hari; rumah sakit sunyi, gorden-gorden ditutup, lampu-lampu dinyalakan. Tempat tidur Ron adalah satu-satunya tempat tidur yang terisi. Harry, Hermione, dan Ginny duduk mengelilinginya; mereka melewatkan sepanjang hari menunggu di luar pintu ganda, berusaha melongok ke dalam setiap kali ada yang masuk atau keluar. Madam Pomfrey baru mengizinkan mereka masuk pukul delapan. Fred dan George tiba pukul delapan lewat sepuluh. "Ini bukan seperti yang kami bayangkan bagaimana kami menyerahkan hadiah kami," kata George muram, meletakkan bungkusan besar hadiah di meja di sebelah tempat tidur Ron dan duduk di samping Ginny. "Yeah, sewaktu kami membayangkan adegan ini, dia sadar," kata Fred. "Padahal tadi kami di Hogsmeade, menunggu untuk mengejutkannya" kata George. "Kalian di Hogsmeade?" tanya Ginny, mengangkat muka. "Kami sedang mempertimbangkan mau membeli Zonko," kata Fred murung. "Cabang Hogsmeade, kau tahu, tapi buat apa kalau kalian tidak lagi diizinkan keluar pada akhir minggu untuk membeli barang-barang kami ... tapi sudahlah, lupakan saja itu." Dia menarik kursi ke sebelah Harry dan memandang wajah pucat Ron. "Bagaimana persisnya terjadinya, Harry?" Harry menceritakan lagi peristiwa yang rasanya sudah diulangnya seratus kali ke Dumbledore, ke McGonagall, ke Madam Pomfrey, ke Hermione, dan ke Ginny. "... dan kemudian kujejalkan bezoar ke dalam kerongkongannya dan napasnya menjadi sedikit lebih lega, Slughorn berlari mencari bantuan, McGonagall dan Madam Pomfrey muncul, dan mereka membawa Ron ke sini. Mereka berpendapat dia akan sembuh. Madam Pomfrey mengatakan dia harus tinggal di sini selama kira-kira seminggu ... terus minum Sari Rue ... " Rue adalah tanaman semak berbau tajam dari Laut Tengah, bunganya berwarna kuning-kehijauan. "Astaga, untung sekali kau memikirkan bezoar," kata George dengan suara pelan. "Untung ada bezoar di ruangan itu," kata Harry, yang tubuhnya menjadi dingin setiap kali teringat apa yang akan terjadi jika dia tak berhasil mendapatkan batu kecil itu. Hermione mengeluarkan isak yang nyaris tak terdengar. Dia luar biasa diam sepanjang hari ini. Setelah datang berlari dengan wajah pucat, menemui Harry di depan rumah sakit dan menuntut diceritai apa yang terjadi, dia nyaris tak mengambil bagian dalam diskusi seru Harry dan Ginny tentang bagaimana Ron sampai terkena racun, melainkan hanya berdiri di sebelah mereka, dengan rahang terkatup dan wajah ketakutan, sampai akhirnya mereka diizinkan melihatnya. "Apakah Mum dan Dad tahu?" Fred menanyai Ginny. "Mereka sudah melihatnya, mereka tiba sejam yang lalu mereka di kantor Dumbledore sekarang, tapi akan segera ke sini lagi ... " Hening sejenak sementara mereka semua mengawasi Ron yang bergumam kecil dalam tidurnya. "Jadi, racunnya ada dalam minumannya?" tanya Fred pelan. "Ya," kata Harry segera, dia tak bisa memikirkan apa-apa lagi dan senang ada kesempatan membicarakannya lagi. "Slughorn yang menuang" "Bisakah dia memasukkan sesuatu ke dalam gelas Ron tanpa terlihat olehmu?" "Barangkali," kata Harry, "tapi kenapa Slughorn ingin meracuni Ron?" "Entahlah," kata Fred, mengernyit. "Menurutmu tak mungkinkah dia keliru menyerahkan gelasnya? Sebetulnya kau yang ingin diracuninya?" "Kenapa Slughorn ingin meracuni Harry?" tanya Ginny "Aku tak tahu," kata Fredw, "tapi pasti banyak orang yang ingin meracuni Harry, kan? 'Sang Terpilih' dan segala macam lagi itu?" "Jadi, menurutmu Slughorn itu Pelahap Maut?" kata Ginny. "Segalanya mungkin," kata Fred suram. "Bisa saja dia di bawah pengaruh Kutukan Imperius," kata George. "Atau, bisa saja dia tak bersalah," kata Ginny. "Racun itu bisa saja sudah ada dalam botol minuman, dalam hal ini racun itu dimaksudkan untuk Slughorn sendiri." "Siapa yang mau membunuh Slughorn?" "Dumbledore menduga Voldemort menginginkan Slughorn berada di pihaknya," kata Harry. "Slughorn dalam persembunyian selama setahun sebelum dia datang di Hogwarts. Dan ... Harry teringat kenangan yang belum berhasil dikorek Dumbledore dari Slughorn, "dan barangkali Voldemort ingin menyingkirkannya, barangkali dia mengira Slughorn bisa berharga untuk Dumbledore." "Tapi katamu Slughorn tadinya merencanakan memberikan botol itu sebagai hadiah Natal untuk Dumbledore," Ginny mengingatkannya. "Jadi, orang yang memasukkan racun itu bisa saja menyasar Dumbledore." "Kalau begitu orang itu tidak terlalu kenal Slughorn," kata Hermione, berbicara untuk pertama kalinya setelah berjam-jam diam dan kedengarannya dia sedang flu berat. "Siapa pun yang mengenal Slughorn akan tahu kemungkinan besar dia akan menyimpan minuman selezat itu untuk dirinya sendiri." "Er-may-ni," celetuk Ron parau tak terduga di tengah mereka. Mereka semua langsung terdiam, memandang Ron dengan penuh harap, namun setelah bergumam tak jelas, dia mulai mendengkur lagi. Pintu kamar menjeblak terbuka, membuat mereka semua terlonjak. Hagrid berjalan ke arah mereka, rambutnya dipenuhi titik air hujan, mantel kulit beruangnya melambai di belakangnya, dengan busur di tangan, meninggalkan jejak-kaki berlumpur sebesar lumba-lumba di mana-mana. "Di Hutan sepanjang hari!" engahnya. "Aragog makin parah, aku bacakan cerita untuknya tidak pulang makan sampai barusan dan kemudian Profesor Sprout beritahu aku tentang Ron! Bagaimana dia?" "Tidak buruk," kata Harry. "Mereka bilang dia akan oke." "Tak boleh lebih dari enam pengunjung setiap kali!" kata Madam Pomfrey, bergegas keluar dari kantornya. "Dengan Hagrid pas enam," George menjelaskan. "Oh ... ya ..." kata Madam Pomfrey, yang rupanya menghitung Hagrid sebagai beberapa orang gara-gara ukuran badannya yang luar biasa besar. Untuk menutupi kekeliruannya dia buru-buru pergi membersihkan jejak-kaki berlumpur Hagrid dengan tongkat sihirnya. "Aku tak percaya in"" kata Hagrid parau, menegakkan kepalanya yang besar berambut gondrong sembari menatap Ron. "Benar-benar tak percaya ... lihat dia terbaring di situ ... siapa yang mau celakai dia, eh?" "Itulah yang sedang kami bicarakan tadi," kata Harry. "Kami tidak tahu." "Tak ada orang yang dendam terhadap tim Quidditch Gryffindor, kan?" tanya Hagrid cemas. "Mula-mula Katie, sekarang Ron ... " "Masa sih ada orang yang mau membunuh anggota-anggota tim Quidditch," kata George. "Wood akan membunuh anggota tim Slytherin kalau dia bisa lolos" kata Fred adil. "Kurasa bukan masalah Quidditch, tapi dua serangan ini ada hubungannya," kata Hermione pelan. "Bagaimana kau bisa menyimpulkan begitu?" tanya Fred. "Pertama, keduanya harusnya berakibat fatal dan ternyata tidak, meskipun itu kemujuran belaka. Dan kedua, baik racun maupun kalung itu tampaknya tidak mengenai orang yang sebetulnya mau dibunuh. Tentu saja," dia menambahkan dengan prihatin, "itu membuat orang di belakang semua ini bisa dikatakan semakin berbahaya, karena mereka rupanya tidak peduli berapa banyak orang yang mati sebelum mereka berhasil mencapai korban sasaran mereka." Sebelum ada yang bisa menanggapi pernyataan mengerikan ini, pintu kamar terbuka lagi dan Mr dan Mrs Weasley bergegas masuk. Dalam kunjungan sebelumnya tadi, mereka hanya sempat memastikan bahwa Ron akan sembuh total. Sekarang Mrs Weasley merengkuh Harry dan memeluknya erat-erat. "Dumbledore memberitahu kami bagaimana kau menyelamatkannya dengan bezoar," isaknya. "Oh, Harry, apa yang bisa kami katakan? Kau sudah menyelamatkan Ginny, menyelamatkan Arthur ... sekarang kau menyelamatkan Ron " "Jangan ... saya tidak ..." gumam Harry salah tingkah. "Separo keluarga kami tampaknya berutang nyawa kepadamu, kalau kupikir-pikir," kata Mr Weasley dengan suara tercekat. "Yah, yang bisa kukatakan hanyalah bahwa hari ketika Ron memutuskan untuk duduk dalam kompartemenmu di Hogwarts Express adalah hari keberuntungan bagi keluarga Weasley, Harry." Harry tak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan ini, maka dia malah senang ketika Madam Pomfrey mengingatkan mereka lagi bahwa hanya boleh ada enam pengunjung di sekitar tempat tidur Ron. Harry dan Hermione langsung bangkit untuk pergi dan Hagrid memutuskan ikut mereka, meninggalkan Ron bersama keluarganya. "Sungguh mengerikan," geram Hagrid ke dalam berewoknya, sewaktu ketiganya berjalan sepanjang koridor menuju tangga pualam. "Semua pengamanan baru ini, dan anak-anak masih tetap celaka ... Dumbledore cemas sekali ... dia tidak banyak bicara, tapi aku bisa lihat ... " "Apakah dia tak punya gagasan, Hagrid?" tanya Hermione putus asa. "Kukira dia punya ratusan gagasan, dengan otak seperti miliknya" kata Hagrid sungguh-sungguh. "Tapi dia tidak tahu siapa yang kirim kalung ataupun siapa yang taruh racun ke dalam minuman itu. Kalau tahu mestinya orangnya sudah ditangkap, kan? Yang bikin aku cemas," kata Hagrid, merendahkan suaranya dan menoleh ke belakang (Harry, untuk amannya, mengecek langit-langit, memastikan Peeves tak ada), "adalah berapa lama lagi Hogwarts masih bisa buka kalau anak-anak diserang. Ini seperti peristiwa Kamar Rahasia dulu, kan? Orang-orang akan panik, lebih banyak orangtua ambil pulang anak-anak mereka dari sekolah, dan tahu-tahu dewan pemerintah ... " Hagrid berhenti bicara ketika hantu wanita berambut panjang melayang tenang melewati mereka, kemudian melanjutkan dalam bisikan parau, "... dewan pemerintah akan bicara soal mau tutup sekolah kita selamanya." "Masa sih?" kata Hermione, tampak cemas. "Kita harus lihat dari sudut pandang mereka;" kata Hagrid berat. "Maksudku, memang selalu berisiko kirim anak ke Hogwarts, kan? Pasti akan ada kecelakaan, kan, dengan ratusan penyihir di bawah-umur, tapi usaha pembunuhan, itu beda. Pantas Dumbledore marah kepada Sn-" Hagrid berhenti mendadak, ekspresi bersalah yang tak asing bagi Harry dan Hermione muncul menghiasi sisa wajahnya yang tampak di atas berewok hitamnya yang lebat. "Apa?" sambar Harry cepat-cepat. "Dumbledore marah kepada Snape?" "Aku tak pernah bilang begitu," kata Hagrid, meskipun tampangnya yang panik malah jadi pembuka rahasianya. "Lihat sudah jam berapa, sudah hampir tengah malam, aku harus-" "Hagrid, kenapa Dumbledore marah kepada Snape?" Harry bertanya keras. "Shhhhh!" kata Hagrid, tampak cemas dan marah sekaligus. "Jangan teriak-teriak tanya hal seperti itu, Harry, kau mau aku kehilangan pekerjaan? Kau rupanya tak peduli, ya, sekarang setelah kau tak ikut Pemeliharaah Satwa -Ga-" "Jangan coba-coba membuatku merasa bersalah, percuma!" kata Harry tegas. "Apa yang telah dilakukan Snape?" "Aku tak tahu, Harry, aku harusnya malah tak dengar itu! Aku -- aku keluar dari Hutan malam-malam belum lama ini dan aku tak sengaja dengar mereka bicara -- yah, bertengkar. Aku tak mau tarik perhatian, jadi aku menyelinap dan berusaha tidak dengar, tapi pembicaraan mereka panas, dan sulit untuk tidak dengar." "Nah?" Harry mendesaknya, sementara Hagrid menggesek-gesekkan kakinya yang besar dengan gelisah. "Nah -- aku cuma dengar Snape bilang Dumbledore begitu saja anggap Snape pasti lakukan itu dan barangkali dia -Snape- tidak mau lakukan itu lagi" "Lakukan apa?" "Aku tak tahu, Harry, kedengarannya seperti Snape rasa terlalu banyak tugas, cuma itu bagaimanapun juga Dumbledore beritahu dia tegas-tegas bahwa dia sudah setuju lakukan itu, jadi harus dilakukan. Dan kemudian dia bilang sesuatu tentang Snape adakan penyelidikan di asramanya, di Slytherin. Yang, yang itu, tidak aneh!" Hagrid buru-buru menambahkan, ketika Harry dan Hermione saling ,bertukar pandang penuh arti. "Semua Kepala Asrama diminta selidiki urusan kalung itu" "Yeah, tapi Dumbledore tidak bertengkar dengan yang lain, kan?" kata Harry. "Dengar," Hagrid memilin busur di tangannya dengan salah tingkah, terdengar bunyi kayu patah dan busur itu patah menjadi dua. "Aku tahu bagaimana perasaanmu terhadap Snape, Harry, dan aku tak mau kau duga-duga lebih banyak daripada yang sebenarnya." "Awas," kata Hermione tegang. Mereka berpaling tepat ketika bayangan Argus Filch menjulang di dinding di belakang mereka sebelum orangnya sendiri muncul dari tikungan, bongkok dan rahangnya bergetar. "Oho!" desisnya. "Masih belum di tempat tidur selarut ini, ini berarti detensi!" "Tidak, Filch," kata Hagrid pendek. "Mereka bersamaku, kan?" "Apa bedanya?" tanya Filch menjengkelkan. "Aku ini guru, kan, Squib licik!" kata Hagrid, langsung naik pitam. Terdengar bunyi desis seram ketika kemarahan Filch menggelegak; Mrs Norris sudah datang, tanpa terlihat, dan sedang berputar-putar meliuk mengelilingi pergelangan kaki Filch yang kurus. "Pergilah," kata Hagrid dari sudut mulutnya. Harry tak perlu diberitahu dua kali; dia dan Hermione bergegas pergi. Suara Hagrid dan Filch yang semakin keras bergaung di belakang mereka sementara mereka berlari. Mereka berpapasan dengan Peeves dekat tikungan menuju Menara Gryffindor, namun Peeves meluncur riang menuju sumber pertengkaran, berseru-seru girang, "Kalau ada perselisihan dan percekcokan, Panggil saja Peevsie, akan dia lipatgandakan!" Si Nyonya Gemuk sedang tidur sebentar dan tidak senang dibangunkan. Dia mengayun ke depan dengan marah-marah, mengizinkan mereka memanjat masuk ke dalam ruang rekreasi, yang kosong dan damai. Rupanya belum ada yang tahu tentang Ron. Harry sangat lega. Dia sudah cukup dibombardir dengan interogasi hari itu. Hermione mengucapkan selamat tidur dan pergi ke kamar anak perempuan. Tetapi Harry tinggal di ruang rekreasi, duduk di sebelah perapian dan menatap bara yang hampir padam. Jadi, Dumbledore bertengkar dengan Snape. Bertentangan dengan semua yang telah dikatakannya kepada Harry, kendatipun berkeras dia memercayai Snape, dia toh marah kepadanya ... dia menganggap Snape tidak cukup keras, berusaha menginvestigasi anak-anak Slytherin ... atau, barangkali, menginvestigasi satu anak Slytherin, Malfoy? Apakah itu dikarenakan Dumbledore tidak ingin Harry melakukan sesuatu yang bodoh, mengambil tindakan sendiri, sehingga dia berpura-pura kecurigaan Harry tidak berdasar? Kelihatannya begitu. Mungkin juga karena Dumbledore tidak ingin ada yang memecah perhatian Harry dari pelajaran mereka, atau dari mendapatkan kenangan itu dari Slughorn. Barangkali Dumbledore merasa tidak pantas menyampaikan kecurigaannya terhadap stafnya kepada seorang murid berusia enam belas tahun ... "Akhirnya kau muncul, Potter!" Harry terlompat bangun saking shock-nya, tongkat sihirnya siap. Dia yakin betul ruang rekreasi kosong. Dia sama sekali tak siap ada sosok tinggi besar mendadak bangkit dari kursi yang jauh. Setelah diamati ternyata sosok itu Cormac McLaggen. "Aku dari tadi menunggumu pulang," kata McLaggen, mengabaikan tongkat sihir Harry yang sudah terangkat. "Pasti aku tadi tertidur. Begini, aku tadi melihat mereka menggotong Weasley ke rumah sakit. Kelihatannya dia tidak cukup fit untuk main dalam pertandingan minggu depan." Baru beberapa saat kemudian Harry menyadari apa yang dibicarakan McLaggen. "Oh ... betul ... Quidditch," katanya, menyelipkan kembali tongkat sihirnya ke ikat pinggang celana jinsnya dan menyisirkan tangan ke rambutnya dengan letih. "Yeah ... dia barangkali tak bisa main." "Nah, kalau begitu aku jadi Keeper, kan?" kata McLaggen. "Yeah," kata Harry. "Yeah, kurasa begitu ... " Dia tak bisa memikirkan argumen untuk menentangnya. Bagaimanapun juga, McLaggen memang yang kedua terbaik dalam uji coba. "Bagus sekali" kata McLaggen dengan suara puas. "Jadi, kapan latihannya?" "Apa? Oh ... besok malam ada latihan." "Bagus. Dengar, Potter, kita harus bicara sebelumnya Aku punya ide tentang strategi yang mungkin bisa berguna." "Baik," kata Harry tanpa antusias. "Aku dengar besok, kalau begitu. Aku sudah capek sekarang, sampai ketemu ... Berita bahwa Ron telah keracunan tersebar dengan cepat keesokan harinya, namun berita itu tidak menimbulkan sensasi heboh seperti serangan terhadap Katie. Orang-orang tampaknya mengira peristiwa itu suatu kecelakaan tak sengaja, mengingat saat itu dia ada di kamar guru Ramuan, dan karena dia langsung diberi penangkal, akibatnya tidaklah fatal. Malah, anak-anak Gryffindor secara umum jauh lebih tertarik pada pertandingan Quidditch yang akan berlangsung melawan Hufflepuff, karena kebanyakan dari mereka ingin melihat Zacharias Smith, yang bermain sebagai Chaser tim Hufflepuff, dihukum setimpal dengan komentarnya selama pertandingan pembukaan melawan Slytherin. Meskipun demikian, belum pernah Harry tak berminat terhadap Quidditch seperti ini. Dengan cepat dia menjadi terobsesi dengan Draco Malfoy. Masih mengecek Peta Perampok setiap kali ada kesempatan, dia kadang-kadang memutar mendatangi tempat Malfoy sedang berada saat itu, namun dia belum berhasil mendeteksinya melakukan sesuatu yang tidak biasa. Tetapi tetap ada saat-saat tak terjelaskan ketika Malfoy menghilang begitu saja dari peta. Namun Harry tidak punya banyak waktu untuk memikirkan masalah ini; mana bisa, dengan adanya latihan Quidditch, PR, dan kenyataan bahwa ke mana saja dia pergi dia sekarang diikuti oleh Cormac McLaggen dan Lavender Brown. Dia tak bisa memutuskan yang mana dari mereka berdua yang lebih mengesalkan. McLaggen tak putus-putusnya memberi petunjuk bahwa dia akan jadi Keeper permanen yang lebih baik bagi tim daripada Ron, dan sekarang setelah Harry melihatnya bermain secara tetap, pastilah dia akan berpendapat demikian juga. McLaggen juga senang mengkritik pemain-pemain yang lain dan memberi Harry rancangan latihan yang terperinci, sehingga lebih dari sekali Harry terpaksa mengingatkan dia siapa yang Kapten. Sementara itu, Lavender terus-menerus merendengi Harry untuk membicarakan Ron, dan bagi Harry ini malah hampir lebih melelahkan daripada kuliah Quidditch McLaggen. Awalnya, Lavender sangat jengkel karena tak ada yang ingat memberitahu dia bahwa Ron ada di rumah sakit "gimana sih, aku ini kan ceweknya!" namun sayangnya dia sekarang telah memutuskan untuk memaafkan Harry atas kealpaannya ini dan gemar sekali ngobrol mendalam dengannya tentang perasaan Ron, pengalaman sangat tidak menyenangkan yang kalau bisa dihindari, Harry akan senang sekali. "Dengar, kenapa kau tidak bicara dengan Ron tentang semua ini?" Harry bertanya, setelah interogasi superlama dari Lavender yang mencakup segala sesuatu dari apa persisnya yang dikatakan Ron tentang jubah resmi Lavender yang baru sampai apakah menurut Harry, Ron menganggap hubungannya dengan Lavender "serius". "Mauku sih begitu, tapi dia selalu tidur kalau aku datang menjenguknya!" kata Lavender resah. "Masa?" Harry heran karena Ron selalu siap siaga sepenuhnya setiap kali dia ke rumah sakit, sangat tertarik mendengar kabar tentang pertengkaran Dumbledore dan Snape dan senang mengumpat McLaggen sebanyak mungkin. "Apakah si Hermione Granger masih mengunjunginya?" Lavender tiba-tiba bertanya. "Yeah, kurasa begitu. Mereka teman, kan?" kata Harry kikuk. "Teman, jangan bikin aku tertawa," kata Lavender menghina. "Dia tidak bicara pada Ron selama berminggu-minggu setelah Ron jadian denganku! Tapi kurasa dia mau baikan dengan Ron sekarang setelah dia jadi menarik ... " "Kau menganggap keracunan itu menarik?" tanya Harry. "Tapi-sori deh, aku harus pergi-tuh McLaggen datang mau ngomong tentang Quidditch," kata Harry buru-buru, dan dia melesat ke samping, memasuki pintu yang menyamar menjadi dinding padat dan berlari sepanjang jalan pintas yang akan membawanya ke kelas Ramuan. Untunglah baik Lavender maupun McLaggen tak bisa mengikutinya ke kelas Ramuan. Pada pagi hari pertandingan Quidditch melawan Hufflepuff, Harry singgah di rumah sakit sebelum menuju lapangan. Ron sangat gelisah. Madam Pomfrey menolak memberinya izin menonton pertandingan, karena merasa itu akan membuatnya terlalu tegang. "Jadi, bagaimana perkembangan McLaggen?" dia bertanya kepada Harry dengan gugup. Rupanya dia lupa sudah mengajukan pertanyaan yang sama itu dua kali. "Sudah kukatakan, kan" kata Harry sabar, "dia boleh saja berkelas dunia dan aku tak ingin mempertahankannya. Dia terus-menerus berusaha memberitahu setiap orang apa yang harus dilakukan, dia menganggap dirinya bisa memainkan semua posisi lebih baik daripada kita semua. Aku sudah tak sabar ingin lepas darinya. Dan ngomong-ngomong soal lepas dari orang," Harry menambahkan, bangkit berdiri dan mengambil Firebolt-nya, "kau jangan pura-pura tidur lagi dong kalau Lavender datang menengokmu. Dia juga bikin aku senewen." "Oh," kata Ron malu. "Yeah. Baiklah. "Kalau kau tak mau lagi jadian dengannya, bilang saja padanya," kata Harry. "Yeah ... tapi ... tidak segampang itu, kan?" kata Ron. Dia berhenti sejenak. "Hermione akan ke sini sebelum pertandingan?" dia bertanya sambil lalu. "Tidak, dia sudah ke lapangan dengan Ginny." "Oh" kata Ron, tampak agak muram. "Baiklah. Semoga sukses. Mudah-mudahan kau menggebuk Mac-Lag maksudku, Smith." "Akan kuusahakan," kata Harry, memanggul sapunya. "Sampai nanti, habis pertandingan." Harry bergegas melewati koridor-koridor kosong. Seluruh penghuni sekolah sudah di luar, kalau tidak sudah duduk di stadion ya sedang menuju ke sa Dia sedang memandang ke luar jendela-jendela yang dilewatinya, berusaha menaksir kekuatan angin yang akan mereka hadapi, ketika suara di depannya membuat dia menoleh dan dia melihat Malfoy berjalan ke arahnya, ditemani dua anak perempuan, yang duaduanya tampak kesal dan marah. Malfoy mendadak berhenti melihat Harry, kemudian tertawa pendek, garing, dan berjalan lagi. "Mau ke mana kau?" tuntut Harry. "Yeah, aku akan memberitahu kau karena ini urusanmu, Potter," cemooh Malfoy. "Kau sebaiknya buruan, mereka akan menunggu Sang Kapten Terpilih -- Anak yang Mencetak Gol -apa pun julukan mereka untukmu sekarang ini." Salah seorang anak perempuan itu terkikik terpaksa. Harry memandangnya. Wajahnya langsung merona merah. Malfoy melewati Harry dan anak perempuan itu bersama temannya mengikutinya, membelok di sudut dan menghilang dari pandangan. Harry berdiri terpaku di tempatnya dan mengawasi mereka menghilang. Ini sungguh menjengkelkan. Sudah mepet sekali baginya untuk bisa tiba di tempat pertandingan pada waktunya, padahal di sini ada Malfoy, menyelinap kabur sementara sekolah sedang kosong. Sejauh ini, sekaranglah kesempatan terbaik Harry untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan Malfoy. Detik demi detik berlalu hening, dan Harry tetap berdiri di tempatnya, membeku, menatap tempat Malfoy menghilang ... "Dari mana saja kau?" tuntut Ginny, ketika Harry berlari masuk ke ruang ganti. Seluruh tim sudah berganti pakaian dan siap. Coote dan Peakes, kedua Beater, memukul-mukulkan tongkat pemukul mereka dengan gelisah ke kaki mereka. "Aku bertemu Malfoy," Harry memberitahu Ginny pelan, seraya memakai jubah merahnya lewat kepalanya. "Jadi?" "Jadi, aku ingin tahu kenapa dia ada di kastil dengan dua cewek, sementara semua anak lain ada di sini ... " "Apakah itu penting sekarang?" "Yah, aku tak akan tahu, kan?" kata Harry, menyambar Firebolt-nya dan meluruskan kacamatanya. "Yuk!" Dan tanpa kata lagi, dia keluar ke lapangan disambut sorakan dan ejekan "buu" yang membahana. Hanya ada sedikit angin, awan di sana-sini, dan dari waktu ke waktu ada sorot cahaya matahari yang menyilaukan. "Kondisi yang rumit!" McLaggen berkata menguatkan tim. "Coote, Peakes, kalian harus terbang dari arah matahari, jadi mereka tidak melihat kalian datang" "Aku Kapten-nya, McLaggen, berhenti memberi instruksi kepada mereka," kata Harry jengkel. "Pergilah ke tiang gol!" Begitu McLaggen sudah pergi, Harry menoleh ke pada Coote dan Peakes. "Pastikan kalian memang terbang dari arah matahari," dia memberitahu mereka dengan enggan. Harry berjabat tangan dengan Kapten Hufflepuff, dan kemudian, pada tiupan peluit Madam Hooch menjejak dan melesat ke angkasa, lebih tinggi daripada anggota timnya, meluncur mengelilingi lapangan, mencari Snitch. Jika dia berhasil menangkap Snitch dengan cepat, barangkali masih ada kesempatan dia bisa kembali ke kastil, mengambil Peta Perampok-nya dan mencari tahu apa yang sedang dilakukan Malfoy. "Dan Smith Hufflepuff membawa Quaffle," kata suara melamun, bergaung di atas lapangan. "Smith yang jadi komentator pada pertandingan lalu itu, dan Ginny Weasley terbang menabraknya, kurasa sengaja kelihatannya begitu. Smith waktu itu kurang ajar terhadap Gryffindor, kukira dia menyesalinya sekarang, setelah bermain melawan Gryffindor -- oh, lihat, dia kehilangan Quaffle-nya, Ginny mengambilnya darinya. Aku suka sekali Ginny, orangnya baik banget ..." Harry menatap podium komentator. Tentunya, orang yang waras tak akan mengizinkan Luna Lovegood mengomentari pertandingan? Namun bahkan dari atas, tak salah lagi itu pasti Luna, rambutnya yang pirang kotor panjang, ataupun kalungnya yang dari untaian gabus Butterbeer ... Di samping Luna, Profesor McGonagall tampak sedikit canggung, seolah dia memang menyesali pilihannya. "... tapi sekarang pemain Hufflepuff yang besar itu merebut Quaffle dari Ginny. Aku tak ingat namanya, kalau tak salah Bibble-eh, bukan, Buggins-" "Namanya Cadwallader!" kata Profesor McGonagall keras dari sebelah Luna. Penonton tertawa. Harry memasang mata mencari Snitch lagi; tak ada tanda-tanda adanya Snitch. Sejenak kemudian Cadwallader mencetak gol. McLaggen sibuk meneriak dan kritikan kepada Ginny karena telah melepas Quaffle dari pegangannya, akibatnya dia tak melihat bola besar merah itu meluncur melewati telinga kanannya. "McLaggen, tolong perhatikan tugasmu sendiri dan jangan gerecoki yang lain!" teriak Harry, terbang memutar untuk menghadapi Keeper-nya. "Kau tidak memberi contoh yang baik!" McLaggen balas membentak, marah, wajahnya merah padam. "Dan Harry Potter sekarang berantem dengan Keeper-nya, kata Luna tenang, sementara anak-anak Hufflepuff dan Slytherin yang menonton di bawah bersorak dan mengejek. "Menurutku itu tidak akan membantunya menemukan Snitch, tapi barangkali itu tipu muslihat yang cerdik ... " Mengumpat marah, Harry berputar dan terbang mengelilingi lapangan lagi, meneliti langit, mencari-cari bola emas kecil bersayap. Ginny dan Demelza mencetak gol masing-masing sekali, memberi kesempatan bagi suporter mereka yang berpakaian merah-emas untuk bersorak. Kemudian Cadwallader memasukkan bola lagi, membuat skor seimbang, tetapi Luna tampaknya tidak menyadarinya. Dia rupanya tidak tertarik pada hal-hal biasa seperti gol, dan terus-menerus berusaha menarik perhatian penonton pada hal-hal seperti awan-awan yang berbentuk menarik dan kemungkinan bahwa Zacharias Smith, yang sejauh ini gagal mempertahankan Quaffle lebih lama dari semenit, menderita sesuatu yang disebut "Penyakit Pecundang". "Tujuh puluh - empat puluh untuk Huffepuff!" hardik Profesor McGonagall ke dalam megafon Luna "Sudah segitu?" kata Luna tak jelas. "Oh lihat! Keeper Gryffindor merebut salah satu pemukul Beater. Harry berputar-balik di tengah udara. Betul saja, McLaggen, untuk alasan yang hanya dia sendiri yang tahu, telah menarik pemukul Peakes darinya dan rupanya sedang mendemonstrasikan bagaimana caranya menghantam Bludger ke arah Cadwallader yang sedang terbang ke arah mereka. "Kembalikan pemukulnya dan kembali ke tiang gawangmu!" raung Harry, meluncur ke arah McLaggen tepat ketika McLaggen dengan ganas menghantam Bludger dan meleset. Rasa sakit yang luar biasa ... kilatan cahaya ... jeritanjeritan di kejauhan ... dan sensasi terjatuh ke dalam terowongan panjang ... Dan hal berikutnya yang diketahui Harry, dia terbaring di tempat tidur yang hangat dan sangat nyaman, dan memandang lampu yang memancarkan lingkaran cahaya keemasan ke langit-langit gelap. Dia mengangkat kepalanya dengan canggung. Di sebelah kirinya ada orang dengan pipi berbintik-bintik dan berambut-merah yang rasanya dikenalnya. "Baik sekali kau mau menemaniku," kata Ron, nyengir. Harry mengerjap dan memandang berkeliling. Tentu saja, dia ada di rumah sakit. Langit di luar berwarna ungu tua dengan semburat merah. Pertandingan pastilah sudah usai berjam-jam yang lalu ... dan hilang jugalah kesempatannya untuk menyudutkan Malfoy. Kepala Harry rasanya berat sekali; dia mengangkat tangan dan merasakan perban yang membentuk turban kaku. "Apa yang terjadi?" "Tengkorak retak," kata Madam Pomfrey, bergegas datang dan mendorongnya kembali ke bantalnya. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan, aku langsung memperbaikinya, tapi aku menahanmu semalam di sini. Kau tak boleh bekerja terlalu keras selama beberapa jam." "Aku tak mau tinggal di sini semalaman," kata Harry marah, duduk dan melempar selimutnya. "Aku mau mencari McLaggen dan membunuhnya." "Sayangnya itu termasuk dalam kategori 'kerja keras'," kata Madam Pomfrey, dengan tegas mendorong Harry ke tempat tidurnya lagi dan mengangkat tongkat sihirnya dengan sikap mengancam. "Kau akan tinggal di sini sampai kuizinkan pulang, Potter, kalau tidak akan kupanggilkan Kepala Sekolah." Madam Pomfrey kembali ke kantornya dan Harry membenamkan diri kembali ke bantal-bantalnya, menggerutu. "Apakah kau tahu seberapa banyak kita kalah?" dia menanyai Ron dengan gigi mengertak. "Yeah, tahu," kata Ron dengan nada meminta maaf. "Skor final adalah tiga ratus dua puluh lawan enam puluh." "Hebat," kata Harry buas. "Benar-benar hebat! Kalau aku berhasil menangkap McLaggen "Kau jangan menangkapnya, ukurannya sebesar troll," saran Ron masuk akal. "Aku pribadi berpendapat mendingan dia dikutuk dengan kutukan kuku-nya si Pangeran itu. Bagaimanapun juga, anggota tim yang lain mungkin sudah menanganinya sebelum kau keluar dari sini, mereka tidak senang ... " Ada nada riang yang tak berhasil disembunyikan dalam suara Ron. Harry bisa menerka Ron senang sekali McLaggen mengacaukan pertandingan begitu rupa. Harry berbaring di tempat tidurnya, menatap lingkaran cahaya di langit-langit, tengkoraknya yang baru diperbaiki tidak sakit, persisnya, namun terasa agak lunak di bawah semua perban itu. "Aku bisa mendengar komentar pertandingan dari sini," kata Ron, suaranya sekarang berguncang karena tawa. "Kuharap Luna terus yang akan jadi komentator mulai sekarang... Penyakit Pecundang..." Namun Harry masih terlalu marah untuk melihat kelucuan dalam situasi itu, dan selewat beberapa saat dengus tawa Ron mereda. "Ginny datang menengok waktu kau masih pingsan," katanya, setelah diam lama, dan imajinasi Harry langsung melesat, dengan cepat mereka-reka adegan di mana Ginny, tersedu-sedu di atas tubuhnya yang tak bergerak, menyatakan ketertarikannya yang mendalam terhadapnya, sementara Ron merestui hubungan mereka ... "Dia bilang kau tiba ketika pertandingan sudah hampir mulai. Bagaimana bisa begitu? Kau berangkat dari sini cukup pagi." "Oh ... " kata Harry, ketika adegan dalam benaknya meledak buyar. "Yeah ... soalnya aku melihat Malfoy menyelinap dengan dua cewek yang kelihatannya tidak mau berada bersamanya, dan itu untuk kedua kalinya dia memastikan dia tidak berada di lapangan Quidditch bersama anak-anak lain. Dia juga tidak ikut pertandingan yang lalu, ingat?" Harry menghela napas. "Kalau tahu pertandingannya hancur begini, mending aku tadi mengikutinya ... " "Jangan bodoh," " kata Ron tajam. "Kau tak mungkin tak ikut pertandingan Quidditch hanya demi mengikuti Malfoy, kau kan Kapten-nya!" "Aku ingin tahu dia sedang merencanakan apa," kata Harry. "Dan jangan bilang semua itu cuma ada dalam kepalaku, tidak setelah apa yang kudengar dibicarakan antara dia dan Snape" "Aku tak pernah bilang semua itu cuma ada dalam kepalamu," kata Ron, sekarang ganti dia yang menyangga dirinya pada sikunya dan memandang Harry dengan mengernyit, "tapi tak ada peraturan yang mengatakan hanya satu orang setiap kali yang boleh merencanakan sesuatu di tempat ini! Kau jadi agak terobsesi dengan Malfoy, Harry. Maksudku, sampai memikirkan tidak ikut pertandingan hanya agar bisa mengikutinya ... " "Aku ingin menangkap basah dia!" kata Harry frustrasi. "Maksudku, ke mana dia pergi ketika dia menghilang dari peta?" "Aku tak tahu ... Hogsmeade?" usul Ron, menguap. "Aku tak pernah melihatnya melewati salah satu jalan rahasia di peta. Lagi pula, kukira jalan-jalan itu dijaga sekarang?" "Yah, kalau begitu aku tak tahu." Hening di antara mereka. Harry menatap lingkaran cahaya di atasnya, berpikir ... Kalau saja dia memiliki kekuasaan seperti Rufus Scrimgeour, dia akan bisa menyuruh orang untuk membuntuti Malfoy, tetapi sayangnya Harry tidak memiliki kantor yang penuh Auror yang bisa diperintahnya ... sekilas dia berpikir Terdengar dengkur pelan dari tempat tidur Ron. Selewat beberapa saat Madam Pomfrey keluar dari kantornya, kali ini memakai gaun tidur tebal. Paling mudah berpura-pura tidur. Harry berbaring miring dan mendengar semua gorden menarik menutup ketika Madam Pomfrey melambaikan tongkat sihirnya. Lampu meredup, dan dia kembali ke kantornya. Harry mendengar pintu menceklik menutup di belakangnya, dan tahu bahwa Madam Pomfrey pergi tidur. Ini, Harry mengenang dalam gelap, ketiga kalinya dia dirawat di rumah sakit disebabkan kecelakaan dalam Quidditch. Yang terakhir kali dia terjatuh dari sapunya gara-gara kehadiran para Dementor di sekeliling lapangan, dan sebelum itu, semua tulang lenyap dari lengannya, akibat ulah konyol Profesor Lockhart ... itu kecelakaan yang paling menyakitkan ... dia masih ingat betapa menderitanya menumbuhkan kembali tulang-tulang lengannya, sakitnya tidak menjadi berkurang dengan kunjungan tamu tak diharapkan di tengah ma- Harry langsung duduk tegak, jantungnya berdegup kencang, perbannya miring. Dia mendapatkan solusinya akhirnya: ada jalan untuk membuntuti Malfoy -- bagaimana dia bisa melupakannya, bagaimana dia bisa tak memikirkannya sebelumnya? Namun pertanyaannya adalah, bagaimana memanggilnya? Apa yang harus dilakukannya? Perlahan, dengan coba-boba, Harry bicara ke dalam kegelapan. "Kreacher?" akan mengatur sesuatu dengan LIDw, namun tetap akan ada masalah anak-anak yang tak bisa ikut pelajaran; sebagian besar dari mereka masih memiliki jadwal pelajaran yang padat Terdengar lecutan keras dan bunyi orang berkelahi dan jeritan memenuhi ruangan yang sunyi. Ron terbangun sambil memekik. "Apa yang-?" Harry buru-buru mengacungkan tongkatnya ke arah pintu kantor Madam Pomfrey dan menggumamkan "Muf fliato!" supaya dia tidak datang berlarian. Kemudian dia merayap ke tepi tempat tidurnya untuk melihat lebih jelas apa yang sedang terjadi. Dua peri-rumah sedang berguling-guling di tengah lantai kamar, yang satu memakai sweter mengkeret merah tua dan beberapa topi wol, yang satunya lagi memakai kain lap kumal yang diikatkan pada pinggulnya seperti cawat. Kemudian terdengar letupan keras lagi, dan Peeves, si hantu jail muncul di tengah udara di atas kedua peri-rumah yang sedang bergumul. "Aku sedang menonton itu, Potty" dia memberitahu Harry dengan marah, menunjuk pergumulan di bawahnya, sebelum terkekeh keras. "Lihat makhluk lucu itu berantem, gigit, gigit, pukul, pukul-" "Kreacher tak akan bisa menghina Harry Potter di depan Dobby, tak bisa, Dobby akan menutup mulut Kreacher untuk Harry Potter!" seru Dobby dengan suara melengking tinggi. "-tendang, cakar!" teriak Peeves gembira, sekarang melempar-lempar potongan kapur kepada dua peri-rumah itu untuk membuat mereka semakin marah, "Jewer, tonjok!" "Kreacher mau omong apa saja yang dia suka tentang tuannya, oh ya, dan tuan macam apa dia, berteman dengan Darah-lumpur, oh, apa yang akan dikatakan majikan lama Kreacher yang malang?" Apa persisnya yang akan dikatakan majikan Kreacher mereka tidak akan tahu, karena saat itu Dobby membenamkan tinjunya yang kecil dan bertulang ke dalam mulut Kreacher dan merontokkan separo giginya. Harry dan Ron melompat turun dari tempat tidur masing-masing dan memisahkan kedua peri-rumah itu, walaupun mereka masih terus berusaha saling tendang dan pukul, dipanasi oleh Peeves yang melayang-layang mengelilingi lampu, berteriak-teriak, "Colokkan jarimu ke hidungnya, jewer telinganya-" Harry mengarahkan tongkat sihirnya kepada Peeves dan berkata, "Langlock!" Peeves mencengkeram tenggorokannya, menelan ludah, kemudian melayang pergi dari kamar dengan membuat gerakan-gerakan kurang ajar, tetapi tak bisa bicara, karena lidahnya sudah melekatkan diri ke langit-langit mulutnya, "Bagus," kata Ron memuji, mengangkat Dobby ke atas supaya tangan dan kakinya yang menonjok dan menendang tidak bisa mengenai Kreacher. "Itu salah satu kutukan Pangeran yang lain, kan?" "Yeah," kata Harry, menelikung sebelah lengan Kreacher yang keriput. "Baik aku melarang kalian berantem! Nah, Kreacher, kau kularang menyerang Dobby. Dobby, aku tahu aku tak boleh memberimu perintah" "Dobby peri-rumah merdeka dan dia bisa mematuhi siapa saja yang dia suka dan Dobby akan melakukan apa saja yang diinginkan Harry Potter!" kata Dobby, air mata sekarang bercucuran di wajah mungilnya yang keriput dan menetes ke sweaternya. "Oke, kalau begitu," kata Harry dan dia dan Ron melepaskan kedua peri-rumah itu, yang terjatuh ke lantai, namun tidak melanjutkan bergumul. "Tuan memanggilku" tanya Kreacher parau, membungkuk rendah, kendatipun dia melempar pandangan kepada Harry yang jelas sekali mengharapkan Harry mati dengan menderita. "Yeah, aku memanggilmu," Harry, mengerling ke arah pintu kantor Madam bahwa mantra Muffliato masih bekerja. Tak ada tanda-tanda bahwa dia mendengar keributan itu. "Aku punya tugas untukmu." "Kreacher akan melakukan apa pun yang diinginkan Tuan," kata Kreacher, membungkuk rendah sekali sehingga bibirnya nyaris menyentuh jari-jari kakinya yang berbonggol, "karena Kreacher tak punya pilihan, tapi Kreacher malu punya majikan seperti ini, ya" "Dobby akan melaksanakannya, Harry Potter!" lengking Dobby, matanya yang sebesar bola tenis masih digenangi air mata. "Dobby akan mendapat kehormatan kalau bisa membantu Harry Potter!" "Kalau dipikir-pikir, bagus kalau kalian berdua melakukannya," kata Harry. "Oke, kalau begitu ... aku ingin kalian berdua diam-diam membuntuti Draco Malfoy." Mengabaikan campuran keheranan dan putus asa di wajah Ron, Harry melanjutkan, "Aku ingin tahu ke mana dia pergi, siapa yang ditemuinya, dan apa yang dilakukannya. Aku ingin kalian berdua membuntutinya dua puluh empat jam sehari." "Baik, Harry Potter!" kata Dobby langsung menyanggupi, matanya yang besar berkilauan penuh semangat. "Dan jika Dobby salah melakukannya, Dobby akan melempar dirinya dari menara yang paling tinggi, Harry Potter!" "Tak perlu begitu," kata Harry buru-buru. "Tuan ingin aku membuntuti anggota keluarga Malfoy yang paling muda?" teriak Kreacher parau. "Tuan ingin aku memata-matai cucu-keponakan berdarah-murni majikanku yang dulu?" "Betul, dia," kata Harry, meramalkan adanya bahaya besar dan bertekad langsung mencegahnya. "Dan kau dilarang memberinya petunjuk, Kreacher, atau menunjukkan kepadanya apa yang sedang kau lakukan, bahkan bicara dengannya sekalipun, atau menulis pesan kepadanya, atau ... mengontaknya dengan cara apa pun. Mengerti?" Harry melihat Kreacher berjuang mencari jalan keluar dalam instruksi yang baru saja diberikan kepadanya, dan menunggu. Selewat beberapa saat, dan Harry puas sekali karenanya, Kreacher membungkuk rendah lagi dan berkata, menyesali dengan getir, "Tuan memikirkan segalanya dan Kreacher harus mematuhinya, meSkipun Kreacher jauh lebih suka menjadi pelayan Tuan Malfoy itu, oh ya ... " "Beres, kalau begitu" kata Harry. "Aku menginginkan laporan berkala, tapi pastikan aku tidak sedang dikerumuni orang-orang kalau kalian muncul. Kalau Ron dan Hermione sih oke. Dan jangan bilang siapa-siapa apa yang sedang kalian lakukan. Tempel saja terus Malfoy, seperti sepasang plester pencabut kutil." 20. PERMOHONAN LORD VOLDEMORT Harry dan Ron meninggalkan rumah sakit hari Senin pagi-pagi, kembali sehat walafiat berkat perawatan Madam Pomfrey dan sekarang bisa menikmati manfaatnya dihantam sampai pingsan dan diracuni, manfaat terbaik adalah bahwa Hermione berbaikan lagi dengan Ron. Hermione bahkan mengawal mereka turun sarapan, membawa berita bahwa Ginny bertengkar dengan Dean. Makhluk yang selama ini tertidur dalam dada Harry mendadak mengangkat kepalanya, mengendus-endus udara dengan penuh harap. "Apa yang mereka pertengkarkan?" Harry bertanya, berusaha terdengar biasa ketika mereka membelok ke koridor di lantai tujuh yang sepi, hanya ada seorang anak perempuan sangat kecil yang sedang mengamati permadani luas bergambar para troll yang memakai tutu, rok balet. Dia tampak ngeri melihat anak-anak kelas enam mendekat dan menjatuhkan timbangan kuningan berat yang dibawanya. "Tak apa-apa!" kata Hermione ramah, bergegas maju untuk menolongnya. "Ini ... " Dia mengetuk timbangan yang patah dengan tongkat sihirnya dan berkata, "Reparo." Anak itu tidak mengucapkan terima kasih, namun tetap terpaku di tempatnya ketika mereka lewat dan mengawasi mereka menghilang dari pandangan. Ron menoleh kembali melihatnya. "Heran anak-anak itu makin lama makin kecil," katanya. "Tak usah pedulikan dia," ujar Harry, sedikit tidak sabar. "Apa yang dipertengkarkan Ginny dan Dean, Hermione?" "Oh, Dean menertawakan soal McLaggen yang memukul Bludger menghantammu," kata Hermione. "Pastinya lucu," kata Ron masuk akal. "Sama sekali tidak lucu!" kata Hermione panas. "Mengerikan malah, dan kalau Coote dan Peakes tidak menangkap Harry, dia bisa luka parah!" . "Yeah, tapi Ginny dan Dean tak perlu putus gara-gara itu," kata Harry, masih berusaha terdengar biasa. "Atau apakah mereka masih jadian?" "Ya, masih -- tapi kenapa sih kau begitu tertarik?" tanya Hermione, menatap tajam Harry. "Aku cuma tak ingin tim Quidditch-ku kacau lagi!" kata Harry buru-buru, namun Hermione masih tampak curiga dan Harry lega sekali ketika ada suara di belakang mereka memanggil, "Harry!", memberinya alasan untuk membelakangi Hermione. "Oh, hai, Luna." "Aku ke rumah sakit mencarimu," kata Luna, mencari-cari di dalam tasnya. "Tapi mereka bilang kau sudah pergi ... " Luna menyorongkan benda-benda yang tampaknya seperti bawang hijau, jamur payung besar bertotol, dan onggokan sesuatu seperti kotoran kucing ke tangan Ron, akhirnya menarik keluar gulungan perkamen agak kotor yang lalu diserahkannya kepada Harry. "... aku disuruh memberikan ini kepadamu." Harry langsung mengenali gulungan kecil perkamen itu sebagai undangan untuk pelajaran dengan Dumbledore. "Malam ini," dia memberitahu Ron dan Hermione, begitu dia sudah membuka gulungannya. "Komentar yang menarik pertandingan lalu!" kata Ron kepada Luna, ketika dia mengambil kembali bawang hijau, jamur payung, dan kotoran kucingnya. Luna tersenyum samar. "Kau meledekku, ya?" katanya. "Semua orang bilang aku parah." "Tidak, aku serius," kata Ron sungguh-sungguh. "Seingatku, belum pernah aku menikmati komentar Quidditch seperti waktu mendengar komentarmu! Ngomong-ngomong, ini apa sih?" dia menambahkan, mengangkat benda seperti bawang itu ke depan matanya. "Oh, itu akar Gurdy, kata Luna, memasukkan lagi kotoran kucing dan jamur payung ke dalam tasnya. "Boleh buatmu kalau kau mau. Aku punya beberapa. Akar Gurdy manjur sekali untuk menghilangkan jerawat besar." Dan Luna pergi, meninggalkan Ron tertawa terkekeh-kekeh, masih memegangi akar Gurdy. Kalian tahu, aku makin suka Luna, katanya, ketika mereka meneruskan berjalan menuju Aula Besar. "Aku tahu dia sinting, tapi dalam arti baik, gitu-" Ron mendadak berhenti bicara. Lavender Brown berdiri di kaki tangga pualam, tampak sangat berang. "Hai " sapa Ron gugup "Yukz" Harry bergumam kepada Hermione, dan mereka bergegas pergi. Meskipun demikian mereka masih sempat mendengar Lavender berkata, "Kenapa kau tidak memberitahuku kau keluar hari ini? Dan kenapa dia bersamamu?" Ron tampak sebal dan jengkel ketika dia muncul untuk sarapan setengah jam kemudian, dan meskipun dia duduk dengan Lavender, Harry tidak melihat mereka bertukar kata sama sekali selama mereka bersama-sama. Hermione bersikap seakan dia tidak melihat semua ini, namun sekali atau dua kali Harry melihat seringai yang tak bisa dijelaskan menghiasi wajahnya. Sepanjang hari itu Hermione tampak sangat girang, dan malam itu di ruang rekreasi dia bahkan bersedia memeriksa (dengan kata lain, menyelesaikan menulis) esai Herbologi Harry, sesuatu yang selama ini dengan tegas ditolaknya, karena dia tahu bahwa Harry kemudian akan mengizinkan Ron menyalin pekerjaannya. "Terima kasih banyak, Hermione," kata Harry, memberinya belaian buru-buru pada punggungnya, seraya mengecek arlojinya dan melihat sudah hampir jam delapan. "Dengar, aku harus cepat-cepat, kalau tidak aku akan terlambat untuk pelajaran dengan Dumbledore ... " Hermione tidak menjawab, melainkan hanya mencoret beberapa kalimat Harry yang kurang oke dengan gaya jemu. Nyengir, Harry bergegas keluar melewati lubang lukisan dan menuju kantor Kepala Sekolah. Gargoyle melompat minggir ketika dia menyebut permen karamel dan Harry menaiki tangga spiral dua anak tangga sekali langkah, mengetuk pintu tepat ketika jam di dalam berdentang delapan kali. "Masuk," Dumbledore mempersilakan, namun ketika Harry mengulurkan tangan untuk mendorong pintu, pintu itu ditarik terbuka dari dalam. Profesor Trelawney berdiri di depannya. "Aha!" serunya, menunjuk Harry secara dramatis ketika dia mengerjap memandangnya lewat kacamatanya yang seperti kaca pembesar. "Jadi, inikah alasannya aku diusir begitu saja dari kantormu, Dumbledore?" "Sybill yang baik," kata Dumbledore dengan nada agak mendongkol, "tak ada yang mengusirmu begitu saja dari mana pun, tapi Harry memang punya janji denganku dan aku sungguh berpendapat tak ada lagi yang bisa dikatakan" "Baiklah," kata Profesor Trelawney, dengan suara amat tersinggung. "Kalau kau tak mau mengusir kuda tua yang merampas jabatanku, ya sudah ... barangkali aku akan mencari sekolah yang lebih menghargai bakatku ... " Dia melewati Harry dan menghilang menuruni tangga spiral. Mereka mendengarnya terjatuh separo jalan dan Harry menebak bahwa dia terserimpet salah satu syalnya yang panjang menjuntai. "Tolong tutup pintunya dan silakan duduk, Harry," kata Dumbledore, kedengarannya agak lelah. Harry mematuhinya. Ketika dia duduk di kursinya yang biasa di depan meja Dumbledore, dilihatnya Pensieve sudah siap lagi di antara mereka, demikian juga dua botol kristal mungil berisi kenangan yang berpusar. "Profesor Trelawney masih tidak suka Firenze mengajar?" Harry bertanya. "Ya," kata Dumbledore. "Ramalan ternyata pelajaran yang jauh lebih merepotkan daripada yang bisa kuperkirakan, mengingat aku sendiri tak pernah mengambil pelajaran ini. Aku tak bisa meminta Firenze kembali ke Hutan, dia sudah diusir dari sana, dan aku pun tak bisa meminta Sybill Trelawney pergi. Antara kita berdua saja, dia tidak menyadari bahaya yang mengintainya di luar kastil. Soalnya dia tidak tahu dan kurasa tidaklah bijaksana memberitahunya bahwa dia membuat ramalan tentang kau dan Voldemort." Dumbledore menghela napas dalam-dalam, kemudian berkata, "Tapi sudahlah, itu masalah staf guruku. Kita punya masalah yang jauh lebih penting untuk dibicarakan. Yang pertama-apakah kau sudah berhasil melaksanakan tugas yang kuberikan pada akhir pelajaran kita yang sebelumnya?" "Ah," kata Harry, kaget sendiri. Dengan pelajaran Apparition dan Quidditch dan Ron keracunan dan tengkoraknya sendiri retak dan tekadnya untuk mengetahui apa yang hendak dilakukan Draco Malfoy, Harry hampir lupa tentang kenangan yang diminta Dumbledore agar dikoreknya dari Profesor Slughorn ... "Saya bertanya kepada Profesor Slughorn tentang itu, pada akhir pelajaran Ramuan, Sir, tetapi, er, beliau tidak mau memberikannya kepada saya." Hening sejenak. "Begitu," kata Dumbledore akhirnya, menatap Harry dari atas kacamata bulan-separonya dan membuat Harry merasakan sensasi yang biasa, sepertinya dia sedang dirontgen. "Dan kau merasa sudah melakukan usaha yang terbaik dalam hal ini, kan? Bahwa kau sudah mengeluarkan semua kepintaranmu? Bahwa tak ada lagi kecerdikanmu yang belum tergali dalam upayamu untuk mendapatkan kenangan itu?" "Yah," Harry terdiam, tak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Satu-satunya usaha untuk mendapatkan kenangan itu tiba-tiba saja terasa sangat lemah memalukan. "Yah ... pada hari Ron tidak sengaja meminum racun, saya membawanya ke Profesor Slughorn. Saya pikir barangkali kalau saya barangkali Profesor Slughorn cukup senang" "Dan berhasilkah itu?" tanya Dumbledore. "Tidak, Sir, karena Ron keracunan" "yang, wajar saja, membuatmu lupa sama sekali tentang usahamu untuk mendapatkan kembali kenangan itu. Aku tak mengharapkan yang lain, sementara sahabatmu dalam bahaya. Tetapi setelah jelas bahwa Mr Weasley akan sehat kembali, aku tentunya berharap kau kembali ke tugas yang kuberikan kepadamu. Kupikir aku sudah mengatakan dengan jelas kepadamu betapa pentingnya kenangan ini. Malah, aku berusaha sebaik mungkin memberi impresi kepadamu, bahwa ini kenangan yang paling penting dari semuanya dan bahwa kita akan menyia-nyiakan waktu saja tanpa kenangan itu." Rasa malu yang panas menusuk-nusuk menyebar dari kepala ke seluruh tubuh Harry. Dumbledore tidak meninggikan suaranya, dia bahkan tidak kedengaran marah, namun Harry lebih suka kalau dia berteriak; kekecewaan yang dingin ini lebih buruk daripada segalanya. "Sir," katanya, agak putus asa, "bukannya saya tidak peduli atau apa. Hanya saja ada-ada hal-hal lain ... " "Hal-hal lain dalam pikiranmu," Dumbledore menyelesaikan kalimat itu untuknya. "Begitu." Hening lagi di antara mereka, keheningan paling tidak nyaman yang pernah dialami Harry bersama Dumbledore. Keheningan itu rasanya berlanjut terus, hanya disela oleh dengkur kecil dari lukisan Armando Dippet di atas kepala Dumbledore. Harry merasa aneh, sepertinya tubuhnya menyusut, menjadi lebih kecil daripada ketika dia baru masuk ke ruangan itu. Ketika sudah tak tahan lagi dia berkata, "Profesor Dumbledore, saya betul-betul minta maaf. Saya seharusnya melakukan lebih ... saya seharusnya menyadari Anda tidak akan meminta saya melakukannya jika itu tidak benar-benar penting." "Terima kasih telah mengatakan itu, Harry," kata Dumbledore pelan. "Bolehkah aku berharap, kalau begitu, bahwa kau memberi prioritas lebih tinggi kepada masalah ini mulai sekarang? Tak ada gunanya kita bertemu lagi setelah malam ini kalau kita tidak memiliki kenangan itu." "Saya akan melakukannya, Sir, saya akan mendapatkannya dari beliau," kata Harry bersungguh-sungguh. "Kalau begitu kita tidak akan berkata apa-apa lagi soal itu sekarang," kata Dumbledore lebih ramah, "melainkan melanjutkan cerita kita dari tempat kita tinggalkan waktu itu. Kau ingat di mana?" "Ya, Sir," kata Harry cepat-cepat. "Voldemort membunuh ayahnya dan kakek-neneknya dan membuatnya tampak seakan pamannya Morfin yang melakukannya. Kemudian dia kembali ke Hogwarts dan dia bertanya ... dia bertanya kepada Profesor Slughorn tentang Horcrux," dia bergumam dengan malu. "Bagus sekali," kata Dumbledore. "Nah, kau masih ingat, kuharap, aku memberitahumu pada awal pertemuan kita bahwa kita akan memasuki dunia tebakmenebak dan spekulasi?" "Ya, Sir." "Sejauh ini, kuharap kau setuju, aku telah memperlihatkan kepadamu sumber-sumber fakta yang cukup kuat untuk deduksiku tentang apa yang dilakukan Voldemort sampai berusia tujuh belas tahun?" Harry mengangguk. "Tetapi sekarang, Harry," kata Dumbledore, "sekarang keadaan menjadi lebih kelam dan lebih aneh. Jika mencari bukti-bukti tentang Riddle sebagai anak saja sudah sulit, sekarang bahkan nyaris tak mungkin menemukan orang yang bersedia mengingat tentang Voldemort dewasa. Malah, aku meragukan apakah ada orang yang masih hidup, kecuali dirinya sendiri, yang bisa menuturkan kepada kita kisah lengkap hidupnya sejak dia meninggalkan Hogwarts. Meskipun demikian, aku punya dua kenangan terakhir yang ingin kubagi denganmu." Dumbledore menunjuk dua botol kristal kecil yang berkilauan di sebelah Pensieve. "Setelah itu aku akan senang mendengar pendapatmu soal apakah kesimpulan yang kutarik dari dua kenangan itu masuk akal." Fakta bahwa Dumbledore menghargai pendapatnya begini tinggi membuat Harry semakin merasa sangat malu dia telah gagal melaksanakan tugas mendapatkan kenangan tentang Horcrux, dan dia bergerak dengan rasa bersalah di tempat duduknya sementara Dumbledore mengangkat botol pertama ke arah sinar lampu dan mengamatinya. "Kuharap kau tidak bosan masuk ke dalam kenangan orang lain, karena ini kenangan yang aneh, yang dua ini" dia berkata. "Yang pertama ini datang dari peri-rumah perempuan yang sudah sangat tua bernama Hokey. Sebelum kita melihat apa yang disaksikan Hokey, aku harus menceritakan dengan cepat bagaimana Lord Voldemort meninggalkan Hogwarts." "Dia menyelesaikan tujuh tahun pendidikannya dengan, seperti yang mungkin telah kau duga, angka tertinggi dalam semua ujian yang diikutinya. Di sekitarnya, teman-teman sekelasnya sibuk memutuskan pekerjaan apa yang akan mereka kejar setelah meninggalkan Hogwarts. Hampir semua orang mengharapkan hal-hal spektakuler dari Tom Riddle, prefek, Ketua Murid, pemenang Penghargaan Istimewa untuk Pengabdian kepada Sekolah. Aku tahu bahwa beberapa guru, Profesor Slughorn di antaranya, menyarankan dia bergabung dengan Kementerian Sihir, menawarkan untuk membuatkan janji, memperkenalkannya dengan kontak-kontak yang berguna. Dia menolak semua tawaran. Hal berikutnya yang diketahui para guru, Voldemort bekerja di Borgin and Burkes." "Di Borgin and Burkes?" Harry mengulang, keheranan. "Di Borgin and Burkes," ulang Dumbledore tenang. "Kurasa kau akan melihat daya tarik apa yang dipunyai tempat itu untuknya kalau kita sudah memasuki kenangan Hokey. Tetapi ini bukan pekerjaan pilihan pertama Voldemort. Hampir tak ada yang tahu soal ini waktu itu aku salah satu dari sedikit orang yang diceritai Kepala Sekolah rahasia ini tetapi Voldemort mula-mula mendatangi Profesor Dippet dan bertanya apakah dia bisa tetap tinggal di Hogwarts sebagai guru." "Dia ingin tinggal di sini? Kenapa?" tanya Harry, semakin heran. "Aku yakin dia punya beberapa alasan, meskipun dia tak mengatakan satu pun alasannya kepada Profesor Dippet," kata Dumbledore. "Yang pertama, dan sangat penting, aku yakin Voldemort lebih merasa lekat kepada sekolah ini daripada kepada orang manapun. Di Hogwarts-lah dia merasa paling bahagia; tempat pertama dan satu-satunya di mana dia merasa betah." Harry merasa agak kurang nyaman mendengar kata-kata ini, karena dia juga merasa persis seperti itu terhadap Hogwarts. "Yang kedua, kastil ini adalah kubu sihir kuno. Tak diragukan lagi Voldemort telah memasuki jauh lebih banyak rahasia kastil ini daripada sebagian besar murid yang melewati tempat ini, namun dia mungkin merasa bahwa masih ada misteri untuk diungkapkan, kisah-kisah sihir untuk disadap." "Dan yang ketiga, sebagai guru, dia akan memiliki kekuasaan dan pengaruh besar terhadap penyihir-penyihir muda. Barangkali dia mendapatkan ide ini dari Profesor Slughorn, guru yang hubungannya paling baik dengannya, yang telah mendemonstrasikan bagaimana besarnya pengaruh yang bisa dimainkan guru. Aku tak membayangkan sekejap pun bahwa Voldemort merencanakan menghabiskan sisa hidupnya di Hogwarts, tetapi aku berpendapat dia memandang sekolah ini sebagai tempat rekrutmen yang sangat berguna, dan tempat di mana dia bisa mulai membentuk pasukan untuknya sendiri." "Tetapi dia tidak mendapatkan pekerjaan itu, Sir?" "Tidak. Profesor Dippet memberitahunya bahwa dia terlalu muda pada usia delapan belas tahun, tetapi mempersilakannya untuk melamar lagi beberapa tahun kemudian, jika dia masih ingin mengajar." "Bagaimana perasaan Anda tentang itu, Sir?" tanya Harry ragu-ragu. "Sangat khawatir," kata Dumbledore. "Aku memberi Armando saran agar tidak menerimanya -- aku tidak memberikan alasannya seperti yang kuberikan kepadamu, karena Profesor Dippet sangat menyukai Voldemort dan yakin akan kejujurannya tetapi aku tak ingin Lord Voldemort kembali ke sekolah ini, dan terutama tidak dalam posisi yang punya kekuasaan." "Pekerjaan apa yang diinginkannya, Sir? Dia ingin mengajar apa?" Entah bagaimana, Harry sudah mengetahui jawabannya bahkan sebelum Dumbledore memberikannya. "Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Saat itu pelajaran ini diajarkan oleh seorang profesor tua bernama Galatea Merrythought, yang sudah mengajar di Hogwarts selama hampir lima puluh tahun." "Jadi, Voldemort pergi ke Borgin and Burkes, dan semua guru yang mengaguminya mengatakan sungguh sia-sia, penyihir muda yang brilian seperti itu, bekerja di toko. Meskipun demikian, Voldemort bukan cuma sekadar pelayan toko. Sopan dan tampan dan pintar, dia segera saja diberi pekerjaan khusus yang jenisnya hanya ada di tempat seperti Borgin and Burkes, yang mengkhususkan diri, seperti yang kau ketahui, Harry, pada benda-benda luar biasa dan memiliki kekuatan istimewa. Voldemort dikirim oleh Borgin and Burkes untuk membujuk orang-orang agar mau melepas harta mereka untuk dijual, dan dia, bagaimanapun juga, sangat berbakat melakukan ini." "Saya yakin dia berbakat," kata Harry, tak bisa menahan diri. "Yah, memang," kata Dumbledore, tersenyum samar. "Dan sekarang sudah waktunya mendengar dari Hokey si peri-rumah, yang bekerja untuk penyihir perempuan yang sangat tua, sangat kaya, bernama Hepzibah Smith." Dumbledore mengetuk botol itu dengan tongkat sihirnya, gabusnya lepas terlempar, dan dia menuang kenangan yang berpusar ke dalam Pensieve, sambil berkata, "Kau duluan, Harry." Harry bangkit berdiri dan membungkuk sekali lagi di atas perak beriak dalam baskom batu sampai wajahnya menyentuhnya. Dia terjatuh ke dalam kekosongan yang gelap dan mendarat di ruang duduk di depan seorang perempuan tua yang luar biasa gemuk memakai wig berwarna kemerahan dengan model rumit dan jubah berwarna merah jambu cerah, yang menjurai di sekelilingnya, sehingga kesannya dia seperti kue es krim yang meleleh. Dia sedang memandang ke cermin kecil bertatah permata dan mengusapkan pemerah pipi pada pipinya yang sudah merah menggunakan tepuk bedak besar, sementara peri-rumah paling kecil dan paling tua yang pernah dilihat Harry sedang menalikan pita sandal satin ketat di kaki gemuknya. "Cepat sedikit, Hokey!" perintah Hepzibah. "Dia bilang akan datang pukul empat, tinggal beberapa menit lagi dan selama ini dia belum pernah terlambat!" Disimpannya tepuk bedaknya ketika si peri-rumah menegakkan diri. Puncak kepala si peri-rumah nyaris tak mencapai tempat duduk kursi Hepzibah dan kulitnya yang kering seperti kertas menggantung di tubuhnya, persis seperti kain linen kaku yang dipakainya seperti toga. "Bagaimana penampilanku?" tanya Hepzibah, memalingkan kepala untuk mengagumi berbagai sudut wajahnya di cermin. "Cantik, Madam," cicit Hokey. Harry hanya bisa menduga bahwa di kontrak Hokey tercantum dia harus berbohong kalau disodori pertanyaan ini, karena Hepzibah Smith tampak jauh dari cantik menurut pendapat Harry. Bel pintu berdenting nyaring dan baik majikan maupun peri-rumah terlonjak. "Cepat, cepat, dia datang, Hokey!" seru Hepzibah dan si peri-rumah tergopoh-gopoh meninggalkan ruangan, yang penuh sesak dengan barang sehingga sulit dipahami bagaimana orang bisa berjalan ke seberang ruangan tanpa menabrak paling tidak selusin barang. Ada lemari penuh berisi kotak berpernis, peti-peti penuh buku dengan tulisan emas-timbul, rak-rak penuh tiruan bulan, planet, dan badan-badan angkasa lain, dan tanaman pot subur dalam wadah-wadah kuningan. Sejujurnya, ruangan itu kelihatan seperti campuran antara toko barang antik sihir dan rumah kaca. Si peri-rumah muncul kembali beberapa menit kemudian, diikuti oleh seorang pemuda yang dengan mudah langsung dikenali Harry sebagai Voldemort. Dia memakai setelan jas hitam sederhana; rambutnya sedikit lebih panjang daripada waktu dia masih di sekolah dan pipinya cekung, namun semua ini pantas untuknya; dia tampak lebih tampan daripada sebelumnya. Dia berjalan melewati barang-barang yang penuh sesak itu dengan sikap yang memperlihatkan bahwa dia telah acap kali datang sebelumnya dan membungkuk rendah di atas tangan kecil gemuk Hepzibah, menyentuhnya dengan bibirnya. "Saya membawa bunga untuk Anda," katanya pelan, memproduksi seikat mawar dari kekosongan. "Anak nakal, tak usah repot-repot" pekik gembira si Hepzibah tua, meskipun Harry melihat bahwa dia sudah menyiapkan vas kosong di meja kecil terdekat. "Kau sungguh memanjakan ibu tua ini, Tom ... duduklah, duduklah ... di mana Hokey ... ah ... " Si peri-rumah bergegas kembali ke dalam ruangan, membawa senampan kue-kue kecil, yang diletakkannya dekat siku majikannya. "Silakan, Tom," kata Hepzibah. "Aku tahu kau suka sekali kue-kueku. Nah, bagaimana kabarmu? Kau tampak pucat. Mereka mempekerjakanmu terlalu berat di toko itu, sudah kukatakan ratusan kali ... " Voldemort tersenyum otomatis dan Hepzibah tersenyum simpul seperti orang bego. "Nah, apa alasanmu mengunjungiku kali ini?" dia bertanya, mengerjapkan bulu matanya. "Mr Burke ingin menaikkan tawaran untuk baju zirah buatan goblin itu," kata Voldemort. "Lima ratus Galleon, dia merasa itu sudah melebihi nilainya" "Wah, wah, jangan secepat itu, nanti aku mengira kau di sini hanya untuk barang-barangku yang sepele!" Hepzibah cemberut. "Saya disuruh ke sini karena barang-barang itu," kata Voldemort tenang. "Saya hanya pelayan toko yang malang, Madam, yang harus melaksanakan apa yang diperintahkan. Mr Burke ingin saya menanyakan-- " "Oh, Mr Burke, fuuih!" kata Hepzibah, melambaikan tangannya yang kecil. "Aku punya sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu, yang belum pernah kutunjukkan kepada Mr Burke! Kau bisa menyimpan rahasia, Tom? Maukah kau berjanji tidak akan memberitahu Mr Burke aku memilikinya? Dia tak akan membiarkan aku hidup tenang lagi kalau dia tahu aku memperlihatkannya kepadamu, dan aku tidak akan menjualnya, tidak kepada Burke, tidak kepada siapa pun! Tapi kau, Tom, kau akan menghargainya karena sejarahnya, bukan karena berapa banyak Galleon yang bisa kaudapatkan darinya ... " "Saya akan senang melihat apa saja yang diperlihatkan Miss Hepzibah kepada saya," kata Voldemort tenang, dan sekali lagi Hepzibah terkikik seperti anak gadis. "Aku akan minta Hokey mengeluarkannya ... Hokey, di mana kau? Aku mau menunjukkan kepada Mr Riddle harta kita yang paling berharga ... malah, bawa saja dua-duanya ke sini, sekalian ... " "Ini, Madam," cicit si peri-rumah, dan Harry melihat dua kotak kulit, saling bertumpuk, bergerak menyeberang ruangan, seolah berjalan sendiri, meskipun dia tahu peri-rumah mungil itu menyangganya di atas kepalanya selagi dia mencari jalan di antara meja-meja, puf-kursi bundar empuk, dan bangku penumpu kaki. "Nah," kata Hepzibah riang, mengambil dua kotak itu dari si peri-rumah, meletakkannya di atas pangkuannya dan bersiap membuka kotak yang di atas, "kurasa kau akan menyukai ini, Tom ... oh, kalau keluargaku tahu aku menunjukkannya kepadamu ... mereka sudah tak sabar ingin memiliki benda ini!" Dia membuka tutupnya. Harry beringsut maju sedikit supaya bisa melihat lebih baik, dan dia melihat sesuatu seperti piala emas dengan dua pegangan yang halus tempaannya. "Aku ingin tahu apakah kau tahu apa ini, Tom? Ambillah, lihatlah baik-baik!" bisik Hepzibah, dan Voldemort mengulurkan tangan berjari-panjang dan mengangkat piala itu pada salah satu pegangannya dari tatakan sutranya yang pas. Harry merasa dia melihat kilau merah di mata hitam Voldemort. Ekspresi tamaknya anehnya tercermin pada wajah Hepzibah, hanya saja mata kecil Hepzibah terpancang pada wajah tampan Voldemort. "Musang," gumam Voldemort, mengamati pahatan binatang malam semacam luak di piala itu. "Kalau begitu ini ...?" "Milik Helga Hufflepuff, seperti yang kau ketahui, anak pintar!" kata Hepzibah, membungkuk ke depan, diiringi derak keras korsetnya; dan betul-betul mencubit pipi cekung Voldemort. "Bukankah sudah kuberitahu kau bahwa aku masih saudara jauhnya? Piala ini sudah diwariskan dalam keluarga kami selama bertahun-tahun. Indah, kan? Dan punya kekuatan segala macam juga, tapi aku belum mengetes semuanya, aku hariya menyimpannya dengan nyaman dan aman di sini ... " Dia mengait lepas piala itu dari telunjuk panjang Voldemort dan menaruhnya kembali dengan lembut di dalam kotaknya, terlalu sibuk berhati-hati mengembalikannya ke posisinya semula sehingga tidak melihat bayangan kekecewaan yang melintasi wajah Voldemort ketika piala itu diambil darinya. "Nah, sekarang," kata Hepzibah riang, "di mana Hokey? Oh ya, itu dia bawa pergi ini, Hokey" Si peri-rumah dengan patuh mengambil kotak berisi piala, dan Hepzibah mengalihkan perhatian pada kotak yang jauh lebih pipih di atas pangkuannya. "Kurasa kau akan menyukai yang ini lebih lagi, Tom," dia berbisik. "Membungkuklah ke sini sedikit, anak baik, supaya kau bisa lihat ... tentu saja Burke tahu aku punya ini, aku membelinya darinya, dan aku berani katakan dia ingin sekali mendapatkannya kembali kalau aku sudah pergi ... " Dia mendorong selot penutupnya yang terbuat dari. benang emas halus dan membuka kotak itu. Di atas beludru halus merah tua terletak kalung emas dengan liontin berat. Voldemort mengulurkan tangannya tanpa disuruh kali ini dan mengangkat kalung itu ke arah lampu, menatapnya. "Lambang Slytherin," katanya pelan, ketika cahaya menimpa huruf S yang menyerupai ular, dengan banyak hiasan. "Betul!" kata Hepzibah, girang, rupanya, melihat Voldemort menatap kalungnya dengan terkesima. "Aku harus membayar banyak sekali untuk kalung itu, tapi aku tak bisa tidak membelinya, harta berharga seperti itu, aku harus memilikinya untuk koleksiku. Rupanya Burke membelinya dari seorang perempuan berpenampilan kumal yang kelihatannya mencurinya, tapi tidak menyadari nilainya yang sebenarnya" Tak keliru lagi kali ini. Mata Voldemort berkilat merah mendengar kata-katanya dan Harry melihat buku-buku jarinya memutih pada rantai kalung itu. "-aku yakin Burke cuma membayar perempuan itu sedikit sekali, tapi lihatlah ... cantik, kan? Dan juga, segala macam kekuatan ada padanya, meskipun aku cuma menyimpannya dengan nyaman dan aman ... " Dia mengulurkan tangan untuk mengambil kembali kalung itu. Sejenak Harry mengira Voldemort tidak akan melepaskannya, namun kemudian kalung itu meluncur dari jari-jarinya dan kembali di atas bantal beludru merahnya. "Nah, itulah, Tom sayang, dan kuharap kau menikmati itu!" Hepzibah menatap lekat-lekat wajahnya, dan untuk pertama kalinya, Harry melihat senyum begonya memudar. "Kau baik-baik, saja, Sayang?" "Oh ya," kata Voldemort pelan. "Ya, saya baik-baik saja ..." "Kupikir tapi permainan cahaya, kurasa" kata Hepzibah, tampak bingung, dan Harry menduga bahwa dia juga telah melihat kilatan merah sekejap dalam mata Voldemort. "Ini, Hokey, bawa pergi ini, simpan dan kunci lagi ... mantra yang biasa... " "Waktunya untuk pergi, Harry," kata Dumbledore pelan, dan ketika si peri-rumah kecil menjauh membawa dua kotak itu, Dumbledore memegang Harry sekali lagi di atas sikunya dan bersama-sama mereka naik melewati kekosongan dan kembali ke kantor Dumbledore. "Hepzibah Smith meninggal dua hari setelah adegan kecil tadi," kata Dumbledore, duduk kembali di kursinya dan memberi isyarat agar Harry melakukan hal yang sama. "Hokey si peri-rumah dihukum oleh Kementerian karena meracuni cokelat minuman-malam majikannya secara tak sengaja." "Tak mungkin!" kata Harry berang. "Rupanya kita sependapat," kata Dumbledore. "Jelas banyak kesamaan antara kematian ini dan kematian keluarga Riddle. Dalam kedua kasus ini, kesalahan ditimpakan kepada orang lain, orang yang ingat betul telah menyebabkan kematian itu" "Hokey mengaku?" "Dia ingat memasukkan sesuatu ke dalam cokelat majikannya yang ternyata bukan gula, melainkan racun mematikan, yang tentangnya hanya diketahui sedikit sekali" kata Dumbledore. "Disimpulkan bahwa dia tidak sengaja melakukannya, tetapi karena sudah tua dan bingung" "Voldemort memodifikasi ingatannya, sama seperti yang dilakukannya terhadap Morfin!" "Ya, begitu jugalah kesimpulanku," kata Dumbledore. "Dan sama seperti terhadap Morfin, Kementerian cenderung mencurigai Hokey" "-karena dia peri-rumah," kata Harry. Jarang sekali dia merasa lebih bersimpati terhadap perkumpulan yang didirikan Hermione, SPEW. "Persis," kata Dumbledore. "Dia sudah tua, dia mengakui melakukan sesuatu terhadap minuman itu, dan tak seorang pun di Kementerian yang mau bersusah-susah untuk menyelidiki lebih jauh. Seperti dalam kasus Morfin, ketika aku menemukan Hokey dan berhasil menyadap kenangan ini, hidupnya sudah hampir berakhir-tetapi kenangannya, tentu saja, tidak membuktikan apa-apa, kecuali bahwa Voldemort tahu tentang adanya piala dan kalung itu. "Pada saat Hokey dihukum, keluarga Hepzibah telah menyadari bahwa dua hartanya yang paling berharga hilang. Perlu beberapa waktu bagi mereka untuk memastikan ini, berhubung Hepzibah punya banyak tempat persembunyian, karena dia selalu menjaga semua koleksinya dengan sangat hati-hati. Tetapi sebelum mereka yakin tanpa keraguan lagi bahwa piala dan kalung ini hilang, pelayan yang bekerja di Borgin and Burkes, pemuda yang rutin mengunjungi Hepzibah, yang telah sangat memesonanya, telah mengundurkan diri dari pekerjaannya dan menghilang. Majikannya sama sekali tak tahu ke mana dia pergi; mereka sama herannya seperti yang lain atas menghilangnya dia. Dan itulah yang terakhir kalinya dilihat atau didengar tentang Tom Riddle untuk waktu yang lama sekali." "Sekarang," kata Dumbledore, "kalau kau tak keberatan, Harry, aku ingin jeda dulu sekali lagi, untuk menarik perhatianmu terhadap poin-poin tertentu dalam cerita kita. Voldemort telah melakukan pembunuhan lagi; apakah ini yang pertama setelah dia membunuh keluarga Riddle, aku tidak tahu, tetapi kupikir begitu. Kali ini, seperti yang telah kaulihat, dia membunuh bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk mendapatkan sesuatu. Dia menginginkan kedua trofi luar biasa yang ditunjukkan perempuan tua malang yang tergila-gila kepadanya. Sama seperti ketika dia pernah merampas barang anak-anak lain di panti asuhannya, sama seperti ketika dia mencuri cincin pamannya Morfin, maka dia sekarang kabur membawa piala dan kalung Hepzibah." "Tapi," kata Harry, mengernyit, "gila sekali ... mempertaruhkan segalanya, melepas pekerjaannya, hanya untuk ... " "Gila bagimu, barangkali, tetapi tidak untuk Voldemort," kata Dumbledore. "Kuharap kau mengerti pada saatnya nanti, persisnya apa arti benda-benda itu untuknya, Harry, tapi kau harus mengakui bahwa tidaklah sulit membayangkan dia menganggap kalung itu paling tidak, sebagai miliknya yang sah." "Kalung itu mungkin," kata Harry, "tapi kenapa mengambil piala itu juga?" "Piala itu tadinya milik pendiri Hogwarts yang lain," kata Dumbledore. "Kurasa dia masih merasakan tarikan kuat terhadap sekolah dan dia tidak bisa menahan godaan untuk memiliki benda yang sangat erat hubungannya dengan sejarah Hogwarts. Ada alasanalasan lain, menurutku ... kuharap aku bisa menunjukkannya kepadamu, pada waktunya nanti. "Dan sekarang untuk kenangan paling akhir yang kupunyai untuk diperlihatkan kepadamu, paling tidak sampai kau berhasil mendapatkan kenangan Profesor Slughorn untuk kita. Sepuluh tahun memisahkan kenangan Hokey dan kenangan yang ini, dan kita hanya bisa menebak-nebak apa yang dilakukan Lord Voldemort selama sepuluh tahun itu ..." Harry bangkit sekali lagi ketika Dumbledore menuang kenangan terakhir ke dalam Pensieve. "Kenangan siapa itu?" tanyanya. "Kenanganku;' kata Dumbledore. Dan Harry terjun setelah Dumbledore ke dalam zat perak yang bergerak-gerak, mendarat di kantor yang sama yang baru saja ditinggalkannya. Fawkes sedang tidur dengan bahagia di tempat hinggapnya, dan di sana, di belakang mejanya, Dumbledore, yang tampak mirip sekali dengan Dumbledore yang berdiri di sebelah Harry, meskipun kedua tangannya utuh dan tak bercacat dan kerut di wajahnya, barangkali, lebih sedikit. Satu-satunya perbedaan dengan kantor di masa kini dan yang ini adalah dulu salju sedang turun. Butir-butir putih kebiruan melayang-layang melewati jendela dalam kegelapan dan mendarat jadi tumpukan salju di birai luar jendela. Dumbledore yang lebih muda tampaknya sedang menunggu sesuatu dan betul saja, beberapa saat setelah mereka datang, terdengar ketukan di pintu dan dia berkata, "Masuk." Harry terpekik, yang buru-buru ditahannya. Voldemort telah memasuki ruangan. Wajahnya tidak seperti yang dilihat Harry muncul dari kuali batu besar hampir dua tahun sebelumnya. Wajahnya belum semirip ular seperti waktu itu, matanya belum merah, roman mukanya belum seperti topeng, namun toh dia bukan lagi Tom Riddle yang tampan. Seakan telah terbakar dan rusak, wajahnya seperti terbuat dari lilin dan berubah bentuk menjadi aneh, dan bagian putih matanya sudah permanen merah darah, meskipun pupilnya belum menjadi celah seperti yang kemudian diketahui Harry. Dia memakai mantel panjang hitam dan wajahnya sama pucatnya dengan salju yang berkilauan pada bahunya. Dumbledore yang di belakang meja tidak menunjukkan tanda-tanda keterkejutan. Jelas kunjungan ini sudah diatur berdasarkan janji. "Selamat malam, Tom," kata Dumbledore ringan. "Silakan duduk." "Terima kasih," kata Voldemort, dan dia duduk di kursi yang diisyaratkan Dumbledore kursi yang sama, kalau dilihat dari bentuknya, yang baru saja dikosongkan Harry di masa kini. "Saya dengar Anda sudah menjadi Kepala Sekolah," katanya, dan suaranya sedikit lebih tinggi dan lebih dingin daripada sebelumnya. "Pilihan yang berharga." "Aku senang kau berpendapat begitu," kata Dumbledore, tersenyum. "Boleh aku menawarimu minum?" "Dengan senang hati," kata Voldemort. "Saya datang dari jauh." Dumbledore berdiri dan berjalan ke lemari tempat sekarang dia menyimpan Pensieve, namun dulu penuh botol minuman. Setelah mengulurkan piala berisi anggur kepada Voldwemort dan menuang untuknya sendiri, dia kembali ke tempat duduknya di belakang meja. "Nah, Tom ... untuk alasan apa aku mendapat kunjungan menyenangkan ini?" Voldemort tidak langsung menjawab, melainkan hanya menyeruput anggurnya. "Mereka tidak lagi memanggil saya 'Tom'," katanya. "Sekarang ini saya dikenal sebagai" "Aku tahu kau dikenal sebagai siapa," kata Dumbledore, tersenyum ramah. "Tetapi bagiku, maaf saja, kau akan selalu tetap Tom Riddle. Ini salah satu hal menjengkelkan pada guru-guru tua. Kurasa mereka tidak pernah bisa melupakan awal mula anak didik mereka." Dia mengangkat gelasnya seakan menyulangi Voldemort, yang wajahnya tetap tanpa ekspresi. Meskipun demikian Harry merasa atmosfer di dalam ruangan itu berubah tak kentara. Penolakan Dumbledore untuk menggunakan nama yang dipilih Voldemort sekaligus adalah penolakan untuk mengizinkan Voldemort menentukan syarat-syarat pertemuan itu, dan Harry bisa melihat Voldemort menganggapnya begitu. "Saya heran Anda tetap bertahan di sini begini lama," kata Voldemort setelah diam sejenak. "Saya selalu bertanya-tanya sendiri kenapa penyihir seperti Anda tak pernah ingin meninggalkan sekolah." "Oh," kata Dumbledore, masih tersenyum, "bagi penyihir seperti aku, tak ada yang lebih penting daripada mewariskan keterampilan kuno, membantu mengasah pikiran anak-anak muda. Kalau aku tak salah ingat, kau pernah melihat daya tarik mengajar juga." "Saya masih melihatnya," kata Voldemort. "Saya hanya bertanya-tanya kenapa Anda yang begitu sering dimintai saran oleh Kementerian, dan yang sudah dua kali, saya kira, ditawari jabatan Menteri" "Tiga kali pada hitungan terakhir, sebetulnya," kata Dumbledore. "Tetapi Kementerian tidak pernah menarik bagiku sebagai karier. Lagi-lagi, sikap kita sama dalam hal ini, saya kira." Voldemort menelengkan kepala, tanpa senyum, dan menyeruput anggurnya lagi. Dumbledore tidak memecah keheningan yang berlanjut di antara mereka sekarang, melainkan, dengan wajah ramah mengharap, menanti Voldemort bicara lebih dulu. "Saya telah kembali," kata Voldemort selewat beberapa saat, "lebih lambat, barangkali, daripada yang diharapkan Profesor Dippet ... tapi toh saya telah kembali, untuk memohon lagi apa yang waktu itu menurutnya saya masih terlalu muda untuk mendapatkannya. Saya datang kepada Anda untuk memohon agar Anda mengizinkan saya kembali ke kastil ini, untuk mengajar. Saya rasa Anda pasti sudah tahu bahwa saya telah melihat dan melakukan banyak hal sejak meninggalkan tempat ini. Saya bisa menunjukkan dan memberitahu murid-murid Anda hal-hal yang tak mungkin bisa mereka dapatkan dari penyihir lain." Dumbledore menatap Voldemort dari atas pialanya sendiri selama beberapa saat sebelum bicara. "Ya, tentu aku tahu bahwa kau sudah melihat dan melakukan banyak hal sejak meninggalkan kami," katanya tenang. "Desas-desus perbuatanmu telah terdengar sampai ke bekas sekolahmu, Tom. Aku akan menyesal sekali jika separo dari desas-desus itu benar." Ekspresi Voldemort tetap tenang tanpa perasaan ketika dia berkata, "Kebesaran mengilhami iri hati, iri hati menimbulkan dendam, dendam menelurkan kebohongan. Kau pasti tahu ini, Dumbledore." "Kau menyebut apa yang telah kaulakukan 'kebesaran' begitukah?" tanya Dumbledore halus. "Tentu saja," kata Voldemort, dan matanya tampak merah seperti terbakar. "Aku telah bereksperimen; aku telah mendorong batas-batas sihir lebih jauh, barangkali, daripada yang selama ini pernah terjadi" "Beberapa jenis sihir," Dumbledore mengoreksinya dengan tenang. "Beberapa jenis sihir. Untuk jenis sihir yang lain, kau tetap ... maafkan aku ... tidak tahu apa-apa." Untuk pertama kalinya Voldemort tersenyum. Senyum yang berupa seringai tegang, jahat mengerikan, lebih mengancam daripada wajah murka. "Argumen lama," katanya pelan. "Tapi tak ada sesuatu yang kulihat di dunia ini yang mendukung pernyataanmu yang terkenal bahwa cinta lebih berkuasa daripada jenis sihirku, Dumbledore." "Barangkali kau mencari di tempat-tempat yang salah," komentar Dumbledore. "Nah, kalau begitu, tempat mana lagi yang lebih baik untuk memulai riset baruku daripada di sini, di Hogwarts ini?" kata Voldemort. "Maukah kau mengizinkan aku kembali? Maukah kau mengizinkan aku membagikan pengetahuanku kepada murid-muridmu? Aku siap membantumu dengan talentaku. Aku siap menerima perintah-perintahmu." Dumbledore mengangkat alisnya. "Dan apa yang akan terjadi kepada mereka yang menerima perintah-perintahmu? Apa yang akan terjadi kepada mereka yang menyebut diri seperti yang dikatakan desas-desus-Pelahap Maut?" Harry bisa melihat bahwa Voldemort tidak menyangka Dumbledore mengetahui nama ini. Dilihatnya mata Voldemort berkilat merah lagi dan cuping hidungnya yang seperti celah melebar. "Kawan-kawanku," katanya, setelah hening sejenak, "akan bisa meneruskan sendiri tanpa aku, aku yakin." "Aku senang mendengar kau menganggap mereka kawan," kata Dumbledore. "Aku mendapat kesan bahwa mereka kira-kira lebih seperti pembantu." "Kau keliru," kata Voldemort. "Kalau begitu, jika aku pergi ke Hog's Head malam ini, aku tidak akan menemukan rombongan mereka Nott, Rosier, Mulciber, Dolohov-menantikan kedatanganmu? Mereka sungguh teman-teman yang setia, menemanimu bepergian sejauh ini di malam bersalju, hanya untuk mengucapkan 'semoga sukses' ketika kau berusaha melamar pekerjaan sebagai guru." Tak diragukan lagi bahwa pengetahuan Dumbledore yang rinci tentang siapa saja yang bepergian dengannya membuat Voldemort semakin tidak senang, namun dia langsung bisa menguasai diri. "Kau serba tahu seperti biasanya, Dumbledore." "Oh, tidak, hanya berteman dengan pelayan bar setempat," kata Dumbledore enteng. "Nah, Tom ..." Dumbledore meletakkan gelasnya yang kosong dan duduk tegak di kursinya, ujung jari-jarinya bertaut dalam gaya yang sangat khas dia. "...marilah kita bicara secara terang-terangan. Kenapa kau kembali ke sini malam ini, dikawal oleh pengikut-pengikutmu, meminta pekerjaan yang kita berdua tahu tidak kauinginkan?" Voldemort tampak tercengang, dingin. "Pekerjaan yang tidak kuinginkan? Justru sebaliknya, Dumbledore, aku sangat menginginkannya." "Oh, kau ingin kembali ke Hogwarts, tetapi kau tidak ingin mengajar, sama seperti waktu kau berumur delapan belas tahun. Apakah yang kau incar, Tom? Kenapa kau tidak mencoba meminta secara terangterangan untuk sekali irii?" Voldemort menyeringai mencemooh. "Kalau kau tidak mau memberiku pekerjaan-" "Tentu saja aku tak mau," kata Dumbledore. "Dan tak sekejap pun aku berpikir bahwa kau mengira aku akan memberikannya. Meskipun demikian, kau toh tetap datang ke sini, kau memohon, kau pastilah punya tujuan." Voldemort bangkit berdiri. Dia semakin tidak mirip Tom Riddle, rona mukanya dipenuhi kemarahan. "Ini keputusan finalmu?" "Ya," kata Dumbledore, ikut berdiri. "Kalau begitu tidak ada lagi yang bisa kita bicarakan." "Betul, tidak ada," kata Dumbledore, dan wajahnya diliputi kesedihan besar. "Waktunya telah lama berlalu ketika aku masih bisa menakut-nakutimu dengan lemari pakaian yang terbakar dan memaksamu menebus kesalahanmu. Tetapi ingin sekali rasanya aku masih bisa begitu, Tom ... seandainya saja aku masih bisa ... " Sekejap, Harry nyaris meneriakkan peringatan yang tak berarti; dia yakin tangan Voldemort bergerak ke arah saku dan tongkat sihirnya; namun kemudian saat itu berlalu. Voldemort telah berbalik, pintu menutup, dan dia pergi. Harry merasa tangan Dumbledore memegang lengannya lagi, dan beberapa saat kemudian mereka berdiri berdua di tempat yang nyaris sama, tetapi tak ada salju yang menumpuk di birai jendela, dan tangan Dumbledore hitam dan tampak-mati sekali lagi. "Kenapa?" tanya Harry langsung, mendongak menatap wajah Dumbledore. "Kenapa dia kembali? Apakah Anda berhasil tahu?" "Aku punya dugaan," kata Dumbledore, "tapi ya hanya itu." "Dugaan apa, Sir?" "Aku akan memberitahumu, Harry, kalau kau sudah berhasil mendapatkan kenangan itu dari Profesor Slughorn," kata Dumbledore. "Kalau kau sudah memiliki potongan terakhir teka-teki, segalanya akan, kuharap, menjadi jelas ... bagi kita berdua." Harry masih penasaran bukan main, dan walaupun Dumbledore telah berjalan ke pintu dan membukanya untuknya, dia tidak langsung bergerak. "Apakah dia masih tetap menginginkan jabatan guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, Sir? Dia tidak mengatakan "Oh, dia jelas menginginkan jabatan guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam," kata Dumbledore. "Dampak pertemuan singkat kami membuktikan itu. Kau lihat, kan, kita tidak pernah bisa mempertahankan guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam lebih lama dari setahun sejak aku menolak memberikan jabatan itu kepada Lord Voldemort." 21. KAMAR YANG TAK-BISA-DIKETAHUI Harry memeras otak sepanjang minggu berikutnya, mencari akal bagaimana membujuk Slughorn untuk menyerahkan kenangan yang sebenarnya, namun tak ada ide brilian muncul dan dia akhirnya melakukan apa yang semakin sering dilakukannya hari-hari ini jika sedang kehabisan akal: membaca buku Ramuan-nya, berharap si Pangeran menuliskan sesuatu yang berguna di margin buku, seperti yang telah acap kali dilakukannya sebelumnya. "Kau tak akan menemukan apa-apa di situ," kata Hermione tegas, pada suatu Minggu malam. "Jangan mulai, Hermione," kata Harry. "Kalau bukan karena Pangeran, Ron tak akan duduk di sini sekarang." "Akan, kalau kalian mendengarkan Snape di tahun pertama kita," bantah Hermione. Harry mengabaikannya. Dia baru saja menemukan mantra (Sectumsempra!) di tepi halaman di atas kata-kata yang membangkitkan minat, "Untuk Musuh", dan langsung gatal ingin mencobanya, namun memutuskan lebih baik tidak di depan Hermione. Maka, alih-alih mencoba, diam-diam dilipatnya ujung halaman itu. Mereka duduk di sebelah perapian di ruang rekreasi; anak-anak lain yang belum tidur adalah sesama anak kelas enam. Tadi sempat terjadi kegemparan ketika mereka kembali dari makan malam dan menemukan pengumuman baru di papan pengumuman, yang memberitahukan tanggal ujian Apparition mereka. Mereka yang sudah berusia tujuh belas tahun tepat pada atau sebelum tanggal ujian pertama, yaitu dua puluh satu April, jika mau boleh mendaftar untuk ikut praktek tambahan, yang akan berlangsung (dengan supervisi ketat) di Hogsmeade. Ron langsung panik membaca pengumuman ini. Dia belum berhasil ber-Apparate dan khawatir tidak siap ikut ujian. Hermione, yang sudah berhasil ber-Apparate dua kali, sedikit lebih percaya diri. Sedangkan Harry, yang baru akan berusia tujuh belas tahun empat bulan lagi, tak bisa ikut ujian, tak peduli dia sudah siap atau belum. "Paling tidak kau bisa ber-Apparate!" kata Ron tegang. "Kau tak akan mendapat kesulitan, bulan Juli nanti!" "Aku baru berhasil sekali;" Harry mengingatkannya. Dia akhirnya berhasil menghilang dan muncul lagi di dalam lingkaran hulahopnya dalam pelajaran mereka yang lalu. Setelah membuang-buang banyak waktu mencemaskan Apparition, Ron sekarang bersusah payah menyelesaikan esai supersulit untuk Snape. Harry dan Hermione sudah menyelesaikan esai mereka. Harry sudah siap menerima nilai rendah untuk esainya, karena dia tidak setuju dengan Snape tentang cara terbaik menangani Dementor, namun dia tidak peduli. Kenangan Slughorn adalah hal yang paling penting baginya sekarang. "Kuberitahu kau, si Pangeran bego itu tidak akan bisa membantumu dalam hal ini, Harry!" kata Hermione, lebih keras. "Hanya ada satu cara untuk memaksa orang melakukan apa yang kau inginkan, yaitu Kutukan Imperius, dan ini ilegal" "Yeah, aku tahu itu, terima kasih," kata Harry, tidak mengangkat muka dari bukunya. "Itulah sebabnya aku mencari sesuatu yang berbeda. Dumbledore mengatakan Veritaserum tidak akan berhasil, tapi barangkali ada sesuatu yang lain, ramuan atau mantra ... " "Kau memilih jalan yang keliru," kata Hermione. "Hanya kau yang bisa mendapatkan kenangan itu, kata Dumbledore. Itu pasti berarti kau bisa membujuk Slughorn, sementara orang lain tak bisa. Ini bukan persoalan memberinya ramuan, semua orang bisa melakukan itu" "Bagaimana mengeja 'belligerent'?" tanya Ron, mengguncang pena-bulunya keras-keras seraya menatap Perkamennya. "Bukan B-U-M-" "Bukan," kata Hermione, menarik esai Ron ke arahnya. "Dan 'augury' juga tidak mulai dengan O-R-G Pena-bulu macam apa yang kau pakai?" "Salah satu produk Pengecek-Ejaan Fred dan George ... tapi kurasa mantranya sudah pudar ... " "Ya, pasti begitu," kata Hermione, menunjuk judul esainya, "karena kita diminta menjelaskan bagaimana menghadapi Dementor, bukan 'Dugbog', dan aku juga tak ingat kau sudah mengubah namamu menjadi 'Roonil Wazlib'." "Wah, gawat!" kata Ron, menatap ngeri perkamennya. "Jangan bilang aku harus menulis semuanya sekali lagi!" "Jangan kuatir, kita bisa membereskannya," kata Hermione, menarik esai itu ke arahnya dan mencabut tongkat sihirnya. "I love you, Hermione," kata Ron, kembali terenyak di kursinya, menggosok-gosok matanya dengan letih. Wajah Hermione merona merah, namun dia hanya berkata, "Jangan sampai Lavender mendengarmu berkata begitu." "Tidak," kata Ron ke dalam tangannya. "Atau barangkali malah sebaiknya dia dengar ... supaya dia meninggalkan aku " "Kenapa kau tidak meninggalkannya kalau kau mau putus darinya?" tanya Harry. Tar. "Kau belum pernah mutusin cewek, kan?" kata Ron. "Kau dan Cho hanya-" "Menjauh sendiri, yeah," kata Harry. "Asyik kalau itu terjadi padaku dan Lavender," kata Ron muram, mengawasi Hermione dengan diam menyentuh masing-masing kata yang salah eja dengan ujung tongkat sihirnya, sehingga kata-kata itu mengoreksi sendiri di perkamennya. "Tapi semakin aku menyiratkan mau mengakhiri hubungan, semakin dia mempertahankannya. Rasanya seperti pacaran dengan Cumi-Cumi Raksasa." "Nah, beres," kata Hermione, kira-kira dua puluh menit kemudian, mengembalikan esai Ron. "Berjuta terima kasih," kata Ron. "Boleh aku meminjam pena-bulumu untuk menulis penutupnya?" Harry, yang sejauh itu tidak berhasil menemukan sesuatu yang berguna di catatan Pangeran Berdarah-Campuran, memandang ke sekitarnya. Hanya tinggal mereka bertiga sekarang di ruang rekreasi. Seamus baru saja pergi tidur sambil mengumpat Snape dan esainya. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah retih api dan Ron menggoreskan paragraf terakhir tentang Dementor menggunakan pena-bulu Hermione. Harry baru saja menutup buku Pangeran Berdarah-Campuran, menguap, ketika -- Tar. Hermione memekik pelan. Ron menumpahkan tinta di atas esainya dan Harry berkata, "Kreacher!" Peri-rumah itu membungkuk rendah dan bicara kepada jari-jari kakinya yang berbonggol. "Tuan bilang menginginkan laporan berkala tentang apa yang dilakukan Malfoy maka Kreacher datang untuk memberi- " Dobby muncul di samping Kreacher, topi penutup tekonya miring. "Dobby juga membantu, Harry Potter!" dia mencicit, melempar pandang sebal kepada Kreacher. "Dan Kreacher harus memberitahu Dobby kalau dia mau menemui Harry Potter, supaya mereka bisa memberi laporan bersama-sama!" "Apa ini?" tanya Hermione, masih tampak shock atas kemunculan mendadak kedua peri-rumah ini. "Apa yang terjadi, Harry?" Harry bimbang sebelum menjawab, karena dia belum memberitahu Hermione soal menyuruh Kreacher dan Dobby membuntuti Malfoy; peri-rumah selalu jadi topik peka untuk Hermione. "Oh ... mereka membuntuti Malfoy untukku," katanya. "Siang-malam," seru Kreacher parau. "Dobby sudah tidak tidur selama seminggu, Harry Potter!" kata Dobby bangga, berayun di tempatnya berdiri. Hermione tampak marah. "Kau tidak tidur, Dobby? Tapi, Harry, tentunya kau tidak menyuruhnya tidak" "Tidak, tentu saja tidak," kata Harry cepat-cepat. "Dobby, kau boleh tidur, oke? Tapi, apakah kalian berhasil menemukan sesuatu?" dia buru-buru bertanya, sebelum Hermione sempat menyela lagi. "Tuan Malfoy bergerak dengan keanggunan yang sesuai dengan darah-murninya," Kreacher langsung berteriak parau. "Wajahnya memiliki tulang-tulang halus almarhum majikan saya dan sikapnya seperti" "Draco Malfoy anak yang nakal!" cicit Dobby marah. "Anak nakal yang-yang-" Dia bergidik dari jumbai penutup-tekonya sampai ke ujung kaus kakinya dan kemudian berlari ke perapian, seolah siap terjun ke dalamnya. Harry, yang rupanya sudah menduga ini akan terjadi, menangkapnya di sekeliling perutnya dan memeganginya erat-erat. Selama beberapa detik Dobby meronta, kemudian lemas. "Terima kasih, Harry Potter," engahnya. "Dobby masih sulit bicara buruk tentang mantan majikannya ..." Harry melepaskannya. Dobby meluruskan penutuptekonya dan berkata menantang kepada Kreacher, "Tapi Kreacher harus tahu bahwa Draco Malfoy bukan majikan yang baik bagi peri-rumah!" "Yeah, kami tak perlu mendengar bagaimana kau mencintai Malfoy," Harry memberitahu Kreacher. "Kita percepat saja sampai ke mana sebetulnya dia pergi." Kreacher membungkuk lagi, tampak gusar, dan kemudian berkata, "Tuan Malfoy makan di Aula Besar, dia tidur di kamar tidur di ruang bawah tanah, dia ikut pelajaran dalam berbagai- " "Dobby, kau saja yang cerita," kata Harry, memotong Kreacher. "Apakah dia pergi ke tempat yang seharusnya tak didatanginya?" "Harry Potter, Sir," cicit Dobby, matanya yang besar seperti bola berkilauan dalam cahaya api perapian, "Malfoy tidak melanggar peraturan sejauh yang Dobby lihat, tapi dia masih tak mau ketahuan. Dia mengunjungi lantai tujuh secara tetap dengan teman berganti-ganti. Teman-temannya itu berjaga selama dia masuk" "Kamar Kebutuhan!" kata Harry, memukul keras-keras dahinya sendiri dengan buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut. Hermione dan Ron terpana memandangnya. "Ke situlah dia pergi! Di situlah dia melakukan ... apa pun yang sedang dilakukannya! Dan berani taruhan, itulah sebabnya dia menghilang di peta kalau dipikir-pikir, aku belum pernah melihat Kamar Kebutuhan di sana!" "Barangkali Perampok-nya tidak tahu Kamar itu ada," kata Ron. "Kurasa itu bagian dari keistimewaan sihir Kamar itu," kata Hermione. "Kalau kau memerlukannya sebagai kamar yang tak terlacak, dia tak muncul di peta." "Dobby, apakah kau berhasil masuk dan melihat apa yang sedang dilakukan Malfoy?" tanya Harry bersemangat. "Tidak, Harry Potter, itu tidak mungkin," kata Dobby. "Mungkin saja," kata Harry segera. "Malfoy bisa masuk ke dalam Markas Besar kita tahun lalu, jadi aku juga akan berhasil masuk dan memata-matainya. Tak masalah." "Tapi, kurasa kau tak akan bisa, Harry," kata Hermione perlahan. "Malfoy sudah tahu Kamar itu kita gunakan sebagai apa tepatnya, kan, karena si Marietta bego itu membocorkannya. Dia membutuhkan Kamar itu untuk menjadi Markas Besar LD, maka Kamar itu pun menjadi demikian. Tapi kau tak tahu Kamar ini menjadi apa kalau Malfoy masuk ke dalamnya, jadi kau tak tahu akan meminta Kamar itu bertransformasi menjadi apa." "Pasti ada cara untuk mengatasinya," kata Harry yakin, "Kau melaksanakan tugasmu dengan luar biasa, Dobby." "Kreacher juga hebat," kata Hermione berbaik hati, tetapi bukannya berterima kasih, Kreacher malah memalingkan matanya yang besar dan kemerahan dan berkata parau kepada langit-langit, "Si Darah-lumpur mengajak bicara Kreacher. Kreacher akan berpura-pura tidak bisa mendengarnya" "Jangan macam-macam. Pergilah," Harry membentaknya, dan Kreacher sekali lagi membungkuk rendah dan ber-Disapparate. "Kau sebaiknya pergi dan tidur juga, Dobby." "Terima kasih, Harry Potter, Sir!" cicit Dobby girang, dan dia juga menghilang. "Bagus sekali, kan?" kata Harry antusias, berpaling kepada Ron dan Hermione begitu ruangan itu sudah bebas peri-rumah lagi. "Kita tahu ke mana Malfoy pergi! Kita sudah berhasil menyudutkannya sekarang!" "Yeah, hebat," kata Ron murung. Dia sedang berusaha membersihkan tumpahan tinta di esainya yang hampir selesai. Hermione menarik esai itu ke arahnya dan mulai menyedot tinta itu dengan tongkat sihirnya. "Tapi apa maksudnya dia ke atas dengan teman berganti-ganti?" kata Hermione. "Ada berapa orang yang ikut dalam rencananya? Masa dia memercayai banyak orang untuk mengetahui apa yang sedang dilakukannya ... " "Yeah, ini aneh," kata Harry, mengernyit. "Aku mendengarnya mengatakan kepada Crabbe, bukan urusan Crabbe apa yang dilakukannya ... jadi, apa yang dikatakannya kepada semua ... semua ... " Suara Harry menghilang, dia menatap perapian. "Ya ampun, aku bego banget," katanya pelan. "jelas sekali, kan? Ada satu tong besar di ruang bawah tanah ... dia bisa saja mengambilnya selama pelajaran itu ... " "Mengambil apa?" tanya Ron. "Ramuan Polijus. Dia mencuri sedikit Ramuan Polijus yang ditunjukkan Slughorn kepada kita dalam pelajaran Ramuan kita yang pertama ... bukan teman berganti-ganti yang menjagai Malfoy ... cuma Crabbe dan Goyle seperti biasanya ... yeah, semuanya cocok!" kata Harry, melompat bangun dan mulai berjalan mondar-mandir di depan perapian. "Mereka cukup bodoh untuk melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka, walaupun Malfoy tidak mau memberitahu mereka apa yang sedang dilakukannya ... tetapi dia tak ingin mereka terlihat berkeliaran mengintip-intip di depan Kamar Kebutuhan, maka dia menyuruh mereka minum Polijus untuk membuat mereka kelihatan seperti orang lain ... dua cewek yang kulihat bersamanya ketika dia tidak menonton Quidditchha! Crabbe dan Goyle!" "Maksudmu," kata Hermione dengan suara terpana, "anak perempuan kecil yang timbangannya kuperbaiki?" "Yeah, tentu saja!" kata Harry keras, menatap Hermione. "Tentu saja! Malfoy pastilah ada di dalam Kamar waktu itu, jadi cewek itu gimana sih aku ini cowok itu menjatuhkan timbangannya untuk memberitahu Malfoy supaya jangan keluar, karena ada orang di luar! Lalu masih ada lagi cewek yang menjatuhkan telur-katak! Kita sudah berkali-kali melewatinya selama ini dan tidak menyadarinya!" "Dia menyuruh Crabbe dan Goyle berubah jadi cewek?" gelak Ron. "Ya ampun ... pantas saja mereka tampak tidak terlalu bahagia hari-hari ini ... aku heran kenapa mereka tidak menolaknya ... " "Mereka tak berani, kan, kalau dia sudah menunjukkan Tanda Kegelapan kepada mereka," kata Harry. "Hmmm ... Tanda Kegelapan yang kita tidak tahu ada atau tidak," kata Hermione ragu-ragu, menggulung esai Ron yang sudah kering sebelum terjadi bencana lain dan menyerahkannya kepadanya. "Kita lihat nanti" kata Harry yakin. "Ya, kita lihat nanti," kata Hermione, bangkit berdiri dan menggeliat. "Tapi, Harry, sebelum kau kelewat bersemangat, aku masih tetap berpendapat kau tak akan bisa masuk ke dalam Kamar Kebutuhan tanpa tahu Kamar itu jadi apa dulu. Dan menurutku kau jangan sampai lupa," dia menyandangkan tasnya di bahu dan memandang Harry dengan sangat serius, "bahwa seharusnya kau berkonsentrasi pada bagaimana mendapatkan kenangan itu dari Slughorn. Selamat tidur." Harry menatap Hermione pergi, merasa agak tidak puas. Begitu pintu yang menuju kamar anak-anak Perempuan telah menutup di belakangnya, dia langsung menanyai Ron. "Bagaimana menurut pendapatmu?" "Ingin sekali rasanya aku bisa ber-Disapparate seperti peri-rumah," kata Ron, menatap tempat Dobby tadi menghilang. "Kalau bisa begitu, aku pasti lulus ujian Apparition." Malam itu tidur Harry tak nyenyak. Selama berjam-jam dia masih terjaga, bertanya-tanya dalam hati Malfoy menggunakan Kamar Kebutuhan sebagai apa, dan apa yang dia, Harry, akan lihat kalau dia masuk ke Kamar itu hari berikutnya, karena apa pun yang dikatakan Hermione, Harry tetap yakin bahwa kalau Malfoy bisa melihat Markas Besar LD, maka dia juga akan bisa melihat ... tempat apa Malfoy ya? Ruang pertemuan? Tempat persembunyian? Gudang? Bengkel? Otak Harry bekerja keras dan mimpi-mimpinya, ketika dia akhirnya tertidur, terputus-putus dan diganggu oleh bayangan Malfoy, yang berubah menjadi Slughorn, yang berubah menjadi Snape ... Harry sangat penuh harap selama sarapan keesokan harinya. Dia bebas satu jam pelajaran sebelum Pertahanan terhadap Ilmu Hitam dan bertekad menggunakan waktu itu untuk masuk ke dalam Kamar Kebutuhan. Hermione berlagak tak tertarik mendengar bisik-bisik rencananya untuk memaksa masuk ke dalam Kamar. Ini menjengkelkan Harry, karena dia beranggapan Hermione bisa banyak membantu kalau dia mau. "Dengar," kata Harry pelan, membungkuk ke depan dan meletakkan tangan di atas Daily Prophet, yang baru saja dilepas Hermione dari burung hantu pos, untuk mencegahnya membuka koran itu dan menghilang di baliknya. "Aku tidak melupakan Slughorn, tapi aku sama sekali belum tahu bagaimana mendapatkan kenangan itu darinya, dan sampai aku mendapat ide cemerlang, kenapa aku tak boleh mencari tahu apa yang sedang dilakukan Malfoy?" "Sudah kubilang, kan, kau perlu membujuk Slughorn," kata Hermione. "Ini bukan masalah memperdaya atau menyihirnya, kalau ya pasti Dumbledore sudah bisa melakukannya sendiri dalam sekejap mata. Alih-alih berkeliaran di depan Kamar Kebutuhan," dia menyentakkan Prophet dari bawah tangan Harry dan membuka lipatannya untuk melihat halaman pertama, "seharusnya kau mencari Slughorn dan mulai memohon kebaikannya." "Ada yang kita kenal?" tanya Ron, ketika Hermione membaca cepat judul-judul utamanya. "Ada!" kata Hermione, membuat Harry dan Ron tersedak sarapan mereka. "Tapi tak apa-apa, dia tidak mati si Mundungus, dia sudah ditangkap dan dikirim ke Akzaban! Ada hubungannya dengan menyamar menjadi Inferius dalam usaha perampokan ... dan orang bernama Octavius Pepper telah menghilang ... oh, dan mengerikan sekali, seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun ditangkap karena mencoba membunuh kakek-neneknya, mereka menduga dia kena Kutukan Imperius ... " Mereka menyelesaikan sarapan dalam diam. Hermione langsung berangkat untuk ikut pelajaran Rune Kuno, Ron ke ruang rekreasi, dia masih harus menyelesaikan kesimpulannya pada esai Dementor untuk Snape, dan Harry ke koridor di lantai tujuh, ke hamparan dinding di seberang permadani hias bergambar Barnabas the Barmy-Barnabas si Sinting mengajari para troll bermain balet. Harry menyelubungkan Jubah Gaib-nya begitu dia menemukan lorong yang kosong, namun sebetulnya dia tak perlu repot-repot. Ketika dia tiba di tempat tujuannya, tempat itu kosong. Harry tak tahu apakah kesempatannya memasuki Kamar itu lebih baik dengan Malfoy berada di dalamnya atau tidak, tetapi paling tidak usaha pertamanya tidak akan dipersulit dengan keberadaan Crabbe atau Goyle yang menyamar menjadi anak perempuan berusia sebelas tahun. Harry memejamkan mata ketika dia mendekati tempat di mana pintu Kamar Kebutuhan tersembunyi. Dia tahu apa yang harus dilakukannya, dia menjadi sangat mahir melakukannya tahun lalu. Berkonsentrasi sepenuhnya dia bepikir, aku perlu melihat apa yang dilakukan Malfoy di dalam sini ... aku perlu melihat apa yang dilakukan Malfoy di dalam sini ... aku perlu melihat apa yang dilakukan Malfoy di dalam sini ... Tiga kali dia berjalan melewati pintu, kemudian, dengan jantung berdebar keras saking tegangnya, dia membuka mata dan menghadap ke dinding namun ternyata dia masih memandang hamparan dinding kosong yang biasa-biasa saja. Dia maju dan mencoba mendorongnya. Batu itu tetap padat dan tak bergerak. "Oke," kata Harry keras. "OK ... aku memikirkan hal yang keliru ... " Dia mempertimbangkan sejenak, kemudian mulai lagi, dengan mata terpejam, berkonsentrasi sekeras mungkin. Aku perlu melihat tempat yang diam-diam selalu didatangi Malfoy ... aku perlu melihat tempat yang diam-diam selalu didatangi Malfoy ... Setelah lewat tiga kali, dia membuka mata penuh harap. Tak ada pintu. "Oh, ayolah," katanya jengkel kepada dinding itu. "Instruksinya kan sudah jelas ... baiklah ... " Dia berpikir keras selama beberapa menit sebelum mulai berjalan lagi. Aku perlu kau berubah menjadi tempat seperti kalau kau berubah untuk Draco Malfoy ... Dia tidak langsung membuka mata setelah menyelesaikan patrolinya; dia mendengarkan baik-baik, seolah dia akan bisa mendengar bunyi terbentuknya pintu itu. Namun dia tidak mendengar apa-apa, kecuali kicau burung di luar. Dia membuka matanya. Tetap masih tak ada pintu. Harry mengumpat. Ada yang menjerit. Dia berpaling dan melihat sekelompok anak kelas satu berlarian kembali di tikungan. Pastilah mereka menyangka baru saja bertemu hantu yang bermulut kotor. Harry mencoba segala variasi "aku perlu melihat apa yang dilakukan Draco Malfoy di dalam ruanganmu" yang bisa dipikirkannya selama satu jam penuh. Pada akhirnya dia terpaksa mengakui bahwa Hermione mungkin benar: Kamar itu tidak mau membuka untuknya. Frustrasi dan kesal, dia berangkat ke pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, melepas Jubah Gaib-nya dan menjejalkannya ke dalam tasnya sambil berjalan. "Terlambat lagi, Potter," kata Snape dingin, ketika Harry bergegas masuk ke dalam kelas yang diterangi cahaya lilin. "Potong sepuluh angka dari Gryffindor." Harry memandang marah Snape seraya mengenyakkan diri di tempat duduk di sebelah Ron. Separo kelas masih berdiri, mengeluarkan buku dan membereskan barang-barang; dia tak lebih terlambat daripada mereka. "Sebelum kita mulai, kumpulkan esai Dementor kalian" kata Snape, melambaikan tongkat sihirnya sekenanya, sehingga dua puluh lima gulungan perkamen meluncur di udara dan mendarat dalam gundukan rapi di atas mejanya. "Dan kuharap demi kebaikan kalian sendiri, esai kalian ini lebih bermutu daripada omong kosong yang terpaksa kubaca tentang bagaimana melawan Kutukan Imperius. Nah, sekarang buka buku kalian pada halaman-ada apa, Mr Finnigan?" "Sir," kata Seamus, "saya ingin tahu bagaimana kita bisa membedakan antara Inferius dan hantu? Karena ada artikel di Prophet tentang Inferius" "Tak ada," tukas Snape dengan suara bosan. "Tapi, Sir, saya mendengar orang-orang bicara" "Kalau kau benar-benar membaca artikel yang dimaksud, Mr Finnigan, kau akan tahu bahwa yang disebut Inferius itu tak lain dan tak bukan hanyalah pencuri bau bernama Mundungus Fletcher." "Kusangka Snape dan Mundungus berada di pihak yang sama?" gumam Harry kepada Ron dan Hermione. "Bukankah mestinya dia cemas Mundungus telah tentang-?" "Tapi Potter tampaknya bisa berkata banyak tentang topik ini," kata Snape, tiba-tiba menunjuk ke bagian belakang kelas, mata hitamnya menatap tajam Harry. "Mari kita tanya Potter bagaimana kita bisa membedakan antara Inferius dan hantu." Seluruh kelas menoleh memandang Harry, yang buru-buru mencoba mengingat apa yang telah dikatakan Dumbledore kepadanya pada malam mereka mengunjungi Slughorn. "Er ... hantu transparan-" katanya. "Oh, bagus sekali" sela Snape, mencibir. "Ya, nyata sekali bahwa hampir enam tahun pendidikan sihir tak sia-sia untukmu, Potter. Hantu transparan." Pansy Parkinson terkikik nyaring. Beberapa anak lain menyeringai. Harry menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan dengan tenang, sekalipun darahnya mendidih. "Yeah, hantu transparan, tetapi Inferi adalah tubuh-tubuh yang meninggal, kan? Jadi, mereka padat" "Anak berumur lima tahun juga bisa menjelaskan seperti itu," cemooh Snape. "Inferius adalah mayat yang digerakkan kembali oleh mantra penyihir Hitam. Dia tidak hidup, dia hanya digunakan seperti boneka untuk melakukan yang diperintahkan si penyihir. Hantu, aku yakin kalian semua sudah tahu sekarang, adalah jejak jiwa orang meninggal, yang tertinggal di dunia ... dan tentu saja, seperti yang diberitahukan Potter dengan sangat bijaksana kepada kita, transparan." "Tapi apa yang dikatakan Harry sangat berguna jika kita ingin membedakan mereka!" kata Ron. "Kalau kita bertemu dengan salah satu dari mereka di jalan kecil yang gelap, praktisnya kita melihat apakah dia padat, kan? Masa kita akan bertanya, 'Maaf, apakah Anda jejak jiwa orang yang meninggal?'" Gelak tawa yang menyusul langsung dipadamkan oleh pandangan Snape kepada mereka. "Potong sepuluh angka lagi dari Gryffindor," kata Snape. "Aku tidak mengharapkan hal yang lebih canggih darimu, Ronald Weasley. Anak yang begitu padat sampai tak bisa ber-Apparate satu senti pun di dalam ruangan." "Jangan!" bisik Hermione, mencengkeram lengan Harry ketika dia membuka mulutnya dengan marah. "Tak ada gunanya, kau cuma akan kena detensi lagi. Biarkan saja!" "Sekarang buka buku kalian pada halaman dua ratus tiga belas," kata Snape, menyeringai sedikit, "dan baca dua paragraf pertama tentang Kutukan Cruciatus ... " Ron sangat diam sepanjang pelajaran. Ketika bel berbunyi pada akhir pelajaran, Lavender mendatangi Ron dan Harry (Hermione menghilang dengan misterius ketika Lavender mendekat) dan memaki-maki Shape atas ejekannya terhadap Apparition Ron, namun ini tampaknya malah semakin membuat Ron jengkel, dan Ron melepaskan diri dari Lavender dengan berbelok ke toilet anak laki-laki dengan Harry. "Snape benar, kan?" kata Ron, setelah menatap cermin retak selama beberapa saat. "Aku tak tahu, pantas tidak aku ikut ujian. Aku tak kunjung bisa menguasai Apparition." "Ada baiknya kau ikut sesi latihan tambahan di Hogsmeade dan melihat sampai sejauh mana kau berhasil," kata Harry bijaksana. "Bagaimanapun itu jauh lebih menarik daripada mencoba masuk ke dalam lingkaran hulahop seperti orang bego. Kemudian, kalau kau masih belum kau tahu sebaik yang kau harapkan, kau bisa menunda ujian, dan ikut ujian bareng aku di musim pan-Myrtle, ini kan toilet cowok!" Hantu seorang anak perempuan muncul dari dalam kloset di bilik di belakang mereka dan sekarang melayang-layang di udara, menatap mereka melalui kacamata putih bundar dan tebal. "Oh," katanya muram. "Ternyata kalian berdua." "Siapa yang kau tunggu?" tanya Ron, memandangnya dalam cermin. "Tidak siapa-siapa," kata Myrtle, dengan murung mengorek-ngorek jerawat di dagunya. "Dia bilang akan kembali dan menemuiku, tapi kau dulu juga bilang akan datang dan mengunjungiku ..." dia menatap Harry dengan pandangan mencela. "... dan aku tidak melihatmu selama berbulan-bulan. Aku sudah belajar untuk tidak mengharap terlalu banyak dari cowok." "Kupikir kau tinggal di toilet cewek?" kata Harry, yang sudah selama beberapa tahun berhati-hati menjauhi tempat itu. "Memang," kata Myrtle, sedikit cemberut dan mengangkat bahu, "tapi itu tidak berarti aku tak bisa mengunjungi tempat lain. Aku pernah datang dan melihatmu sedang mandi, ingat?" "Ingat banget," kata Harry. "Tapi kusangka dia menyukaiku," katanya sedih. "Barangkali kalau kalian berdua pergi, dia akan datang lagi ... kami punya banyak persamaan ... aku yakin dia merasakannya " Dan dia memandang penuh harap ke pintu. "Waktu kau bilang kalian punya banyak persamaan," kata Ron, terdengar agak geli sekarang, "apakah maksudmu dia juga tinggal di leher angsa kloset?" "Bukan," bantah Myrtle menantang, suaranya bergaung keras di dalam kamar mandi-ubin tua itu. "Maksudku dia sensitif, orang-orang juga menakut-nakutinya, dan dia kesepian dan tak punya teman yang bisa diajak bicara, dan dia tidak takut memperlihatkan perasaannya dan menangis!" "Ada cowok menangis di dalam sini?" tanya Harry ingin tahu. "Remaja?" "Sudahlah!" kata Myrtle, matanya yang kecil dan bersimbah air mata menatap Ron, yang sekarang benar-benar nyengir. "Aku sudah berjanji tidak akan bilang siapa-siapa dan rahasianya akan kubawa ke-" "... bukan liang kubur, pastinya?" kata Ron dengan dengus tawa. "Pembuangan air kotor, barangkali ... " Myrtle melolong murka dan terjun kembali ke dalam kloset, membuat airnya meluap dan tumpah ke lantai. Menggoda Myrtle rupanya membuat Ron kembali bersemangat. "Kau benar," katanya, menyandangkan tas sekolahnya di bahunya. "Aku akan ikut sesi latihan di Hogsmeade sebelum memutuskan akan ikut ujian atau tidak." Maka, akhir minggu berikutnya, Ron bergabung dengan Hermione dan anak-anak kelas enam lainnya yang akan berusia tujuh belas tahun pada saat ujian dua minggu lagi. Harry merasa agak iri memandang mereka semua bersiap-siap berangkat ke desa. Dia sudah rindu berjalan-jalan ke sana, dan hari itu kebetulan hari yang cerah di musim semi, salah satu langit tak berawan pertama yang mereka lihat setelah lama sekali suram terus. Meskipun demikian, dia telah memutuskan akan menggunakan waktunya untuk berusaha usaha masuk Kamar Kebutuhan lagi. "Akan lebih baik bagimu," kata Hermione, ketika Harry memberitahukan rencananya ini kepadanya dan Ron di Aula Depan, "jika kau langsung ke kantor Slughorn dan mencoba mendapatkan kenangan itu darinya." "Aku sudah mencoba terus!" kata Harry jengkel, dan ini memang benar. Dia telah sengaja berlamalama setiap kali usai pelajaran Ramuan selama seminggu ini dalam usahanya untuk menyudutkan Slughorn, tetapi guru Ramuan itu selalu meninggalkan kelas bawah tanah cepat sekali sehingga Harry tak bisa mengejarnya. Dua kali Harry ke kantornya dan mengetuk, tetapi tak mendapat jawaban, meskipun pada kali kedua dia yakin dia mendengar suara gramofon tua yang buru-buru diredam. "Dia tak mau bicara denganku, Hermione! Dia tahu aku sedang berusaha menemuinya saat dia sendirian lagi dan dia tidak akan membiarkan itu terjadi!" "Yah, kalau begitu harus dicoba terus, kan?" Antrean pendek anak-anak yang menunggu giliran melewati Filch, yang sedang melakukan pemeriksaan yang biasa dengan menusuk-nusuk dengan Sensor Rahasia-nya, bergerak maju beberapa langkah, dan Harry tidak menjawab karena takut terdengar si penjaga sekolah. Dia mengucapkan "semoga sukses" kepada Ron dan Hermione, kemudian berbalik dan menaiki tangga pualam lagi, bertekad, tak peduli apa pun yang dikatakan Hermione, untuk melewatkan satu atau dua jam untuk Kamar Kebutuhan. Begitu sudah tak terlihat dari Aula Depan, Harry mengeluarkan Peta Perampok dan Jubah Gaib dari tasnya. Setelah menyembunyikan diri, dia mengetuk peta itu, seraya bergumam, "Aku bersumpah dengan sepenuh hati bahwa aku orang tak berguna," dan meneliti peta itu dengan saksama. Berhubung saat itu hari Minggu pagi, hampir semua anak ada di ruang rekreasi masing-masing. Anak-anak Gryffindor di salah satu menara, anak-anak Ravenclaw di menara yang lain, anak-anak Slytherin di ruang bawah tanah yang aslinya adalah ruang tahanan di kastil itu, dan anak-anak Hufflepuff di ruang bawah tanah dekat dapur. Di sana-sini ada anak yang berkeliaran di sekitar perpustakaan atau di koridor ... ada beberapa anak di halaman ... dan di sana, sendirian di koridor lantai tujuh, tampak Gregory Goyle. Tak tampak tanda-tanda adanya Kamar Kebutuhan, tetapi Harry tidak khawatir soal itu. Kalau Goyle sedang berjaga di luar, berarti Kamar itu terbuka, tak peduli apakah peta itu sadar atau tidak Kamar itu ada. Karena itu Harry berlari menaiki tangga, dan baru memelankan langkah setelah tiba di tikungan yang menuju koridor itu. Saat itu barulah dia mulai berindap-indap, sangat perlahan, ke arah anak perempuan kecil yang sama, memegangi timbangan kuningannya yang berat, yang dua minggu lalu ditolong Hermione dengan baik hati. Harry menunggu sampai berada tepat di belakang anak itu sebelum membungkuk amat rendah dan berbisik, "Halo ... kau cantik amat sih?" Goyle mengeluarkan jerit nyaring ketakutan, melemparkan timbangannya ke udara dan berlari pergi, menghilang dari pandangan lama sebelum suara timbangannya yang terbanting berhenti bergema di koridor itu. Tertawa, Harry berbalik untuk berkonsentrasi pada dinding kosong, yang di baliknya, dia yakin, Draco Malfoy sekarang sedang berdiri membeku, sadar bahwa ada orang tak diinginkan di luar sana, tetapi tak berani menampakkan diri. Harry merasa senang dan berkuasa ketika dia berusaha mengingat-ingat kalimat seperti apa yang belum dicobanya. Meskipun demikian suasana penuh harapan ini tidak berlangsung lama. Setengah jam kemudian, setelah mencoba banyak variasi permohonan untuk melihat apa yang sedang dilakukan Malfoy, dinding itu tetap saja tak berpintu seperti semula. Harry bukan main frustrasinya. Malfoy barangkali hanya semeter darinya, dan tetap saja tak ada bukti sekecil apa pun tentang apa yang dilakukannya di dalam sana. Kehilangan kesabarannya sama sekali, Harry berlari ke dinding dan menendangnya. "OUCH!" Dia menduga barangkali jari kakinya patah. Ketika dia mencengkeramnya dan melompat-lompat dengan satu kaki, Jubah Gaib-nya merosot darinya. "Harry?" Harry berputar, di atas satu kaki, dan terguling. Bukan main herannya dia melihat Tonks berjalan ke arahnya, seolah dia sudah sering berjalan-jalan di koridor ini. "Ngapain kau di sini?" tanya Harry, merangkak bangun lagi. Kenapa sih Tonks selalu mendapatinya sedang terkapar di lantai? "Aku datang untuk menemui Dumbledore," kata Tonks. Harry berpikir Tonks tampak parah sekali; lebih kurus daripada biasanya, rambutnya yang berwarna bulu-tikus lemas. "Kantornya bukan di sini," kata Harry. "Di sisi lain kastil, di belakang gargoyle" "Aku tahu," kata Tonks. "Dia tidak ada. Rupanya dia pergi lagi." "Pergi lagi?" kata Harry, meletakkan kakinya yang memar dengan amat hati-hati di lantai. "Hei kau tak tahu ke mana dia pergi, kukira?" "Tidak," kata Tonks. "Untuk apa kau ingin menemuinya?" "Tidak ada hal khusus," kata Tonks, seraya tanpa sadar menarik-narik lengan jubahnya. "Aku cuma berpikir dia barangkali tahu apa yang sedang terjadi ... aku mendengar desas-desus ... orang-orang terluka ... " "Yeah, aku tahu, semuanya ada di koran," kata Harry. "Anak kecil yang mencoba membunuh kak-" "Prophet acap kali ketinggalan berita," kata Tonks, yang tampaknya tidak mendengarkan Harry. "Kau tidak menerima surat dari anggota Orde belakangan ini?" "Tak ada lagi orang dari Orde yang menulis kepadaku" kata Harry, "tidak sejak Sirius" Harry melihat mata Tonks telah dipenuhi air mata. "Maaf," gumamnya salah tingkah. "Maksudku ... aku juga kehilangan dia ... " "Apa?" tanya Tonks tak mengerti, seolah dia tidak mendengarnya. "Nah ... sampai ketemu lagi, Harry ..." Dan dia mendadak berbalik dan berjalan menyusuri koridor, meninggalkan Harry menatapnya. Selewat beberapa saat dia memakai Jubah Gaib-nya lagi dan melanjutkan usahanya untuk memasuki Kamar Kebutuhan, namun hatinya sudah tidak di situ. Akhirnya, perut yang lapar dan kesadaran bahwa Ron dan Hermione akan segera pulang untuk makan siang membuatnya menyerah dan meninggalkan koridor itu, dengan harapan Malfoy terlalu takut untuk meninggalkan Kamar sampai beberapa jam lagi. Ternyata Ron dan Hermione sudah di Aula Besar, sudah separo jalan menyantap makan siang yang awal. "Aku berhasil yah, boleh dibilang begitu!" Ron memberitahu Harry dengan antusias ketika melihat Harry. "Aku diminta ber-Apparate ke depan rumah minum teh Madam Puddifoot dan aku kejauhan sedikit, muncul di dekat Scrivenhaft's, tapi paling tidak aku berpindah!" "Bagus," kata Harry. "Bagaimana kau, Hermione?" "Oh, dia sempurna, jelas," kata Ron, sebelum Hermione bisa menjawab. "Semuanya sempurna, deliberasi, deteksi, depresi, atau entah apalah namanya kami semua minum sebentar di Three Broomsticks setelah latihan dan Twycross tak henti-hentinya memujinya aku akan heran kalau sebentar lagi dia tidak melamarnya" "Dan bagaimana denganmu?" tanya Hermione, tidak menghiraukan Ron. "Apakah kau di Kamar Kebutuhan sepanjang waktu?" "Yep," kata Harry. "Dan coba tebak aku ketemu siapa di sana? Tonks!" "Tonks?" ulang Ron dan Hermione bersamaan, keheranan. "Yeah, dia bilang dia datang untuk mengunjungi Dumbledore ... " "Kalau kau tanya aku," kata Ron setelah Harry selesai menuturkan percakapannya dengan Tonks, "dia agak terganggu. Jadi ketakutan setelah apa yang terjadi di Kementerian." "Agak aneh," kata Hermione, yang entah kenapa tampak sangat cemas. "Dia mestinya menjaga sekolah, kenapa dia tiba-tiba meninggalkan posnya untuk datang menemui Dumbledore, yang bahkan tidak ada di sini?" "Aku punya dugaan," kata Harry coba-coba. Dia merasa aneh menyuarakan dugaannya, ini lebih merupakan teritori Hermione daripada dia. "Menurutmu tak mungkinkah dia ... kau tahu ... mencintai Sirius?" Hermione terbelalak menatapnya. "Apa yang membuatmu berkata begitu?" "Entahlah," kata Harry, mengangkat bahu, "tapi dia tadi nyaris menangis waktu aku menyebutkan nama Sirius ... dan Patronus-nya sekarang besar berkaki empat ... aku ingin tahu apakah Patronus-nya berubah menjadi ... kau tahu ... dia." "Bisa jadi," kata Hermione lambat-lambat. "Tapi aku masih tetap tak tahu kenapa dia datang di kastil untuk menemui Dumbledore, kalau memang itu alasannya berada di sini ... " "Seperti yang kukatakan tadi, kan?" kata Ron, yang sekarang menyuapkan kentang tumbuk ke dalam mulutnya. "Dia jadi agak aneh. Ketakutan. Perempuan," katanya sok bijak kepada Harry. "Mereka gampang bingung." "Tapi," kata Hermione, sadar dari lamunannya, "aku ragu kalian akan menemukan perempuan yang merajuk selama setengah jam karena Madam Rosmerta tidak tertawa mendengar leluconnya tentang penyihir, Penyembuh, dan Mimbulus mimbletonia." Ron cemberut. 22. SETELAH PEMAKAMAN Bidang-bidang langit biru cerah mulai bermunculan di atas menara-menara kecil kastil, namun tanda-tanda bahwa musim panas telah mendekat tidak membuat suasana hati Harry lebih cerah. Usahanya gagal, dua-duanya, baik upaya untuk mengetahui apa yang dilakukan Malfoy maupun usahanya untuk memulai percakapan dengan Slughorn yang bisa membuat, entah bagaimana, Slughorn memberikan kenangan yang rupanya sudah disembunyikannya selama puluhan tahun. "Untuk terakhir kalinya, lupakan saja Malfoy," Hermione tegas memberitahunya. Mereka sedang duduk dengan Ron di sudut halaman yang tertimpa sinar matahari setelah makan siang. Hermione dan Ron memegang selebaran Kementerian Sihir: Kesalahan-Kesalahan Umum Apparition dan Bagaimana Menghindarinya, karena mereka akan ujian sore itu, namun secara umum selebaran itu tidak menenangkan saraf. Ron mendadak kaget dan berusaha bersembunyi di belakang Hermione ketika ada anak perempuan muncul di kelokan. "Bukan Lavender," kata Hermione jemu. "Oh, bagus," kata Ron, santai lagi. "Harry Potter?" kata anak perempuan itu. "Aku diminta memberikan ini kepadamu." "Terima kasih... " Hati Harry mencelos ketika dia mengambil gulungan kecil perkamen itu. Begitu anak perempuan itu sudah di luar jangkauan pendengaran dia berkata, "Dumbledore bilang tidak akan ada pelajaran lagi sampai aku mendapatkan kenangan itu!" "Barangkali dia ingin mengecek bagaimana progres saran-saran Hermione, ketika Harry membuka gulungan perkamen itu. Ternyata alih-alih menemukan tulisan Dumbledore yang panjang, pipih, dan miring, melihat tulisan yang berantakan, sangat sulit dibaca karena adanya bercak-bercak besar di perkamen yang tintanya luntur. Dear Harry, Ron dan Hermione, Aragog meninggal semalam. Harry dan Ron, kalian pernah bertemu dengannya dan kalian tahu betapa istimewanya dia. Hermione, aku tahu kau akan suka dia. Akan sangat berarti bagiku kalau kalian bisa datang untuk pemakamannya malam ini. Aku rencanakan selepas senja, itu saat yang paling dia sukai. Aku tahu kalian tidak boleh keluar malam-malam, tapi kalian bisa pakai Jubah Gaib. Tak akan minta sebetulnya, tapi aku tak tahan hadapi ini sendirian. Hagridw "Lihat ini," kata Harry, menyerahkan surat itu kepada Hermione. "Oh, astaga," kata Hermione, membaca cepat surat itu dan menyerahkannya kepada Ron, yang membacanya dan makin lama makin tampak tak percaya. "Dia gila!" katanya berang. "Binatang itu menyuruh teman-temannya memakan Harry dan aku! Mempersilakan mereka melahap kami! Dan sekarang Hagrid mengharap kita ke sana dan menangisi bangkainya yang berbulu dan mengerikan!" "Bukan hanya itu," kata Hermione. "Dia meminta kita meninggalkan kastil pada malam hari, dan dia tahu pengamanan sudah diketatkan sejuta kali dan kita akan dalam kesulitan mahabesar kalau sampai tertangkap." "Kita sudah pernah mengunjunginya di malam hari sebelumnya," kata Harry. "Ya, tapi untuk sesuatu seperti ini?" kata Hermione. "Kita sudah mempertaruhkan banyak untuk membantu Hagrid, tapi bagaimanapun juga Aragog sudah mati. Kalau ini soal menyelamatkannya-" "-aku akan semakin enggan pergi," kata Ron tegas. "Kau tidak bertemu dengannya, Hermione. Percayalah, mati jauh lebih baik." Harry mengambil kembali surat itu dan menunduk memandang bercak-bercak tinta yang bertebaran. Kentara sekali air mata besar-besar bercucuran di atas perkamen itu ... "Harry, masa sih kau memikirkan mau pergi," kata Hermione. "Tidak lucu kalau sampai kena detensi karena itu." Harry menghela napas. "Yeah, aku tahu," katanya. "Kurasa Hagrid terpaksa mengubur Aragog tanpa kita." "Ya," kata Hermione, tampak lega. "Dengar, Ramuan akan nyaris kosong sore ini, dengan kami semua pergi ujian ... usahakan melunakkan Slughorn sedikit!" "Setelah puluhan kali gagal, ada kemungkinan kali ini beruntung, maksudmu?" kata Harry getir. "Beruntung," kata Ron tiba-tiba. "Harry, itu dia jadilah beruntung!" "Apa maksudmu?" "Gunakan ramuan keberuntunganmu!" "Ron, itu-itu dia!" kata Hermione, kedengarannya terpesona. "Tentu saja! Kenapa tak terpikir olehku?" Harry menatap mereka berdua. "Felix Felicis?" ujarnya. "Entahlah ... aku menyimpannya untuk ... " "Untuk apa?" tuntut Ron penasaran. "Apa sih yang lebih penting daripada kenangan ini, Harry?" tanya Hermione. Harry tidak menjawab. Pikiran tentang botol kecil keemasan itu sudah selama beberapa waktu ini melayang-layang dalam imajinasinya. Rencana yang masih samar dan belum terbentuk yang menyangkut Ginny putus dengan Dean, dan Ron entah bagaimana senang melihat Ginny dengan cowok baru, bergejolak dalam otaknya yang paling dalam, tak disadari kecuali dalam mimpi atau saat-saat antara tidur dan terjaga ... "Harry? Kau masih bersama kami?" tanya Hermione. "Ap-? Yeah, tentu saja," katanya, berusaha menguasai diri. "Yah ... Oke. Kalau aku tak berhasil mengajak Slughorn bicara sore ini, aku akan minum Felix dan mencoba lagi malam ini." "Kita putuskan demikian, kalau begitu," kata Hermione cepat, seraya bangkit dan melakukan gerakan memutar yang anggun. "Destinasi ... determinasi ... deliberasi ... " gumamnya. "Oh, stop deh," Ron memohonnya. "Aku sudah muak mendengarnya cepat, sembunyikan aku!" "Bukan Lavender!" kata Hermione habis sabar, ketika dua gadis lain muncul di halaman dan Ron menghilang ke belakangnya. "Bagus," kata Ron, mengintip dari balik bahu Hermione untuk mengecek. "Astaga, mereka tampak tidak bahagia." "Mereka kakak-beradik Montgomery dan tentu saja mereka tidak bahagia, tidakkah kau mendengar apa yang terjadi pada adik laki-laki mereka?" kata Hermione. "Aku tak bisa mengikuti apa saja yang terjadi pada keluarga orang-orang, jujur saja" kata Ron. "Adik mereka diserang manusia serigala. Desas-desus yang beredar adalah ibu mereka menolak membantu Pelahap Maut. Anak itu baru lima tahun dan dia meninggal di St Mungo, mereka tidak berhasil menyelamatkannya." "Dia meninggal?" ulang Harry, shock. "Tapi bukankah manusia serigala mestinya tidak membunuh, mereka cuma mengubah korbannya menjadi salah satu dari mereka?" "Mereka kadang-kadang membunuh," kata Ron, yang tampak luar biasa suram sekarang. "Aku pernah mendengar itu terjadi kalau manusia serigalanya lupa diri." "Siapa nama manusia serigalanya?" tanya Harry cepat. "Kata desas-desus sih si Fenrir Greyback itu," kata Hermione. "Aku sudah menduganya-maniak yang senang menyerang anak-anak, yang diceritakan Lupin kepadaku!" kata Harry berang. Hermione menatapnya murung. "Harry, kau harus mendapatkan kenangan itu," katanya. "Itu berkaitan dengan menghentikan Voldemort, kan? Semua hal mengerikan yang terjadi ini semuanya gara-gara dia ... " Bel berbunyi di kastil dan baik Hermione maupun Ron beranjak bangun, tampak ketakutan. "Kalian akan bisa melakukannya" Harry berkata kepada keduanya, selagi mereka menuju Aula Depan untuk bergabung dengan anak-anak lain yang akan ikut ujian Apparition. "Semoga sukses." "Dan kau juga!" kata Hermione dengan pandangan penuh arti, ketika Harry menuju ruang bawah tanah. Hanya tinggal tiga anak dalam kelas Ramuan sore itu: Harry, Ernie, dan Draco Malfoy. "Semuanya masih terlalu muda untuk ber-Apparate?" kata Slughorn ramah. "Belum tujuh belas tahun?" Mereka menggelengkan kepala. "Ah, baiklah," kata Slughorn riang, "karena kita cuma sedikit sekali, kita akan melakukan sesuatu yang menyenangkan. Aku ingin kalian membuat sesuatu yang menghibur!" "Kedengarannya asyik, Sir," kata Ernie menjilat, menggosok-gosok kedua tangannya. Malfoy, sebaliknya, tidak tersenyum sedikit pun. "Apa maksud Anda, menghibur?" dia bertanya kesal. "Oh, kejutkan aku," kata Slughorn enteng. Malfoy membuka buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjutnya dengan wajah cemberut. Kentara sekali dia menganggap pelajaran ini cuma buang-buang waktu saja. Tak diragukan lagi, Harry membatin, mengawasi Malfoy dari atas bukunya sendiri, Malfoy menyesali waktu yang mestinya bisa dia lewatkan di Kamar Kebutuhan. Apakah ini hanya imajinasinya, ataukah Malfoy, seperti Tonks, tampak lebih kurus? Jelas dia tampak lebih pucat; kulitnya masih agak pucat kelabu, barangkali karena dia jarang sekali kena sinar matahari hari-hari ini. Namun tak ada sikap berpuas diri, atau bergairah, atau superioritas; tak ada tanda-tanda kepongahan yang diperlihatkannya di Hogwarts Express, ketika dia menyombong terang-terangan soal misi yang diberikan kepadanya oleh Voldemort ... hanya ada satu kesimpulan, menurut pendapat Harry: misi, apa pun itu, tidak berjalan lancar. Menjadi senang dengan pemikiran ini, Harry membuka-buka buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut-nya dan menemukan Eliksir Pembangkit Euforia versi Pangeran Berdarah-Campuran, karena Pangeran sudah mengoreksinya habis-habisan. Eliksir ini tampaknya tidak hanya memenuhi syarat yang diinstruksikan Slughorn, tetapi barangkali (hati Harry meluap gembira ketika pikiran ini terlintas di benaknya) juga bisa membuat suasana hati Slughorn baik sekali sehingga dia akan bersedia menyerahkan kenangan itu jika Harry bisa membujuknya untuk mencicipi sedikit ramuannya ... "Nah, kelihatannya ini betul-betul luar biasa," kata Slughorn, menepukkan tangannya satu setengah jam kemudian, ketika dia menunduk memandang isi kuali Harry yang kuning seperti sinar-matahari. "Euforia, kan? Dan aroma apa ini yang kucium? Mmmm ... kau menambahkan sepotong ranting pepermin, kan? Tidak lazim, tapi inspirasi yang hebat, Harry. Tentu saja, itu akan cenderung mengimbangi akibat sampingan yang kadang-kadang muncul, menyanyi dan mencubithidung yang berlebihan ... aku benar-benar tak tahu dari mana kau mendapatkan ide-ide cemerlang ini, Nak ... kecuali-" Harry mendorong buku Pangeran Berdarah-Campuran lebih jauh ke dalam tasnya dengan kakinya. "-itu gen ibumu yang menurun kepadamu!" "Oh ... yeah, mungkin," kata Harry, lega. " Ernie tampak agak kesal. Bertekad mengalahkan Harry kali ini, dengan gegabah dia menciptakan ramuan sendiri, yang mengental dan membentuk gumpalan ungu di dasar kualinya. Malfoy sudah berkemas, wajahnya kecut. Slughorn sudah menyatakan Ramuan Obat Batuk-nya hanya "lumayan". Bel berbunyi dan Ernie dan Malfoy langsung pergi. "Sir," kata Harry, namun Slughorn langsung menoleh. Ketika dilihatnya ruangan itu kosong, hanya tinggal dia dan Harry, dia bergegas pergi secepat mungkin. "Profesor-Profesor, Anda tidak mau mencicipi ramuan sa?" seru Harry putus asa. Tetapi Slughorn telah pergi. Kecewa, Harry mengosongkan kualinya, mengemasi barang-barangnya, meninggalkan kelas bawah tanah, dan berjalan pelan-pelan kembali ke atas ke ruang rekreasi. Ron dan Hermione pulang menjelang petang. "Harry!" seru Hermione seraya memanjat masuk lewat lubang lukisan. "Harry, aku lulus!" "Bagus!" katanya. "Dan Ron?" "Dia -- dia tidak lulus," bisik Hermione, ketika Ron masuk dengan lesu ke dalam ruangan, tampak sangat murung. "Sial benar deh, cuma soal sangat sepele, si penguji melihat separo alisnya ketinggalan ... bagaimana dengan Slughorn?" "Gagal," kata Harry, ketika Ron bergabung dengan mereka. "Nasib buruk, sobat, tapi kau pasti lulus kali? berikutnya-kita ujian sama-sama." "Yeah, apa boleh buat," gerutu Ron. "Tapi separo alis! Seberapa pentingnya sih!" "Aku tahu," kata Hermione menghibur, "dia kelewat keras Mereka melewatkan sebagian besar waktu makan malam dengan memaki-maki si penguji dan Ron tampak sudah lebih ceria ketika mereka kembali ke ruang rekreasi, sekarang mendiskusikan masalah Slughorn dan kenangannya yang masih belum terpecahkan. "Jadi, Harry -- kau mau pakai Felix Felicis atau bagaimana?" tuntut Ron. "Yeah, kurasa sebaiknya begitu," kata Harry. "Kurasa aku tak perlu minum semuanya, kan bisa untuk dua belas jam, masa sih perlu semalaman ... Aku cuma mau minum sesendok. Dua atau tiga jam sudah cukup." "Rasanya oke banget deh, kalau kau meminumnya," kata Ron, mengenang-ngenang. "Sepertinya segala yang kau lakukan tak mungkin salah." "Kau ini ngomong apa sih?" kata Hermione, tertawa. "Kau kan belum pernah minum!" "Yeah, tapi aku menyangka sudah minum, kan?" kata Ron, seolah menerangkan hal yang sudah jelas. "Sama tapi beda lah ... " Berhubung mereka baru saja melihat Slughorn memasuki Aula Besar dan tahu bahwa dia suka berlamalama kalau makan, mereka tenang-tenang saja berunding di ruang rekreasi. Rencananya, Harry akan ke kantor Slughorn setelah cukup waktu bagi guru Ramuan itu untuk kembali ke sana. Ketika matahari telah terbenam sampai batas pucuk-pucuk pepohonan di Hutan Terlarang, mereka memutuskan waktunya sudah tiba, dan setelah memastikan bahwa Neville, Dean, dan Seamus masih di ruang rekreasi, mereka menyelinap naik ke kamar anak laki-laki. Harry mengambil gulungan kaus kaki di dasar kopernya dan mengeluarkan botol mungil berkilauan itu. "Nah, ini dia," kata Harry, dan dia mengangkat botol kecil itu dan meneguk isinya sedikit. "Bagaimana rasanya?" bisik Hermione. Sesaat Harry tidak menjawab. Kemudian, pelan tapi pasti, perasaan menggembirakan bahwa dia punya kesempatan tak terbatas memenuhi dirinya. Dia merasa seakan dia bisa melakukan apa saja, apa pun juga ... dan mendapatkan kenangan dari Slughorn mendadak rasanya tidak hanya mungkin, tetapi gampang sekali ... Dia bangkit berdiri dengan tersenyum, rasa percaya dirinya meluap-luap. "Luar biasa," katanya. "Betul-betul luar biasa. Baik ... aku akan ke tempat Hagrid." "Apa?" seru Ron dan Hermione bersamaan, sangat terperanjat. "Tidak, Harry -- kau harus menemui Slughorn, ingat?" kata Hermione. "Tidak," kata Harry yakin. "Aku akan ke Hagrid, aku punya perasaan menyenangkan soal pergi ke Hagrid." "Kau punya perasaan menyenangkan soal mengubur labah-labah raksasa?" tanya Ron, terperangah. "Yeah," kata Harry, mengeluarkan Jubah Gaib dari tasnya. "Aku merasa di situlah aku harus berada malam ini, kau tahu apa yang kumaksudkan?" "Tidak," kata Ron dan Hermione bersamaan, keduanya kentara sekali khawatir sekarang. "Ini benar-benar Felix Felicis, kan?" tanya Hermione cemas, mengangkat botol itu ke arah cahaya. "Kau tak punya botol kecil lain yang berisi aku tak tahu deh-" "Sari Kegilaan?" usul Ron, ketika Harry menyampirkan Jubah-nya ke bahunya. Harry tertawa dan Ron dan Hermione tampak semakin cemas. "Percaya saja deh," katanya. "Aku tahu apa yang kulakukan ... atau paling tidak ..." dia berjalan dengan percaya diri ke pintu, "Felix tahu." Harry menyelubungkan Jubah Gaib ke atas kepalanya dan berjalan menuruni tangga, Ron dan Hermione bergegas di belakangnya. Di kaki tangga Harry menyelinap nyelinap keluar dari pintu yang terbuka. "Apa yang kau lakukan di atas dengan dia?" jerit Lavender Brown, memandang melewati Harry kepada Ron dan Hermione yang muncul berdua dari kamar anak laki-laki. Harry mendengar Ron tergagap di belakangnya ketika dia melesat menjauh dari mereka. Keluar dari lubang lukisan mudah. Ketika dia mendekati lubang lukisan itu, Ginny dan Dean masuk dan Harry bisa menyelinap di antara mereka. Tak sengaja dia menyenggol Ginny. "Jangan mendorong-dorong aku, Dean," kata Ginny, kedengarannya jengkel. "Kau ini selalu saja begitu. Aku bisa masuk sendiri, tahu ... " Lukisan mengayun menutup di belakang Harry, namun tidak sebelum dia mendengar Dean menjawab marah ... perasaan bahagianya memuncak. Harry berjalan menuju pintu kastil. Dia tak perlu berindap-indap, karena dia tak bertemu seorang pun di jalan, tetapi ini sama sekali tidak membuatnya heran: malam ini dia orang yang paling beruntung di Hogwarts. Kenapa dia tahu bahwa pergi ke pondok Hagrid adalah hal yang benar untuk dilakukan, dia tak tahu. Rasanya seolah ramuan itu menerangi beberapa langkah di depannya secara bertahap: dia tidak bisa melihat tujuan akhirnya, dia tidak bisa melihat apa kaitannya dengan Slughorn, tetapi dia tahu bahwa dia menuju jalan yang benar untuk mendapatkan kenangan itu. Setibanya di Aula Depan, dilihatnya Filch lupa mengunci pintu depan. Tersenyum, Harry membukanya dan sejenak menghirup udara segar dan harum rumput sebelum menuruni undakan masuk ke dalam rembang petang. Setibanya di undakan paling bawah, terpikir olehnya, betapa menyenangkannya kalau dia lewat kebun sayur dalam perjalanannya ke tempat Hagrid. Memang sebetulnya tidak persis dilewatinya, tetapi jelas bagi Harry ini firasat yang harus diikutinya, maka dia segera mengarahkan kakinya ke arah kebun sayur. Dia senang, namun tidak sepenuhnya terkejut, melihat Profesor Slughorn sedang mengobrol dengan Profesor Sprout di sana. Harry bersembunyi di belakang tembok batu rendah, merasa puas dengan dunia sekitarnya dan mendengarkan percakapan mereka. "... aku betul-betul berterima kasih kau mau meluangkan waktu, Pomona," Slughorn berkata amat sopan. "Para ahli mengatakan, mereka paling mujarab kalau dipetik di senja hari." "Oh, aku sepakat," kata Profesor Sprout hangat. "Itu sudah cukup?" "Banyak, banyak," kata Slughorn, Yang Harry lihat membawa sepelukan tanaman berdaun. "Ini cukup untuk masing-masing anak kelas tiga kebagian beberapa helai, dan masih ada sisa untuk berjaga-jaga kalau ada yang merebusnya terlalu matang ... nah, selamat malam, dan sekali lagi banyak terima kasih!" Profesor Sprout menuju ke arah rumah-rumah kacanya yang mulai diselimuti kegelapan dan Slughorn mengarahkan langkahnya ke tempat Harry berdiri, tak kelihatan. Mendadak dilanda keinginan untuk memperlihatkan diri, Harry menarik lepas Jubah-nya dengan bergaya. "Selamat malam, Profesor." "Jenggot Merlin, Harry, kau ini bikin aku kaget saja" kata Slughorn, berhenti di tempatnya dan tampak waspada. "Bagaimana kau bisa keluar dari kastil?" "Saya kira Filch pastilah lupa mengunci pintu," kata Harry riang, dan senang melihat Slughorn membersut marah. "Kulaporkan orang itu nanti, dia lebih sibuk mengurus sampah daripada keamanan sekolah menurutku ... tapi kenapa kau ada di sini, Harry?" "Ini karena Hagrid, Sir," kata Harry, yang tahu bahwa hal benar yang harus dilakukannya saat ini adalah berkata jujur. "Dia sedih ... tapi Anda tak akan memberitahu siapa-siapa, kan, Profesor? Saya tak ingin Hagrid mendapat kesulitan ... " Rasa penasaran Slughorn kentara sekali bangkit. "Aku tak bisa menjanjikan itu," katanya tegas. "Tapi aku tahu Dumbledore sangat memercayai Hagrid, maka aku yakin dia tak mungkin melakukan sesuatu yang amat parah-" "Yah, ini soal labah-labah raksasa, yang sudah bertahun-tahun dimilikinya ... tinggalnya di dalam Hutan ... labah-labah itu bisa bicara dan macam-macam" "Aku mendengar desas-desus ada Acromantula di dalam Hutan," kata Slughorn pelan, menatap gerumbulan gelap pepohonan di kejauhan. "Desas-desus ini benar, kalau begitu?" "Ya," kata Harry. "Tetapi yang satu ini, Aragog, yang pertama yang dimiliki Hagrid, mati semalam. Hagrid terpukul sekali: Dia ingin ditemani selagi menguburkannya dan saya memutuskan datang." "Mengharukan, mengharukan," kata Slughorn sambil melamun, matanya yang besar kuyu terpaku menatap lampu pondok Hagrid di kejauhan. "Tapi bisa Acromantula sangat berharga ... kalau binatang itu baru mati semalam, mungkin bisanya belum mengering ... tentu saja, aku tak ingin " melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan kalau Hagrid sedang sedih . tapi kalau ada cara untuk mendapatkannya sedikit ... maksudku, nyaris tak mungkin mendapatkan bisa dari Acromantula yang masih hidup ... " Slughorn tampaknya bicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Harry sekarang. "... rasanya sayang sekali kalau tidak diambil... bisa laku seratus Galleon setengah liternya ... jujur saja, gajiku tidak besar ... " Dan sekarang Harry melihat jelas apa yang harus dilakukannya. "Yah" katanya dengan keragu-raguan yang sangat meyakinkan, "yah, jika Anda ingin datang, Profesor, Hagrid barangkali akan senang sekali ... melepas Aragog dengan lebih baik, Anda tahu ... " "Ya, tentu saja," kata Slughorn, matanya sekarang berkilat-kilat saking antusiasnya. "Begini saja, Harry, kutemui kau di sana dengan membawa satu atau dua botol minuman ... kita akan minum untuk binatang itu yah bukan untuk kesehatannya tapi kita akan melepasnya dengan berkelas, setelah dia dikubur. Dan aku akan menukar dasinya, yang ini terlalu ceria untuk peristiwa ini ... " Dia buru-buru kembali ke kastil, dan Harry bergegas ke pondok Hagrid, dengan hati puas. "Kau datang," kata Hagrid parau, ketika dia membuka buka pintu dan melihat Harry muncul di depannya dari dalam Jubah Gaib. "Yeah-tapi Ron dan Hermione tidak bisa ikut," kata Harry. "Mereka ikut berduka cita." "Tak -- tak apa ... tapi dia akan terharu kau di sini, Harry Hagrid tersedu. Lengannya dililit gelang hitam yang tampaknya dibuat dari carikan kain yang dicelup ke dalam semir sepatu dan matanya bengkak dan merah. Harry membelai menghiburnya pada sikunya, tempat tertinggi di tubuh Hagrid yang bisa dengan mudah dijangkaunya. "Di mana kau akan menguburnya?" tanyanya, "Di Hutan?" "Astaga, bukan," kata Hagrid, mengusap air matanya yang bercucuran dengan ujung kemejanya. "Para labah-labah yang lain tidak akan izinkan aku dekat-dekat sarang mereka sekarang, setelah Aragog pergi. Ternyata mereka tidak makan aku hanya karena dia larang! Kau bisa percaya itu, Harry?" Jawaban yang jujur adalah "ya". Walaupun kini lega, Harry masih sakit hati teringat adegan ketika dia dan Ron berhadapan dengan Acromantula: mereka dengan jelas menyatakan bahwa Aragog-lah yang membuat mereka tidak melahap Hagrid. "Tak ada area di Hutan yang tak bisa kudatangi sebelumnya!" kata Hagrid, menggelengkan kepala. "Tak mudah bawa keluar jasad Aragog dari sana, mereka biasanya makan sesama yang mati, soalnya ... tapi aku ingin beri dia pemakaman yang baik ... lepas dia dengan pantas ... " Dia terisak-isak lagi dan Harry melanjutkan membelai sikunya, sambil berkata (karena ramuan tampaknya memberi indikasi ini hal yang benar untuk dilakukan), "Profesor Slughorn bertemu aku ketika berjalan ke sini, Hagrid." "Kau tidak dapat kesulitan, kan?" kata Hagrid, mengangkat muka, cemas. "Kau seharusnya tak boleh keluar kastil di malam hari, aku tahu, ini salahku" "Tidak, tidak, waktu dia dengar alasan kenapa aku ke sini, dia bilang dia mau ikut datang dan memberikan penghormatan terakhir kepada Aragog juga," kata Harry. "Dia sedang berganti pakaian yang lebih pantas, kurasa . dan dia "Hagrid," katanya dengan suara dalam, sedih. "Ikut sangat berduka cita atas kehilanganmu." "Kau baik sekali," kata Hagrid. "Terima kasih banyak. Dan terima kasih tidak beri Harry detensi ... " "Tidak akan," kata Slughorn. "Malam yang sedih malam yang sedih ... di mana makhluk malang itu?" bilang dia akan membawa beberapa botol minuman, supaya kita bisa minum untuk mengenang Aragog." "Begitu?" kata Hagrid, tampak heran sekaligus terharu. "Dia -- dia betul-betul baik, dan tidak laporkan kau juga. Aku sebetulnya tak pernah banyak urusan dengan Horace Slughorn sebelumnya ... mau datang lepas si Aragog, tapi, eh? Wah ... dia akan senang, Aragog akan senang ... " Dalam hati Harry membatin bahwa apa yang akan paling disukai Aragog tentang Slughorn adalah daging berlimpah-ruah yang bisa dimakannya, namun dia hanya bergerak ke jendela belakang pondok Hagrid. Dari situ dia bisa melihat pemandangan agak mengerikan bangkai si labah-labah raksasa yang terbaring terbalik, kaki-kakinya melengkung dan, saling lilit. "Apakah kita akan menguburnya di sini, Hagrid, di kebunmu?" "Di luar petak labu itu, kupikir," kata Hagrid dengan suara tercekat. "Aku sudah menggali-kau tahukuburnya. Kupikir kita akan ucapkan beberapa hal bagus tentang dia kenangan manis, kau tahu-" Suaranya bergetar, lalu terputus. Terdengar ketukan di pintu dan dia berbalik untuk membukanya, seraya membuang ingus di saputangan polkadotnya yang besar. Slughorn ada di depan pintu, beberapa botol minuman dalam pelukannya, dan memakai dasi hitam suram. "Di luar sana," kata Hagrid dengan suara bergetar. "Bagaimana-bagaimana kalau kita lakukan sekarang?" Ketiganya ke kebun belakang. Bulan berkilau pucat di antara pepohonan dan sinarnya berbaur dengan cahaya lampu yang terpancar dari jendela Hagrid, menyorot tubuh Aragog yang tergeletak di tepi lubang superbesar, di samping gundukan tanah yang baru digali setinggi tiga meter. "Luar biasa," kata Slughorn, mendekati kepala labah-labah, dengan delapan matanya yang seputih susu menatap kosong langit dan dua capit besar melengkung berkilau, tak bergerak, dalam sinar bulan. Harry merasa mendengar denting botol ketika Slughorn membungkuk di atas capit itu, kelihatannya seperti mengamati kepala besar berbulu itu. "Tidak semua orang menghargai betapa indahnya mereka," kata Hagrid ke punggung Slughorn, air mata mengalir dari sudut-sudut matanya yang berkerut. "Aku tak tahu kau tertarik pada makhluk seperti Aragog, Horace." "Tertarik? Hagrid yang baik, aku memuja mereka," kata Slughorn, melangkah mundur dari tubuh itu. Harry melihat kilatan botol menghilang di balik mantelnya, meskipun Hagrid, yang mengusap matanya sekali lagi, tidak memperhatikan apa-apa. "Nah ... bagaimana kalau kita lanjutkan dengan pemakaman?" Hagrid mengangguk dan maju. Diangkatnya labah-labah raksasa itu ke dalam pelukannya, dan dengan dengus keras, digulingkannya ke dalam lubang gelap. Tubuh labah-labah itu menghantam dasar lubang dengan bunyi debam agak mengerikan. Hagrid mulai menangis lagi. "Tentu saja, sulit bagimu, yang mengenalnya dengan baik," kata Slughorn, yang seperti Harry, tak bisa menjangkau lebih tinggi daripada siku Hagrid, tapi toh membelainya juga. "Bagaimana kalau aku mengucapkan sedikit kata-kata perpisahan?" Pastilah dia memperoleh banyak bisa berkualitas bagus dari Aragog, Harry membatin, karena wajah Slughorn dihiasi senyum puas ketika dia melangkah ke tepi lubang dan berkata lambat-lambat, dengan suara impresif, "Selamat tinggal, Aragog, raja arakhnida. Persahabatanmu yang lama dan setia takkan dilupakan oleh mereka yang mengenalmu! Meskipun tubuhmu akan rusak, jiwamu tetap hidup di rumah jaringmu yang tenang dalam Hutan. Semoga keturunanmu yang bermata-banyak semakin berkembangbiak dan teman-teman manusiamu menemukan penghiburan bagi kehilangan yang mereka derita." "Itu ... itu ... indah sekali!" lolong Hagrid dan dia terpuruk di atas gundukan kompos, menangis lebih keras daripada sebelumnya. "Sudah, sudah;" kata Slughorn, melambaikan tongkat sihirnya sehingga gundukan besar tanah itu terangkat dan kemudian jatuh, dengan debam seperti teredam di atas bangkai labah-labah itu, membentuk gundukan rapi. "Ayo kita masuk dan minum. Papah sisi satunya, Harry ... yak, begitu ... ayo bangun, Hagrid ... bagus ... " Mereka mendudukkan Hagrid di atas kursi di depan meja makan. Fang, yang bersembunyi di dalam keranjangnya selama acara pemakaman, sekarang berjalan pelan mendekati mereka dan meletakkan kepalanya yang berat di atas pangkuan Harry seperti biasanya. Slughorn membuka gabus penutup salah satu botol anggur yang dibawanya. "Semuanya sudah dites tidak beracun," dia meyakinkan Harry, menuang sebagian besar isi botol pertama ke dalam salah satu cangkir Hagrid yang sebesar ember dan menyerahkannya kepada Hagrid. "Kusuruh peri-rumah mencicipi semua botol setelah apa yang terjadi pada temanmu yang malang Rupert." Harry melihat, dalam benaknya, ekspresi di wajah Hermione, jika dia sampai mendengar tentang perlakuan semena-mena terhadap peri-rumah ini, dan memutuskan tak akan pernah menceritakannya kepadanya. "Satu untuk Harry ..." kata Slughorn, membagi isi botol kedua dalam dua cangkir, "... dan satu untukku. Nah," dia mengangkat cangkirnya tinggi-tinggi, "untuk Aragog." "Aragog," kata Harry dan Hagrid bersama-sama. Baik Slughorn maupun Hagrid minum banyak-banyak. Namun Harry, yang langkah-langkahnya diterangi oleh Felix Felicis, tahu bahwa dia tak boleh minum, maka dia hanya berpura-pura meneguk dan kemudian meletakkan cangkirnya di atas meja di depannya. "Aku miliki dia dari telur, kau tahu," kata Hagrid muram. "Kecil-mungil waktu dia baru menetas. Kira-kira sebesar anjing Peking." "Manis sekali," kata Slughorn. "Tadinya kupelihara dalam lemari sekolah sampai ... yah" Wajah Hagrid menjadi suram dan Harry tahu kenapa. Tom Riddle mengatur agar Hagrid dikeluarkan dari sekolah, dipersalahkan dengan tuduhan membuka Kamar Rahasia. Meskipun demikian, Slughorn tampaknya tidak mendengarkannya. Dia memandang ke langit-langit, tempat sejumlah panci tergantung, dan juga segunting rambut panjang putih sehalus sutra. "Itu bukan rambut unicorn kan, Hagrid?" "Oh, yeah," kata Hagrid tak peduli. "Tertarik lepas dari ekor mereka, tersangkut di ranting-ranting atau apa di Hutan, kau tahu ... " "Tapi, sobat, tahukah kau berapa harganya itu?" "Aku gunakan untuk ikat perban atau apa kalau ada hewan yang luka," kata Hagrid, mengangkat bahu. "Sangat bermanfaat ... luar biasa kuat, soalnya." Slughorn menghirup banyak-banyak lagi dari cangkirnya, matanya bergerak hari-hati mengelilingi pondok sekarang, mencari, Harry tahu, harta lain yang bisa ditukarnya menjadi persediaan mead aroma-ek, permen nanas, dan jas beludru. Dia mengisi ulang cangkir Hagrid dan cangkirnya sendiri, dan menanyainya tentang hewan-hewan yang hidup dalam Hutan sekarang ini dan bagaimana Hagrid bisa memelihara mereka semua. Hagrid, yang sudah menjadi bersemangat di bawah pengaruh minuman dan minat Slughorn yang membuatnya tersanjung, berhenti menyeka matanya dan dengan riang memulai penjelasan panjang-lebar tentang perkembangbiakan Bowtruckle. Felix Felicis menjawil Harry saat itu dan Harry melihat bahwa persediaan minuman yang dibawa Slughorn sudah menyusut dengan cepat. Harry belum berhasil menguasai pelaksanaan Mantra Pengisian Ulang tanpa mengucapkan mantranya keras-keras, namun ide bahwa dia tak bisa melakukannya malam ini sungguh menggelikan. Harry nyengir sendiri ketika, tanpa disadari oleh Hagrid maupun Slughorn (yang sekarang sedang bertukar cerita tentang perdagangan ilegal telur naga), dia mengacungkan tongkat sihirnya di bawah meja ke arah botol-botol yang hampir kosong, dan botol-botol itu langsung mulai terisi kembali. Selewat kira-kira satu jam, Hagrid dan Slughorn mulai bersulang gila-gilaan: untuk Hogwarts, untuk Dumbledore, untuk anggur buatan-peri, dan untuk- "Harry Potter!" seru Hagrid, menumpahkan anggur dari ember keempat belasnya di dagunya ketika meminumnya. "Ya, betul," timpal Slughorn, suaranya mulai tak jelas. "Parry Otter, Anak Terpilih yang-yah-begitulah pokoknya," dia bergumam, dan mengosongkan cangkirnya juga. Tak lama sesudah ini, Hagrid bercucuran air mata lagi dan memberikan semua ekor unicorn-nya kepada Slughorn, yang mengantonginya dengan seruan, "Demi persahabatan! Demi kebaikan hati! Demi sepuluh Galleon per helai rambut-!" Dan selama beberapa waktu setelah itu, Hagrid dan Slughorn duduk berdampingan, saling rangkul, menyanyikan lagu sedih berirama pelan tentang penyihir yang hampir mati bernama Odo. "Aaargh, orang baik mati muda," gumam Hagrid, menelungkup di atas meja, matanya sedikit juling, sementara Slughorn terus menyanyikan refreinnya. "Ayahku belum pantas pergi ... begitu juga ibu dan ayahmu, Harry ..." Air mata besar-besar menetes lagi dari sudut mata Hagrid yang berkerut. Dia menggenggam tangan Harry dan mengguncangnya. "... penyihir wanita dan pria paling hebat seumur mereka yang pernah kukenal ... mengerikan ... mengerikan ... " Slughorn menyanyi dengan sedih: "Dan Odo si pahlawan, mereka membawanya pulang Ke tempat yang dikenalnya di masa kecilnya, Mereka membaringkannya 'tuk beristirahat, Tongkat sihirnya patah jadi dua, alangkah sedihnya." "... mengerikan," Hagrid mendengkur dan kepalanya yang besar dengan rambut lebat berguling miring di atas lengannya dan dia tertidur, mendengkur keras. "Sori" kata Slughorn sambil cegukan. "Memang aku tak pandai bernyanyi." "Hagrid tidak bicara soal nyanyian Anda," kata Harry tenang. "Dia bicara tentang meninggalnya ibu dan ayah saya." "Oh," kata Slughorn, menahan sendawa besar. "Oh. Ya, itu-itu sungguh mengerikan. Mengerikan ... mengerikan ... " Dia tampaknya bingung tak tahu mau berkata apa lagi, dan terpaksa mengisi cangkir mereka lagi. "Kurasa-kurasa kau tidak ingat itu, Harry?" dia bertanya kikuk. "Tidak yah, saya baru satu tahun ketika mereka meninggal," kata Harry, matanya menatap nyala lilin yang bergoyang seirama dengan dengkur berat Hagrid, "Tapi saya telah berhasil mengetahui cukup banyak sejak itu. Ayah saya meninggal lebih dulu. Tahukah Anda?" "Aku-aku tidak tahu," kata Slughorn dengan suara mendesah. "Yeah ... Voldemort membunuhnya dan kemudian melangkahi mayatnya menuju ibu saya," kata Harry. Slughorn bergidik hebat, namun tampaknya dia tak i sanggup mengalihkan tatapannya yang ketakutan dari i wajah Harry. "Dia menyuruh ibu saya menyingkir," kata Harry tanpa belas kasihan. "Dia memberitahu saya ibu saya tak perlu meninggal. Dia hanya menginginkan saya. Ibu saya bisa saja lari." "Oh, astaga," desah Slughorn. "Dia bisa lari ... dia tak perlu ... sungguh mengerikan ... " "Ya, mengerikan sekali," kata Harry, suaranya nyaris tak lebih dari bisikan. "Tetapi ibu saya tidak bergerak. Dad sudah meninggal, tetapi dia tak ingin saya juga pergi. Dia berusaha memohon kepada Voldemort, tapi dia cuma tertawa ... " "Sudah cukup!" kata Slughorn tiba-tiba, mengangkat tangan yang gemetar. "Sungguh, Nak, cukup ... aku sudah tua ... aku tak perlu mendengar ... aku tak ingin mendengar ... " "Saya lupa," dusta Harry, dipandu oleh Felix Felicis. "Anda menyukainya, kan?" "Menyukainya?" kata Slughorn, matanya berlinang air mata lagi. "Tak kubayangkan orang yang bertemu dia tidak menyukainya ... sangat pemberani ... sangat kocak ... bukan main mengerikannya ... " "Tetapi Anda tidak mau menolong anaknya," kata Harry. "Dia memberikan hidupnya untuk saya, tetapi Anda tidak mau memberi saya kenangan." Dengkur Hagrid bergemuruh memenuhi pondok. Harry menatap mantap mata Slughorn yang dipenuhi air mata. Guru Ramuan itu tampaknya tak sanggup mengalihkan pandangan. "Jangan bilang begitu," bisiknya. "Ini bukan masalah ... jika ini untuk menolongmu, tentu saja ... tapi tak ada faedahnya " "Ada," kata Harry jelas. "Dumbledore memerlukan keterangan. Saya memerlukan keterangan." Harry tahu dia aman. Felix memberitahunya bahwa Slughorn tak akan ingat apa-apa esok paginya. Menatap mata Slughorn lurus-lurus, Harry agak membungkuk ke depan. "Saya Sang Terpilih. Saya harus membunuhnya. Saya memerlukan kenangan itu." Slughorn semakin pucat, dahinya berkilat oleh keringat. "Kau Sang Terpilih?" "Tentu saja," kata Harry kalem. "Tapi kalau begitu ... anakku ... kau meminta banyak sekali ... kau memintaku, sebetulnya, untuk membantumu dalam usahamu menghancurkan" "Anda tak ingin menyingkirkan penyihir yang membunuh Lily Evans?" "Harry, Harry, tentu saja aku ingin, tapi" "Anda takut dia akan tahu Anda membantu saya?" Slughorn tidak berkata apa-apa; dia tampak ketakutan. "Bersikaplah berani seperti ibu saya, Profesor ..." Slughorn mengangkat tangannya yang gemuk dan menekankan jari-jarinya yang gemetar ke mulutnya. Sejenak dia tampak seperti bayi besar. "Aku tidak bangga ..." bisiknya dari antara jari-jarinya. "Aku malu akan-akan apa yang diperlihatkan kenangan itu ... kurasa aku mungkin telah melakukan bencana besar hari itu " "Anda akan membatalkan segala yang telah Anda perbuat dengan memberi saya kenangan itu," kata. Harry. "Itu akan menjadi tindakan yang sangat berani dan sangat mulia." Hagrid bergerak dalam tidurnya dan melanjutkan mendengkur. Slughorn dan Harry saling tatap di atas lilin yang meleleh. Keheningan berlangsung lama, lama sekali, namun Felix Felicis memberitahu Harry agar jangan memecahnya, untuk menunggu. Kemudian, sangat perlahan, Slughorn memasukkan tangan ke dalam sakunya dan menarik keluar tongkat sihirnya. Dia memasukkan tangan satunya ke dalam mantelnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil kosong. Masih menatap mata Harry, Slughorn menyentuhkan ujung tongkat sihirnya ke pelipisnya dan menariknya, sehingga benang perak panjang kenangan ikut tertarik, menempel pada ujung tongkat sihir. Makin lama makin panjang, kenangan itu merentang, sampai akhirnya putus dan terayun, berkilau keperakan-perakan, dari tongkat sihir. Slughorn menurunkannya ke dalam botol. Di dalam botol benang perak kenangan-kenangan itu bergulung, kemudian menyebar, berpusar seperti gas. Dengan tangan gemetar ditutupnya botol itu dengan gabus dan kemudian disorongkannya ke seberang meja kepada Harry. "Terima kasih banyak, Profesor." "Kau anak baik," kata Profesor Slughorn, air mata berlinang di pipinya yang gemuk, menetes ke kumis beruang lautnya. "Dan matamu seperti matanya ... hanya jangan menilaiku terlalu buruk setelah kau melihat kenangan itu ... " Dan Slughorn juga meletakkan kepalanya di atas lengannya, menarik napas dalam-dalam, dan tertidur. 23. HORCRUX Harry bisa merasakan Felix Felicis memudar ketika dia mengendap-endap kembali ke kastil. Pintu depan masih tetap belum terkunci untuknya, namun di lantai tiga dia bertemu Peeves dan nyaris saja kena detensi kalau tidak melesat ke samping lewat salah satu jalan pintasnya. Pada saat dia tiba di lukisan si Nyonya Gemuk dan melepas Jubah Gaib-nya, dia tidak heran mendapati Nyonya Gemuk sangat kesal. "Jam berapa menurutmu ini?" "Aku sungguh-sungguh minta maaf -- aku harus keluar untuk sesuatu yang sangat penting" "Sayangnya kata kuncinya berubah pada tengah malam, jadi, mau tak mau kau tidur di koridor saja." "Kau bercanda!" kata Harry. "Kenapa kata kuncinya harus berubah pada tengah malam?" "Memang begitu," kata si Nyonya Gemuk. "Kalau kau marah, protes saja ke Kepala Sekolah, kan dia yang mengetatkan keamanan." "Fantastis," kata Harry getir, memandang berkeliling ke lantai yang keras. "Benar-benar brilian. Yeah, aku akan pergi dan membicarakannya dengan Dumbledore kalau dia ada, karena dialah yang mau aku me-" "Dia ada," kata suara di belakang Harry. "Profesor Dumbledore pulang ke sekolah satu jam yang lalu." Nick si Kepala-Nyaris-Putus melayang ke arah Harry, kepalanya bergoyang-goyang di atas rimpelnya. "Aku dengar dari si Baron Berdarah, yang melihatnya datang," kata Nickz. "Menurut si Baron, dia kelihatannya senang, meskipun agak lelah, tentu." "Di mana dia?" tanya Harry, hatinya melonjak gembira. "Oh, mengerang-erang dan berkelontangan di Menara Astronomi, kan rekreasi favoritnya me-" "Bukan si Baron Berdarah, Dumbledore!" "Oh di kantornya," kata Nick. "Kukira, dari apa yang dikatakan si Baron, ada urusan yang harus dibereskannya sebelum dia ti-" "Yeah, ada," kata Harry, gairah berkobar di dadanya pada prospek memberitahu Dumbledore dia telah berhasil mendapatkan kenangan itu. Dia berputar dan berlari lagi, tidak memedulikan si Nyonya Gemuk yang memanggil-manggilnya. "Kembali! Oke, ngaku, aku bohong! Aku sebal kau membangunkanku! Kata kuncinya masih 'cacing pita'!" Namun Harry sudah berlari sepanjang koridor dan, dalam beberapa menit, dia sudah mengatakan 'permen karamel' kepada gargoyle Dumbledore, yang langsung melompat minggir, mengizinkan Harry masuk menaiki tangga spiral. "Masuk," kata Dumbledore ketika Harry mengetuk. Kedengarannya dia sangat letih. Harry mendorong pintunya terbuka. Kantor Dumbledore tampak sama seperti biasanya, namun dilatarbelakangi langit gelap bertabur bintang di luar jendelanya. "Astaga, Harry," kata Dumbledore keheranan. "Apa yang membuatku mendapat kehormatan menerima kunjunganmu selarut ini?" "Sir saya sudah mendapatkannya. Saya sudah mendapatkan kenangan dari Slughorn." Harry mengeluarkan botol kaca mungil itu dan memperlihatkannya kepada Dumbledore. Selama beberapa saat Kepala Sekolah tampak terpesona. Kemudian senyum lebar merekah di wajahnya. "Harry, ini kabar spektakuler! Benar-benar bagus sekali! Aku tahu kau bisa melakukannya!" Soal betapa larutnya sudah malam itu tampaknya terlupakan, Dumbledore bergegas mengitari mejanya, mengambil botol berisi kenangan Slughorn dengan tangannya yang tak terluka dan berjalan ke lemari tempatnya menyimpan Pensieve. "Dan sekarang," kata Dumbledore, meletakkan baskom batu itu di atas mejanya dan menuang isi botol ke dalamnya, "sekarang, akhirnya, kita akan melihat, Harry, cepat ..." Harry membungkuk patuh di atas Pensieve dan merasa kakinya meninggalkan lantai kantor ... sekali lagi dia terjatuh melewati kegelapan dan mendarat di kantor Horace Slughorn bertahun-tahun sebelumnya. Tampak Horace Slughorn yang jauh lebih muda, dengan rambut tebal, berkilat, berwarna-jerami dan kumis yang berwarna jingga-pirang, sedang duduk lagi di kursi berlengan yang nyaman di kantornya, kakinya diistirahatkan pada tumpuan kaki beludru, satu tangan memegang gelas anggur kecil, tangan yang lain merogoh kotak permen nanas. Dan tampak enam remaja pria duduk mengelilingi Slughorn, dengan Tom Riddle di tengah-tengah mereka, cincin emas Marvolo yang berbatu hitam berkilau di jarinya. Dumbledore mendarat di sebelah Harry tepat ketika Riddle bertanya, "Sir, betulkah Profesor Merrythought akan pensiun?" "Tom, Tom, kalaupun tahu aku tak bisa memberitahumu," kata Slughorn, menegur dengan menggoyangkan jari ke arah Riddle, meskipun mengedip pada saat yang bersamaan. "Terus terang, aku ingin tahu dari mana kau dapatkan informasimu, Nak; kau ini lebih tahu daripada separo staf guru." Riddle tersenyum; anak-anak yang lain tertawa dan melempar pandang kagum kepadanya. "Dengan kemampuanmu yang luar biasa untuk mengetahui hal-hal yang seharusnya tak boleh kau ketahui, dan sanjungan penuh perhitungan kepada orang-orang yang penting-oh ya, terima kasih untuk permen nanas ini, kau benar, ini favoritku-" Beberapa anak terkekeh lagi. "aku yakin kau akan bisa menjadi Menteri Sihir dalam waktu dua puluh tahun. Lima belas, kalau kau terus mengirimiku permen nanas. Aku punya hubungan luar biasa baik dengan orang-orang di Kementerian." Tom Riddle hanya tersenyum sementara yang lain tertawa lagi. Harry memperhatikan bahwa dia sama sekali bukan yang tertua dalam rombongan remaja itu, namun mereka semua tampaknya menganggap dia sebagai pemimpin mereka. "Saya tak tahu apakah politik cocok untuk saya, Sir," katanya ketika tawa telah mereda. "Saya tidak memiliki latar belakang yang sesuai, itu alasan pertama." Beberapa anak di sekelilingnya saling menyeringai. Harry yakin mereka menikmati lelucon antar mereka; tak diragukan lagi tentang apa yang mereka ketahui, atau curigai, sehubungan dengan leluhur kenamaan pimpinan geng mereka. "Omong kosong," kata Slughorn tegas, "tak bisa lebih jelas lagi kau keturunan penyihir hebat, dengan kemampuan sepertimu. Tidak, kau akan jadi orang hebat, Tom, aku belum pernah keliru menilai muridku." Jam meja emas kecil di atas meja Slughorn berdentang sebelas kali di belakangnya dan dia menoleh. "Astaga, sudah semalam ini?" kata Slughorn. "Kalian sebaiknya pergi, anak-anak, kalau tidak kita semua bisa mendapat kesulitan. Lestrange, aku menginginkan esaimu besok pagi, kalau tidak detensi. Sama, kau juga, Avery." Satu demi satu anak-anak meninggalkan ruangannya. Slughorn bangkit dari kursi berlengannya dan membawa gelas kosongnya ke mejanya. Gerakan di belakangnya membuatnya berpaling. Riddle masih berdiri di sana. "Hati-hati, Tom, kau tak ingin tertangkap masih belum di tempat tidur di luar jam yang ditentukan, dan kau prefek ..." "Sir, saya ingin menanyakan sesuatu kepada Anda." "Tanyakan saja, kalau begitu, Nak, tanyakan saja ... " "Sir, saya ingin tahu apa yang Anda ketahui tentang ... tentang Horcrux?" Slughorn menatapnya, jari-jarinya yang gemuk tanpa sadar mengelus-elus gagang gelas anggurnya. "Proyek untuk Pertahanan terhadap Ilmu Hitamkah ini?" Namun Harry bisa melihat bahwa Slughorn tahu betul bahwa ini bukan tugas sekolah. "Sebetulnya bukan, Sir," kata Riddle. "Saya menemukan istilah ini sewaktu membaca dan saya tidak sepenuhnya mengerti." "Tentu ... yah ... kau juga akan sulit sekali menemukan buku di Hogwarts yang bisa memberimu keterangan rinci tentang Horcrux, Tom. Itu ilmu yang sangat Hitam, betul-betul sangat Hitam," kata Slughorn. "Tapi Anda pasti tahu tentang itu, kan, Sir? Maksud saya, penyihir seperti Anda -- maaf, maksud saya, jika Anda tidak bisa memberitahu saya, tentu saya hanya tahu bahwa kalau ada orang yang bisa memberitahu sa, Anda-lah orangnya -jadi, saya pikir saya tanyakan saja-" Dilakukan dengan sangat baik, pikir Harry, keragu-raguan, nadanya yang biasa, pujian yang hati-hati, tak ada yang berlebihan. Harry telah punya banyak pengalaman dalam berusaha memancing informasi dari orang-orang yang enggan, sehingga dia bisa mengenali ahli yang sedang beraksi. Dia bisa melihat bahwa Riddle sangat, sangat menginginkan informasi itu; barangkali dia telah bekerja keras selama berminggu-minggu menyiapkan momen ini. "Yah," kata Slughorn, tidak memandang Riddle, melainkan memainkan pita di atas kotak permen nanasnya, "yah, tak ada salahnya memberimu gambaran ikhtisar, tentu, hanya supaya kau memahami istilah ini. Horcrux adalah sebutan bagi benda yang digunakan orang untuk menyembunyikan sebagian jiwanya." "Tapi saya tak begitu mengerti bagaimana itu bisa dilakukan, Sir," kata Riddle. Kata-katanya terkontrol cermat, namun Harry bisa merasakan kegairahannya. "Oh, kau membelah jiwamu," kata Slughorn, "dan menyembunyikan belahannya dalam benda di luar tubuh. Kemudian, bahkan jika tubuh orang itu diserang atau dihancurkan, orang itu tak bisa mati, karena sebagian jiwanya tetap terikat kepada bumi dan utuh. Tetapi, tentu saja, eksistensi dalam bentuk seperti itu ... " Wajah Slughorn berkerut dan Harry jadi teringat kata-kata yang didengarnya hampir dua tahun sebelumnya. "Aku tercabik dari tubuhku, aku lebih rendah dari arwah, lebih rendah dari hantu yang paling hina ... tetapi aku masih hidup." "... hanya sedikit yang mau, Tom, sangat sedikit. Kematian masih lebih baik." Namun nafsu Riddle sekarang kentara sekali; ekspresinya tamak, dia tak bisa lagi menyembunyikan keinginannya. "Bagaimana Anda membelah jiwa Anda?" "Yah," kata Slughorn tak nyaman, "kau harus mengerti bahwa jiwa dimaksudkan untuk tetap lengkap dan utuh. Membaginya adalah tindakan pelanggaran, melawan kodrat alam." "Tetapi bagaimana Anda melakukannya?" "Dengan tindak kejahatan -- tindak kejahatan yang paling jahat. Dengan melakukan pembunuhan. Membunuh mencabik jiwa. Penyihir yang bermaksud menciptakan Horcrux akan menggunakan kerusakan ini untuk kepentingannya dia akan menyimpan cabikan" "Menyimpan? Tapi bagaimana?" "Ada mantranya, jangan tanya aku, aku tak tahu!" kata Slughorn, menggelengkan kepala seperti gajah tua yang terganggu nyamuk. "Apa aku tampak seperti pernah mencobanya apakah aku tampak seperti pembunuh?" "Tidak, Sir, tentu saja tidak," kata Riddle cepat-cepat. "Maaf ... saya tidak bermaksud menyinggung perasaan ... " "Sama sekali tidak, aku sama sekali tidak tersinggung," kata Slughorn tajam. "Wajar merasa penasaran tentang hal-hal begini ... para penyihir kaliber tertentu selalu tertarik pada aspek sihir ini ... " "Ya, Sir," kata Riddle. "Yang saya. tak paham adalah -hanya sekadar ingin tahu -- maksud saya, apakah satu Horcrux banyak gunanya? Apakah Anda hanya bisa membelah jiwa sekali? Tidakkah lebih baik, membuat Anda lebih kuat, jika jiwa Anda terbagi menjadi beberapa bagian? Maksud saya, misalnya, bukankah tujuh angka yang kekuatan sihirnya paling hebat, bukankah tujuh?" "Jenggot Merlin, Tom!" dengking Slughorn. "Tujuh! Bukankah sudah cukup mengerikan memikirkan membunuh satu orang? Lagi pula ... sudah mengerikan membelah jiwa menjadi dua ... tapi mencabik-cabiknya menjadi tujuh ... " Slughorn tampak sangat terganggu sekarang. Dia menatap Riddle seakan belum pernah melihatnya sejelas itu dan Harry bisa melihat dia menyesali masuk ke dalam percakapan ini. "Tentu saja," dia bergumam, "ini semua hanya hipotetis, apa yang kita bicarakan ini, kan? Semua hanya teori akademis " "Ya, Sir, tentu saja," kata Riddle cepat-cepat. "Meskipun demikian, Tom ... jangan beritahu siappun, apa yang kusampaikan -- maksudku, apa yang telah kita bicarakan. Orang tak akan suka memikirkan kita ngobrol tentang Horcrux. Ini topik terlarang di Hogwarts, kau tahu ... Dumbledore tegas sekali soal ini ... " "Saya tak akan bicara sepatah pun soal ini, Sir," kata Riddle dan dia pergi, tetapi tidak sebelum Harry melihat sekilas wajahnya, yang dipenuhi kebahagiaan liar seperti ketika dia pertama kali tahu bahwa dia ternyata penyihir, jenis kebahagiaan yang tidak membuat wajahnya semakin tampan, melainkan membuatnya, entah kenapa, semakin tidak manusiawi ... "Terima kasih, Harry," kata Dumbledore pelan. "Mari kita pergi ... " Ketika Harry mendarat kembali di lantai kantor, Dumbledore sudah duduk lagi di belakang mejanya. Harry juga duduk, dan menunggu Dumbledore bicara. "Aku sudah lama sekali mengharapkan bukti ini" kata Dumbledore akhirnya. "Ini mengonfirmasi teori yang sedang kususun, memberitahuku bahwa aku benar, dan juga bahwa masih banyak sekali yang harus dilakukan ... " Harry mendadak menyadari bahwa para mantan kepala sekolah dalam lukisan yang berjajar di dinding yang mengelilingi ruangan semuanya bangun dan mendengarkan pembicaraan mereka. Seorang penyihir gemuk berhidung merah malah mengeluarkan terompet-bantu-dengar. "Nah, Harry," kata Dumbledore, "aku yakin kau memahami arti penting apa yang baru saja kita dengar. Pada usia yang sama denganmu sekarang, berbeda kurang-lebih beberapa bulan, Tom Riddle sudah melakukan sebisanya untuk mencari tahu bagaimana membuat dirinya abadi." "Anda berpendapat dia berhasil kalau begitu, Sir?" tanya Harry. "Dia membuat Horcrux? Dan itukah sebabnya dia tidak mati ketika dia menyerang saya? Dia punya Horcrux yang disembunyikan di suatu tempat? Sebagian jiwanya aman?" "Sebagian ... atau beberapa," kata Dumbledore. "Kau mendengar Voldemort, apa yang khususnya diinginkannya dari Horace adalah pendapat tentang apa yang akan terjadi pada penyihir yang menciptakan lebih dari satu Horcrux, apa yang akan terjadi pada penyihir yang bertekad menghindari kematian sehingga dia bersedia membunuh berkali-kali, mencabik jiwanya berulang-ulang, sehingga bisa menyimpannya dalam banyak Horcrux yang disembunyikan secara terpisah. Tak ada buku yang akan memberinya informasi itu. Sejauh yang aku tahu sejauh, aku yakin, yang Voldemort tahu belum ada penyihir yang pernah melakukan lebih daripada mencabik jiwanya menjadi dua." Dumbledore berhenti sejenak, menyusun pikirannya, dan kemudian berkata, "Empat tahun yang lalu, aku menerima apa yang kuanggap sebagai bukti nyata bahwa Voldemort telah membelah jiwanya." "Di mana?" tanya Harry. "Bagaimana?" "Kau yang menyerahkannya kepadaku, Harry," kata Dumbledore. "Buku harian, buku harian Riddle, yang memberi instruksi bagaimana membuka Kamar Rahasia." "Saya tidak mengerti, Sir," kata Harry. "Meskipun aku tidak melihat si Riddle yang keluar dari buku harian itu, yang kau deskripsikan kepadaku adalah fenomena yang belum pernah kusaksikan. Kenangan yang mulai bertindak dan berpikir sendiri? Kenangan yang mengisap kehidupan dari gadis kecil yang terjatuh ke dalam tangannya? Tidak, sesuatu yang jauh lebih jahat hidup dalam buku itu ... kepingan jiwa, aku hampir pasti akan itu. Buku harian itu adalah Horcrux. Tetapi ini menimbulkan banyak pertanyaan, sebanyak pertanyaan yang terjawab olehnya. Yang paling menggugah minat dan menakutkanku adalah bahwa buku harian itu dimaksudkan sebagai senjata sekaligus perlindungan." "Saya masih tidak mengerti," kata Harry. "Buku harian itu berfungsi sebagaimana Horcrux seharusnya berfungsi dengan kata lain, kepingan jiwa yang disembunyikan di dalamnya tersimpan aman dan niscaya telah memainkan perannya dalam mencegah kematian pemiliknya. Tetapi tak diragukan lagi bahwa Riddle betul-betul ingin buku harian itu dibaca, ingin kepingan jiwanya mendiami atau menguasai orang lain, sehingga monster Slytherin akan terlepas lagi." "Yah, dia tak ingin kerja kerasnya sia-sia," kata Harry. "Dia ingin orang-orang tahu dia pewaris Slytherin, karena dia tak bisa mengakuinya saat itu." "Ada betulnya," kata Dumbledore, mengangguk. "Tetapi tidakkah kau lihat, Harry, bahwa jika dia bermaksud buku harian itu diberikan, atau dipasang, untuk murid Hogwarts di masa mendatang, dia sungguh teledor akan kepingan jiwa amat berharga yang disembunyikan di dalamnya. Tujuan Horcrux adalah, seperti dijelaskan Profesor Slughorn, untuk menyimpan sebagian dari diri tersembunyi dan aman, bukan untuk dilemparkan kepada orang lain dan menghadapi risiko orang itu menghancurkannya seperti yang betul-betul terjadi kepingan jiwa yang itu sudah tak ada lagi kau telah membinasakannya. "Sikap ceroboh Voldemort terhadap Horcrux itulah yang paling membuatku cemas. Itu menunjukkan bahwa dia pastilah telah membuat atau merencanakan membuat lebih banyak Horcrux, sehingga kehilangan Horcrux-nya yang pertama tidak akan terlalu mengganggu. Aku tak ingin memercayainya, tetapi tak ada penjelasan lain yang bisa masuk akal." "Kemudian kau memberitahuku, dua tahun sesudah itu, bahwa pada malam Voldemort kembali ke tubuhnya, dia membuat pernyataan yang paling menjelaskan dan paling menakutkan kepada para Pelahap Maut-nya. 'Aku, yang telah menapaki jalan menuju keabadian lebih jauh daripada siapa pun.' Itulah yang kau sampaikan kepadaku dikatakannya. 'Lebih jauh daripada siapa pun.' Dan kupikir aku tahu apa maksudnya itu, meskipun para Pelahap Maut tidak. Dia mengacu kepada Horcrux-Horcrux-nya. Horcrux-Horcrux, bentuk jamak, Harry, yang aku yakin tak ada penyihir lain pernah memilikinya. Tetapi ini cocok. Lord Voldemort tampak semakin tidak manusiawi bersama berlalunya waktu, dan transformasi yang dialaminya bagiku hanya bisa dijelaskan jika jiwanya dimutilasi jauh melampaui batas-batas apa yang bisa kita sebut kejahatan yang biasa ... " "Jadi, dia membuat dirinya tak mungkin dibunuh dengan membunuh orang-orang?" kata Harry. "Kenapa dia tidak membuat saja Batu Bertuah, atau mencurinya, kalau dia begitu ingin hidup selamanya?" "Nah, kita tahu dia mencoba melakukan itu, lima tahun lalu," kata Dumbledore. "Tetapi ada beberapa alasan kenapa, menurutku, Batu Bertuah kurang menarik dibanding Horcrux bagi Lord Voldemort." "Sementara Cairan Kehidupan memang memperpanjang hidup, eliksir ini harus diminum secara teratur, sepanjang waktu, jika peminumnya ingin menjamin keabadiannya. Karena itu, Voldemort akan tergantung sepenuhnya pada Cairan Kehidupan ini, dan jika dia kehabisan, atau eliksir ini terkontaminasi, atau jika Batu-nya dicuri, dia akan mati seperti orang lain. Voldemort senang bertindak sendiri, ingat. Aku percaya bahwa baginya, pikiran bahwa dia tergantung, bahkan pada Cairan Kehidupan itu, tak bisa ditoleransi. Tentu saja dia bersedia meminumnya jika eliksir itu bisa membebaskannya dari keadaan mengerikan setengah-hidup seperti nasib yang dialaminya setelah dia menyerangmu, namun hanya sekadar untuk mendapatkan kembali tubuhnya. Setelah itu, aku yakin, dia bermaksud melanjutkan bergantung pada Horcrux-Horcrux-nya dia tidak akan memerlukan apa-apa lagi, kalau saja dia sudah mendapatkan kembali sosok manusianya. Dia sudah tak bisa mati, soalnya ... atau sedekat mungkin pada keabadian yang bisa dicapai manusia." "Tetapi sekarang, Harry, dipersenjatai dengan informasi ini, kenangan penting yang telah berhasil kau peroleh untuk kita, kita lebih dekat ke rahasia bagaimana menghabisi Lord Voldemort daripada yang pernah dicapai orang lain sebelumnya. Kau mendengarnya, Harry, 'Tidakkah lebih baik, membuat Anda lebih kuat, jika jiwa Anda terbagi menjadi beberapa bagian... bukankah tujuh angka yang kekuatan sihirnya paling hebat... ' Bukankah tujuh angka yang kekuatan sihirnya paling hebat. Ya, kurasa ide jiwa terbelah-tujuh akan sangat menarik bagi Lord Voldemort." "Dia membuat tujuh Horcrux?" kata Harry, dilanda kengerian, sementara beberapa lukisan di dinding membuat celetukan serupa, yang mengutarakan shock dan kemarahan. "Tetapi Horcrux-Horcrux itu bisa di mana saja di dunia, tersembunyi-dikubur atau tak tampak-" "Aku senang melihatmu mengapresiasi besarnya problem kita," kata Dumbledore kalem. "Tapi pertama-tama, tidak, Harry, bukan tujuh Horcrux, enam. Bagian ketujuh jiwanya, betapapun rusaknya, tinggal di dalam tubuh-regenerasinya. Itu bagian yang hidup sebagai spektrum bertahun-tahun selama dia dalam pengasingan; tanpa itu, dia tak punya diri sama sekali. Bagian ketujuh jiwa itu akan jadi yang terakhir yang harus diserang siapa pun yang ingin membunuh Voldemort bagian yang hidup di dalam tubuhnya." "Tetapi keenam Horcrux lainnya, kalau begitu," kata Harry, sedikit putus asa, "bagaimana kita bisa menemukannya?" "Kau lupa ... kau sudah menghancurkan salah satunya. Dan aku sudah menghancurkan satu." "Anda sudah menghancurkan satu?" tanya Harry bersemangat. "Ya betul," kata Dumbledore, dan dia mengangkat tangannya yang hitam seperti terbakar. "Cincin itu, Harry, cincin Marvolo. Dan ada kutukan sangat mengerikan di cincin itu juga. Seandainya saja bukan maafkan kalau kedengarannya tidak rendah hati berkat kemampuanku yang luar biasa dan tindakan Profesor Snape yang tepat pada waktunya ketika aku kembali ke Hogwarts, terluka parah, aku mungkin tak lagi hidup untuk menuturkan kisah ini. Meskipun demikian, tangan yang kisut rasanya pertukaran yang layak untuk sepertujuh jiwa Lord Voldemort. Cincin itu sudah bukan lagi Horcrux." "Tetapi bagaimana Anda menemukannya?" "Seperti yang sekarang kau ketahui, sudah selama bertahun-tahun aku membiasakan diri menemukan sebanyak yang aku bisa tentang kehidupan Voldemort di masa lalu. Aku banyak bepergian, mengunjungi tempat-tempat yang pernah dikenalnya. Aku menemukan cincin ini secara kebetulan tersembunyi di reruntuhan pondok keluarga Gaunt. Rupanya begitu Voldemort sudah berhasil menyegel sebagian jiwanya di dalamnya, dia tak ingin memakainya lagi. Dia menyembunyikannya, diproteksi oleh banyak mantra yang kuat, dalam pondok yang pernah ditinggali leluhurnya (Morfin sudah diangkut ke Azkaban, tentu), tak pernah menduga bahwa aku mungkin suatu hari akan bersusah payah mengunjungi reruntuhannya, atau bahwa aku mungkin mengawasi jejak-jejak penyembunyian secara sihir." "Meskipun demikian, kita tak boleh terlalu bergirang hati memberi selamat kepada diri sendiri. Kau menghancurkan buku harian dan aku menghancurkan cincin, tetapi kalau kita benar dalam teori kita tentang jiwa terbelah-tujuh, masih ada empat Horcrux yang tinggal." "Dan mereka bisa apa saja?" kata Harry. "Mereka bisa kaleng tua, atau, saya tak tahu, botol ramuan kosong ...?" "Kau memikirkan Portkey, Harry, yang memang harus berupa benda-benda biasa, yang mudah terabaikan. Tetapi Lord Voldemort menggunakan kaleng atau botol ramuan tua untuk menyimpan jiwanya yang berharga? Kau melupakan apa yang sudah kuperlihatkan kepadamti. Lord Voldemort senang mengoleksi benda yang ada kenangannya, dan dia lebih suka benda-benda dengan sejarah sihir yang hebat. Kebanggaannya, kepercayaannya pada superioritasnya, tekadnya untuk mengukir bagi dirinya tempat yang mengejutkan di dalam sejarah sihir; hal-hal ini memberitahuku bahwa Voldemort akan memilih Horcrux-Horcruxnya dengan hati-hati, memilih benda-benda yang layak mendapat kehormatan ini." "Buku harian itu tidak seistimewa itu." "Buku harian itu, seperti tadi kau katakan sendiri, adalah bukti bahwa dia pewaris Slytherin; aku yakin Voldemort menganggapnya luar biasa penting." "Jadi, Horcrux yang lain?" kata Harry. "Apakah menurut Anda, Anda tahu mereka berbentuk apa, Sir?" "Aku hanya bisa menduga-duga," kata Dumbledore. "Untuk alasan yang telah kuberikan, aku yakin Lord Voldemort akan lebih menyukai benda-benda yang memiliki kehebatan sendiri. Karena itu aku telah menelusuri masa lalu Voldemort untuk melihat kalaukalau aku bisa menemukan bukti-bukti bahwa benda-benda berharga semacam itu telah menghilang di sekitarnya." "Kalung itu!" seru Harry keras. "Piala Huflepuff!" "Ya," kata Dumbledore, tersenyum, "aku akan bersedia mempertaruhkan-barangkali bukan tanganku yang satunya tapi beberapa jariku, bahwa keduanya menjadi Horcrux nomor tiga dan empat. Dua lainnya, mengasumsikan lagi bahwa dia menciptakan enam Horcrux, lebih sulit diduga, tetapi aku akan coba-coba menebak bahwa, setelah berhasil mendapatkan benda-benda dari Hufflepuff dan Slytherin, dia mulai mencari benda-benda yang dimiliki oleh Gryffindor atau Ravenclaw. Empat benda dari empat pendiri akan, aku yakin, menjadi daya tarik luar biasa bagi imajinasi Voldemort. Aku tak bisa menjawab apakah dia berhasil menemukan sesuatu milik Ravenclaw. Meskipun demikian aku yakin bahwa satu-satunya peninggalan Gryffindor masih aman." Dumbledore mengacungkan jari-jarinya yang menghitam ke dinding di belakangnya, tempat sebilah pedang bertatahkan batu delima tersimpan dalam lemari kaca. "Apakah menurut Anda itulah sebabnya dia ingin betul kembali ke Hogwarts, Sir?" tanya Harry. "Untuk mencoba mencari sesuatu dari salah satu pendiri yang lain?" "Persis begitulah dugaanku, kata Dumbledore. "Tetapi sayangnya, itu tidak membuat kita lebih maju, karena dia ditolak, atau begitulah yang kukira, tanpa kesempatan menggeledah sekolah. Aku terpaksa menyimpulkan bahwa dia tak pernah berhasil memenuhi ambisinya mengoleksi empat benda milik empat pendiri. Dia jelas memiliki dua dia mungkin menemukan tiga itu yang terbaik yang bisa kita lakukan sekarang." "Bahkan kalau dia mendapatkan sesuatu milik Ravenclaw atau Gryffindor, masih ada Horcrux keenam" kata Harry, menghitung dengan jari-jarinya "Kecuali dia mendapatkan dua-duanya?" "Kukira tidak," kata Dumbledore. "Kupikir aku tahu apa Horcrux yang keenam. Aku ingin tahu apa yang akan kau katakan kalau kuakui aku sudah agak lama penasaran tentang tingkah laku si ular, Nagini?" "Ular itu?" kata Harry, tercengang. "Binatang bisa digunakan sebagai Horcrux?" "Yah, tidak disarankan untuk melakukannya," kata Dumbledore, "karena memercayakan sebagian jiwamu kepada sesuatu yang bisa berpikir dan berjalan sendiri jelas sekali hal yang sangat berisiko. Meskipun demikian, jika kalkulasiku betul, Voldemort paling tidak masih kurang satu Horcrux dari targetnya yang enam ketika dia memasuki rumah orangtuamu dengan tujuan membunuhmu." "Dia tampaknya mencadangkan proses pembuatan Horcrux teristimewa untuk kematian-kematian yang punya arti penting. Kau jelas termasuk kategori itu. Dia percaya bahwa dengan membunuhmu, dia memusnahkan bahaya yang telah digariskan ramalan. Dia percaya dia sedang membuat dirinya tak terkalahkan. Aku yakin dia bermaksud membuat Horcrux terakhirnya dengan kematianmu." "Seperti yang kita tahu, dia gagal. Meskipun demikian, setelah jeda beberapa tahun, dia menggunakan Nagini untuk membunuh Muggle laki-laki tua, dan kemungkinan saat itulah terpikir olehnya untuk menggunakan ular betina ini sebagai Horcrux terakhirnya. Nagini menekankan hubungannya dengan Slytherin, dengan demikian mempertinggi mistik Lord Voldernort. Kukira dia barangkali menyukai ular itu lebih dari apa pun; dia jelas senang menahan Nagini berada di dekatnya dan dia tampaknya memiliki kendali luar biasa atas ular itu, bahkan bagi seorang Parselmouth." "Jadi," kata Harry, "buku harian sudah tak ada, cincin sudah tak ada. Piala, kalung, dan ular masih utuh dan Anda berpendapat mungkin ada Horcrux yang dulunya benda milik Ravenclaw atau Gryffindor?" "Ringkasan mengagumkan, singkat dan akurat, ya," kata Dumbledore, menundukkan kepalanya. "Jadi ... apakah Anda masih mencarinya, Sir? Ke tempat-tempat itukah Anda pergi jika Anda meninggalkan sekolah?" "Betul," kata Dumbledore. "Aku sudah lama sekali mencari. Kurasa ... barangkali ... aku sudah hampir menemukan satu lagi. Ada tanda-tanda yang memberi harapan." "Dan jika Anda menemukannya," kata Harry cepat-cepat, "bolehkah saya ikut dengan Anda dan membantu menyingkirkannya?" Dumbledore memandang Harry lekat-lekat selama beberapa saat sebelum menjawab, "Ya, kukira begitu." "Saya boleh ikut?" kata Harry, terperangah. "Oh, ya," kata Dumbledore, tersenyum kecil. "Kurasa kau layak mendapatkan hak itu." Harry merasa semangatnya bangkit. Senang sekali tidak mendengar kata-kata agar berhati-hati dan melindungi diri, paling tidak kali itu. Para kepala sekolah di sekeliling dinding tampaknya tak begitu setuju dengan keputusan Dumbledore. Harry melihat beberapa di antaranya menggelengkan kepala dan Phineas Nigellus malah mendengus. "Apakah Voldemort tahu kalau ada Horcrux-nya yang dihancurkan, Sir? Apakah dia merasakannya?" Harry bertanya, tidak mengindahkan lukisan-lukisan itu. "Pertanyaan yang sangat menarik, Harry. Menurutku tidak. Menurutku Voldemort sekarang sangat terbenam dalam kejahatan, dan bagian-bagian penting dirinya ini sudah terpisah darinya sangat lama, dia tidak lagi merasa seperti kita. Barangkali, saat maut menjelang, dia mungkin menyadari kehilangannya ... tetapi dia tidak sadar, misalnya, bahwa buku harian itu telah dihancurkan sampai dia memaksa Lucius Malfoy mengatakan yang sebenarnya. Ketika Voldemort tahu buku harian itu telah dimutilasi dan semua kekuatannya hilang, aku diberitahu bahwa kemarahannya sangatlah mengerikan." "Tapi saya sangka dia memaksudkan Lucius Malfoy menyelundupkan buku itu ke Hogwarts?" "Memang, bertahun-tahun yang lalu, ketika dia yakin dia akan bisa menciptakan lebih banyak lagi Horcrux, tetapi tetap saja Lucius harus menunggu Voldemort memerintahkannya demikian, dan Lucius tak pernah menerima perintah itu, karena Voldemort menghilang tak lama setelah memberikan buku harian itu kepadanya. Tak diragukan lagi dia mengira Lucius tidak akan berani melakukan apa pun dengan Horcrux itu kecuali menjaganya dengan hati-hati, tetapi dia terlalu mengandalkan ketakutan Lucius terhadap tuan yang telah pergi selama bertahun-tahun dan yang Lucius percaya telah mati. Tentu saja Lucius tidak tahu apa sebenarnya buku harian itu. Setahuku Voldemort memberitahunya bahwa buku harian itu akan menyebabkan Kamar Rahasia terbuka lagi, karena buku itu sudah dimantrai dengan hebat. Seandainya Lucius tahu sebagian jiwa tuannya ada di tangannya, niscaya dia akan memperlakukan buku itu dengan lebih hormat-namun alih-alih begitu dia melaksanakan rencana yang akan menguntungkannya sendiri dengan memasang buku itu agar ditemukan anak perempuan Arthur Weasley, dia berharap mendiskreditkan Arthur, membuatku dikeluarkan dari Hogwarts, dan sekaligus menyingkirkan benda yang sangat memberatkan. Ah, kasihan Lucius ... menghadapi kemarahan Voldemort atas fakta bahwa dia membuang Horcrux itu untuk kepentingannya sendiri, dan kegagalan total di Kementerian tahun lalu, aku tak akan heran kalau diam-diam dia senang aman berada di Azkaban saat ini." Harry duduk berpikir selama beberapa waktu, kemudian bertanya, "Jadi, jika semua Horcrux-nya dihancurkan, Voldemort bisa dibunuh?" "Ya, kukira begitu," kata Dumbledore. "Tanpa Horcrux-Horcrux-nya, Voldemort hanyalah manusia fana dengan jiwa yang sudah cacat dan berkurang. Jangan pernah lupa, tapi, bahwa sementara jiwanya cacat tak mungkin diperbaiki lagi, otaknya dan kemampuan sihirnya tetap utuh. Perlu kecakapan dan kekuatan luar biasa untuk membunuh penyihir seperti Voldemort, bahkan tanpa Horcrux-Horcrux-nya." "Tetapi saya tidak memiliki kecakapan dan kekuatan luar biasa," kata Harry, sebelum bisa menahan diri. "Ya, kau memilikinya," kata Dumbledore tegas. "Kau memiliki kekuatan yang tak pernah dimiliki Voldemort. Kau bisa" "Saya tahu!" kata Harry kehilangan kesabaran. "Saya bisa mencintai!" Hanya dengan susah payah dia berhasil menahan diri untuk tidak menambahkan, "Hebat sekali!" "Ya, Harry, kau bisa mencintai," kata Dumbledore, yang tampaknya tahu betul apa yang tidak jadi dikatakan Harry. "Yang, mengingat apa yang telah terjadi padamu, adalah hal yang hebat dan luar biasa. Kau masih terlalu muda untuk memahami betapa luar biasanya kau, Harry." "Jadi, ketika ramalan mengatakan bahwa saya akan mempunyai 'kekuatan yang tidak diketahui Pangeran Kegelapan', yang dimaksud hanya cinta?" tanya Harry, merasa sedikit kecewa. "Ya hanya cinta," kata Dumbledore. "Tetapi, Harry, jangan pernah lupa bahwa apa yang dikatakan ramalan menjadi berarti hanya karena Voldemort membuatnya demikian. Sudah kukatakan ini kepadamu pada akhir tahun ajaran lalu. Voldemort memilihmu sebagai orang yang akan paling berbahaya baginya dan dengan berbuat demikian, dia membuatmu menjadi orang yang akan paling berbahaya baginya!" "Tetapi ujung-ujungnya sama" "Tidak, tidak sama!" kata Dumbledore, kedengaran tidak sabar sekarang. Menunjuk Harry dengan tangannya yang kehitaman dan kisut, dia berkata, "Kau terlalu menghargai ramalan itu!" "Tetapi," kata Harry gugup, "tetapi Anda mengatakan ramalan itu berarti-" "Jika Voldemort belum pernah mendengar tentang ramalan itu, apakah ramalan itu akan terjadi? Apakah ramalan itu akan berarti sesuatu? Tentu saja tidak! Apakah menurutmu semua ramalan di dalam Ruang Ramalan itu sudah terjadi?" "Tetapi," kata Harry bingung, "tetapi tahun lalu Anda mengatakan salah satu dari kami harus membunuh yang lain" "Harry, Harry, hanya karena Voldemort membuat kesalahan besar dan bertindak melaksanakan kata-kata Profesor Trelawney! Jika Voldemort tidak pernah membunuh ayahmu, apakah dia akan menanamkan dalam dirimu keinginan besar untuk membalas dendam? Tentu saja tidak! Jika dia tidak membuat ibumu terpaksa meninggal demi kau, apakah dia akan memberimu proteksi sihir yang tidak bisa ditembusnya? Tentu saja tidak, Harry! Tidakkah kau paham? Voldemort sendiri yang menciptakan musuhnya yang paling besar, seperti halnya yang dilakukan semua tiran di mana pun! Apakah kau menyadari betapa takutnya para tiran terhadap rakyat yang mereka tindas? Semuanya menyadari bahwa, suatu hari, di antara banyak korban mereka, pasti akan ada satu yang bangkit melawan mereka! Voldemort tidak berbeda! Dia selalu berjaga-jaga terhadap munculnya orang yang akan menantangnya. Dia mendengar ramalan itu dan dia langsung beraksi, dengan akibat dia tidak hanya memilih sendiri orang yang paling mungkin akan menghabisinya, dia juga memberinya senjata unik yang mematikan!" "Tapi-" "Penting bagimu memahami ini!" kata Dumbledore, bangkit berdiri dan berjalan hilir-mudik di dalam ruangan, jubahnya yang berkelap-kelip melambai di belakangnya. Harry belum pernah melihatnya segelisah itu. "Dengan berusaha membunuhmu, Voldemort sendiri yang memilih orang luar biasa yang duduk di depanku, dan memberinya sarana untuk melakukan pekerjaan itu! Kesalahan Voldemort-lah bahwa kau bisa melihat apa yang dipikirkannya, ambisinya, bahwa kau bahkan menguasai bahasa ular yang digunakannya untuk memberi perintah, dan meskipun demikian, Harry, kendati kau memiliki privelese untuk masuk ke dalam dunia Voldemort (asal kau tahu saja, semua Pelahap Maut akan bersedia membunuh untuk memiliki kemampuan ini), kau belum pernah terpikat oleh Ilmu Hitam, tak pernah, bahkan sedetik pun tidak, memperlihatkan keinginan sekecil apa pun untuk menjadi pengikut Voldemort!" "Tentu saja tidak!" kata Harry naik darah. "Dia membunuh ibu dan ayah saya!" "Kau dilindungi, singkatnya, oleh kemampuanmu untuk mencintai!" kata Dumbledore keras. "Satu-satunya proteksi yang mungkin manjur melawan daya tarik kekuatan seperti kekuatan Voldemort! Kendati kau telah mengalami banyak godaan, banyak penderitaan, hatimu tetap murni, sama murninya seperti saat kau berusia sebelas tahun, ketika kau memandang cermin yang merefleksikan hasrat hatimu yang paling mendalam, dan cermin itu hanya memperlihatkan kepadamu cara untuk menghalangi Voldemort, dan bukan keabadian atau kekayaan. Harry, sadarkah kau betapa sedikitnya penyihir yang bisa melihat apa yang kau lihat di cermin itu? Voldemort mestinya tahu saat itu dengan orang seperti apa dia berhadapan, tetapi dia tidak tahu itu!" "Tetapi sekarang dia tahu. Kau telah masuk ke dalam pikiran Voldemort tanpa mencederai dirimu, namun dia tidak bisa menguasaimu tanpa mengalami penderitaan yang luar biasa, seperti yang dialaminya di Kementerian. Menurutku dia tidak mengerti kenapa, Harry, tetapi dia sangat terburu-buru mau memutilasi jiwanya sendiri, dia tak pernah berhenti untuk memahami kekuatan tak tertandingi jiwa yang tak bernoda dan utuh." "Tetapi, Sir," kata Harry, berusaha keras agar tidak terdengar mendebat, "semuanya ujung-ujungnya sama, kan? Saya harus mencoba dan membunuhnya, kalau tidak-" "Harus?" kata Dumbledore. "Tentu saja kau harus! Tetapi bukan karena ramalan! Karena kau, kau sendiri, tak akan pernah tenang sampai kau mencobanya! Kita berdua tahu itu! Bayangkan, tolong, sebentar saja, bahwa kau belum pernah mendengar ramalan itu! Bagaimana perasaanmu terhadap Voldemort sekarang? Pikirkan!" Harry mengawasi Dumbledore hilir-mudik di depannya, dan berpikir. Dia memikirkan ibunya, ayahnya, dan Sirius. Dia memikirkan Cedric Diggory. Dia memikirkan semua perbuatan mengerikan yang dia tahu telah dilakukan Voldemort. Rasanya ada lidah api yang berkobar di dalam dadanya, membakar tenggorokannya. "Saya ingin dia dihabisi," kata Harry pelan. "Dan saya ingin melakukannya." "Tentu saja!" seru Dumbledore. "Kau lihat, ramalan itu tidak berarti kau harus melakukan apa pun! Tetapi ramalan itu menyebabkan Lord Voldemort menandaimu sebagai tandingannya ... dengan kata lain, kau bebas memilih jalanmu, cukup bebas untuk tidak mengindahkan ramalan! Tetapi Voldemort tetap saja memercayai ramalan itu. Dia akan terus memburumu ... ini akan betul-betul memastikan, bahwa-" "Bahwa salah satu dari kami pada akhirnya akan membunuh yang lain," kata Harry. "Ya." Namun Harry mengerti akhirnya apa yang selama ini berusaha disampaikan Dumbledore kepadanya. Inilah, dia membatin, beda antara diseret ke dalam arena untuk menghadapi pertempuran hidup-mati dan berjalan ke dalam arena dengan kepala tegak. Beberapa orang, mungkin, akan mengatakan cuma sedikit beda antara keduanya, namun Dumbledore tahu dan aku juga tahu, pikir Harry, dengan luapan kebanggaan, dan begitu juga orangtuaku bahwa ada perbedaan yang besar sekali di antara keduanya. 24. SECTUMSEMPRA Sangat letih, namun senang dengan hasil kerja semalam, Harry menceritakan kepada Ron dan Hermione segalanya yang terjadi selama pelajaran Mantra paginya (setelah lebih dulu memantrai mereka yang duduk paling dekat mereka dengan mantra Muffliato). Mereka berdua sangat terkesan oleh caranya memancing kenangan dari Slughorn dan benar-benar terpana ketika Harry memberitahu mereka tentang Horcrux-Horcrux Voldemort dan janji Dumbledore untuk mengajak Harry, jika dia menemukan Horcrux lagi. "Wow," kata Ron, setelah akhirnya Harry selesai menuturkan segalanya. Ron melambai-lambaikan tongkat sihirnya asal-asalan ke arah langit-langit tanpa sedikit pun menyadari apa yang sedang dilakukannya. "Wow. Kau benar-benar akan pergi dengan Dumbledore ... dan mencoba menghancurkan ... wow" "Ron, kau membuat salju turun," kata Hermione sabar, menangkap pergelangan tangan Ron dan menjauhkan tongkatnya dari langit-langit, dari mana, betul saja, salju besar-besar mulai turun. Lavender Brown, Harry melihat, mendelik kepada Hermione dari meja sebelah dengan mata sangat merah, dan Hermione langsung melepas tangan Ron. "Oh yeah," kata Ron, memandang bahunya dengan keheranan. "Sori ... jadinya kita semua seperti ketombean sekarang ... " Dia menyapu salju palsu itu dari bahu Hermione. Air mata Lavender langsung bercucuran. Ron tampak sangat bersalah dan memunggunginya. "Kami putus," dia memberitahu Harry dari sudut mulutnya. "Semalam. Ketika dia melihatku keluar kamar dengan Hermione. Dia kan tidak bisa melihatmu, jadi dia mengira kami hanya berdua." "Ah," kata Harry. "Nah kau tidak menyesal hubungan kalian berakhir, kan?" "Tidak," Ron mengaku. "Parah juga waktu dia teriak-teriak, tapi paling tidak bukan aku yang mengakhirinya." "Pengecut," kata Hermione, meskipun dia tampak geli. "Yah, rupanya semalam memang malam sial untuk roman. Ginny dan Dean juga putus, Harry." Harry merasa Hermione memandangnya penuh arti ketika memberitahukan itu, namun mana mungkin dia bisa tahu bahwa organ-organ dalam tubuhnya mendadak menari-nari. Berusaha sebisanya agar wajahnya tanpa ekspresi dan suaranya tidak peduli, dia bertanya, "Kok bisa putus?" "Oh, gara-gara sesuatu yang betul-betul konyol ... Ginny bilang Dean selalu berusaha membantunya masuk lubang lukisan, seakan dia tak bisa masuk sendiri ... tapi sudah lama hubungan mereka tak terlalu mulus." Harry mengerling Dean di sisi lain kelas. Dean memang tampak murung. "Tentu saja ini membuatmu jadi sedikit berdilema, ya?" kata Hermione. "Apa maksudmu?" kata Harry cepat-cepat. "Tim Quidditch," kata Hermione. "Kalau Ginny dan Dean diam-diaman ... " "Oh-oh yeah," kata Harry. "Flitwick," kata Ron dengan nada memperingatkan. Guru Mantra yang mungil , berjalan ke arah mereka dan Hermione-lah satu-satunya yang telah berhasil mengubah cuka menjadi anggur. Botol kacanya dipenuhi cairan berwarna merah tua, sementara isi botol Harry dan Ron masih cokelat kelam. "Nah, anak-anak," tegur Profesor Flitwick. "Sedikit bicara, banyak bekerja ... coba kulihat kalian mencoba ... " Bersama-sama mereka mengangkat tongkat sihir, berkonsentrasi sekuat tenaga, dan mengacungkan tongkat ke botol masing-masing. Cuka Harry berubah menjadi es; botol Ron meledak. "Ya ... untuk PR ..." kata Profesor Flitwick, muncul dari bawah meja dan mencabuti serpihan kaca dari atas topinya, "latihan." Mereka sama-sama bebas setelah Mantra--salah satu dari jam bebas-bersamaan yang jarang terjadidan berjalan kembali ke ruang rekreasi bersama-sama. Ron tampaknya senang-senang saja putus dengan Lavender dan Hermione juga tampak ceria, meskipun ketika ditanya kenapa dia tersenyum-senyum, Hermione cuma berkata, "Hari yang cerah." Tak seorang pun dari mereka tampaknya menyadari bahwa peperangan hebat sedang berkecamuk dalam pikiran Harry. Dia adik Ron. Tapi dia sudah menyingkirkan Dean. Dia tetap saja masih adik Ron. Aku sahabat karibnya! Itu membuat keadaan makin parah. Kalau aku bicara dulu dengan Ron. Dia akan memukulmu. Bagaimana kalau aku tidak peduli? Dia kan sahabat karibmu! Harry nyaris tak menyadari mereka memanjat masuk lewat lubang lukisan ke dalam ruang rekreasi yang cerah disinari cahaya matahari, dan hanya samar-samar melihat sekelompok kecil anak-anak kelas tujuh berkerumun di sana, sampai Hermione berseru, "Katie! Kau pulang! Kau sudah sembuh?" Harry terbelalak. Ternyata benar-benar Katie Bell, tampak sehat walafiat dan dikerumuni teman-temannya yang sangat gembira. "Aku sudah sehat betul!" katanya hang. "Mereka mengizinkanku pulang dari St Mungo hari Senin. Aku tinggal di rumah selama beberapa hari dengan Mum dan Dad, dan kemudian kembali ke sini pagi ini. Leanne baru saja menceritakan tentang McLaggen dan pertandingan terakhir, Harry ... " "Yeah," kata Harry, "nah, sekarang kau sudah kembali dan Ron sudah sehat, kita akan punya kesempatan baik untuk mengalahkan Ravenclaw, yang berarti masih ada harapan bagi kita untuk mendapatkan Piala. Dengar, Katie ..." Dia harus segera mengajukan pertanyaan ini kepada Katie; keingintahuannya bahkan membuat Ginny untuk sementara terlupakan. Dia merendahkan suaranya ketika teman-teman Katie mulai mengemasi barang-barang mereka, rupanya mereka sudah terlambat untuk kelas Transfigurasi. "... kalung itu ... bisakah sekarang kau ingat siapa yang memberikannya kepadamu?" "Tidak," kata Katie, menggelengkan kepalanya dengan menyesal. "Semua orang menanyaiku, tapi aku sama sekali tak tahu. Hal terakhir yang kuingat adalah berjalan ke dalam toilet perempuan di Three Broom sticks." "Kau betul-betul masuk ke toilet, kalau begitu?" kata Hermione. "Yah, aku tahu aku mendorong pintunya sampai terbuka," kata Katie, "jadi, kuduga siapa pun yang meng-Imperius-ku berdiri di balik pintu. Setelah itu memoriku kosong, sampai kira-kira dua minggu lalu di St Mungo. Eh, Harry, sebaiknya aku pergi, McGonagall pasti tega menghukumku menulis kalimat sekalipun ini hari pertamaku masuk lagi ... " Katie mengambil tas dan buku-bukunya, lalu bergegas menyusul teman-temannya, meninggalkan Harry, Ron, dan Hermione duduk di meja dekat jendela dan merenungkan apa yang telah disampaikannya. "Jadi, pastilah cewek atau ibu-ibu yang memberikan kalung itu kepada Katie," kata Hermione, "soalnya dia di dalam toilet cewek" "Atau orang yang kelihatannya seperti cewek atau ibu-ibu," kata Harry. "Jangan lupa ada sekuali penuh Polijus di Hogdwarts. Kita tahu sebagian sudah dicuri ..." Di dalam benaknya Harry menyaksikan parade berbagai versi Crabbe dan Goyle berjingkrakan lewat, semuanya dalam transformasi sebagai cewek. "Kupikir aku akan minum Felix lagi," kata Harry, "dan mencoba masuk Kamar Kebutuhan lagi." "Itu berarti kau membuang-buang ramuan," kata Hermione tegas, sambil meletakkan buku Susunan Suku-kata Spellman yang baru saja dikeluarkannya dari dalam tasnya. "Keberuntungan hanya bisa membawamu sejauh itu, Harry. Situasi dengan Slughorn berbeda, kau memang selalu bisa membujuknya, kau hanya perlu mengubah sedikit keadaan. Tetapi keberuntungan tidak akan cukup untuk menembus sihir yang kuat. Jangan membuang-buang sisa ramuan itu! Kau akan memerlukan seluruh keberuntungan yang bisa kaudapat jika Dumbledore mengajakmu bersamanya ... " Dia merendahkan suaranya sampai menjadi bisikan. "Apa kita tidak bisa membuatnya?" Ron menanyai Harry, mengabaikan Hermione. "Kan asyik kalau punya stok Felix ... coba lihat dalam bukumu ... " Harry mengeluarkan buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut-nya dari tas dan membuka halaman Felix Felicis. "Astaga, rumit benar," katanya, membaca daftar bahan yang diperlukan. "Dan perlu enam bulan ... kau harus merebusnya pelan-pelan ... " "Khas begitu," kata Ron. Harry sudah akan menaruh bukunya lagi ketika dia melihat ujung halaman yang terlipat. Dia membuka halaman itu dan dilihatnya mantra Sectumsempra, yang dijuduli 'Untuk Musuh', yang telah ditandainya beberapa minggu sebelumnya. Dia masih belum tahu apa yang dilakukan mantra itu, terutama karena dia tak ingin mencobanya di dekat Hermione, namun dia mempertimbangkan untuk mencobanya pada McLaggen lain kali, kalau dia berada di belakangnya tanpa disadari McLaggen. Satu-satunya orang yang tidak begitu senang melihat Katie Bell kembali ke sekolah adalah Dean Thomas, karena dia tak lagi diperlukan untuk menggantikannya sebagai Chaser. Dia menerima pukulan ini dengan cukup tenang, hanya mendengus dan mengangkat bahu, namun Harry merasa, ketika dia menjauh, bahwa Dean dan Seamus mengomel di belakangnya. Selama dua minggu sesudahnya, latihan-latihan Quidditch mereka adalah latihan terbaik yang pernah disaksikan Harry selama dia menjadi Kapten. Timnya sangat senang McLaggen sudah tersingkir, gembira Katie akhirnya kembali, sehingga mereka terbang bukan main baiknya. Ginny sama sekali. tak tampak sedih putus dari Dean. Sebaliknya malah, dia jadi motor penggembira timnya. Dia menirukan Ron yang terbang naik-turun dengan cemas di depan tiang-tiang gawang ketika Quaffle meluncur ke arahnya, atau menirukan Harry meneriakkan perintah-perintah kepada McLaggen sebelum pingsan terpukul, membuat mereka semua sangat terhibur. Harry, tertawa bersama yang lain, senang punya alasan sah untuk memandang Ginny. Dia sudah beberapa kali lagi luka terhantam Bludger selama latihan, karena matanya tidak melulu tertuju pada Snitch. Peperangan masih berlangsung seru dalam kepalanya. Ginny atau Ron? Kadang-kadang dia berpikir bahwa Ron paska-Lavender mungkin tidak akan terlalu berkeberatan kalau dia mengajak kencan Ginny, namun kemudian dia ingat ekspresi Ron ketika dia melihat Ginny mencium Dean, dan yakin Ron akan menganggap pengkhianatan besar kalau Harry berani sekadar memegang tangan Ginny ... Tetapi Harry tak bisa menahan diri untuk tidak bicara kepada Ginny, tertawa bersamanya, berjalan pulang dari latihan bersamanya. Betapapun merananya nuraninya, ternyata dia toh tetap bertanya-tanya dalam hati, bagaimana caranya agar bisa berduaan bersama Ginny. Akan ideal jika Slughorn mengadakan pesta kecil lagi, karena tak akan ada Ron tetapi sayangnya, Slughorn rupanya sudah tidak berpesta lagi. Sekalidua kali Harry mempertimbangkan meminta bantuan Hermione, namun dia merasa dia tak akan tahan melihat rasa puas diri di wajah Hermione. Harry merasa kadang-kadang dia melihatnya ketika Hermione memergokinya sedang menatap Ginny, atau tertawa mendengar candanya. Dan yang membuat masalah ini semakin rumit, Harry dikejar kecemasan bahwa kalau dia tidak melakukannya, orang lain pasti akan segera mengajak Ginny kencan, dia dan Ron paling tidak sepakat bahwa Ginny terlalu populer. Setelah mempertimbangkan semuanya, godaan untuk minum Felix Felicis lagi semakin hari semakin kuat, karena bukankah ini jelas kasus, seperti yang dikatakan Hermione, tinggal "membelokkan sedikit keadaan"? Hari-hari sejuk-segar bulan Mei tanpa terasa berlalu, dan Ron selalu ada bersamanya setiap kali Harry melihat Ginny. Harry sangat berharap memperoleh keberuntungan yang entah bagaimana akan membuat Ron menyadari, tak ada yang akan membuatnya lebih berbahagia daripada sahabat karibnya dan adiknya saling mencintai dan akan meninggalkan mereka berdua saja lebih lama daripada beberapa detik. Tampaknya dua-duanya tak mungkin terjadi sementara pertandingan final Quidditch musim itu sudah di depan mata. Ron ingin membicarakan taktik dengan Harry sepanjang waktu dan nyaris tak memikirkan hal-hal lainnya. Dalam hal ini Ron bukan satu-satunya. Minat terhadap pertandingan Gryffindor-Ravenclaw sangat tinggi di seluruh sekolah, karena pertandingan itu akan menentukan siapa juara sekolah, yang kansnya masih terbuka lebar. Jika Gryffindor mengalahkan Ravenclaw dengan margin tiga ratus angka (angka yang tinggi, namun Harry belum pernah melihat timnya terbang sebaik itu), berarti mereka memenangkan kejuaraan. Jika mereka menang dengan angka kurang dari tiga ratus, mereka akan menduduki tempat kedua setelah Ravenclaw. Jika mereka kalah seratus angka, mereka akan berada di posisi ketiga setelah Hufflepuff, dan jika mereka kalah lebih dari seratus, mereka akan menduduki tempat keempat dan tak seorang pun, Harry membatin, akan pernah membiarkannya melupakan bahwa dialah yang mengapteni Gryffindor saat mereka menderita kekalahan paling telak untuk pertama kalinya selama dua abad ini. Menjelang pertandingan yang menentukan ini terjadilah hal-hal yang biasa, penghuni dua asrama yang akan bertanding berusaha mengintimidasi tim lawan di koridor-koridor; ledekan-ledekan tak mengenakkan hati bagi para pemain diteriakkan keras-keras selagi mereka lewat. Para anggota tim kalau tidak berkeliaran menikmati semua perhatian ini, berlarian ke toilet di antara pelajaran, untuk muntah. Entah bagaimana, dalam benak Harry pertandingan ini jadi erat sekali hubungannya dengan sukses atau gagalnya rencananya untuk Ginny. Mau tak mau dia beranggapan bahwa jika mereka menang lebih dari tiga ratus angka, adegan euforia dan pesta usai pertandingan yang menyenangkan akan sama efeknya dengan minum seteguk Felix Felicis. Di tengah semua kesibukan ini Harry tidak melupakan ambisinya yang lain: mencari tahu apa yang dilakukan Malfoy di dalam Kamar Kebutuhan. Dia masih mengecek Peta Perampok dari waktu ke waktu dan, karena dia sering tak berhasil menemukan Malfoy di peta itu, menyimpulkan bahwa Malfoy masih melewatkan banyak waktu di dalam Kamar. Meskipun Harry sudah mulai kehilangan harapan bisa memasuki Kamar itu, dia tetap berusaha memasukinya setiap kali dia berada di dekat situ. Tetapi, bagaimanapun dia menyampaikan kalimat permohonannya, dinding itu tetap saja tak berpintu. Beberapa hari menjelang pertandingan melawan Ravenclaw, Harry berjalan sendirian untuk makan malam dari ruang rekreasi. Ron baru saja berlari ke toilet terdekat untuk muntah lagi, dan Hermione bergegas menemui Profesor Vector tentang kesalahan yang dia pikir mungkin dibuatnya dalam esai Arithmancy-nya. Lebih karena kebiasaan daripada alasan lain, Harry berjalan memutar melewati koridor di lantai tujuh, mengecek Peta Perampok-nya sambil berjalan. Selama beberapa saat dia tidak bisa menemukan Malfoy di mana pun, dan mengasumsikan Malfoy pastilah ada di dalam Kamar Kebutuhan lagi, tetapi kemudian dia melihat titik mungil berlabel Malfoy berdiri di toilet cowok di lantai di bawahnya, ditemani, bukan oleh Crabbe ataupun Goyle, melainkan oleh Myrtle Merana. Harry baru berhenti menatap pasangan tak masuk akal ini ketika dia menabrak baju zirah. Bunyi kelontangan yang keras membuatnya tersadar dari lamunannya. Tergopoh-gopoh dia meninggalkan tempat itu, siapa tahu Filch muncul. Dia berlari menuruni tangga pualam dan sepanjang lorong di bawah. Di luar toilet dia menekankan telinga ke pintu. Dia tidak mendengar apa-apa. Pelan-pelan dibukanya pintu. Draco Malfoy sedang berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya mencengkeram kanan-kiri wastafel, kepalanya yang berambut pirang menunduk. "Jangan menangis," bujuk Myrtle Merana mendayu dari salah satu bilik. "Jangan menangis ... ceritakan padaku apa yang salah ... aku bisa membantumu ... " "Tak ada yang bisa membantuku," kata Malfoy. Seluruh tubuhnya gemetar. "Aku tak bisa mengerjakannya ... tak bisa ... percuma saja ... dan kalau aku tidak segera menyelesaikannya ... dia bilang dia akan membunuhku ... " Dan Harry menyadari, dengan shock luar biasa besar sehingga membuatnya terpaku di tempatnya, bahwa Malfoy sedang menangis betul-betul menangis -- air mata bercucuran di wajahnya yang pucat, menetes di wastafel kotor. Malfoy terisak dan menahan napas dan kemudian, dengan bergidik keras, mengangkat mukanya memandang cermin retak dan melihat Harry menatapnya dari atas bahunya. Malfoy berputar, mencabut tongkat sihirnya. Secara refleks Harry mencabut tongkat sihirnya sendiri. Serangan Malfoy meleset beberapa senti, menghancurkan lampu di dinding di samping Harry. Harry melempar dirinya menyamping, berpikir Levicorpus! dan menjentikkan tongkat sihirnya, namun Malfoy memblokir kutukan itu dan mengangkat tongkat sihirnya untuk menyerang lagi. "Jangan! Jangan! Stop!" jerit Myrtle Merana, suaranya bergaung keras di dalam toilet ubin itu. "Stop! STOP!" Terdengar dentuman keras dan tempat sampah di belakang Harry meledak. Harry mencoba Kutukan Kaki Terkunci yang memantul dari dinding dibelakang telinga Malfoy dan menghancurkan tangki air di bawah Myrtle Merana. Myrtle memekik keras. Air mengguyur ke mana-mana dan Harry terpeleset ketika Malfoy, wajahnya tegang, berseru, "Cruci-" "SECTUMSEMPRA!" teriak Harry dari lantai, menggoyangkan tongkat sihirnya dengan liar. Darah menyembur dari wajah dan dada Malfoy, seolah dia tersabet pedang yang tak kelihatan. Dia terhuyung ke belakang dan jatuh di lantai yang kebanjiran dengan bunyi cebur keras, tongkat sihirnya terjatuh dari tangan kanannya yang lemas. "Tidak" Harry memekik tertahan. Tergelincir dan terhuyung, Harry bangkit berdiri dan berjalan mendekati Malfoy, yang wajahnya sekarang sudah berkilat merah bersimbah darah, kedua tangannya yang putih susah payah menggapai dadanya yang basah oleh darah. "Tidak-aku tidak-" Harry tidak tahu apa yang dikatakannya. Dia jatuh berlutut di sebelah Malfoy, yang gemetar tak terkontrol dalam kubangan darahnya sendiri. Myrtle Merana meneriakkan jeritan yang memekakkan telinga. "PEMBUNUHAN! PEMBUNUHAN DI TOILET! PEMBUNUHAN!" Pintu menjeblak terbuka di belakang Harry dan dia mengangkat mukanya, ketakutan. Snape menerobos masuk, wajahnya pucat pasi. Mendorong minggir Harry dengan kasar, dia berlutut di depan Malfoy, mencabut tongkat sihirnya dan menjalankannya di atas luka-luka dalam yang diakibatkan kutukan Harry, melantunkan mantra yang terdengar hampir seperti lagu. Aliran darah mulai mereda. Snape menyeka sisanya dari wajah Malfoy dan mengulangi mantranya Sekarang luka-lukanya menutup. Harry masih mengawasi, ngeri sendiri akan apa yang telah dilakukannya, nyaris tak sadar bahwa dia sendiri juga basah kuyup kena darah dan air. Myrtle Merana masih tersedu dan meratap di atas. Setelah Snape melaksanakan kontra-kutukan untuk ketiga kalinya, dia separo-mengangkat Malfoy ke posisi berdiri. "Kau perlu ke rumah sakit. Mungkin akan ada bekas luka, tapi kalau kau langsung pakai dittany, kita barangkali bahkan bisa menghindari itu ... ayo ... " Dittany adalah tanaman aromatis yang mengeluarkan minyak yang mudah menguap. Snape memapah Malfoy meninggalkan toilet, menoleh di pintu untuk berkata dengan dingin penuh kemarahan, "Dan kau, Potter ... tunggu aku di sini." Tak sedetik pun terpikir oleh Harry untuk tidak mematuhinya. Dia bangkit berdiri perlahan, gemetar, dan menunduk memandang lantai yang tergenang. Noda-noda darah mengambang pada permukaannya seperti bunga-bunga merah. Dia bahkan tak sanggup menyuruh Myrtle Merana diam, sementara Myrtle terus saja meraung dan terisak, kentara sekali semakin lama dia semakin menikmatinya. Snape kembali sepuluh menit kemudian. Dia masuk ke toilet dan menutup pintu di belakangnya. "Pergi," katanya kepada Myrtle dan Myrtle langsung terjun kembali ke dalam kloset, meninggalkan keheningan yang berdering. "Saya tidak sengaja," kata Harry segera. Suaranya bergaung di dalam ruangan yang dingin dan tergenang air itu. "Saya tidak tahu apa yang dilakukan mantra itu." Namun Snape tidak mengacuhkannya. "Rupanya aku terlalu menganggap remeh kau, potter," katanya pelan. "Siapa yang akan menyangka kau tahu Sihir Hitam seperti itu? Siapa yang mengajarimu mantra itu?" "Saya-membacanya di suatu tempat." "Di mana?" "Di buku perpustakaan," Harry menjawab asal saja. "Saya tak ingat lagi judulnya-" "Pembohong," kata Snape. Kerongkongan Harry terasa kering. Dia tahu apa yang akan dilakukan Snape dan dia belum pernah sanggup mencegahnya ... Toilet seperti berkilau di depan matanya; dia berusaha keras memblokir semua pikiran, namun betapapun kerasnya usahanya, buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut milik Pangeran Berdarah-Campuran muncul kabur ke bagian terdepan pikirannya ... Dan kemudian dia sedang menatap Snape lagi, di tengah toilet yang berantakan dan tergenang air. Dia menatap tajam mata hitam Snape, tetap berharap Snape tidak melihat apa yang ditakutkannya, namun. "Bawa ke sini tas sekolahmu," kata Snape pelan, "dan semua buku pelajaranmu. Semua. Bawa semuanya kepadaku di sini. Sekarang!" Tak ada gunanya membantah. Harry langsung berbalik dan keluar dari toilet. Begitu tiba di koridor, dia berlari menuju Menara Gryffindor. Kebanyakan anak berjalan ke arah yang berlawanan. Mereka melongo melihatnya basah kuyup kena air dan darah, tetapi dia tak menjawab satu pun pertanyaan yang dilontarkan kepadanya selagi dia berlari. Harry merasa sangat terpukul; seolah hewan peliharaan kesayangannya tiba-tiba menjadi buas. Apa yang dipikirkan Pangeran mencatat mantra seperti itu di dalam bukunya? Dan apa yang akan terjadi kalau Snape melihatnya? Apakah dia akan memberitahu Slughorn -- perut Harry serasa bergolak bagaimana Harry berhasil mendapatkan nilai-nilai sebagus itu dalam pelajaran Ramuan sepanjang tahun? Apakah dia akan menyita atau menghancurkan buku yang telah mengajari Harry sebanyak itu ... buku yang telah menjadi semacam panduan dan sahabat? Harry tak bisa membiarkannya terjadi ... dia tak bisa ... "Dari mana kau? Kenapa kau basah ku? Apakah itu darah?" Ron berdiri di puncak tangga, tampak bingung melihat keadaan Harry. "Aku perlu bukumu," Harry tersengal. "Buku Ramuan-mu. Cepat ... berikan padaku ..." "Memangnya kenapa buku Pangeran Ber-?" "Nanti kujelaskan!" Ron mengeluarkan buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut-nya dari dalam tas dan menyerahkannya kepada Harry. Harry berlari melewatinya dan kembali ke ruang rekreasi. Disambarnya tas sekolahnya. Mengabaikan pandangan kaget beberapa anak yang sudah selesai makan malam, dia melompat keluar lagi dari lubang lukisan dan berlari sepanjang koridor di lantai tujuh. Dia berhenti di sebelah permadani hias bergambar troll yang sedang menari balet, memejamkan matanya, dan mulai berjalan. "Aku perlu tempat untuk menyembunyikan bukuku ... aku perlu tempat untuk menyembunyikan bukuku ... aku perlu tempat untuk menyembunyikan bukuku ... " Tiga kali dia berjalan hilir-mudik di depan hamparan dinding kosong. Ketika dia membuka matanya, dilihatnya akhirnya pintu Kamar Kebutuhan. Harry menariknya terbuka, melempar dirinya ke dalam, lalu membantingnya menutup. Dia terpana. Kendati dia sedang terburu-buru, panik, dan ketakutan akan apa yang terjadi padanya di toilet, mau tak mau dia terpesona akan apa yang dilihatnya. Dia sedang berdiri di ruangan seukuran katedral besar; jendela-jendelanya yang tinggi mengirim berkas-berkas cahaya menerangi tempat yang layaknya kota dengan tembok-tembok menjulang tinggi, terbuat dari apa yang Harry ketahui pastilah barang-barang yang disembunyikan oleh bergenerasi penghuni Hogwarts. Ada lorong-lorong dan jalan-jalan yang diapit tumpukan perabot, yang disimpan, barangkali, untuk menyembunyikan bukti-bukti sihir yang salah-kaprah, atau disembunyikan oleh peri-rumah yang bangga akan kastil ini. Ada ribuan buku, tak diragukan terlarang, atau dicorat-coret, atau dicuri. Ada katapel bersayap dan Frisbee Bertaring, sebagian masih memiliki cukup kehidupan sehingga mereka melayang-layang ragu-ragu di atas gunungan barangbarang terlarang lainnya. Ada botol-botol gompal berisi ramuan yang telah membeku, topi, permata, mantel. Ada yang tampaknya seperti kulit telur naga, botol-botol tersumbat gabus yang isinya masih berkilat jahat, beberapa pedang berkarat, dan sebuah kapak berat bernoda darah. Harry bergegas menuju salah satu dari banyak lorong di antara semua harta tersembunyi ini. Dia berbelok melewati boneka besar troll, berlari sebentar, berbelok ke kiri di Lemari Pelenyap tempat Montague menghilang tahun sebelumnya, akhirnya berhenti di sebelah lemari besar yang permukaannya melepuh seperti disiram air keras. Dibukanya salah satu pintunya yang berkeriut. Lemari itu sudah digunakan sebagai tempat persembunyian sesuatu di dalam sangkar yang sudah lama mati, jerangkongnya memiliki lima kaki. Dijejalkannya buku si Pangeran Berdarah-Campuran di belakang sangkar dan dibantingnya pintunya. Sejenak dia berdiri diam, jantungnya berdentum-dentum keras, memandang ke tumpukan barang di sekitarnya ... apakah dia akan berhasil menemukan tempat ini lagi, di tengah semua sampah ini? Disambarnya patung dada penyihir tua jelek yang sudah gompal dari atas peti di dekat situ, ditaruhnya di atas lemari tempat dia menyembunyikan bukunya, dipasangnya wig tua berdebu dan tiara di atas kepala patung itu untuk membuatnya lebih mudah dikenali, kemudian Harry berlari secepat mungkin sepanjang lorong barang-barang sembunyian, kembali ke pintu, kembali keluar ke koridor. Dibantingnya menutup pintu di belakangnya, dan pintu itu langsung berubah kembali menjadi dinding batu. Harry berlari ke toilet di lantai di bawahnya, sambil menjejalkan buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut Ron ke dalam tasnya. Semenit kemudian dia sudah berada kembali di depan Snape, yang mengulurkan tangannya tanpa kata meminta tas sekolah Harry. Harry menyerahkannya, tersengal, dadanya perih, dan menunggu. Satu per satu Snape mengeluarkan buku-buku Harry dan memeriksanya. Akhirnya satu-satunya buku yang tersisa hanyalah buku Ramuan, yang diperiksanya dengan cermat sebelum dia bicara. "Ini buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut-mu, kan, Potter?" "Ya," kata Harry, masih ngos-ngosan. "Kau yakin, Potter?" "Ya," kata Harry, dengan nada sedikit menantang. "Ini buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut yang kau beli dari Flourish and Blotts?" "Ya," kata Harry tegas. "Kalau begitu kenapa," kata Snape, "ada nama 'Roonil Wazlib' -tertulis di bagian dalam sampul depannya?" Hati Harry mencelos. "Itu nama panggilan saya," katanya. "Nama panggilanmu" ulang Snape. "Yeah ... begitulah teman-teman memanggil saya," kata Harry. "Aku tahu apa artinya nama panggilan," kata Snape. Mata hitamnya yang dingin sekali lagi mengebor ke dalam mata Harry. Harry berusaha tidak memandang mata Snape. Tutup pikiranmu ... tutup pikiranmu ... tetapi dia belum pernah belajar bagaimana melakukannya dengan benar ... "Tahukah kau apa pendapatku, Potter?" kata Snape, sangat pelan. "Menurutku kau pembohong, dan licik, dan kau layak mendapat detensi dariku setiap Sabtu sampai akhir semester ini. Bagaimana menurutmu, Potter?" "Saya--saya tidak setuju, Sir," kata Harry, masih menghindari memandang mata Snape. "Kita lihat saja nanti bagaimana perasaanmu setelah kau menjalani detensi," kata Snape. "Pukul sepuluh Sabtu pagi, Potter. Kantorku." "Tetapi, Sir ... " kata Harry, mengangkat muka dengan putus asa. "Quidditch ... pertandingan terakhir musim ini" "Pukul sepuluh," bisik Snape dengan senyum yang memamerkan gigi-giginya yang kuning. "Kasihan Gryffindor ... tempat keempat tahun ini, aku khawatir ... " Dan dia meninggalkan toilet tanpa berkata apa-apa lagi, meninggalkan Harry memandang cermin retak, merasa lebih mual, dia yakin, daripada yang pernah dirasakan Ron seumur hidupnya. "Aku tak akan mengatakan 'sudah kubilang, kan?'" kata Hermione, satu jam kemudian di ruang rekreasi. "Sudahlah, Hermione," kata Ron berang. Harry tadi tidak jadi makan malam; nafsu makannya hilang. Dia baru saja selesai menceritakan kepada Ron, Hermione, dan Ginny apa yang telah terjadi, meskipun tak begitu perlu lagi. Kabar itu telah tersebar sangat cepat. Myrtle muncul di semua toilet di kastil untuk menceritakan kejadian itu. Di rumah sakit, Malfoy sudah dikunjungi Pansy Parkinson, yang langsung saja menjelek-jelekkan Harry panjang-lebar, dan Snape sudah memberitahu para guru apa persisnya yang terjadi. Harry sudah dipanggil dari ruang rekreasi untuk melewatkan lima belas menit yang sangat tidak mengenakkan bersama Profesor McGonagall, yang memberitahunya dia beruntung tidak dikeluarkan dan yang mendukung sepenuh hati hukuman detensi Snape setiap Sabtu sampai akhir semester. "Kan sudah kubilang ada yang tidak beres dengan si Pangeran itu," kata Hermione, rupanya tak bisa lagi menahan diri. "Dan aku benar, kan?" "Tidak, menurutku kau tidak benar," kata Harry keras kepala. Dia sudah cukup menderita tanpa Hermione menguliahinya. Tampang anggota tim Gryffindor ketika dia memberitahu mereka dia tak akan bisa ikut bermain pada hari Sabtu adalah hukuman yang paling berat untuknya. Dia bisa merasakan mata Ginny menatapnya sekarang, namun tidak dibalasnya; dia tak ingin melihat kekecewaan atau kemarahan di sana. Dia baru saja memberitahu Ginny bahwa dia akan bermain sebagai Seeker pada hari Sabtu dan bahwa Dean akan bergabung kembali dengan tim sebagai Chaser menggantikannya. Barangkali, kalau mereka menang, Ginny dan Dean akan baikan lagi dalam euforia paska-pertandingan ... pikiran ini menyayat hati Harry seperti sembilu dingin ... "Harry," kata Hermione, "bagaimana kau masih membela buku itu, padahal mantra-" "Tolong berhenti menyebut-nyebut buku itu deh!" bentak Harry. "Pangeran hanya menyalinnya! Dia kan tidak menyarankan kepada siapa pun untuk menggunakannya! Siapa tahu dia hanya mencatat sesuatu yang telah digunakan terhadapnya!" "Aku tidak percaya ini" kata Hermione. "Kau benar-benar membela-" "Aku tidak membela diri atas apa yang kulakukan!" kata Harry cepat-cepat. "Aku menyesal telah melakukannya, dan bukan karena aku harus menjalani kirakira selusin detensi. Kau tahu aku tak akan menggunakan mantra semacam itu, bahkan terhadap Malfoy sekalipun, tapi kau tak bisa menyalahkan Pangeran, dia tidak menulis, 'Cobalah ini, ini benar-benar hebat'--dia hanya membuat catatan untuk dirinya sendiri, kan, bukan untuk orang lain ..." "Apakah kau sedang memberitahuku," kata Hermione, "bahwa kau akan kembali?" "Dan mengambil buku itu? Yeah, aku akan mengambilnya kembali," kata Harry tegas. "Dengar, tanpa si Pangeran aku tak akan pernah memenangkan Felix Felicis. Aku tak akan pernah tahu bagaimana menyelamatkan Ron dari keracunan, aku tak akan pernah" "mendapat reputasi cemerlang untuk Ramuan yang tak layak kau peroleh," kata Hermione keji. "Sudahlah, Hermione!" kata Ginny, dan saking herannya, saking bersyukurnya, Harry mengangkat muka. "Kalau mendengar ceritanya, Malfoy akan menggunakan Kutukan Tak Termaafkan, kau mestinya senang Harry punya sesuatu untuk membela diri!" "Tentu saja aku senang Harry tidak kena kutukan!" kata Hermione, kentara sekali tersinggung. "Tapi kau tak bisa menyebut mantra Sectumsempra itu bagus, Ginny, lihat saja akibatnya untuknya! Dan kupikir, mengingat apa pengaruhnya terhadap kesempatan kalian dalam pertandingan" "Oh, jangan mulai bersikap sepertinya kau mengerti Quidditch," tukas Ginny, "kau hanya akan mempermalukan diri sendiri!" Harry dan Ron memandang tercengang. Hermione dan Ginny, yang selama ini selalu sangat rukun, sekarang duduk dengan lengan terlipat, saling membelalak. Ron memandang Harry dengan gugup, kemudian menyambar buku asal saja dan bersembunyi di baliknya. Tetapi Harry, walaupun tahu dia tak layak menerima pembelaan ini, mendadak merasa luar biasa riang, kendati tak seorang pun dari mereka bicara lagi selama sisa malam itu. Keriangannya tak berlangsung lama. Dia harus menerima ejekan-ejekan anak-anak Slytherin hari berikutnya, belum lagi kemarahan besar dari teman-teman Gryffindor-nya, yang kecewa bukan kepalang Kapten mereka membuat dirinya kena larangan ikut main dalam pertandingan final musim itu. Sabtu paginya, apa pun yang mungkin pernah dikatakannya kepada Hermione, Harry dengan senang hati bersedia menukar semua Felix Felicis yang ada di dunia untuk bisa berjalan menuju lapangan Quidditch bersama Ron, Ginny, dan yang lain. Nyaris tak tertahankan rasanya ketika dia harus berbelok menjauh dari kerumunan anak-anak yang keluar menyongsong sinar matahari, semuanya memakai bros mawar dan topi, dan melambai-lambaikan panji-panji dan syal; sementara dia sendiri terpaksa menuruni tangga batu menuju kelas bawah tanah dan berjalan sampai suara kerumunan itu menjauh dan nyaris lenyap, tahu bahwa dia tak akan bisa mendengar komentar sepatah kata pun, ataupun sorakan, ataupun keluhan. "Ah, Potter," kata Snape, ketika Harry mengetuk pintunya dan memasuki kantor tidak menyenangkan yang sudah tak asing baginya. Walaupun Snape sudah mengajar di lantai atas sekarang, dia tetap mempertahankan kantor lamanya. Penerangan kantor itu masih sama suramnya seperti dulu dan makhluk-makhluk mati berlendir masih tetap melayang dalam ramuan berwarna-warni di sepanjang dinding. Di meja bertumpuk kotak yang diselimuti sarang labah-labah. Pemandangan tak menyenangkan, karena jelas Harry harus duduk di depan meja itu, dan kotak-kotak itu mengeluarkan aura kerja yang membosankan, sulit, dan tak ada gunanya. "Mr Filch sudah lama mencari orang untuk membereskan arsip-arsip lama ini," kata Snape pelan. "Ini catatan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan murid-murid Hogwarts lain dan hukuman yang diberikan kepada mereka. Di tempat-tempat yang tintanya luntur atau kartunya rusak digerigiti tikus, kami ingin kau menyalin pelanggaran dan hukumannya di kartu yang baru dan setelah kau pastikan tersusun secara alfabetis, masukkan lagi ke dalam kotak-kotaknya. Kau tak boleh menggunakan sihir." "Baik, Profesor," kata Harry, dengan nada sangat merendahkan pada tiga suku kata terakhir. "Kupikir kau bisa mulai," kata Snape, senyum jahat menghiasi bibirnya, "dengan kotak seribu dua belas sampai seribu lima puluh enam. Kau akan menemukan nama-nama yang tak asing di sana, yang akan menambah daya tarik tugasmu. Ini, coba lihat ... " Dia menarik sehelai kartu dari kotak paling atas dengan bergaya dan membaca, "James Potter dan Sirius Black. Tertangkap menggunakan kutukan ilegal terhadap Bertram Aubrey. Kepala Aubrey merabesar dua kali ukuran normal. Detensi ganda." Snape menyeringai. "Pastilah menyenangkan sekali memikirkan bahwa, meskipun mereka sudah pergi, catatan prestasi hebat mereka masih ada ... " Harry merasakan sensasi yang tak asing, sepertinya dasar perutnya mendidih. Menggigit lidah untuk mencegah dirinya membalas, dia duduk di depan tumpukan kotak itu dan menarik satu kotak ke dekatnya. Seperti sudah diantisipasi Harry, pekerjaan itu tak berguna dan membosankan, dari waktu ke waktu diselingi oleh sentakan di perutnya yang berarti dia baru saja membaca nama ayahnya atau Sirius, biasanya muncul bersamaan dalam berbagai kenakalan sepele, kadang-kadang ditemani nama Remus Lupin dan Peter Pettigrew. Dan sementara dia menyalin berbagai pelanggaran dan hukuman yang mereka terima, dia bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang berlangsung di luar sana. Pertandingan pastilah baru dimulai ... Ginny sebagai Seeker melawan Cho ... Harry berkali-kali mengerling jam besar di dinding. Rasanya jam itu bergerak separo lebih lambat daripada jam yang biasa. Barangkali Snape sudah menyihir agar jam itu berjalan ekstra lambat? Mana mungkin sih dia baru berada di sini selama setengah jam ... satu jam ... satu jam setengah ... Perut Harry mulai keroncongan ketika jam menunjukkan pukul setengah satu. Snape, yang tidak berbicara sepatah pun setelah memberi tugas Harry, akhirnya mengangkat muka pada pukul satu lewat sepuluh menit. "Kurasa sudah cukup;" katanya dingin. "Tandai sampai mana. Kau akan melanjutkan pada pukul sepuluh hari Sabtu depan." "Ya, Sir." Harry menjejalkan kartu terlipat ke dalam kotak asal saja dan bergegas keluar dari pintu sebelum Snape berubah pikiran, berlari menaiki tangga batu, menajamkan telinga untuk mendengar suara dari lapangan, tetapi semuanya sunyi ... pertandingan sudah selesai, kalau begitu ... Di luar Aula Besar yang penuh, dia bimbang, kemudian berlari menaiki tangga pualam. Apakah Gryffindor kalah atau menang, tim biasanya merayakan atau menyesalinya di ruang rekreasi mereka sendiri. "Quid agis?" katanya coba-coba kepada si Nyonya Gemuk, bertanya dalam hati, apa yang akan ditemukannya di dalam. Kata kunci dalam bahasa Latin itu bisa berarti sapaan "Apa kabar?" Ekspresi si Nyonya Gemuk tak dapat ditebak ketika dia menjawab, "Kau akan lihat sendiri." Dan dia mengayun ke depan. Riuh-rendah pesta kemenangan menyambutnya dari lubang di belakang si Nyonya Gemuk. Harry melongo ketika orang- orang mulai menjerit melihatnya. Beberapa tangan menariknya masuk ke dalam ruangan. "Kita menang!" teriak Ron, yang muncul sambil mengacung-acungkan Piala perak ke depan Harry. "Kita menang! Empat ratus lima puluh lawan seratus empat puluh! Kita menang!" Harry memandang berkeliling. Ginny sedang berlari ke arahnya; wajahnya seperti berkobar menyala ketika dia melempar kedua lengannya memeluk Harry. Dan tanpa berpikir, tanpa direncanakan, tanpa mencemaskan fakta bahwa lima puluh orang mengawasi mereka, Harry menciumnya. Selewat beberapa waktu yang lama -- atau barangkali sudah setengah jam -- atau mungkin malah beberapa hari yang cerah -- mereka saling melepaskan diri. Ruangan sunyi senyap. Kemudian beberapa orang bersuit dan di mana-mana terdengar cekikikan salah tingkah. Harry memandang melewati atas kepala Ginny dan melihat Dean Thomas memegangi gelas yang sudah remuk di tangannya dan Romilda Vane sepertinya siap melempar sesuatu. Hermione berseri-seri, namun mata Harry mencari Ron. Akhirnya dia menemukannya, masih memegangi Piala dan ekspresinya seperti habis dihantam pada kepalanya. Selama sepersekian detik mereka saling pandang, kemudian Ron mengedikkan kepalanya sedikit, yang dipahami Harry berarti, "Yah kalau memang harus begitu." Makhluk di dalam dadanya meraung penuh kemenangan, Harry menunduk nyengir menatap Ginny, dan memberi isyarat tanpa kata untuk keluar dari lubang lukisan. Mereka berjalan-jalan lama di halaman, dan selama berjalan-jalan itu kalau sempat mereka mungkin membicarakan pertandingan. 25. SANG PELIHAT DICURI-DENGAR Fakta bahwa Harry Potter jadian dengan Ginny Weasley menarik perhatian banyak orang, sebagian besar di antaranya cewek. Meskipun demikian, ternyata Harry senang-senang saja dan tahan-gosip selama beberapa minggu berikutnya. Bagaimanapun juga, ini perubahan yang sangat menyenangkan, jadi bahan omongan karena sesuatu yang membuatnya sangat berbahagia, bukannya karena dia terlibat adegan-adegan sihir Hitam yang mengerikan. Seingatnya sudah lama sekali dia tak pernah merasa sebahagia itu "Heran, kayak tidak punya bahan gosip lain yang lebih menarik saja," kata Ginny, ketika dia duduk di lantai ruang rekreasi, bersandar ke kaki Harry dan membaca Daily Prophet. "Tiga serangan Dementor dalam seminggu, dan yang ditanyakan Romilda Vane kepadaku hanyalah apakah benar kau punya tato Hippogriff di dada." Ron dan Hermione terbahak-bahak. Harry tidak menghiraukan mereka. "Apa yang kau katakan kepadanya?" "Kubilang naga Ekor-Berduri Hungaria," kata Ginny, membalik korannya dengan santai. "Jauh lebih macho." "Trims," kata Harry, nyengir. "Dan kaubilang kepadanya tato Ron apa?" "Pygmy Puff, tapi aku tidak bilang di mana." Ron mendelik sementara Hermione berguling-guling tertawa geli. "Awas saja," kata Ron, mengacungkan jari memperingatkan Harry dan Ginny. "Hanya karena aku sudah memberikan izinku tidak berarti aku tak bisa mencabutnya kembali" "'Izinmu'," cemooh Ginny. "Sejak kapan kau memberiku izin untuk melakukan sesuatu? Lagi pula, kau sendiri yang bilang kau lebih suka yang jadi cowokku Harry daripada Michael atau Dean." "Yeah, memang," kata Ron enggan. "Dan asal kalian tidak mulai ciuman di depan umum-" "Dasar muna! Bagaimana dengan kau dan Lavender, yang nempel terus ke mana-mana seperti sepasang belut?" tuntut Ginny. Namun toleransi Ron tidak perlu diuji berkepanjangan ketika mereka memasuki bulan Juni, karena waktu yang bisa dilewatkan Harry dan Ginny bersama-sama semakin terbatas. Ujian OWL Ginny semakin mendekat, maka terpaksa dia harus belajar sampai jauh malam. Pada suatu malam seperti ini, setelah Ginny ke perpustakaan dan Harry duduk di sebelah jendela di ruang rekreasi, mestinya menyelesaikan PR Herbologi-nya, namun kenyataannya sedang mengenang saat menyenangkan yang dilewatkannya di tepi danau bersama Ginny usai makan siang, Hermione mengenyakkan diri di tempat duduk di antara dia dan Ron, dengan wajah menyiratkan tekad yang kurang menyenangkan. "Aku mau bicara denganmu, Harry." "Tentang apa?" tanya Harry curiga. Baru sehari sebelumnya, Hermione menegurnya agar tidak mengganggu Ginny karena Ginny harus belajar keras untuk menghadapi ujiannya. "Yang disebut Pangeran Berdarah-Campuran." "Oh, itu lagi," keluh Harry. "Jangan sebut-sebut dia lagi, kenapa sih." Dia belum berani kembali ke Kamar Kebutuhan untuk mengambil bukunya, dan prestasinya dalam pelajaran Ramuan merosot (meskipun Slughorn, yang merestui hubungannya dengan Ginny, secara bergurau mengatakan kemerosotannya ini gara-gara Harry sedang sakit-cinta). Namun Harry yakin Snape belum menyerah dan masih berharap mendapatkan buku Pangeran, maka dia bertekad akan membiarkan saja buku itu di tempatnya selama Snape masih mencaricarinya. "Aku tak akan berhenti menyebut-nyebutnya," kata Hermione tegas, "sampai kau mendengarkan apa yang akan kusampaikan. Nah, aku selama ini berusaha mencari tahu sedikit tentang siapa yang punya hobi menciptakan mantra-mantra Hitam" "Itu bukan hobi Pangeran-" "Pangeran, Pangeran-siapa bilang dia cowok?" "Kita sudah pernah membicarakan ini;" kata Harry galak. "Prince, Hermione, Prince!" "Betul!" kata Hermione, rona merah membara di pipinya ketika dia menarik keluar kertas koran yang sudah sangat tua dari dalam sakunya dan membantingnya di atas meja di depan Harry. "Lihat itu! Lihat fotonya!" Harry memungut kertas yang sudah rapuh itu dan memandang fotonya yang bergerak-gerak, yang sudah kekuningan saking lamanya. Ron mencondongkan diri ikut melihat. Foto itu memperlihatkan seorang gadis remaja kurus sekitar lima belas tahunan. Dia tidak cantik, dia tampak cemberut dan marah, dengan alis tebal dan wajah lonjong, pucat. Di bawah foto itu ada keterangan: Eileen Prince, Kapten Tim Gobstones Hogwarts. "Jadi?" kata Harry, sekilas membaca artikel pendek yang berkaitan dengan foto itu, cerita agak membosankan tentang pertandingan antar-sekolah. "Namanya Eileen Prince. Prince, Harry." Mereka saling pandang dan Harry sadar apa yang ingin disampaikan Hermione. Dia meledak tertawa. "No way." "Apa?" "Menurutmu dia si Pangeran ...? Oh, yang benar saja." "Kenapa tidak? Harry, tak ada pangeran betulan di dunia sihir! Kalau bukan nama panggilan atau gelar yang diberikan sendiri oleh orangnya, bisa saja itu memang nama mereka, kan? Kalau, misalnya saja, ayahnya penyihir yang nama keluarganya 'Prince', dan ibunya Muggle, kan jadinya dia 'half-blood Prince' alias 'Prince berdarah-campuran'!" "Yeah, pintar sekali, Hermione ... " "Tapi memang begitu! Mungkin dia, bangga menjadi setengah-Prince!" "Dengar, Hermione, aku tahu dia bukan cewek. Pokoknya aku tahu." "Kenyataannya adalah, kau menganggap cewek tidak cukup pintar," kata Hermione marah. "Bagaimana mungkin aku bergaul denganmu selama lima tahun dan beranggapan cewek tidak pintar?" kata Harry, tersinggung. "Ketahuan dari caranya menulis. Aku tahu Pangeran ini cowok. Cewek ini tak ada hubungannya dengan ini semua. Dari mana sih kau mendapatkan ini?" "Perpus," kata Hermione, bisa ditebak. "Ada arsip Prophet lama di sana. Pokoknya aku akan mencari tahu lebih banyak lagi tentang Eileen Prince, kalau bisa." "Selamat menikmati," kata Harry jengkel. "Pasti," kata Hermione. "Dan tempat pertama yang akan kutengok," sembur Hermione kepadanya ketika dia tiba di lubang lukisan, "adalah catatan lama penghargaan-penghargaan untuk Ramuan!" Harry cemberut beberapa lama, kemudian melanjutkan melamun memandangi langit yang mulai menggelap. "Dia tak bisa menerima kau mengalahkannya dalam pelajaran Ramuan," kata Ron, kembali menyimak bukunya Seribu Tanaman Obat dan Jamur Gaib. "Menurutmu aku tidak sinting, kan, menginginkan buku itu kembali?" "Tentu saja tidak," kata Ron mantap. "Dia genius, si Pangeran itu. Lagi pula ... tanpa petunjuknya tentang bezoar ... " jarinya membuat gerakan tajam memotong lehernya, "aku tak akan ada di sini membicarakannya, kan? Maksudku, aku tidak berpendapat mantra yang kau gunakan ke Malfoy itu hebat" "Aku juga tidak," kata Harry cepat-cepat. "Tetapi dia sembuh, kan? Sudah sehat lagi dalam waktu singkat." "Yeah," kata Harry. Ini memang benar, meskipun demikian nurani Harry toh menggeliat juga sedikit. "Berkat Snape ... " "Kau masih detensi dengan Snape Sabtu ini?" Ron melanjutkan. "Yeah, dan Sabtu sesudahnya, dan Sabtu sesudahnya lagi," desah Harry. "Dan dia sekarang sudah mengisyaratkan kalau aku tidak bisa menyelesaikan semua kotak itu pada akhir semester, kami akan melanjutkannya tahun depan." Bagi Harry detensi ini sungguh menjengkelkan, karena mengurangi waktu yang bisa dilewatkannya bersama Ginny, yang sudah terbatas. Malah belakangan ini dia sering membatin, jangan-jangan Snape tahu ini, karena dia setiap kali menahan Harry semakin lama, sambil melontarkan komentar tersirat tentang Harry terpaksa tak bisa menikmati cuaca cerah dan berbagai kesempatan yang ditawarkannya. Harry dibangunkan dari renungan pahit ini oleh kemunculan Jimmy Peakes di sisinya, mengulurkan gulungan perkamen. "Trims, Jimmy ... hei, ini dari Dumbledore!" kata Harry bersemangat, membuka gulungan perkamen itu dan membaca cepat isinya. "Dia ingin aku ke kantornya secepat aku bisa!" Mereka saling pandang. "Ya ampun," bisik Ron. "Menurutmu ... dia telah menemukan ...?" "Lebih baik aku ke sana dan lihat, kan?" kata Harry, melompat bangun. Dia bergegas meninggalkan ruang rekreasi dan berjalan sepanjang koridor di lantai tujuh secepat mungkin, tidak bertemu siapa-siapa kecuali Peeves, yang melayang ke arah berlawanan, dengan iseng melempar-lempar potongan kapur ke arah Harry dan terkekeh keras menghindari serangan pertahanan Harry. Begitu Peeves telah lenyap, koridor-koridor sunyi. Tinggal lima belas menit dari batas jam malam, maka sebagian besar anak sudah kembali ke ruang rekreasi mereka. Dan kemudian Harry mendengar teriakan dan bunyi debam. Dia langsung berhenti, mendengarkan. "Berani-beraninya-kau-aaaaargh!" Suara itu datangnya dari koridor di dekat situ. Harry berlari mendatangi, tongkat sihirnya siap di tangan, membelok di tikungan yang lain, dan melihat Profesor Trelawney terkapar di lantai, kepalanya tertutup salah satu syalnya yang banyak, beberapa botol sherry bergeletakan di sampingnya, satu di antaranya pecah. "Profesor-" Harry buru-buru mendekat dan membantu Profesor Trelawney bangun. Beberapa kalung manik-maniknya yang berkelap-kelip membelit kacamatanya. Dia cegukan keras, mengelus rambutnya, dan berdiri dengan bertumpu pada lengan Harry. "Apa yang terjadi, Profesor?" "Sungguh keterlaluan!" katanya nyaring. "Aku sedang berjalan, merenungkan pertanda Kegelapan yang kebetulan kulihat ... " Namun Harry tidak terlalu memperhatikan. Dia baru saja menyadari meereka berdiri di mana, di sebelah kanan mereka adalah permadani hias bergambar troll yang sedang menari balet, dan di sebelah kirinya, hamparan dinding batu tak tertembus yang menyembunyikan- "Profesor, apakah Anda tadi mencoba masuk ke Kamar Kebutuhan?" "pertanda yang sudah disampaikan kepadaku apa?" Dia mendadak tampak mau mengelak. "Kamar Kebutuhan," ulang Harry. "Apakah Anda tadi mencoba masuk?" "Aku-yah-aku tak tahu murid-murid tahu tentang-" "Tidak semua murid tahu," kata Harry. "Tapi apa yang terjadi? Anda berteriak ... kedengarannya Anda terluka ... " "Aku yah," kata Profesor Trelawney, menyelimutkan syal-syalnya ke tubuhnya dengan defensif dan menunduk menatap Harry dengan matanya yang sangat membesar di balik kacamatanya. "Aku ingin-ah-menyimpan-um-beberapa barang pribadi di kamar ... " Dan dia menggumamkan sesuatu tentang "tuduhan kelewatan". "Baik," kata Harry, mengerling botol-botol sherry itu. "Tetapi Anda tidak bisa masuk dan menyembunyikannya?" Harry beranggapan ini aneh sekali. Kamar itu membuka untuknya, ketika dia ingin menyembunyikan buku Pangeran Berdarah-Campuran. "Oh, aku bisa masuk," kata Profesor Trelawney, mendelik pada dinding. "Tetapi di dalam sudah ada orang." "Ada orang di-? Siapa?" tuntut Harry. "Siapa yang ada di dalam?" "Entahlah," kata Profesor Trelawney, tampak agak heran dengan urgensi dalam suara Harry. "Aku masuk ke dalam Kamar dan kudengar suara, yang tak pernah terjadi sebelumnya selama bertahun-tahun aku menyembunyikan menggunakan Kamar itu, maksudku." "Suara? Mengatakan apa?" "Aku tak tahu apakah suara itu mengatakan sesuatu," kata Profesor Trelawney. "Dia ... bersorak." "Bersorak?" "Gembira," katanya, mengangguk. Harry menatapnya lekat-lekat. "Laki-laki atau perempuan?" "Dugaanku laki-laki," kata Profesor Trelawney. "Dan dia kedengarannya senang?" "Sangat senang," kata Profesor Trelawney mendengus. "Sepertinya merayakan sesuatu?" "Ya, jelas sekali begitu." "Lalu?" "Lalu aku berseru, 'Siapa itu?'" "Anda tak bisa tahu siapa dia tanpa bertanya?" Harry bertanya, agak frustrasi. "Mata Batin;" kata Profesor Trelawney bergengsi, merapikan syalnya dan untaian kalung-kalungnya yang berkelap-kelip, "terarah pada hal-hal yang jauh di luar alam keduniaan seperti suara teriakan." "Baik," kata Harry buru-buru. Dia sudah terlalu sering mendengar tentang Mata Batin Profesor Trelawney. "Dan apakah suara itu menjawab siapa dia?" "Tidak," katanya. "Segalanya menjadi gelap-gulita, dan hal berikut yang kutahu, aku dilempar keluar Kamar dengan kepala lebih dulu!" "Dan Anda sebelumnya tidak tahu akan dilempar?" tanya Harry, tak bisa menahan diri. "Tidak, seperti yang kukatakan tadi, gelap-" Dia berhenti dan memandang Harry dengan curiga. "Menurut saya Anda sebaiknya memberitahu Profesor Dumbledore," kata Harry. "Dia harus tahu Malfoy merayakan maksud saya, ada orang yang melempar Anda keluar dari Kamar." Betapa herannya Harry, Profesor Trelawney berdiri tegak mendengar sarannya, tampak angkuh. "Kepala Sekolah sudah mengisyaratkan bahwa dia lebih suka aku mengurangi kunjunganku," katanya dingin. "Aku bukan orang yang memaksakan kehadiranku kepada mereka yang tidak menghargainya. Kalau Dumbledore memilih tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang telah diperlihatkan kartu-kartu" Tangannya yang kurus mendadak mencengkeram pergelangan tangan Harry. "Lagi dan lagi, tak peduli bagaimana aku menyusunnya" Dan dia menarik sehelai kartu dengan dramatis dari bawah syal-syalnya. "menara tersambar petir," bisiknya. "Malapetaka. Bencana besar. Makin lama makin dekat ... " "Baik," kata Harry lagi. "Yah ... tetapi saya tetap berpendapat Anda harus memberitahu Dumbledore tentang suara ini dan segalanya menjadi gelap-gulita dan Anda dilempar keluar dari Kamar ..." "Menurutmu begitu?" Profesor Trelawney tampaknya mempertimbangkan saran ini sejenak, namun Harry bisa melihat dia menyukai ide menceritakan kembali petualangan kecilnya tadi. "Saya kebetulan akan menemui beliau," kata Harry. "Saya ada janji bertemu beliau. Kita bisa ke sana bersama-sama." "Oh, baiklah kalau begitu," kata Profesor Trelawney sambil tersenyum. Dia membungkuk, memungut botolbotol sherry-nya dan memasukkannya begitu saja ke dalam vas besar berwarna biru-putih di ceruk di dekat situ. "Aku kehilangan kau di kelasku, Harry," katanya penuh perasaan ketika mereka berjalan bersama-sama. "Kau memang bukan Pelihat yang hebat ... tapi kau Objek yang luar biasa ... " Harry tidak menanggapi; dia benci terus-menerus dijadikan Objek ramalan malapetaka Profesor Trelawney. "Aku kuatir," dia melanjutkan, "bahwa kuda tuasori, si centaurus-tak tahu apa-apa soal meramal dengan kartu. Aku tanya dia-antar sesama Pelihatapakah dia, juga, tidak merasakan vibrasi jauh akan datangnya malapetaka? Tetapi dia tampaknya menganggapku menggelikan. Ya, menggelikan!" Suaranya meninggi agak histeris dan Harry menghirup bau keras sherry, meskipun botolnya sudah ditinggalkan. "Mungkin kuda itu sudah mendengar orang-orang mengatakan aku tidak mewarisi bakat nenek-canggahku. Desas-desus itu sudah bertahun-tahun disebarluaskan oleh orang-orang yang iri hati. Kau tahu apa yang kukatakan kepada orang-orang seperti itu, Harry? Apakah Dumbledore akan mengizinkanku mengajar di sekolah yang hebat ini, begitu memercayaiku selama bertahun-tahun ini, jika aku belum membuktikan kemampuanku kepadanya?" Harry menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. "Aku masih ingat jelas wawancara pertamaku dengan Dumbledore," Profesor Trelawney melanjutkan, dengan suara serak-serak basah. "Dia sangat terkesan, tentu saja, sangat terkesan ... Aku waktu itu menginap di Hog's Head, tapi ini tidak kusarankan-banyak kutu busuk, Nak-tapi aku tak punya banyak uang waktu itu. Dumbledore berbaik hati menemuiku di kamarku di losmen itu. Dia menanyaiku ... aku harus mengakui bahwa, awalnya, kupikir dia tampaknya kurang begitu suka pada Ramalan ... dan aku ingat aku mulai merasa agak aneh, aku cuma makan sedikit hari itu ... tetapi kemudian ... " Dan sekarang Harry benar-benar memperhatikan untuk pertama kalinya, karena dia tahu apa yang terjadi kemudian, Profesor Trelawney membuat ramalan yang telah mengubah seluruh jalan hidupnya, ramalan tentang dia dan Voldemort. "... tetapi kemudian kami digerecoki dengan tidak sopan oleh Severus Snape!" "Apa?" "Ya, ada keributan di luar pintu, dan pintu menjeblak terbuka, dan di sana ada pelayan bar yang agak tak tahu adat dengan Snape yang merepet yang bukanbukan, katanya dia salah jalan, tetapi kukira dia tertangkap ketika sedang mencuri-dengar wawancaraku dengan Dumbledore maklum, dia sendiri sedang mencari pekerjaan waktu itu, dan tak diragukan lagi dia berharap bisa mendapatkan petunjuk! Nah, setelah itu, kau tahu, Dumbledore tampaknya lebih ingin memberiku pekerjaan, dan mau tak mau aku berpikir, Harry, bahwa itu karena dia menghargai kontras yang amat tajam antara sikapku yang bersahaja dan kemampuan terpendamku, dibanding dengan laki-laki muda yang memaksa dan menyodorkan diri, yang bahkan sampai mau menguping di lubang kunci-Harry, Nak?" Dia menoleh, karena baru saja menyadari bahwa Harry tak lagi bersamanya. Harry telah berhenti melangkah dan sekarang mereka berjarak tiga meter. "Harry?" dia mengulang bimbang. Barangkali wajah Harry pucat pasi, sampai Profesor Trelawney tampak begitu cemas dan ketakutan. Harry berdiri bergeming selagi gelombang shock menerjangnya, gelombang demi gelombang, menyapu segalanya kecuali informasi yang selama ini disembunyikan darinya ... Snape-lah yang telah mencuri-dengar ramalan itu. Snape-lah yang telah membawa kabar tentang ramalan itu kepada Voldemort. Snape dan Peter Pettigrew-lah yang membuat Voldemort memburu Lily dan James dan anak mereka ... Tak ada hal lain yang penting bagi Harry saat itu. "Harry?" kata Profesor Trelawney lagi. "Harry katanya kita akan sama-sama menemui Kepala Sekolah?" "Anda tinggal di sini," kata Harry dengan bibir mati rasa. "Tetapi, Nak ... aku mau menceritakan kepadanya bagaimana aku diserang di Kamar Ke-" "Anda tinggal di sini!" Harry mengulang gusar. Profesor Trelawney tampak cemas ketika Harry berlari melewatinya, membelok ke koridor Dumbledore, yang dijaga gargoyle tunggal. Harry meneriakkan kata kuncinya kepada si gargoyle dan berlari menaiki tangga spiral yang bergerak, tiga anak tangga sekali lompat. Dia tidak mengetuk pintu kantor Dumbledore, dia menggedornya; dan suara tenang menjawab "Masuk" setelah Harry menerabas masuk ke dalam ruangan. Fawkes si burung phoenix menoleh, mata hitamnya berkilauan, memantulkan cahaya keemasan matahari yang sedang terbenam di balik jendela. Dumbledore sedang berdiri di depan jendela, memandang ke halaman, mantel bepergian hitam panjang tersampir di lengannya. "Nah, Harry, aku sudah berjanji kau boleh ikut bersamaku." Sesaat Harry tidak paham. Pembicaraannya dengan Trelawney telah menyingkirkan segala yang lain dari dalam kepalanya dan otaknya rasanya bergerak sangat lambat. "Ikut ... Anda ...?" "Hanya kalau kau mau, tentu." "Kalau saya ... " Dan kemudian Harry ingat kenapa dia tadi sangat bersemangat pergi ke kantor Dumbledore. "Anda sudah menemukannya? Anda sudah menemukan Horcrux?" "Kukira begitu." Kegusaran dan kekesalan bertarung dengan shock dan kegairahan selama beberapa saat, Harry tak bisa bicara. "Wajar kalau takut," kata Dumbledore. "Saya tidak takut!" kata Harry segera, dan itu memang benar. Saat itu dia sama sekali tidak merasa takut. "Horcrux yang .mana ini? Di mana?" "Aku tak yakin ini yang mana-meskipun kukira kita bisa mengesampingkan si ular-tapi aku percaya Horcrux ini disembunyikan dalam gua di pantai berkilo-kilometer jauhnya dari sini, gua yang sudah lama kucari-cari, gua yang pernah digunakan Tom Riddle untuk meneror dua anak dari panti asuhannya ketika mereka piknik tahunan, ingat?" "Ya," kata Harry. "Bagaimana Horcrux ini dilindungi?" "Aku tak tahu; aku punya kecurigaan yang bisa saja keliru sama sekali." Dumbledore bimbang, kemudian berkata, "Harry, aku telah berjanji kepadamu bahwa kau boleh ikut denganku, dan aku akan menepati janji itu, tetapi aku akan salah besar kalau tidak memperingatkanmu bahwa ini akan sangat berbahaya." "Saya ikut," kata Harry, hampir sebelum Dumbledore selesai bicara. Mendidih dengan kemarahan terhadap Snape, keinginannya untuk melakukan sesuatu yang nekat dan berisiko telah meningkat berpuluh kali lipat. Rupanya itu terpancar dari wajah Harry, karena Dumbledore minggir dari jendela dan memandang Harry lebih cermat, ada kernyit kecil di antara alisnya yang keperakan. "Apa yang terjadi padamu?" "Tidak ada apa-apa," dusta Harry segera. "Apa yang membuatmu terganggu?" "Saya tidak terganggu." "Harry, kau tak pernah benar-benar menguasai Ocdumenc- " Kata itu menjadi percik api yang mengobarkan kemarahan Harry. "Snape!" katanya, sangat keras, dan Fawkes berkuak lembut di belakang mereka. "Snape-lah yang terjadi! Dia yang memberitahu Voldemort tentang ramalan itu, ternyata dia, dia yang mendengarkan di balik pintu. Trelawney memberitahu saya!" Ekspresi Dumbledore tidak berubah, namun Harry merasa wajahnya memucat di bawah pancaran kemerahan sinar matahari yang terbenam. Lama Dumbledore tidak mengatakan apa-apa. "Kapan kau tahu semua ini?" Dumbledore akhirnya menanyainya. "Baru saja!" kata Harry, yang susah payah berusaha agar tidak berteriak. Dan kemudian, tiba-tiba saja, dia tak bisa menahan diri lagi. "DAN ANDA MEMBIARKANNYA MENGAJAR DI SINI DAN DIA MEMBERITAHU VOLDEMORT UNTUK MENCARI IBU DAN AYAH SAYA!" Terengah-engah seolah dia sedang berkelahi, Harry berpaling dari Dumbledore, yang masih tidak menggerakkan satu otot pun, dan berjalan hilir-mudik dalam ruangan, menggosokkan buku-buku jarinya ke tangannya dan berusaha sekuat tenaga tidak menerjang barang-barang di situ. Dia ingin marah dan menyerang Dumbledore, tetapi dia juga ingin pergi bersamanya dan mencoba menghancurkan Horcrux itu. Dia ingin mengatakan kepada Dumbledore bahwa dia laki-laki tua bodoh telah memercayai Snape, tetapi dia takut Dumbledore tidak mau mengajaknya, kecuali dia bisa menguasai kemarahannya ... "Harry," kata Dumbledore tenang. "Tolong dengarkan aku." Menghentikan hilir-mudiknya sama sulitnya dengan menahan diri agar tidak berteriak. Harry berhenti, menggigit bibir, dan menatap wajah keriput Dumbledore. "Profesor Snape membuat kekeliru-" "Jangan katakan kepada saya itu kekeliruan, Sir, dia mencuri-dengar di pintu!" "Tolong biarkan aku selesai dulu." Dumbledore menunggu sampai Harry sudah mengangguk kaku, baru kemudian melanjutkan. "Profesor Snape membuat kekeliruan besar. Dia masih bekerja untuk Lord Voldemort pada malam dia mendengar paro-pertama ramalan Profesor Trelawney. Wajar kalau dia bergegas memberitahu tuannya apa yang telah didengarnya, karena ramalan itu sangat berkaitan dengan tuannya. Tetapi dia tidak tahu tak ada kemungkinan dia bisa tahu anak laki-laki mana yang akan diburu Voldemort sejak saat itu, atau bahwa orangtua yang akan dibinasakannya dalam pencariannya adalah orang-orang yang dikenal Profesor Snape, bahwa mereka ibu dan ayahmu" Harry mengeluarkan tawa hambar. "Dia membenci ayah saya sama seperti dia membenci Sirius! Tidakkah Anda perhatikan, Profesor, bagaimana orang-orang yang dibenci Snape pada akhirnya cenderung mati?" "Kau tak tahu betapa menyesalnya Profesor Snape ketika menyadari bagaimana Lord Voldemort menginterpretasikan ramalan itu, Harry. Aku percaya itu penyesalan terbesar dalam hidupnya dan alasan dia kembali" "Tetapi dia Ocdumens yang sangat andal, kan, Sir?" kata Harry, yang suaranya bergetar dalam usahanya untuk membuatnya tenang. "Dan bukankah Voldemort yakin bahwa Snape berada di pihaknya, bahkan sekarang? Profesor ... bagaimana Anda bisa yakin Snape ada di pihak kita?" Dumbledore tidak berbicara selama beberapa saat. Tampaknya dia sedang berusaha memutuskan sesuatu. Akhirnya dia berkata, "Aku yakin. Aku memercayai Severus Snape sepenuhnya." Harry menghela napas dalam-dalam selama beberapa saat, berusaha menenangkan diri. Tidak berhasil. "Saya tidak memercayai dia!" katanya, sama kerasnya seperti sebelumnya. "Dia sedang merencanakan sesuatu dengan Draco Malfoy sekarang ini, di depan hidung Anda, dan Anda masih" "Kita sudah membicarakan ini, Harry," kata Dumbledore, dan sekarang sikapnya keras lagi. "Aku sudah memberitahumu pandanganku." "Anda akan meninggalkan sekolah malam ini dan saya berani taruhan Anda bahkan belum mempertimbangkan bahwa Snape dan Malfoy barangkali memutuskan untuk-" "Untuk apa?" tanya Dumbledore, alisnya terangkat. "Kau mencurigai mereka akan melakukan apa, persisnya?" "Saya ... mereka merencanakan sesuatu!" kata Harry dan kedua tangannya mengepal ketika dia mengatakannya. "Profesor Trelawney tadi masuk Kamar Kebutuhan, akan menyembunyikan botol-botol sherrynya, dan dia mendengar Malfoy bersorak, merayakan keberhasilannya! Dia berusaha memperbaiki sesuatu yang berbahaya di dalam Kamar itu dan jika Anda bertanya kepada saya, dia sudah berhasil memperbaikinya akhirnya dan Anda akan meninggalkan sekolah tanpa-" "Cukup," kata Dumbledore. Dia mengatakannya dengan cukup tenang, meskipun demikian Harry langsung terdiam. Dia tahu akhirnya dia telah melewati garis batas yang tak terlihat. "Kau pikir aku pernah meninggalkan sekolah tanpa perlindungan selama aku tak ada tahun ini? Tidak. Malam ini, waktu aku pergi, akan ada lagi penambahan proteksi. Harap jangan menuduh aku tak menganggap serius keamanan murid-muridku, Harry." "Saya tidak-" gumam Harry, agak malu, namun Dumbledore memotongnya. "Aku tak ingin membicarakan hal ini lagi." Harry menelan kembali jawabannya, takut dia telah bertindak terlalu jauh, bahwa dia telah merusak kesempatannya untuk menemani Dumbledore, namun Dumbledore melanjutkan, "Apakah kau masih ingin pergi denganku malam ini?" "Ya," jawab Harry segera. "Baiklah, kalau begitu: dengarkan." Dumbledore berdiri tegak. "Aku akan membawamu bersamaku dengan satu syarat: bahwa kau mematuhi perintah apa pun yang mungkin kuberikan dengan segera, dan tanpa pertanyaan." "Tentu saja." "Pastikan kau memahamiku, Harry. Yang kumaksudkan adalah kau harus mematuhi bahkan perintah-perintah seperti 'lari', 'sembunyi' ataupun 'pulang'. Apakah kau berjanji?" "Saya-ya, tentu saja." "Jika kusuruh kau bersembunyi, kau akan bersembunyi?" "Ya." "Jika kusuruh kau kabur, kau akan patuh?" "Ya." "Jika kusuruh kau meninggalkanku, dan menyelamatkan dirimu, kau akan melakukan yang kuperintahkan?" "Saya-" "Harry?" Sesaat mereka saling pandang. "Ya, Sir." "Bagus sekali. Kalau begitu sekarang aku ingin kau pergi mengambil Jubah-mu dan menemuiku di Aula Depan lima menit lagi." Dumbledore berbalik untuk memandang ke luar dari jendela yang kemerahan. Matahari sekarang tinggal semburat merah di sepanjang kaki langit. Harry melangkah cepat meninggalkan kantor dan menuruni tangga spiral. Aneh, pikirannya mendadak menjadi jernih. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Ron dan Hermione sedang duduk berdua di ruang rekreasi ketika dia kembali. "Apa yang diinginkan Dumbledore?" Hermione langsung bertanya. "Harry, kau baik-baik saja?" dia menambahkan dengan cemas. "Aku baik," kata Harry pendek, berlari melewati mereka. Dia melesat menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Dibukanya kopernya dan dikeluarkannya Peta Perampok dan sepasang kaus kaki yang tergulung. Kemudian dia meluncur turun lagi ke ruang rekreasi, berhenti di depan Ron dan Hermione, yang tampak tercengang. "Aku tak punya banyak waktu," Harry terengah. "Dumbledore mengira aku mengambil Jubah Gaib-ku. Dengar" Cepat-cepat dia memberitahu mereka ke mana dia akan pergi, dan kenapa. Dia tidak berhenti, kendati Hermione terpekik tertahan dan Ron buru-buru mengajukan pertanyaan. Mereka bisa menyimpulkan sendiri rincian detailnya nanti. "... jadi, kalian paham, kan, apa artinya ini?" Harry mengakhiri penuturannya dengan amat cepat. "Dumbledore tak akan ada di sini malam ini, maka Malfoy akan punya kesempatan besar untuk melakukan apa pun yang direncanakannya. Tidak, dengarkan aku!" dia mendesis marah, ketika baik Ron maupun Hermione menunjukkan tanda-tanda akan menginterupsi. "Aku tahu Malfoy-lah yang bersorak gembira di Kamar Kebutuhan. Ini" Disorongkannya Peta Perampok ke tangan Hermione. "Kalian harus mengawasinya dan kalian juga harus mengawasi Snape. Pakai anak-anak LD lain yang bisa kalian kumpulkan. Hermione, Galleon pengontak itu masih berfungsi, kan? Dumbledore bilang dia menambah perlindungan ekstra di sekolah, tetapi kalau Snape terlibat, dia akan tahu apa perlindungan Dumbledore itu, dan bagaimana menghindarinya tetapi dia tak akan mengira kalian akan berjaga-jaga, kan?" "Harry-" kata Hermione, matanya membesar ketakutan. "Aku tak punya waktu untuk berdebat," kata Harry singkat. "Ambil ini juga-" Dijejalkannya kaus kaki itu ke tangan Ron. "Terima kasih," kata Ron. "Er-kenapa aku butuh kaus kaki?" "Kau butuh apa yang, dibungkus kaus kaki itu, Felix Felicis. Bagilah di antara kalian, dan Ginny juga. Sampaikan selamat tinggalku kepadanya. Sebaiknya aku pergi sekarang, Dumbledore sudah menunggu" "Tidak!" kata Hermione, ketika Ron membuka bungkusan botol mungil berisi ramuan keemasan, terkesima. "Kami tak menginginkannya, bawalah ini, siapa tahu apa yang akan kau hadapi?" "Aku akan baik-baik saja, aku akan bersama Dumbledore," kata Harry. "Aku ingin yakin kalian semua oke ... jangan bertampang seperti itu, Hermione, kita akan ketemu lagi nanti " Dan dia pergi, bergegas melewati lubang lukisan, menuju Aula Depan. Dumbledore sudah menunggu dekat pintu depan dari kayu, ek. Dia menoleh ketika Harry muncul di undakan batu paling atas, terengah-engah, pinggangnya sakit sekali. "Aku ingin kau memakai Jubah-mu, tolong," kata Dumbledore. Dan dia menunggu sampai Harry sudah menyelubungkan Jubah Gaib-nya sebelum berkata, "Bagus sekali. Kita pergi sekarang?" Dumbledore segera menuruni undakan batu, mantel bepergiannya nyaris tak bergerak dalam cuaca musim panas yang tenang. Harry bergegas merendenginya di bawah Jubah Gaib-nya, masih terengah-engah dan berkeringat agak banyak. "Tetapi apa pikir orang-orang kalau mereka melihat Anda pergi, Profesor?" Harry bertanya, pikirannya terpaku pada Malfoy dan Snape. "Bahwa aku ke Hogsmeade untuk minum," kata Dumbledore enteng. "Aku kadang-kadang ke tempat Rosmerta, atau mengunjungi Hog's Head ... atau tampaknya begitu. Ini cara yang baik untuk menyamarkan tujuan kita yang sebenarnya." Mereka melewati jalan menuju gerbang dalam keremangan senja. Udara dipenuhi bau rumput hangat, air danau, dan asap kayu dari pondok Hagrid. Sulit dipercaya mereka menyongsong sesuatu yang berbahaya ataupun mengerikan. "Profesor," kata Harry pelan, ketika gerbang di ujung jalan sudah kelihatan, "apakah kita akan ber-Apparate?" "Ya" kata Dumbledore. "Kau bisa ber-Apparate sekarang, kukira?" "Ya," kata Harry, "tetapi saya belum punya lisensi." Dia merasa paling baik jujur; bagaimana kalau dia mengacaukan segalanya dengan muncul seratus lima puluh kilometer dari tempat yang seharusnya didatanginya? "Tidak apa-apa," kata Dumbledore. "Aku bisa membantumu lagi." Mereka keluar pagar dan membelok ke jalan kecil kosong menuju Hogsmeade. Kegelapan turun dengan cepat sementara mereka berjalan, dan ketika mereka tiba di jalan utama, malam telah tiba. Lampu berkelap-kelip dari jendela-jendela di atas toko-toko dan ketika melewati Three Broomsticks, mereka mendengar teriakan parau. "-dan tinggal di luar!" teriak Madam Rosmerta, dengan paksa mendorong keluar penyihir laki-laki bertampang-kotor. "Oh, halo, Albus ... kau keluar malam-malam-" "Selamat malam, Rosmerta, selamat malam ... maaf, aku mau ke Hog's Head ... jangan tersinggung, tapi aku ingin suasana yang lebih tenang malam ini ... " Semenit kemudian mereka menikung memasuki jalan samping. Di jalan ini papan nama Hog's Head berderak sedikit, meskipun tak ada angin. Sangat kontras dengan Three Broomsticks, rumah minum ini tampaknya kosong sama sekali. "Kita tak perlu masuk," gumam Dumbledore, memandang ke sekitarnya. "Asal tak ada yang melihat kita pergi ... sekarang letakkan tanganmu di lenganku, Harry. Tak perlu mencengkeram kuat-kuat, aku hanya memandumu. Pada hitungan ketiga--satu ... dua ... tiga ... " Harry berputar. Langsung saja dia merasakan sensasi seakan dia dijejalkan ke dalam pipa karet tebal. Dia tidak dapat menarik napas, semua bagian tubuhnya ditekan sampai nyaris tak tertahankan dan kemudian, tepat ketika dia mengira akan mati lemas, pengikat tak kelihatan itu seperti terlepas, dan dia berdiri dalam kegelapan yang sejuk, menghirup dalam-dalam udara segar yang asin. 26. GUA Harry bisa mencium bau garam dan mendengar gemuruh gelombang. Angin dingin sepoi-sepoi memburai rambutnya ketika dia memandang laut yang diterangi cahaya bulan dan langit bertabur bintang. Dia berdiri di atas karang gelap yang muncul tinggi di atas permukaan laut, air berbuih dan menggelegak di bawahnya. Dia menoleh. Di belakangnya ada karang menjulang, terjal, hitam, dan tak berbentuk. Beberapa gumpalan besar karang, seperti tempat Harry dan Dumbledore berdiri, tampak seakan pecah dari permukaan karang besar itu pada suatu waktu di masa lampau. Pemandangan yang suram dan keras. Melulu laut dan karang, tanpa ada nya pohon, rumput ataupun pasir yang melembutkan. "Bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Dumblodore. Seakan dia menanyakan pendapat Harry tentang apakah tempat itu baik untuk piknik. "Mereka membawa anak-anak panti asuhan ke sini?" tanya Harry, yang tak bisa membayangkan tempat yang lebih tidak nyaman untuk berwisata. "Tidak ke sini, persisnya," kata Dumbledore. "Ada semacam desa kira-kira separo jalan deretan karang di belakang kita. Kukira anak-anak yatim piatu dibawa ke sana supaya bisa menghirup sedikit hawa laut dan melihat ombak. Tidak, kukira hanya Tom Riddle dan korban kecilnya yang pernah mengunjungi tempat ini. Tak ada Muggle yang bisa mencapai karang ini, kecuali mereka pendaki gunung yang luar biasa, dan kapal tidak bisa mendekati karang; air di sekitarnya terlalu berbahaya. Kubayangkan Riddle menuruni karang itu, sihir berfungsi lebih baik daripada tali. Dan dia membawa dua anak kecil bersamanya, barangkali dia mendapatkan kesenangan dengan meneror mereka. Kukira perjalanannya saja sudah akan membuat mereka ketakutan, kan?" Harry mendongak memandang karang terjal itu lagi dan merasa merinding, bulu kuduknya berdiri. "Namun tujuan akhirnya dan tujuan akhir kita terletak sedikit lebih jauh lagi. Mari." Dumbledore memberi isyarat agar Harry ke tepi karang, di mana sederet ceruk bergerigi membentuk tempat berpijak yang turun menuju batu-batu besar yang separo, terbenam dalam air dan mendekat ke karang terjal. Jalan turun yang sangat berbahaya dan Dumbledore, terhambat sedikit oleh tangannya yang kisut, bergerak pelan. Karang-karang di bawah licin tersiram air laut. Harry merasakan mukanya kena cipratan air asin yang dingin. "Lumos," kata Dumbledore, ketika dia tiba di batu yang paling dekat permukaan karang. Seribu titik cahaya keemasan berkelip di atas permukaan air yang gelap sekitar semeter di bawah tempatnya berjongkok. Dinding karang hitam di sebelahnya juga ikut diterangi. "Kau lihat?" kata Dumbledore pelan, memegang tongkat sihirnya sedikit lebih tinggi. Harry melihat celah di bukit karang, ke dalamnya air gelap berpusar. "Kau tidak keberatan basah sedikit?" "Tidak," kata Harry. "Kalau begitu bukalah Jubah Gaib-mu-tak diperlukan lagi sekarang dan ayo kita terjun." Dan mendadak dengan kegesitan pria yang jauh lebih muda, Dumbledore meluncur dari batu, mendarat di laut dan mulai berenang, dengan gaya dada yang sempurna, menuju celah gelap di permukaan karang terjal, tongkat sihirnya yang menyala dalam gigitannya. Harry melepas Jubah-nya, menjejalkannya ke dalam sakunya, dan mengikutinya. Airnya sedingin es. Pakaian Harry yang dipenuhi air menggelembung di sekitarnya dan menahan kecepatannya. Menarik napas dalam-dalam yang membuat lubang hidungnya dipenuhi air asin yang tajam dan ganggang laut, dia berenang menuju cahaya berkelap-kelip yang semakin mengecil masuk makin jauh ke dalam karang terjal. Celah itu tak lama kemudian membuka menjadi terowongan gelap yang Harry tahu akan dipenuhi air pada waktu pasang naik. Dinding-dindingnya yang licin hanya berjarak sekitar satu meter dan berkilat seperti ter basah ketika dilewati cahaya tongkat sihir Dumbledore. Setelah masuk sedikit, terowongan berkelok ke kiri dan Harry melihat bahwa terowongan itu masuk jauh ke dalam karang. Dia terus berenang di belakang Dumbledore, ujung jari-jarinya yang beku kedinginan menyentuh karang yang kasar dan basah. Kemudian dilihatnya Dumbledore mentas dari air di depan, rambutnya yang keperakan dan jubah hitamnya berkilat-kilat. Ketika tiba di tempat itu Harry menemukan tangga yang menuju ke sebuah gua besar. Dia menaiki tangga itu, air mengucur dari pakaiannya yang basah kuyup, dan muncul, gemetar tak terkendali, ke dalam udara yang tenang dan amat dingin. Dumbledore berdiri di tengah gua, tongkat sihirnya dipegang tinggi-tinggi sementara dia berputar pelan di tempat, mengamati dinding dan langit-langit. "Ya, ini tempatnya," kata Dumbledore. "Bagaimana Anda bisa tahu?" Harry berbicara dalam bisikan. "Tempat ini sudah pernah kena sihir," kata Dumbledore sederhana. Harry tak tahu apakah dia menggigil karena rasa dingin yang menembus sampai ke tulang sumsum ataukah karena sadar akan adanya sihir. Dia mengawasi ketika Dumbledore meneruskan berputar di tempat, jelas sekali sedang berkonsentrasi pada halhal yang tak bisa dilihat Harry. "Ini hanyalah bagian depan, aula depan," kata Dumbledore selewat beberapa saat. "Kita harus masuk ke ruangan dalam ... sekarang rintangan buatan Lord Voldemort yang menghalangi kita, bukan buatan alam ... " Dumbledore mendekati dinding gua dan mengelusnya dengan ujung jari-jarinya yang menghitam, menggumamkan kata-kata dalam bahasa yang tak dimengerti Harry. Dua kali Dumbledore berjalan mengelilingi gua, menyentuh sebanyak mungkin karang kasar, kadang-kadang berhenti, menjalankan jari-jarinya maju-mundur pada tempat tertentu, sampai akhirnya dia berhenti, tangannya menekan dinding. "Di sini," katanya. "Kita masuk dari sini. Jalan masuknya disembunyikan." Harry tidak bertanya bagaimana Dumbledore tahu. Dia belum pernah melihat penyihir memecahkan masalah seperti ini, hanya dengan memandang dan menyentuh. Namun Harry sudah lama tahu bahwa ledakan dan asap lebih sering merupakan tanda ketidakcakapan, bukannya kemahiran. Dumbledore mundur dari dinding gua dan mengacungkan tongkat sihirnya ke karang itu. Sesaat muncul garis gerbang-lengkung di sana, menyala putih seakan ada cahaya terang benderang di belakang celah. "Anda b-berhasil!" kata Harry dengan gigi bercatrukan, namun sebelum kata-kata itu meninggalkan bibirnya, gerbang-lengkung itu sudah hilang, meninggalkan dinding karang tetap kosong dan padat seperti semula. Dumbledore berbalik. "Harry, maaf sekali, aku lupa," katanya. Diacungkannya tongkat sihirnya ke Harry dan segera saja pakaian Harry menjadi hangat dan kering, seakan baru digantung di depan api yang berkobar. "Terima kasih," kata Harry penuh rasa terima kasih, namun Dumbledore sudah mengalihkan lagi perhatiannya ke dinding gua yang padat. Dia tidak mencoba sihir lagi, namun hanya berdiri di sana memandangnya lekat-lekat, seakan ada sesuatu yang luar biasa menarik tertulis di sana. Harry berdiri bergeming; dia tak ingin memecah konsentrasi Dumbledore. Kemudian, selewat dua menit penuh, Dumbledore berkata pelan, "Oh, masa begini. Kasar sekali." "Ada apa, Profesor?" "Kupikir" kata Dumbledore, memasukkan tangannya yang tidak luka ke dalam jubahnya dan mengeluarkan pisau perak pendek seperti yang biasa digunakan Harry untuk mengiris bahan ramuan, "kita diwajibkan memberi pembayaran untuk bisa lewat." "Pembayaran?" kata Harry. "Anda harus memberi sesuatu kepada pintu itu?" "Ya," kata Dumbledore. "Darah, kalau aku tak begitu keliru." "Darah?" "Kukatakan tadi, ini kasar," kata Dumbledore, yang kedengarannya merendahkan, bahkan kecewa, seolah Voldemort jauh di bawah standar yang diharapkan Dumbledore. "Maksudnya, seperti yang aku yakin telah kau perkirakan, musuhmu harus membuat dirinya lemah untuk bisa masuk. Sekali lagi, Lord Voldemort gagal memahami bahwa ada banyak hal yang lebih mengerikan daripada luka fisik." "Yeah, tetapi kalau Anda bisa menghindarinya ... " kata Harry, yang sudah mengalami cukup banyak kesakitan sehingga tak menginginkannya lagi. "Kadang-kadang, meskipun demikian, ini tak bisa dihindari," kata Dumbledore, menggoyang ke belakang lengan bajunya dan memperlihatkan lengan bawah tangannya yang terluka. "Profesor!" protes Harry, bergegas maju ketika Dumbledore mengangkat pisaunya. "Saya saja, saya-" Harry tak tahu apa yang akan dikatakannya lebih muda, lebih fit? Namun. Dumbledore hanya tersenyum. Ada kilatan perak dan semburan merah. Permukaan karang menjadi berbintik-bintik butiran gelap, berkilauan. "Kau baik sekali, Harry," kata Dumbledore, sekarang melewatkan ujung tongkat sihirnya di atas sayatan dalam yang telah dibuatnya di lengannya sendiri, sehingga luka itu langsung sembuh, sama seperti ketika Snape menyembuhkan luka-luka Malfoy. "Tetapi darahmu lebih berharga daripada darahku. Ah, rupanya usaha kita berhasil." Garis perak gerbang-lengkung telah muncul lagi di dinding, dan kali ini tidak menghilang; karang yang terciprat darah di dalam garis itu lenyap begitu saja, meninggalkan lubang menuju kegelapan total. "Aku lebih dulu, kurasa," kata Dumbledore, dan dia memasuki gerbang-lengkung diikuti Harry, yang buru-buru menyalakan tongkat sihirnya sembari berjalan. Pemandangan menyeramkan menyambut mereka; mereka berdiri di tepi danau hitam besar, bukan main besarnya sehingga Harry tak bisa melihat pantai di seberangnya, di dalam gua yang sangat tinggi, sehingga langit-langitnya juga tak terlihat. Cahaya kehijauan berkabut bersinar jauh di tempat yang tampaknya tengah danau. Cahayanya dipantulkan oleh air tenang yang sama sekali tak beriak di bawahnya. Hanya cahaya kehijauan dan sinar dari kedua tongkat sihir itulah yang memecah kegelapan yang amat gulita, meskipun sinar mereka tidak menembus sejauh yang diperkirakan Harry. Kegelapan ini entah bagaimana lebih pekat daripada kegelapan normal. "Mari kita berjalan," kata Dumbledore pelan. "Berhati-hatilah agar jangan sampai melangkah ke dalam air. Dekat-dekatlah padaku." Dumbledore berjalan mengelilingi tepi danau dan Harry mengikuti rapat di belakangnya. Langkah-langkah kaki mereka membuat bunyi berkecipak yang bergaung di tepian karang yang mengelilingi air. Terus saja mereka berjalan, namun pemandangan tidak berubah; di satu sisi mereka, dinding gua yang kasar; di sisi lain, hamparan kegelapan tak berbatas yang licin dan berkilau, yang di tengahnya bersinar cahaya ken hijauan yang misterius. Tempat itu dan kesunyiannya membuat Harry merasa sesak napas, ngeri. "Profesor?" katanya akhirnya. "Menurut Anda Horcrux-nya di sini?" "Oh ya," kata Dumbledore. "Ya, aku yakin di sini. Masalahnya adalah, bagaimana kita bisa sampai ke Horcrux itu." "Kita tak bisa ... tak bisa mencoba menggunakan Mantra Panggil?" tanya Harry, yakin bahwa itu pertanyaan bodoh, tetapi, walaupun segan mengakuinya, dia sebetulnya sudah ingin segera meninggalkan tempat ini. "Tentu saja bisa," kata Dumbledore, berhenti sangat mendadak sampai Harry hampir menabraknya. "Kenapa kau tidak mencobanya?" "Saya? Oh ... oke ... " Harry tidak menyangka ini, namun dia berdeham dan berkata keras, dengan tongkat sihir terangkat, "Accio Horcrux!" Dengan bunyi seperti ledakan, sesuatu yang sangat besar dan pucat muncul dari air yang gelap kira-kira enam meter dari mereka; sebelum Harry bisa melihat benda apa itu, benda itu sudah menghilang lagi dengan ceburan keras yang meninggalkan riak besar dan dalam pada permukaan air yang seperti cermin gelap. Harry melompat mundur dengan shock dan menabrak dinding gua; jantungnya masih berdentum-dentum ketika dia menoleh kepada Dumbledore. "Apa itu?" "Sesuatu, yang menurut perkiraanku akan siap bereaksi jika kita berusaha mengambil Horcrux." Harry kembali memandang air. Permukaan danau sekali lagi seperti kaca gelap yang bersinar; riaknya sudah menghilang dengan kecepatan tak wajar. Namun jantung Harry masih berdebar keras. "Apakah Anda sudah mengira itu akan terjadi, Sir?" "Aku menduga sesuatu akan terjadi jika kita terang-terangan berusaha mengambil Horcrux. idemu tadi bagus sekali, Harry; cara yang paling sederhana untuk mengetahui apa yang kita hadapi." "Tetapi kita tidak tahu benda apa tadi," kata Harry, menatap air tenang yang menyeramkan. "Benda-benda tadi, maksudmu," kata Dumbledore. "Aku sangat meragukan hanya ada satu. Kita jalan lagi?" "Profesor?" "Ya, Harry?" "Apakah menurut Anda kita harus masuk ke dalam danau?" "Masuk ke dalam danau? Hanya kalau kita sangat sial." "Menurut Anda, Horcrux-nya tidak di dasar danau?" "Oh tidak ... menurutku Horcrux-nya ada di tengahnya." Dan Dumbledore menunjuk ke arah cahaya hijau berkabut di tengah danau. "Jadi, kita harus menyeberangi danau untuk mendapatkannya?" "Ya, kukira begitu." Harry tidak berkata apa=apa. Pikirannya dipenuhi monster-air, ular raksasa, jin, kelpie-hantu air, dan peri ... "Aha," kata Dumbledore, dan dia berhenti lagi. Kali ini Harry benar-benar menabraknya dan nyaris terjungkal ke dalam air yang gelap. Tangan Dumbledore yang tidak terluka memegangi lengannya erat-erat, menariknya dari tepi danau. "Maaf, Harry, mestinya aku memberi peringatan. Mundurlah ke dinding gua, tolong. Kurasa aku telah menemukan tempatnya." Harry sama sekali tak mengerti apa yang dimaksud Dumbledore. Bagian pantai di tempat ini setahunya sama saja seperti yang lain, namun Dumbledore tampaknya telah mendeteksi sesuatu yang istimewa di sini. Kali ini dia menjalankan tangannya tidak di atas dinding karang, melainkan di udara kosong, seolah mengharapkan menemukan dan memegang sesuatu yang tak kelihatan. "Oho," kata Dumbledore girang, beberapa detik kemudian. Tangannya memegang sesuatu yang tak bisa dilihat Harry di udara. Dumbledore mendekat ke air. Harry mengawasi dengan gugup ketika ujung sepatu Dumbledore yang bergesper menginjak tepian danau yang paling pinggir. Tangan satunya masih memegang sesuatu di udara, Dumbledore mengangkat tongkat sihirnya dengan tangan yang lain dan mengetuk kepalan tangannya dengan ujung tongkat itu. Tiba-tiba saja muncul rantai tebal hijau seperti dari tembaga, menjulur dari dalam air ke kepalan tangan Dumbledore. Dumbledore mengetuk rantai itu, yang mulai meluncur dari kepalannya seperti ular, bergulung sendiri di tanah dengan bunyi dentang yang bergema keras dari dinding-dinding karang, menarik sesuatu dari kedalaman air yang gelap. Harry tersentak kaget ketika remang-remang haluan sebuah perahu kecil membelah permukaan air, menyala hijau seperti rantainya, dan meluncur, nyaris tanpa riak, ke pantai tempat Harry dan Dumbledore berdiri. "Bagaimana Anda tahu perahu itu ada?" tanya Harry keheranan. "Sihir selalu meninggalkan jejak," kata Dumbledore, ketika perahu pelan membentur tepi danau, "kadang-kadang jejak yang sangat jelas. Aku yang mengajar Tom Riddle. Aku tahu gayanya." "Apakah ... apakah perahu ini aman?" "Oh ya, kukira demikian. Voldemort perlu menciptakan sarana untuk menyeberangi danau tanpa membangkitkan kemarahan makhluk-makhluk yang sudah dipasangnya di dalamnya, siapa tahu dia ingin mengunjungi atau memindahkan Horcrux-nya." "Jadi, benda-benda dalam air itu tidak akan berbuat apa-apa jika kita menyeberang dengan perahu Voldemort?" "Kurasa kita harus menerima kenyataan bahwa mereka, pada batas tertentu; akan menyadari kita bukan Lord Voldemort. Namun sejauh ini kita telah berhasil baik. Mereka mengizinkan kita mengangkat perahu ini." "Tetapi kenapa mereka membiarkannya?" tanya Harry, yang tak bisa menyingkirkan bayangan tentakel menjulur keluar dari air yang gelap begitu mereka tak ada lagi di pantai itu. "Voldemort mestinya cukup yakin, tak seorang pun kecuali penyihir hebat akan bisa menemukan perahu itu," kata Dumbledore. "Kurasa dia siap mengambil risiko terhadap, yang menurut pendapatnya, kemungkinan paling tidak mungkin bahwa ada orang lain yang akan menemukannya, mengingat dia sudah memasang rintangan-rintangan lain di depan yang hanya bisa ditembus olehnya. Kita akan lihat nanti apakah dia benar." Harry menunduk memandang perahu. Perahu itu betul-betul sangat kecil. "Kelihatannya perahu ini tidak dibuat untuk dua orang. Kuatkah dia mengangkut kita berdua? Apakah kita berdua tidak terlalu berat?" Dumbledore tertawa kecil. "Voldemort tidak akan peduli tentang berat badan, melainkan tentang besarnya kekuatan sihir yang menyeberangi danaunya. Aku cenderung berpikir perahu ini sudah dimantrai sehingga setiap kali hanya satu penyihir yang bisa menaikinya." "Tetapi kalau begitu?" "Kurasa kau tidak masuk hitungan, Harry; kau masih di bawah umur dan belum berkualifikasi. Voldemort tak akan pernah menyangka anak berusia enam belas tahun bisa mencapai tempat ini; kurasa kekuatan sihirmu tak akan tercatat dibanding dengan kekuatanku." Kata-kata ini tak membuat semangat Harry terpompa. Barangkali Dumbledore tahu ini, karena dia menambahkan, "Kekeliruan Voldemort, Harry, kekeliruan Voldemort ... orang dewasa bodoh dan pelupa kalau dia meremehkan yang muda ... sekarang, kau lebih dulu kali ini, dan hati-hati, jangan menyentuh air." Dumbledore minggir dan Harry hati-hati naik ke perahu. Dumbledore menyusul, menggulung rantai di lantai perahu. Mereka berdesakan. Harry tak bisa duduk nyaman. Dia hanya bisa berjongkok, kedua lututnya menganjur di atas tepi perahu. Perahu segera mulai bergerak. Tak ada suara kecuali desir haluan perahu yang membelah air. Perahu itu bergerak tanpa bantuan mereka, seolah ada tali tak kelihatan yang menariknya ke arah cahaya di tengah danau. Segera mereka tak bisa lagi melihat dinding-dinding gua. Mereka seperti berada di laut, hanya saja tak ada ombak. Harry menunduk dan melihat pantulan emas cahaya tongkat sihirnya berkelap-kelip dan gemerlap di air yang hitam ketika mereka lewat. Perahu membuat riak dalam di atas permukaan air yang berkilat, alur di kaca gelap ... Dan kemudian Harry melihatnya, seputih pualam, mengapung beberapa senti di bawah permukaan. "Profesor!" serunya, dan suaranya yang kaget bergaung keras di atas air yang sunyi. "Harry?" "Rasanya saya melihat tangan di air-tangan manusia!" "Ya, aku yakin kau melihatnya," kata Dumbledore kalem. Harry memandang ke dalam air, mencari tangan yang lenyap, dan rasa mual naik ke lehernya. "Jadi benda yang tadi melompat dari air?" Namun Harry sudah memperoleh jawabannya sebelum Dumbledore sempat menjawab. Cahaya tongkat sihir meluncur melewati bagian air yang lain dan memperlihatkan kepadanya, kali ini, mayat manusia mengapung tertelentang beberapa senti di bawah air, matanya yang terbuka berkabut seakan disaput benang labah-labah, rambut dan jubahnya melayang di sekitarnya seperti asap. "Ada mayat-mayat di sini!" kata Harry, dan suaranya terdengar lebih nyaring dari biasanya dan sama sekali tidak seperti suaranya. "Ya," kata Dumbledore tenang, "tetapi kita tidak perlu mencemaskan mereka saat ini." "Saat ini?" Harry mengulangi, mengalihkan pandangan dari air untuk menatap Dumbledore. "Tidak, sementara mereka hanya mengapung damai di bawah kita," kata Dumbledore. "Tak ada yang perlu ditakuti dari mayat, Harry, sama halnya seperti tak ada yang perlu ditakuti dari kegelapan. Lord Voldemort, yang tentu saja diam-diam takut akan dua-duanya, tidak setuju dengan pendapat ini. Namun sekali lagi dia memperlihatkan kekurang bijaksanaannya. Ketidaktahuanlah yang kita takuti jika kita memandang kematian dan kegelapan, tak lebih dari itu." Harry diam saja; dia tak ingin membantah, namun dia ngeri ada mayat-mayat mengapung di sekitar mereka, dan lebih-lebih lagi, dia tak -percaya mereka tidak berbahaya. "Tapi salah satu dari mereka melompat," katanya, berusaha membuat suaranya sama datar dan kalemnya seperti suara Dumbledore. "Sewaktu saya mencoba memanggil Horcrux, ada mayat yang melompat dari dalam danau!" "Ya," kata Dumbledore. "Aku yakin begitu kita mengambil Horcrux, mereka tidak akan sedamai itu. Meskipun demikian, seperti banyak makhluk yang tinggal dalam kedinginan dan kegelapan, mereka takut akan cahaya dan kehangatan, yang akan kita panggil untuk membantu kita jika diperlukan. Api, Harry," Dumbledore menambahkan dengan senyum, sebagai tanggapan atas ekspresi kebingungan Harry. "Oh ... begitu ..." kata Harry cepat-cepat. Dia menolehkan kepalanya memandang cahaya kehijauan. Perahu dengan pasti meluncur ke arah cahaya itu. Dia tak bisa berpura-pura, sekarang, bahwa dia tidak takut. Danau yang besar dan gelap, dipenuhi mayat ... rasanya sudah berjam-jam yang lalu ketika dia bertemu Profesor Trelawney, dia memberikan Felix Felicis kepada Ron dan Hermione ... tiba-tiba dia menyesal tidak mengucapkan selamat tinggal yang lebih baik kepada mereka ... dan dia belum bertemu Ginny sama sekali ... "Hampir sampai," kata Dumbledore riang. Betul saja, cahaya kehijauan tampaknya semakin besar akhirnya, dan dalam waktu beberapa menit, perahu berhenti, membentur sesuatu yang awalnya tak bisa Harry lihat, namun ketika dia mengangkat tongkat sihirnya yang menyala dia melihat mereka telah tiba di pulau kecil berupa karang rata di tengah danau. "Hati-hati, jangan sampai menyentuh air," Dumbledore memperingatkan lagi ketika Harry keluar dari perahu. Pulau itu tak lebih besar daripada kantor Dumbledore; hamparan batu datar gelap, yang di atasnya tidak ada apa-apa kecuali sumber cahaya kehijauan itu, yang cahayanya jauh lebih cemerlang dilihat dari dekat. Harry menyipitkan mata mengawasinya. Awalnya dia mengira itu semacam lampu, tetapi kemudian dilihatnya cahaya itu datangnya dari baskom batu agak mirip Pensieve, yang diletakkan di atas tumpuan. Dumbledore mendekati baskom itu dan Harry mengikutinya. Berdampingan mereka menunduk melihat ke dalamnya. Baskom itu penuh berisi cairan berwarna hijau-zamrud yang mengeluarkan cahaya berpendar itu. "Apa itu?" tanya Harry pelan. "Aku tak tahu," kata Dumbledore. "Tapi sesuatu yang lebih mencemaskan daripada darah atau mayat." Dumbledore menyingkapkan lengan jubahnya pada tangannya yang menghitam, dan menjulurkan ujung jari-jarinya yang terbakar ke arah permukaan cairan itu. "Sir, jangan, jangan sentuh!" "Aku tak bisa menyentuhnya," kata Dumbledore, tersenyum samar. "Lihat? Aku tak bisa lebih dekat lagi dari ini. Cobalah sendiri." Seraya menatapnya, Harry memasukkan tangannya ke dalam baskom dan mencoba menyentuh cairannya. Tangannya tertahan rintangan tak kelihatan yang menghalanginya bisa lebih dekat daripada dua setengah senti. Tak peduli betapa kuatnya dia mendorong, jari-jarinya tertahan oleh udara yang rasanya keras dan padat. "Tolong minggir, Harry," kata Dumbledore. Dumbledore mengangkat tongkat sihirnya dan membuat gerakan-gerakan rumit di atas permukaan cairan, bergumam tanpa suara. Tak ada yang terjadi, kecuali barangkali cairan itu bersinar sedikit lebih cemerlang. Harry tetap diam sementara Dumbledore bekerja, namun setelah beberapa saat Dumbledore menarik kembali tongkat sihirnya dan Harry merasa sudah aman untuk berbicara lagi. "Anda berpendapat Horcrux-nya di dalam situ, Sir?" "Oh, ya," Dumbledore menunduk memeriksa isi baskom itu lebih cermat. Harry melihat wajahnya dipantulkan terbalik, pada permukaan licin cairan hijau itu. "Tapi bagaimana mencapainya? Cairan ini tidak bisa dimasuki tangan, tak bisa dilenyapkan, dibelah, dituang, ataupun disedot, juga tak bisa di-Transfigurasi, dimantrai, atau diubah bentuknya." Seperti melamun, Dumbledore mengangkat tongkat sihirnya lagi, memelintirnya sekali di tengah udara dan kemudian menangkap piala kristal yang telah diciptakannya dari udara kosong. "Aku hanya bisa menyimpulkan bahwa cairan ini dimaksudkan untuk diminum." "Apa?" kata Harry. "Tidak!" "Ya, kurasa begitu. Hanya dengan meminumnya aku bisa mengosongkan baskom ini dan melihat apa yang ada di kedalamannya." "Tapi bagaimana-bagaimana kalau cairan itu membunuh Anda?" "Oh, aku ragu cairan itu akan berdampak begitu," kata Dumbledore enteng. "Lord Voldemort tidak akan ingin membunuh orang yang bisa sampai ke pulau ini." Harry tak bisa memercayai ini. Apakah ini lagi-lagi tekad gila Dumbledore untuk melihat kebaikan dalam semua orang? "Sir," kata Harry, berusaha menjaga suaranya agar pantas, "Sir, ini Voldemort yang kita-" "Sori, Harry, aku seharusnya berkata, dia tak ingin langsung membunuh orang yang bisa datang ke pulau ini" Dumbledore mengoreksi diri sendiri. "Dia akan menginginkan orang itu hidup cukup lama sampai dia tahu bagaimana mereka berhasil menembus rintangan-rintangannya sejauh ini dan, yang paling penting, kenapa mereka bermaksud mengosongkan baskom kom itu. Jangan lupa, Lord Voldemort yakin hanya dia sendiri yang tahu tentang Horcrux-Horcrux-nya." Harry sudah mau bicara lagi, tetapi kali ini Dumbledore mengangkat tangannya menyuruh Harry diam, sementara dia agak mengernyit memandang cairan hijau-zamrud itu, kentara sekali sedang berpikir keras. "Tak diragukan lagi," katanya akhirnya, "cairan ini pasti bereaksi sedemikian rupa untuk mencegahku mengambil Horcrux. Cairan ini bisa membuatku lumpuh, membuatku lupa untuk apa aku berada di sini, menimbulkan kesakitan yang luar biasa sehingga perhatianku teralih, atau menyebabkan aku jadi tak mampu dengan cara lain. Mengingat ini masalahnya, Harry, menjadi tugasmulah untuk memastikan aku terus meminum cairan itu, bahkan sekalipun kau harus menuangkan cairan ini ke dalam mulutku yang memprotes. Kau mengerti?" Mata mereka bertemu di atas baskom, masing-masing wajah pucat diterangi cahaya hijau yang aneh itu. Harry diam saja. Karena alasan inikah dia diajak supaya dia bisa memaksa Dumbledore minum cairan yang bisa menyebabkan sakit yang tak tertahankan? "Kau ingat," kata Dumbledore, "syarat yang kuajukan untuk mengajakmu bersamaku?" Harry bimbang, menatap mata biru yang telah berubah menjadi hijau dalam pancaran sinar dari baskom. "Tapi bagaimana kalau-" "Kau sudah bersumpah, kan, untuk mematuhi perintah apa saja yang kuberikan kepadamu?" "Ya, tapi-" "Sudah kuperingatkan, kan, bahwa mungkin akan ada bahaya?" "Ya," kata Harry, "tapi-" "Nah, kalau begitu," kata Dumbledore, sekali lagi menggoyang lengan jubahnya ke belakang dan mengangkat piala kosong itu, "itu tadi tugasmu." "Kenapa bukan saya saja yang meminum cairan itu?" tanya Harry putus asa. "Karena aku jauh lebih tua, jauh lebih pintar, dan jauh kurang berharga," kata Dumbledore. "Sekali lagi, Harry, apakah kau berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk membuatku terus minum?" "Tidak bisakah?" "Kau berjanji?" "Tapi-" "Janjimu, Harry." "Saya-baiklah, tapi-" Sebelum Harry bisa memprotes lebih jauh, Dumbledore menurunkan piala kristal itu ke dalam cairan. Selama sepersekian detik Harry berharap Dumbledore tak akan bisa menyentuh cairan dengan pialanya, namun kristal itu membenam ke dalam cairan, sementara jari mereka tadi tak bisa. Ketika gelas itu sudah penuh, Dumbledore mengangkatnya ke bibirnya. "Untuk kesehatanmu, Harry." Dan dia menenggak habis isi piala itu. Harry mengawasi, ngeri, tangannya mencengkeram tepian baskom begitu kuatnya sampai jari-jarinya kebas. "Profesor?" katanya cemas, ketika Dumbledore menurunkan piala kosong. "Bagaimana perasaan Anda?" Dumbledore menggelengkan kepala, matanya terpejam. Harry membatin apakah dia kesakitan. Dumbledore menceburkan kembali gelasnya asal saja ke dalam baskom, mengisinya lagi, dan meminumnya sekali lagi. Dalam diam, Dumbledore meminum habis tiga piala cairan. Kemudian, ketika baru menghabiskan separo isi pialanya yang keempat, dia terhuyung dan jatuh ke depan menabrak baskom. Matanya masih terpejam, napasnya berat. "Profesor Dumbledore?" kata Harry, suaranya tegang. "Bisakah Anda mendengar saya?" Dumbledore tidak menjawab: Wajahnya mengeriut, seakan dia tidur lelap, namun sedang mimpi menyeramkan. Pegangannya pada pialanya mengendur, cairannya nyaris tumpah. Harry menjangkaunya dan memegangi gelas kristal itu. "Profesor, bisakah Anda mendengar saya?" dia mengulangi keras-keras, suaranya bergema di sekehhng gua. Dumbledore tersengal dan kemudian bicara dengan suara yang tidak dikenali Harry, karena dia belum pernah mendengar Dumbledore ketakutan seperti ini. "Aku tak mau ... jangan paksa aku ..." Harry menatap wajah pucat pasi yang sangat dikenalnya, hidungnya yang bengkok dan kacamata bulan-separonya, dan tidak tahu dia harus berbuat apa. "... tak suka ... mau berhenti ..." erang Dumbledore. "Anda ... Anda tak boleh berhenti, Profesor," kata , Harry. "Anda harus terus minum, ingat? Anda memberitahu saya Anda harus terus minum. Ini ..." Membenci dirinya sendiri, jijik akan apa yang akan dilakukannya, Harry menyorongkan lagi piala itu ke mulut Dumbledore dan menuangkan isinya, sehingga Dumbledore meminum sisa cairan di dalamnya. "Jangan ..." rintihnya, ketika Harry mencelupkan lagi piala ke dalam baskom dan mengisinya lagi untuknya. "Aku tak mau ... aku tak mau ... biarkan aku pergi ... " "Tak apa-apa, Profesor," kata Harry, tangannya gemetar. "Tak apa-apa, saya di sini-" "Hentikan, hentikan," erang Dumbledore. "Ya ... ya, ini akan menghentikannya," dusta Harry. Dituangkannya isi piala ke dalarn mulut Dumbledore yang terbuka. Dumbledore berteriak. Teriakannya bergaung di seluruh gua besar, ke seberang air gelap yang mati. "Jangan, jangan, jangan .... jangan ... aku tak bisa, jangan paksa aku, aku tak mau ... " "Tak apa-apa, Profesor, tak apa-apa!" kata Harry keras-keras, tangannya gemetar sangat hebat sehingga dia nyaris tak bisa menciduk cairan untuk gelas yang keenam; isi baskom sekarang tinggal setengahnya. "Tak ada yang terjadi pada Anda, Anda aman, ini tidak riil. Sumpah, ini tidak riil-minum ini sekarang, minum ini ... " Dan dengan patuh Dumbledore meminumnya, seolah Harry menawarkan penangkal racun, namun setelah mengeringkan isi piala, dia jatuh berlutut, gemetar tak terkendali. "Semua salahku, semua salahku," isaknya, "mohon hentikan ini, aku tahu aku salah, oh, mohon hentikan dan aku tak akan pernah, tak akan pernah lagi ... " "Ini akan menghentikannya, Profesor," Harry berkata, suaranya parau menahan tangis ketika dia menuangkan isi gelas ketujuh ke dalam mulut Dumbledore. Dumbledore mulai gemetar ketakutan, seolah para penyiksa yang tak kelihatan mengepungnya; tangannya yang menampar-nampar nyaris memukul jatuh piala yang sudah diisi lagi dari tangan Harry yang gemetar, selagi dia mengerang, "Jangan sakiti mereka, tolong jangan sakiti mereka, kumohon, ini salahku, sakiti saja aku ..." "Ini, minum ini, minum ini, Anda akan baik-baik saja," kata Harry putus asa, dan sekali lagi Dumbledore mematuhinya, membuka mulutnya, bahkan selagi dia memejamkan matanya rapat-rapat dan gemetar dari kepala sampai kaki. Dan sekarang dia jatuh terjerembap, berteriak lagi, memukul-mukulkan tinjunya di tanah, sementara Harry mengisi gelas kesembilan. "Kumohon, kumohon, tolong, jangan ... jangan itu, jangan itu, aku akan melakukan apa saja ... " "Minum saja, Profesor, minum saja... " Dumbledore minum seperti anak yang hampir mati kehausan, namun setelah selesai, dia menjerit lagi seolah-olah organ-organ dalam tubuhnya terbakar. "Jangan lagi, kumohon, jangan lagi ... " Harry menciduk gelas kesepuluh dan merasa kristalnya menggesek dasar baskom. "Kita hampir sampai, Profesor, minum ini, minum , ini ... " Dia menyangga bahu Dumbledore dan lagi, Dumbledore mengeringkan isi gelas; Harry bangkit sekali lagi, mengisi piala sementara Dumbledore mulai berteriak-teriak lebih menderita daripada sebelumnya, "Aku ingin mati! Aku ingin mati! Hentikan, hentikan, aku ingin mati!" "Minum ini, Profesor, minum ini ... " Dumbledore minum, dan begitu selesai dia berteriak, "BUNUH AKU!" "Ini-yang ini akan membunuh Anda!" engah Harry. "Minum saja ini ... segalanya akan selesai ... selesai!" Dumbledore meminum isi piala, sampai tetes terakhir, dan kemudian, dengan desah keras yang berderik, berguling menelungkup pada wajahnya. "Tidak!" teriak Harry, yang sudah berdiri untuk mengisi lagi pialanya. Alih-alih mengisinya, dijatuhkannya piala itu ke dalam baskom, lalu dia buru-buru berjongkok di sebelah Dumbledore dan membalikkan tubuhnya. Kacamata Dumbledore miring, mulutnya ternganga, matanya terpejam. "Tidak," kata Harry, mengguncang-guncang Dumbledore, "tidak, Anda tidak mati, Anda bilang ini bukan masalah, bangun, bangun-Rennervate!" serunya, tongkat sihirnya mengarah ke dada Dumbledore. Kilatan cahaya merah menyambar, namun tak ada yang terjadi. "Rennervate Sir saya mohon-" Kelopak mata Dumbledore bergerak. Hati Harry terlompat kegirangan. "Sir, apakah Anda?" "Air" erang Dumbledore parau. "Air," engah Harry, "-ya-" Harry melompat berdiri dan menyambar piala yang tadi dijatuhkannya dalam baskom; dia hampir tidak melihat kalung emas yang tergeletak melingkar di bawahnya. "Aguamenti!" teriaknya, menyentuh piala itu dengan tongkat sihirnya. Piala itu terisi air jernih. Harry berjongkok di sebelah Dumbledore, mengangkat kepalanya, dan membawa gelas itu ke bibirnya-namun gelas itu kosong. Dumbledore merintih dan mulai tersengal-sengal. "Tapi tadi ada -- tunggu Aguamenti!" kata Harry lagi, mengarahkan tongkat sihirnya ke piala. Sekali lagi, selama sedetik, air jernih berkilauan di dalamnya, namun ketika dia mendekatkannya ke mulut Dumbledore, airnya menghilang lagi. "Sir, saya berusaha, saya berusaha!" kata Harry putus asa, namun rasanya Dumbledore tidak bisa mendengarnya. Dia sudah berguling dan berbaring miring pada sisinya, napasnya berat dan berderik, kedengarannya dengarannya menderita sekali. "Aguamenti Aguamenti AGUAMENTI!" Piala penuh dan kosong sekali lagi. Dan sekarang napas Dumbledore memudar. Otaknya berputar panik, Harry tahu, dengan sendirinya, satu-satunya cara yang tersisa untuk mendapatkan air, karena Voldemort telah merencanakannya demikian ... Dia berlari ke tepi karang dan mencelupkan piala itu ke danau, mengisinya penuh-penuh dengan air sedingin es yang tidak menghilang. "Sir ini!" seru Harry, dan melompat maju dia menuangkan air itu dengan canggung di wajah Dumbledore. Itu yang terbaik yang bisa dilakukannya, karena perasaan dingin di lengannya yang tidak memegang piala bukanlah dinginnya air yang masih melekat. Sebuah tangan putih yang licin mencengkeram pergelangan tangannya, dan makhluk pemilik tangan itu menariknya, perlahan, dari karang, ke belakang. Permukaan danau kini tak lagi licin bagai cermin. Danau seperti teraduk, dan ke mana pun Harry memandang, kepala atau tangan putih bermunculan dari dalam air yang gelap, laki-laki dan perempuan dan anak-anak, dengan mata cekung tak bisa melihat, bergerak ke arah karang; pasukan mayat yang bangkit dari air yang gelap. "Petrificus Totalus!" teriak Harry, berusaha bertahan di permukaan pulau karang yang licin dan basah ketika dia mengacungkan tongkat sihirnya ke Inferius yang mencengkeram lengannya. Inferius itu melepaskannya, terjatuh ke belakang ke dalam air dengan bunyi cebur. Harry geragapan bangkit berdiri, namun lebih banyak lagi Inferi sudah memanjat ke karang, tangan-tangan kurus mereka mencakar-cakar permukaan karang yang licin, mata mereka yang kosong, buram, tertuju kepadanya, menyeret-nyeret pakaian compang-camping penuh air, wajah cekung mereka menyeringai. "Petrificus Totalus!" Harry berteriak lagi, mundur seraya mengayunkan tongkat sihirnya di udara. Enam atau tujuh Inferi terpuruk, namun lebih banyak lagi yang datang ke arahnya. "Impedimerita! Incarcerous!" Beberapa di antara mereka terhuyung jatuh, satu atau dua terikat tali, namun yang memanjat ke atas karang di belakang mereka hanya melangkahi atau menginjak tubuh-tubuh yang berjatuhan itu. Masih menoreh udara dengan tongkat sihirnya, Harry berteriak, "Sectumsempra! SECTUMSEMPRA!" Tetapi meskipun torehan muncul di pakaian compang-camping dan kulit mereka yang dingin, tak ada darah yang mengalir, mereka berjalan terus, tidak merasakan apa-apa, tangan keriput mereka terulur ke arahnya, dan ketika dia berusaha mundur lebih jauh, dia merasa lengan-lengan memeluknya dari belakang, lengan-lengan kurus tanpa daging, sedingin kematian, dan kakinya meninggalkan karang ketika mereka mengangkatnya dan mulai membawanya, perlahan dan pasti, kembali ke air, dan dia tahu tak akan ada pembebasan, bahwa dia akan ditenggelamkan, dan menjadi satu lagi mayat penjaga pecahan jiwa Voldemort ... Namun kemudian, di dalam kegelapan muncullah cahaya merah dan keemasan, lingkaran api yang mengelilingi karang sehingga Inferi yang memegangi Harry erat-erat terhuyung dan limbung; mereka tidak berani melewati lidah api untuk sampai ke air. Mereka menjatuhkan Harry. Harry menyentuh karang, tergelincir dan terjatuh, lengannya tergores, namun buruburu bangun, mengangkat tongkat sihirnya dan memandang berkeliling. Dumbledore sudah berdiri lagi, sama pucatnya dengan Inferi di sekeliling mereka, namun lebih tinggi daripada semuanya juga, api menari-nari di matanya, tongkat sihirnya terangkat seperti obor dan dari ujungnya keluar lidah api, seperti laso tebal, mengelilingi mereka semua dengan kehangatan. Para Inferi saling tabrak, berusaha, membabi-buta, untuk menghindari api yang melingkungi rnereka ... Dumbledore menyauk kalung dari dasar baskom dan menyimpannya di dalam jubahnya. Tanpa kata, dia memberi isyarat agar Harry datang ke sisinya. Perhatian mereka teralih oleh api, para Inferi tampaknya tak sadar buruan mereka pergi, ketika Dumbledore membawa Harry kembali ke perahu, lingkaran api bergerak bersama mereka. Di sekeliling mereka, para Inferi yang bingung menemani mereka ke tepi air, di mana mereka bersyukur meluncur kembali dengan anggun ke dalam air gelap mereka. Harry, yang seluruh tubuhnya gemetar, sekilas mengira Dumbledore tidak akan bisa naik ke perahu. Dumbledore terhuyung sedikit ketika dia berusaha naik ke perahu, semua usahanya tampaknya diarahkan untuk mempertahankan perlindungan lingkaran api yang mengelilingi mereka. Harry menyambarnya dan membantunya duduk kembali di tempat duduknya. Begitu mereka berdua sudah aman berdesakan di dalamnya, perahu mulai bergerak kembali menyeberangi air gelap, menjauhi karang, yang masih dikelilingi lingkaran api, dan tampaknya para Irtiferi yang mengapung di bawah mereka tidak berani muncul lagi. "Sir," engah Harry, "Sir, saya lupa-tentang api mereka mendatangi saya dan saya panik-" "Bisa dimengerti," gumam Dumbledore. Harry cemas sekali mendengar betapa lemahnya suaranya. Mereka tiba di tepi danau dengan benturan kecil dan Harry merompat naik, kemudian berbalik untuk membantu Dumbledore. Begitu Dumbledore menginjak pantai, dibiarkannya tongkat sihirnya terjatuh; lingkaran api lenyap, namun para Inferi tidak berani muncul lagi dari dalam air. Perahu kecil itu tenggelam lagi ke dalam air, berdentang dan bergemerincing, rantainya meluncur kembali ke dalam danau juga. Dumbledore melepas napas lega dan bersandar ke dinding gua. "Aku lemah ... " katanya. "Jangan kuatir, Sir," kata Harry segera, mencemaskan Dumbledore yang pucat pasi dan tampak kelelahan bukan kepalang. "Jangan kuatir, saya akan membawa kita pulang ... bersandarlah pada saya, Sir ... " Dan melingkarkan lengan Dumbledore yang tidak terluka ke bahunya, Harry memapah kepala sekolahnya meninggalkan danau, menyangga sebagian besar berat tubuhnya. "Proteksinya ... ternyata ... didesain dengan bagus," kata Dumbledore lemah. "Satu orang saja tidak akan berhasil ... tindakanmu hebat, Harry, hebat sekali ... " "Jangan bicara sekarang," kata Harry, takut mendengar betapa suara Dumbledore sudah menjadi sangat tidak jelas, betapa kakinya terseret, "simpan tenaga Anda, Sir ... kita akan segera keluar dari sini ... " "Gerbang-lengkungnya pasti sudah menutup lagi ... pisauku "Tak perlu, saya terluka di karang," kata Harry tegas, "beritahu saja di mana ... " "Di sini ... " Harry menyekakan lengannya yang tergores pada dinding karang. Setelah menerima darah ... gerbang lengkung langsung membuka. Mereka menyeberangi bagian depan gua dan Harry membantu Dumbledore kembali ke air laut sedingin es yang memenuhi celah di karang terjal. "Semuanya akan beres, Sir," kata Harry berkali-kali, menjadi lebih cemas dikarenakan diamnya Dumbledore dibanding suaranya yang melemah. "Kita hampir sampai ... saya bisa meng-Apparate kita berdua pulang ... jangan kuatir" "Aku tidak kuatir, Harry," kata Dumbledore, suaranya sedikit lebih kuat, kendati airnya sedingin es. "Aku bersamamu." 27. MENARA TERSAMBAR PETIR Begitu berada kembali di bawah langit bertabur bintang, Harry mengangkat Dumbledore ke atas batu yang paling dekat, kemudian dia sendiri berdiri. Basah kuyup dan menggigil kedinginan, masih menyangga berat tubuh Dumbledore, Harry berkonsentrasi trasi lebih keras daripada yang pernah dilakukannya ke tempat tujuannya, Hogsmeade. Memejamkan matanya, memegang lengan Dumbledore kuat-kuat, dia melangkah memasuki perasaan dimampatkan yang sangat tidak menyenangkan. Dia tahu dia berhasil sebelum membuka matanya: bau garam, angin laut telah lenyap. Dia dan Dumbledore menggigil dengan air masih menetes-netes dari tubuh mereka di tengah jalan utama yang gelap d] Hogsmeade. Selama sesaat yang mengerikan imajinasi Harry memperlihatkan lebih banyak Inferi merayap mendekatinya dari sisi toko-toko, namun dia mengerjapkan mata dan melihat tak ada yang bergerak. Semuanya diam, di mana-mana gelap, kecuali ada beberapa lampu jalan dan jendela atas yang lampunya menyala. "Kita berhasil, Profesor!" Harry berbisik dengan sulit; tiba-tiba dia menyadari dadanya sakit seperti terbakar. "Kita berhasil! Kita mendapatkan Horcrux-nya!" Dumbledore terhuyung menabraknya. Sekejap Harry mengira Apparition-nya yang kurang sempurna membuat Dumbledore kehilangan keseimbangan; kemudian dilihatnya wajah Dumbledore, lebih pucat dan lebih lembap dalam cahaya lampu jalan di kejauhan. "Sir, Anda tak apa-apa?" "Biasanya lebih baik," kata Dumbledore lemah, meskipun ujung-ujung mulutnya menyeringai. "Cairan tadi ... bukan minuman kesehatan ... " Dan betapa ngerinya Harry, Dumbledore merosot ke tanah. "Sir-tak apa-apa, Sir, Anda akan baik-baik saja, jangan kuatir-" Harry memandang ke sekitarnya dengan putus asa, mencari bantuan, namun tak ada orang yang terlihat dan yang bisa dipikirkannya hanyalah, entah bagaimana dia harus membawa Dumbledore secepatnva ke rumah sakit. "Kita harus membawa Anda ke sekolah, Sir ... Madam Pomfrey ... " "Tidak," kata Dumbledore. "Profesor Snape ... dialah yang kuperlukan ... tapi kupikir ... aku tidak bisa berjalan jauh sekarang ... " "Baik-Sir, begini-saya akan mengetuk pintu, mencari tempat Anda bisa tinggal kemudian saya akan berlari memanggil Madam-" "Severus," kata Dumbledore jelas. "Aku perlu Severus ... " "Baiklah kalau begitu, Snape tapi terpaksa saya harus meninggalkan Anda sebentar supaya bisa-" Namun sebelum Harry bisa bertindak, dia mendengar langkah-langkah berlari mendekat. Hatinya terlonjak gembira. Ada yang melihat, ada yang tahu mereka memerlukan bantuan dan ketika berpaling dia melihat Madam Rosmerta berlari sepanjang jalan yang gelap menuju mereka, memakai sandal berbulu berhak tinggi dan baju rumah berbordir naga-naga. "Aku melihat kalian ber-Appparate ketika sedang menutup gorden jendela kamarku! Untunglah, untunglah, aku tak tahu harus-tapi kenapa Albus?" Dia berhenti, terengah-engah, dan menunduk, terbelalak memandang Dumbledore. "Dia terluka," kata Harry. "Madam Rosmerta, bisakah kah dia tinggal di Three Broomsticks sementara saya ke sekolah dan mencari bantuan untuknya?" "Kau tak bisa ke sana sendirian! Apakah kau tak tahu kalian belum melihat?" "Jika Anda membantu saya memapahnya," kata Harry, tidak mendengarkan Madam Rosmerta, "saya rasa kita bisa membawanya ke dalam" "Apa yang terjadi?" tanya Dumbledore. "Rosmerta, ada apa?" "Tanda-Tanda Kegelapan, Albus." Dan dia menunjuk ke langit, ke arah Hogwarts, Ketakutan melanda Harry mendengar kata-kata itu, dia berbalik dan memandang. Itu dia, menggantung di langit di atas sekolah: tengkorak hijau menyala dengan lidah ular, tanda yang ditinggalkan Pelahap Maut setiap kali mereka memasuki suatu bangunan ... setiap kali mereka habis membunuh ... "Kapan munculnya?" tanya Dumbledore, dan tangannya mencengkeram bahu Harry dengan amat menyakitkan, ketika dia berusaha berdiri. "Mestinya beberapa menit yang lalu, tanda itu belum ada ketika aku mengeluarkan kucing, tapi ketika aku tiba di atas-" "Kita harus segera kembali ke kastil," kata Dumbledore. "Rosmerta," dan meskipun dia terhuyung sedikit, tampaknya dia menguasai situasi sepenuhnya, "kami memerlukan transportasi-sapu-" "Ada dua di balik bar," katanya, tampak sangat ketakutan. "Bagaimana kalau aku lari mengambil?" "Tidak usah, Harry bisa melakukannya." Harry langsung mengangkat tongkat sihirnya. "Accio sapu Rosmerta." Sedetik kemudian mereka mendengar bunyi gedubrakan keras ketika pintu depan rumah minum menjeblak terbuka, dua sapu meluncur ke jalan dan berlomba mencapai sisi Harry, di tempat itu mereka langsung berhenti, agak bergetar, setinggi pinggangnya. "Rosmerta, tolong kirim pesan ke Kementerian," kata Dumbledore, seraya menaiki sapu yang paling dekat dengannya. "Mungkin belum ada seorang pun di dalam Hogwarts menyadari ada yang tidak beres ... Harry, pakailah Jubah Gaib-mu ..." Harry menarik keluar Jubah-nya dari dalam sakunya dan menyelubungkannya ke tubuhnya sebelum menaiki sapunya. Madam Rosmerta sudah berjalan kembali terhuyung-huyung menuju rumah minumnya ketika Harry dan Dumbledore menjejak tanah dan naik mengangkasa. Ketika mereka meluncur menuju kastil, Harry mengerling Dumbledore, siap menangkapnya kalau-kalau dia jatuh, namun melihat Tanda Kegelapan rupanya bereaksi terhadap Dumbledore seperti obat kuat: dia membungkuk rendah di atas sapunya, matanya terpancang pada Tanda itu, rambut perak dan jenggotnya yang panjang berkibar di belakangnya di dalam udara malam. Dan Harry juga memandang tengkorak itu, dan ketakutan menggelembung di dalam dirinya, seperti gelembung beracun, menekan paru-parunya, menyingkirkan semua ketidaknyamanan lain dari pikirannya ... Berapa lama sudah mereka pergi? Apakah keberuntungan Ron, Hermione, dan Ginny sudah memudar sekarang? Apakah salah satu dari mereka yang menyebabkan Tanda itu dipasang di atas sekolah, ataukah Neville atau Luna, atau anggota LD yang lain? Dan kalau betul begitu ... dialah yang menyuruh mereka berpatroli di koridor-koridor, dia yang meminta mereka meninggalkan tempat tidur mereka yang aman ... apakah dia akan bertanggung jawab, lagi, atas kematian seorang teman? Selagi mereka terbang di atas jalan gelap berkelok-kelok yang mereka lewati dengan berjalan kaki tadi, Harry mendengar, di atas desing udara malam di telinganya, Dumbledore bergumam dalam bahasa yang aneh lagi. Rasanya dia memahami kenapa ketika dia merasa sesaat sapunya bergetar sewaktu mereka terbang melewati tembok pembatas memasuki halaman sekolah. Dumbledore melepas sihir yang dipasangnya sendiri di sekitar sekolah, supaya mereka bisa masuk dengan cepat. Tanda Kegelapan berpendar tepat di atas Menara Astronomi, menara kastil yang paling tinggi. Apakah itu berarti kematian terjadi di sana? Dumbledore sudah melewati benteng pertahanan Menara Astronomi dan sedang turun dari sapunya. Harry mendarat di sebelahnya beberapa detik sesudahnya dan memandang berkeliling. Benteng itu kosong. Pintu ke tangga spiral yang turun menuju ke dalam kastil tertutup. Tak ada tanda-tanda perlawanan, pertempuran maut, ataupun mayat. "Apa artinya ini?" Harry bertanya kepada Dumbledore, mendongak memandang tengkorak hijau dengan lidah ular bersinar mengerikan di atas mereka. "Apakah itu Tanda yang sebenarnya? Apakah sudah pasti ada yang Profesor?" Dalam keremangan pendar cahaya hijau dari Tanda, Harry melihat Dumbledore mencengkeram dadanya dengan tangannya yang menghitam. "Pergilah bangunkan Severus," kata Dumbledore lemah namun jelas. "Ceritakan kepadanya apa yang terjadi dan bawa dia kepadaku. Jangan melakukan hal lain, jangan bicara kepada siapa pun, dan jangan melepas Jubah-mu. Aku akan menunggu di sini." "Tapi-" "Kau sudah bersumpah akan mematuhiku, Harry pergilah!" Harry bergegas ke pintu yang menuju tangga spiral, namun baru saja tangannya memegang cincin besi pintu itu, didengarnya langkah-langkah berlari di baliknya. Dia berpaling memandang Dumbledore, yang memberi isyarat agar dia mundur. Harry mundur, sambil mencabut tongkat sihirnya. Pintu menjeblak terbuka dan ada yang menyerbu keluar dan berteriak, "Expelliarmus!" Tubuh Harry langsung kaku dan tak bisa bergerak, dan dia merasa dirinya terjatuh ke belakang ke dinding Menara, bersandar seperti patung goyah, tak mampu bergerak ataupun berbicara. Dia tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi-Expelliarmus bukanlah Mantra Pembeku. Kemudian, diterangi cahaya Tanda, dilihatnya tongkat sihir Dumbledore terbang melengkung melewati tepian benteng dan dia mengerti ... Dumbledore telah membuat Harry tak bergerak tanpa kata, dan detik yang digunakannya untuk melakukan mantra itu telah membuatnya kehilangan kesempatan untuk melindungi dirinya sendiri. Berdiri bersandar di benteng, dengan wajah sangat pucat pasi, Dumbledore masih tetap tidak menunjukkan tanda-tanda panik ataupun bingung. Dia hanya memandang orang yang melucuti senjatanya dan berkata, "Selamat malam, Dwraco." Malfoy melangkah maju, memandang ke sekitarnya dengan cepat untuk mengecek dia dan Dumbledore hanya berdua saja. Terpandang olehnya sapu kedua. "Siapa lagi yang ada di sini?" "Pertanyaan yang bisa juga kuajukan kepadamu. Atau apakah kau bertindak sendiri?" Harry melihat mata pucat Malfoy kembali memandang Dumbledore dalam sinar kehijauan Tanda. "Tidak," katanya. "Saya punya pendukung. Ada Pelahap Maut di sini di sekolah Anda malam ini." "Wah, wah," kata Dumbledore, seolah Malfoy sedang memperlihatkan kepadanya PR proyek yang ambisius. "Sungguh bagus sekali. Kau menemukan cara untuk memasukkan mereka, rupanya?" "Yeah," kata Malfoy, yang terengah. "Tepat di depan hidung Anda dan Anda tak pernah menyadarinya!" "Sungguh banyak akal," kata Dumbledore. "Tapi ... maaf ... di mana mereka sekarang? Kau tampak tak terkawal." "Mereka bertemu beberapa penjaga Anda. Mereka sedang bertempur di bawah sana. Tak akan lama lagi ... saya keluar lebih dulu. Saya-saya punya tugas yang harus saya laksanakan." "Nah, kalau begitu, teruskan dan laksanakan tugasmu, Nak," kata Dumbledore lembut. Sunyi. Harry berdiri terpenjara dalam tubuhnya yang tak kelihatan dap lumpuh, menatap mereka berdua, telinganya ditajamkannya untuk mendengar pertempuran para Pelahap Maut di kejauhan, dan di hadapannya, Draco Malfoy tidak melakukan apa-apa kecuali memandang Albus Dumbledore, yang tak bisa dipercaya, tersenyum. "Draco, Draco, kau bukan pembunuh." "Bagaimana Anda tahu?" kata Malfoy segera. Rupanya dia menyadari betapa kekanak-kanakan kata-katanya tadi terdengar. Harry melihat wajahnya memerah dalam cahaya kehijauan Tanda. "Anda tak tahu saya sanggup berbuat apa saja," kata Malfoy, lebih kuat, "Anda tak tahu apa yang telah saya lakukan!" "Oh, ya, aku tahu," kata Dumbledore lunak. "Kau nyaris membunuh Katie Bell dan Ronald Weasley. Kau mencoba, dengan keputusasaan yang semakin meningkat, untuk membunuhku sepanjang tahun ini. Maafkan aku, Draco, tapi usaha-usahamu itu lemah ... sangat lemah, jujur saja, sehingga aku bertanya-tanya sendiri apakah kau melakukannya dengan sepenuh hati ... " "Dengan sepenuh hati!" kata Malfoy berapi-api. "Saya mengerjakannya sepanjang tahun, dan malam ini-" Di suatu tempat di kedalaman kastil di bawah Harry mendengar teriakan samar. Malfoy menegang dan menoleh. "Ada yang melawan dengan gigih," kata Dumbledore sambil lalu. "Tapi tadi kau mengatakan ... ya, kau berhasil memasukkan Pelahap Maut ke dalam sekolahku, yang, harus kuakui, kupikir tidak mungkin ... bagaimana kau melakukannya?" Namun Malfoy tidak berkata apa-apa. Dia masih mendengarkan apa pun yang terjadi di bawah dan tampaknya hampir sama lumpuhnya seperti Harry. "Barangkali kau harus melanjutkan melaksanakan tugasmu sendirian," saran Dumbledore. "Bagaimana kalau pendukungmu berhasil dirintangi oleh penjagaku? Seperti yang mungkin telah kau sadari, ada anggota-anggota Orde Phoenix juga di sini malam ini. Lagi pula, kau tidak memerlukan bantuan ... aku tak punya tongkat sihir saat ini ... aku tak bisa membela diri." Malfoy hanya menatapnya. "Ah, begitu rupanya," kata Dumbledore ramah, ketika Malfoy tidak bergerak maupun bicara. "Kau takut bertindak sebelum mereka bergabung denganmu." "Saya tidak takut!" gertak Malfoy, meskipun dia masih belum berbuat apa-apa untuk melukai Dumbledore. "Anda-lah yang seharusnya takut!" "Tapi kenapa? Menurutku kau tidak akan membunuhku, Draco. Membunuh tidak semudah yang dikira orang-orang yang tak tahu apa-apa ... jadi, ceritakan padaku, sementara kita menunggu teman-temanmu ... bagaimana kau menyelundupkan mereka ke sini? Kelihatannya kau perlu waktu lama untuk memecahkan bagaimana melakukannya." Malfoy tampak seperti sedang berusaha keras menahan desakan untuk berteriak, atau muntah. Dia menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali, menatap galak Dumbledore, tongkat sihirnya teracung tepat ke jantung Dumbledore. Kemudian, seakan tak bisa menahan diri lagi, dia berkata, "Saya harus membetulkan Lemari Pelenyap yang sudah tidak digunakan selama bertahun-tahun. Lemari tempat Montague hilang tahun lalu." "Aaaah." Desah Dumbledore itu sekaligus setengah erangan. Sesaat dia memejamkan matanya. "Pintar sekali ... ada kembarannya, kukira?" "Satunya ada di Borgin and Burkes," kata Malfoy, "dan keduanya membentuk semacam lorong di antara mereka. Montague memberitahu saya, ketika dia terkurung dalam lemari yang di Hogwarts, keadaannya tak menentu, tapi kadang-kadang dia bisa mendengar apa yang sedang terjadi di sekolah, dan kadang-kadang apa yang sedang terjadi di toko, sepertinya lemari itu berpindah-pindah antara dua tempat itu, namun dia tidak bisa membuat orang lain mendengarnya ... pada akhirnya dia berhasil ber-Apparate keluar, meskipun dia tidak lulus ujian Apparition-nya. Dia nyaris mati melakukan itu. Semua orang menganggap ceritanya benar-benar seru, tapi saya satu-satunya yang menyadari apa artinya itu bahkan Borgin tidak tahu-sayalah yang menyadari mungkin ada jalan masuk Hogwarts lewat kedua Lemari itu kalau saya membetulkan yang rusak." "Bagus sekali," gumam Dumbledore. "Jadi, para Pelahap Maut bisa lewat dari Borgin and Burkes ke dalam sekolah untuk membantumu ... rencana yang cerdik, sangat cerdik ... dan, seperti yang kau katakan, tepat di depan hidungku." "Yeah," kata Malfoy yang, sungguh aneh, tampaknya mendapatkan keberanian dan penghiburan dari pujian Dumbledore. "Yeah, memang begitu!" "Tetapi bukankah ada saat-saat," Dumbledore melanjutkan, "ketika kau tidak yakin kau akan berhasil membetulkan Lemari itu? Dan kau mengambil tindakan lain yang kasar dan kurang pertimbangan, seperti mengirimiku kalung terkutuk yang pastilah akan jatuh ke tangan orang lain ... meracuni mead, padahal kemungkinan aku meminumnya sangatlah kecil ... " "Yeah, tapi Anda tidak menyadari siapa di belakang semua itu, kan?" cemooh Malfoy, ketika Dumbledore merosot sedikit di tembok benteng, kekuatan di kakinya rupanya berkurang, dan Harry berjuang sekuat tenaga, sia-sia, tanpa suara, untuk melepaskan diri dari mantra yang mengikatnya. "Sebetulnya, aku tahu," kata Dumbledore. "Aku yakin kaulah orangnya." "Kenapa Anda tidak menghentikan saya, kalau begitu?" tuntut Malfoy. "Aku mencoba, Draco. Profesor Snape selama ini mengawasimu atas perintahku" "Dia tidak melakukan perintah Anda, dia berjanji kepada ibu saya" "Tentu saja itu yang akan dikatakannya kepadamu, Draco, tapi" "Dia agen-ganda, laki-laki tua bodoh, dia tidak bekerja untuk Anda, Anda saja yang mengira begitu!" "Kita harus sepakat bahwa kita berbeda pendapat dalam hal ini, Draco. Aku kebetulan memercayai Profesor Snape" "Anda mulai kacau kalau begitu!" ejek Malfoy. "Dia menawarkan banyak bantuan kepada saya menginginkan semua kemuliaan untuk dirinya ingin ikut ambil bagian dalam apa yang saya lakukan. Apa yang kau lakukan? Kau yang mengirim kalung itu, itu tindakan bodoh, bisa menggagalkan segalanya. Tapi saya tidak memberitahunya apa yang saya lakukan di Kamar Kebutuhan, dia akan bangun esok pagi dan semuanya sudah berakhir dan dia tak lagi jadi favorit Pangeran Kegelapan, dia bukan apa-apa dibanding dengan saya, bukan apa-apa!" "Sangat memuaskan," kata Dumbledore lunak. "Kita semua senang mendapat apresiasi untuk kerja keras kita, tentu saja ... tapi kau pastilah punya kaki tangan ... punya orang di Hogsmeade, yang bisa memberikan kepada Katie kalung-kalung-aaaah ... " Dumbledore memejamkan matanya lagi dan mengangguk-angguk, seolah-olah dia akan tertidur. "... tentu saja ... Rosmerta. Berapa lama sudah dia di bawah pengaruh Kutukan Imperius?" "Paham juga akhirnya," ejek Malfoy. Terdengar teriakan lain dari bawah, lebih keras daripada sebelumnya. Malfoy menoleh gugup lagi, kemudian kembali memandang Dumbledore, yang melanjutkan, "Jadi, kasihan Rosmerta, disuruh bersembunyi di toiletnya sendiri dan memberikan kalung itu kepada murid Hogwarts mana saja yang masuk ke toilet sendirian? Dan mead beracun ... yah, tentu saja Rosmerta bisa meracuninya untukmu sebelum dia mengirim botol itu kepada Slughorn, mengira itu hadiah Natal untukku ... ya, sangat rapi ... sangat rapi ... Mr Filch yang malang tentu saja tidak akan berpikir untuk mengecek botol kiriman Rosmerta ... beritahu aku, bagaimana kau bisa berkomunikasi dengan Rosmerta? Kupikir semua cara komunikasi masuk dan keluar dari sekolah sudah dimonitor." "Koin yang disihir," kata Malfoy, seakan dia terpaksa harus terus bicara, meskipun tongkat sihirnya gemetar hebat sekali. "Saya pegang satu dan dia pegang yang lain dan saya bisa mengirim pesan-pesan kepadanya" "Bukankah itu cara komunikasi rahasia yang digunakan grup yang menamakan diri Laskar Dumbledore tahun lalu?" tanya Dumbledore. Suaranya ringan seperti mengobrol biasa, namun Harry melihatnya merosot lagi dua setengah senti di dinding ketika dia mengatakan itu. "Yeah, saya mendapatkan idenya dari mereka," kata Malfoy, dengan senyum masam. "Saya mendapatkan ide meracuni mead dari si Darah-lumpur Granger juga, saya mendengarnya ngomong di perpustakaan tentang Filch yang tidak mengenali racun ... " "Tolong jangan gunakan kata tidak sopan itu di depanku," kata Dumbledore. Malfoy tertawa kasar. "Anda masih peduli saya menyebut 'Darah-lumpur', padahal saya sudah akan membunuh Anda?" "Ya," kata Dumbledore, dan Harry melihat kakinya menggelincir sedikit di lantai selagi dia berusaha agar tetap tegak. "Sedangkan soal kau akan membunuhku, Draco, kau sudah melewatkan beberapa menit sekarang. Kita cuma berdua. Aku lebih tak berdaya daripada yang bisa kau harapkan, dan tetap saja kau belum bertindak ... " Mulut Malfoy mengeriut di luar kemauannya, seakan dia baru saja menelan sesuatu yang sangat pahit. "Nah, tentang malam ini" Dumbledore melanjutkan, "aku agak bingung bagaimana terjadinya ... kau tahu aku telah meninggalkan sekolah? Tapi tentu saja," dia menjawab pertanyaannya sendiri. "Rosmerta melihatku pergi, dia memberitahumu lewat koin pintar itu, aku yakin ... " "Betul," kata Malfoy. "Tapi dia bilang Anda Cuma keluar untuk minum, Anda akan pulang ... " "Yah, memang aku betul-betul minum ... dan aku pulang ... selewat beberapa waktu," gumam Dumbledore. "Jadi, kau memutuskan untuk memasang perangkap untukku?" "Kami memutuskan memasang Tanda Kegelapan di atas Menara dan membuat Anda bergegas pulang ke sini, untuk melihat siapa yang sudah dibunuh," kata Malfoy. "Dan ternyata berhasil!" "Yah ... ya dan tidak ... " kata Dumbledore. "Tapi, kalau begitu, ini berarti tak ada yang terbunuh?" "Ada yang mati" kata Malfoy dan suaranya naik satu oktaf ketika dia mengatakan itu. "Salah satu dari orang-orang Anda ... saya tidak tahu siapa dia, soalnya gelap ... saya menginjak tubuhnya ... saya sebenarnya harus menunggu di atas sini saat Anda pulang, hanya saja phoenix Anda menghalangi ..." "Ya, mereka melakukan itu," kata Dumbledore. Terdengar, ledakan dan teriakan-teriakan dari bawah, lebih keras daripada sebelumnya. Kedengarannya seperti orang-orang bertempur di tangga spiral yang menuju ke tempat Dumbledore, Malfoy, dan Harry berada, dan jantung Harry bergemuruh tak terdengar dalam dadanya yang tak kelihatan ... ada yang mati ... Malfoy menginjak tubuhnya ... tapi siapa dia? "Waktunya tinggal sedikit, dengan cara bagaimanapun juga," kata Dumbledore. "Jadi, mari kita diskusikan pilihanmu, Draco." "Pilihan saya!" kata Malfoy keras. "Saya berdiri di sini memegang tongkat sihir saya akan membunuh Anda" "Anakku yang baik, mari kita jangan berpura-pura lagi soal itu. Kalau memang akan membunuhku, kau sudah melakukannya waktu kau melucutiku tadi, kau tidak akan berhenti dulu untuk obrolan menyenangkan tentang cara dan sarana ini." "Saya tak punya pilihan!" kata Malfoy, dan mendadak dia sepucat Dumbledore. "Saya harus melakukannya! Dia akan membunuh saya! Dia akan membunuh seluruh keluarga saya!" "Aku menghargai kesulitan posisimu," kata Dumbledore. "Kalau tidak, kenapa menurutmu aku tidak mengkonfrontasimu sebelum ini? Karena aku tahu kau akan dibunuh jika Lord Voldemort menyadari aku mencurigaimu." Malfoy berjengit mendengar nama itu. "Aku tidak berani bicara denganmu soal misi yang aku tahu telah dipercayakan kepadamu, siapa tahu dia menggunakan Legillimency terhadapmu," Dumbledore melanjutkan. "Tetapi sekarang akhirnya kita bisa saling bicara terbuka ... belum ada kerugian, kau belum mencelakakan siapa-siapa, meskipun kau sangat beruntung anak-anak yang tak sengaja menjadi korbanmu selamat ... aku bisa membantumu, Draco." "Tidak, Anda tak bisa," kata Malfoy, tongkat sihirnya bergetar hebat. "Tak ada yang bisa membantu saya. Dia menyuruh saya melakukannya, kalau tidak dia akan membunuh saya. Saya tak punya pilihan." "Menyeberanglah ke pihak yang benar, Draco, dan kami bisa menyembunyikanmu lebih sempurna daripada yang bisa kaubayangkan. Lagi pula, aku bisa mengirim anggota-anggota Orde ke ibumu malam ini untuk menyembunyikannya juga. Ayahmu aman saat ini di Azkaban ... kalau waktunya tiba kami bisa melindunginya juga ... menyeberanglah ke pihak yang benar, Draco ... kau bukan pembunuh ... " Malfoy memandang Dumbledore. "Tapi saya berhasil sampai sejauh ini, kan?" kata Draco perlahan. "Mereka mengira saya akan mati dalam usaha saya, tapi saya di sini ... dan Anda dalam kekuasaan saya ... saya yang memegang tongkat sihir ... Anda dalam belas kasihan saya ... " "Tidak, Draco," kata Dumbledore pelan. "Belas kasihankulah, bukan belas kasihanmu, yang penting sekarang." Malfoy tidak bicara. Mulutnya ternganga, tongkat sihirnya masih gemetar. Harry melihat tongkat itu menurun sedikit Namun mendadak terdengar gemuruh langkah-langkah menaiki tangga dan sesaat kemudian Malfoy terdorong minggir ketika empat orang berjubah hitam menerjang keluar dari pintu ke benteng. Masih lumpuh, matanya menatap tanpa berkedip, Harry memandang ngeri keempat orang asing itu. Tampaknya Pelahap Maut telah memenangkan pertempuran di bawah. Seorang laki-laki gendut tak-berbentuk dengan lirikan juling, terkekeh menciut-ciut. "Dumbledore tersudut!" katanya, dan dia berpaling pada wanita kekar kecil yang kelihatannya bisa jadi adiknya dan yang sedang menyeringai senang. "Dumbledore tanpa tongkat sihir, Dumbledore sendirian! Bagus sekali, Draco, bagus sekali!" "Selamat malam, Amycus," kata Dulnbledore kalem, seakan menyambut orang itu dalam jamuan minum teh. "Dan kau mengajak Alecto juga ... menyenangkan .... " Perempuan itu terkekeh marah. "Kau kira lelucon kecil ini akan membantumu di akhir hidupmu, begitu?" cemoohnya. "Lelucon? Bukan, bukan, ini sopan santun," jawab Dumbledore. "Lakukan," kata orang asing yang berdiri paling dekat dengan Harry, tinggi besar dengan rambut dan kumis kelabu berantakan, jubah Pelahap Maut-nya tampak sesak tak nyaman. Belum pernah Harry mendengar suara seperti suara laki-laki ini, seperti gonggongan serak. Harry bisa mencium bau tajam campuran antara tanah, keringat, dan tak salah lagi, darah, menguar dari tubuhnya. Tangannya yang kotor berkuku panjang-panjang kekuningan. "Kaukah itu, Fenrir?" tanya Dumbledore. "Betul," jawabnya serak. "Senang melihatku, Dumbledore?" "Tidak, tak bisa kukatakan aku senang ... " Fenrir Greyback menyeringai, memperlihatkan giginya yang runcing-runcing. Darah menetes-netes ke dagunya dan dia menjilat bibirnya perlahan, dengan kurang ajar. "Tapi kau tahu aku suka sekali anak-anak, Dumbledore." "Benarkah dugaanku bahwa kau menyerang bahkan tanpa bulan purnama sekarang? Ini sangat tidak lazim ... kau sudah sedemikian gemar daging manusia sehingga tidak bisa hanya dipuaskan sebulan sekali?" "Betul," kata Greybackz. "Kau shock, kan, Dumbledore? Takut?" "Yah, aku tak bisa berpura-pura itu tidak membuatku ku agak jijik," kata Dumbledore. "Dan ya aku agak shock bahwa Draco justru mengundangmu, ke sekolah tempat teman-temannya tinggal ... " "Saya tidak mengundangnya," desah Malfoy. Dia tidak memandang Greyback, tampaknya dia bahkan tak mau mengerlingnya. "Saya tak tahu dia akan datang ..." "Mana mau aku ketinggalan piknik ke Hogwarts, Dumbledore," kata Greyback parau. "Di sini ada banyak nyak leher yang bisa dikoyak ... lezat, lezat ... " Dan dia mengangkat jarinya yang berkuku kuning dan mencukil-cukil giginya, melirik Dumbledore. "Kau bisa kujadikan makanan penutup, Dumbledore ... " "Tidak," kata Pelahap Maut keempat tajam. Wajahnya berat dan brutal. "Kita sudah mendapat perintah. Draco yang harus melakukannya. Sekarang, Draco, dan cepat." Malfoy memperlihatkan keengganan yang lebih besar daripada sebelumnya. Tampaknya dia ketakutan ketika memandang wajah Dumbledore, yang sangat pucat, dan lebih rendah, karena dia sudah semakin merosot di dinding benteng. "Umurnya toh tak akan lama lagi, kalau kau tanya aku!" kata si laki-laki juling, disusul cekikikan adik perempuannya yang mendesis-desis. "Lihat saja dia kau kenapa, Dumby?" "Oh, daya tahan yang melemah, refleks yang melambat, Amycus," kata Dumbledore. "Usia tua, singkatnya ... suatu hari, barangkali, ini juga akan terjadi padamu ... kalau kau beruntung ... " "Apa maksudnya itu, kalau begitu, apa maksudnya?" teriak si Pelahap Maut, mendadak garang. "Masih sama saja rupanya kau, Dumby, ngomong terus dan tidak melakukan apa-apa. Aku tak tahu kenapa Pangeran Kegelapan mau repot-repot membunuhmu! Ayo, Draco, lakukan!" Namun pada saat itu terdengar lagi langkah-langkah kaki dari bawah dan suara yang berteriak, "Mereka memblokir tangga-Reducto! REDUCTO!" Hati Harry terlonjak girang: jadi keempat Pelahap Maut ini belum mengalahkan semua musuh, melainkan hanya kabur dari pertempuran ke puncak Menara, dan kalau didengar dari teriakan tadi, menciptakan rintangan di belakang mereka-Sekarang, Draco, cepat!" kata si laki-laki bertampang-brutal berang. Namun tangan Malfoy gemetar hebat sekali sehingga mengacungkan tongkat sihirnya ke sasaran pun dia tak bisa. "Biar aku saja," gertak Greyback, bergerak ke arah Dumbledore dengan tangan terjulur, memamerkan giginya. "Kubilang tidak!" teriak si tampang-brutal. Ada kilatan cahaya dan si manusia serigala terlempar. Dia menghantam tembok benteng dan terhuyung, tampangnya murka. Jantung Harry berdentum-dentum keras sekali, sehingga rasanya tak mungkin tak ada orang yang mendengarnya berdiri di sana, terperangkap oleh mantra Dumbledore kalau saja dia bisa bergerak, dia bisa meluncurkan kutukan dari bawah Jubah-nya "Draco, lakukan, kalau tidak, minggir, supaya salah satu dari kami-" kata si perempuan dengan suara menciut-ciut, namun tepat saat itu pintu menuju benteng menjeblak terbuka sekali lagi dan di sana berdiri Snape, tongkat sihirnya tercengkeram di tangan ketika mata hitamnya menyapu pemandangan itu, dari tubuh Dumbledore yang merosot di tembok, ke empat Pelahap Maut, termasuk si manusia serigala yang marah, dan Malfoy. "Kita punya masalah, Snape," kata si gendut Amycus yang mata maupun tongkat sihirnya tertuju ke Dumbledore, "anak ini tampaknya tak sanggup" Namun ada orang lain yang memanggil nama Snape, cukup pelan. "Severus..." Suara itu menakutkan Harry lebih dari segala yang telah dialaminya malam itu. Untuk pertama kalinya, Dumbledore memohon. Snape tidak berkata apa-apa, namun berjalan maju dan mendorong Malfoy dengan kasar agar menyingkir. Ketiga Pelahap Maut mundur tanpa kata. Bahkan si manusia serigala tampak ketakutan. Sesaat Snape memandang Dumbledore, dan kejijikan serta kebencian terpahat pada garis-garis keras wajahnya. "Severus ... tolong ... " Snape mengangkat tongkat sihirnya dan mengacungkannya tepat ke arah Dumbledore. "Avada Kedavra!" Pancaran sinar hijau meluncur dari ujung tongkat sihir Snape dan menghantam Dumbledore tepat di dadanya. Jeritan ngeri Harry tidak pernah meninggalkan mulutnya; tak bisa bersuara dan tak bisa bergerak, dia terpaksa hanya bisa mengawasi ketika Dumbledore terlempar ke atas, selama sepersekian detik tampaknya Dumbledore menggantung di bawah tengkorak yang bersinar, dan kemudian perlahan dia jatuh ke belakang, seperti boneka kain besar, melewati benteng, dan lenyap dari pandangan. 28. KABURNYA PANGERAN Harry merasa seolah dia juga meluncur di angkasa. Itu tidak terjadi ... itu tak mungkin terjadi ... "Keluar dari sini, cepat," kata Snape. Dia menyambar Malfoy pada tengkuknya dan memaksanya masuk lewat pintu lebih dulu dari yang lain. Greyback dan si kakak-beradik gemuk pendek mengikuti; dua yang disebut belakangan ini terengah-engah bersemangat. Selagi mereka menghilang lewat pintu Harry menyadari dia bisa bergerak lagi; yang sekarang menahannya tetap lumpuh bersandar ke dinding bukannya sihir, melainkan kengerian dan shock. Dia menyingkirkan Jubah Gaib-nya ketika si Pelahap-Maut berwajah-brutal, yang terakhir meninggalkan puncak Menara, sedang menghilang lewat pintu. "Petrificus Totalus!" Si Pelahap Maut melengkung ke depan seolah punggungnya terhantam sesuatu yang keras, dan roboh ke bawah, kaku seperti patung lilin. Baru saja tubuhnya menyentuh lantai, Harry melompatinya dan berlari menuruni tangga yang gelap. Teror mencabik hati Harry ... dia harus pergi ke Dumbledore dan dia harus menangkap Snape ... entah bagaimana dua hal ini berkaitan ... dia bisa membalikkan apa yang telah terjadi jika keduanya bisa dia satukan ... Dumbledore tak mungkin sudah meninggal. Dia melompati sepuluh anak tangga terakhir tangga spiral dan berhenti di tempatnya mendarat, tongkat sihirnya terangkat koridor yang berpenerangan remang-remang dipenuhi debu; separo langit-langitnya tampaknya sudah runtuh dan pertempuran sedang berlangsung seru di hadapannya, namun ketika dia sedang berusaha melihat siapa melawan siapa, didengarnya suara yang dibencinya itu berteriak, "Sudah selesai, waktunya pergi!" dan dilihatnya Snape menghilang di tikungan di ujung koridor; dia dan Malfoy tampaknya berhasil menerabas pertempuran tanpa terluka. Ketika Harry berlari mengejar mereka, salah satu musuh melepaskan diri dari pertempuran dan menyerangnya. Ternyata si manusia serigala, Greyback. Dia sudah menerkam Harry sebelum Harry sempat mengangkat tongkat sihirnya. Harry terjatuh ke belakang, dengan rambut kotor-kusut di wajahnya, bau busuk keringat dan darah memenuhi hidung dan mulutnya, napas rakus panas di tenggorokannya-- "Petrificus Totalus!" Harry merasa Greyback ambruk di atasnya; dengan susah payah didorongnya manusia serigala itu dari tubuhnya ke lantai, ketika pancaran sinar hijau meluncur ke arahnya. Dia membungkuk menghindar dan berlari, dengan kepala lebih dulu, memasuki pertempuran. Kakinya tersandung sesuatu yang basah dan licin di lantai dan dia terhuyung. Ada dua sosok tubuh tergeletak di sana, tengkurap dalam genangan darah, namun tak ada waktu untuk memeriksanya. Harry sekarang melihat rambut merah berkibar seperti lidah api di depannya. Ginny sedang bertempur melawan si Pelahap Maut gendut, Amycus, yang melancarkan kutukan demi kutukan sementara Ginny menghindarinya. Amycus terkekeh, menikmati permainan ini: "Crucio-Crucio-kau tak bisa menari-nari selamanya, cantik-" "Impedimenta!" teriak Harry. Kutukannya menghantam Amycus di dada. Dia mendengking seperti babi kesakitan, terangkat dari lantai dan menghantam dinding di seberang, merosot turun dan menghilang di balik Ron, Profesor McGonagall, dan Lupin, yang masing-masing melawari Pelahap Maut berbeda. Di belakang mereka, Harry melihat Tonks melawan penyihir laki-laki superbesar berambut pirang yang meluncurkan kutukan ke segala jurusan, sehingga kutukan-kutukannya terpantul dari dinding di sekitar mereka, meretakkan batu, menghancurkan jendela terdekat-- "Harry, kau muncul dari mana?" Ginny berseru, namun tak ada waktu. untuk menjawabnya. Harry menundukkan kepala dan berlari maju, nyaris saja terkena ledakan yang meledak di atas kepalanya, menghujani mereka semua dengan serpihan dinding, Snape tak boleh kabur, dia harus mengejar Snape-"Rasakan ini!" teriak Profesor McGonagall, dan Harry sekilas melihat si Pelahap Maut perempuan, Alecto, berlari sepanjang koridor dengan tangan di atas kepalanya, kakaknya tepat di belakangnya. Harry berlari mengejar mereka, namun kakinya terantuk sesuatu dan detik berikutnya dia terkapar di atas kaki seseorang. Ketika dia menoleh, dilihatnya wajah Neville yang bundar, pucat, rata mencium lantai. "Neville, apakah kau?" "Ku baik-baik saja," gumam Neville, yang mencengkeram perutnya. "Harry ... Snape dan Malfoy ... lari lewat ..." "Aku tahu, aku sedang mengejar mereka!" kata Harry, mengarahkan kutukan dari lantai kepada si Pelahap Maut pirang superbesar yang menyebabkan sebagian besar kekacauan: orang itu melolong kesakitan ketika kutukan menghantam mukanya. Dia berputar, terhuyung, dan kemudian berlari mengejar si kakak-beradik. Harry terhuyung bangun dari lantai dan mulai berlari sepanjang koridor, tak menghiraukan ledakan-ledakan yang muncul dari arah belakangnya, teriakan-teriakan yang lain yang menyuruhnya kembali, dan panggilan diam sosok-sosok di lantai, yang nasibnya belum diketahuinya ... Dia terpeleset di tikungan, sepatunya licin kena darah. Snape sudah lama mendahuluinya mungkinkah dia sudah memasuki Lemari di Kamar Kebutuhan, atau apakah Orde sudah mengambil langkah-langkah untuk mengamankannya, untuk mencegah para Pelahap Maut kabur lewat jalan itu? Harry tak bisa mendengar apa-apa kecuali derap langkahnya dan debar jantungnya selagi dia berlari sepanjang koridor kosong berikutnya, namun kemudian dilihatnya jejak kaki berdarah yang menunjukkan paling tidak salah satu Pelahap Maut yang kabur menuju ke pintu depan barangkali Kamar Kebutuhan benar-benar sudah di blokir. Dia terpeleset lagi di tikungan yang lain dan ada kutukan yang terbang melewatinya, dia melesat ke belakang baju zirah, yang meledak. Dilihatnya kakak beradik Pelahap Maut berlari menuruni tangga pualam di depan dan dia mengarahkan serangan kepada mereka, namun serangannya hanya mengenai beberapa penyihir perempuan memakai wig dalam lukisan di bordes, yang berlarian menjerit-jerit ke dalam lukisanlukisan di dekat situ. Ketika melompati kepingan-kepingan baju zirah, Harry mendengar lebih banyak teriakan dan jeritan. Rupanya orang-orang lain di dalam kastil sudah terbangun ... Dia melesat ke jalan pintas, berharap mendahului kakak-beradik dan mendekati Snape dan Malfoy, yang pastilah sudah sampai di halaman sekarang. Teringat melompati anak tangga yang lenyap di tengah tangga tersembunyi, dia muncul lewat permadani hias di dasar tangga dan keluar ke koridor tempat sejumlah anak-anak Hufflepuff yang berpiama berdiri bingung. "Harry! Kami mendengar keributan dan ada yang berteriak tentang Tanda Kegelapan" kata Ernie Macmillan. "Minggir!" teriak Harry, menabrak minggir dua anak laki-laki ketika dia berlari menuju bordes dan menuruni sisa anak tangga pualam. Pintu depan ek sudah diledakkan terbuka dan ada noda-noda darah di ubin dan beberapa anak yang Ada yang menghantam bagian belakang pinggang Harry dan dia terjerembap, wajahnya menghantam tanah, darah mengucur dari kedua lubang hidungnya. Dia tahu, bahkan selagi berguling membalik, tongkat sihirnya siap, bahwa kakak-beradik yang telah disalipnya melewati jalan pintas sekarang sudah dekat di belakangnya ... "Impedimenta!" teriaknya, seraya berguling lagi, berjongkok rendah di tanah yang gelap, dan secara ajaib serangannya mengenai salah satu dari mereka. Orang itu ketakutan berdiri berkerumun di dekat dinding, satu-dua anak masih gemetar ketakutan dengan tangan menutupi wajah. Jam-pasir raksasa Gryffindor pecah terkena serangan dan batubatu rubi di dalamnya masih berjatuhan dengan berkeretekan ke lantai ubin di bawahnya. Harry berlari menyeberangi Aula Depan dan keluar ke halaman yang gelap. Dia bisa melihat tiga sosok berlari di padang rumput, menuju gerbang; di luar gerbang itu mereka bisa ber-Disapparate. Kalau dilihat dari sosoknya, mereka adalah si Pelahap Maut pirang yang besar, dan agak jauh di depannya, Snape dan Malfoy. Udara malam yang dingin mencabik paru-paru Harry ketika dia berlari mengejar mereka. Dilihatnya kilatan sinar di kejauhan yang sekejap menerangi buruannya. Dia tak tahu apa itu, namun terus berlari, belum cukup dekat untuk menyerang dengan kutukan-Kilatan lain, teriakan-teriakan, pancaran-pancaran sinar balasan, dan Harry mengerti. Hagrid telah muncul dari dalam pondoknya dan sedang berusaha mencegah para Pelahap Maut kabur, dan meskipun setiap tarikan napas serasa merobek paru-parunya dan dadanya sakit seperti terbakar, Harry berlari lebih cepat ketika suara yang tak diundang muncul dalam kepalanya: jangan Hagrid ... jangan Hagrid juga terhuyung dan jatuh, yang lain tersandung tubuhnyanya. Harry melompat bangun dan berlari lagi, mengejar Snape ... Dan sekarang dia melihat sosok besar Hagrid, diterangi cahaya bulan sabit yang muncul tiba-tiba dari balik awan. Si Pelahap Maut pirang meluncurkan kutukan demi kutukan ke arah si pengawas binatang liar, namun kekuatan Hagrid yang luar biasa, dan kulit keras yang diwarisinya dari ibunya yang raksasa, rupanya melindunginya. Meskipun demikian Snape dan Malfoy masih terus berlari. Sebentar lagi mereka akan melewati gerbang, bisa ber-Disapparate-- Harry berlari melewati Hagrid dan lawannya, mengarahkan tongkat sihirnya ke punggung Snape dan berteriak, "Stupefyl" Serangannya luput, pancaran sinar merah meluncur melewati kepala Snape. Snape berteriak, "Lari, Draco!" dan berbalik. Dalam jarak dua puluh meter dia dan Harry saling pandang sebelum mengangkat tongkat sihir mereka bersamaan. "Cru-" Namun Snape menangkis kutukan itu, membuat Harry terlempar ke belakang sebelum dia menyelesaikannya. Harry berguling dan terhuyung bangun lagi ketika si Pelahap Maut besar di belakangnya berteriak, "Incendio!" Harry mendengar ledakan dan cahaya jingga yang menari-nari menerangi mereka semua. Pondok Hagrid terbakar. "Fang di dalam sana, iblis kau!" raung Hagrid. "Cruc-" teriak Harry untuk kedua kalinya, menyasar sosok di depan yang diterangi nyala api yang menari-nari, namun Snape memblokir kutukannya lagi. Harry bisa melihatnya menyeringai mencemooh. "Kutukan Tak Termaafkan tak cocok untukmu, Potter!" dia berteriak, mengatasi derak lidah api, teriakan-teriakan Hagrid, dan dengking liar Fang yang terperangkap. "Kau tak memiliki keberanian ataupun kemampuan" "Incarc-" Harry meraung, namun Snape mematahkan kutukan itu dengan lambaian tangan yang nyaris malas. "Balas serang!" Harry berteriak kepadanya. "Balas serang, kau pengecut " "Pengecut, kau menyebutku, Potter?" teriak Snape. "Ayahmu tidak akan menyerangku kalau tidak empat lawan satu, akan kausebut apa dia, aku ingin tahu?" "Stupe-" "Diblokir lagi, dan lagi, dan lagi sampai kau belajar menutup mulutmu dan menyembunyikan pikiranmu, Potter!" ejek Snape, sekali lagi menangkis kutukan Harry. "Sekarang ayo pergi!" dia berteriak kepada si Pelahap Maut superbesar di belakang Harry. "Sudah waktunya pergi, sebelum orang-orang Kementerian muncul" "Impedi-" Namun sebelum dia bisa menyelesaikan kutukan ini, kesakitan yang sangat menyiksa melanda Harry. Dia terjungkal di atas rerumputan, ada yang berteriak, dia pasti mati karena siksaan ini. Snape akan menyiksanya sampai mati atau gila-"Jangan!" raung Snape dan kesakitannya berhenti sama mendadaknya dengan mulainya. Harry berbaring meringkuk di rerumputan gelap, mencengkeram tongkat sihirnya dan tersengal-sengal. Di suatu tempat di atasnya Snape berteriak, "Kau sudah lupa perintah yang diberikan kepada kita? Potter milik Pangeran Kegelapan kita harus meninggalkannya! Pergi! Pergi!" Dan Harry merasa bumi bergetar di bawah wajahnya ketika Pelahap Maut kakak-beradik dan si superbesar mematuhi Snape, berlari ke arah gerbang. Harry mengeluarkan teriakan kemarahan yang tidak jelas. Pada saat itu dia tidak peduli apakah dia hidup atau mati. Memaksa diri bangun lagi, dia terhuyung membabi-buta mengejar Snape, orang yang sekarang dibencinya sama seperti dia membenci Voldemort sendiri "Sectum-" Snape menjentik tongkat sihirnya dan kutukan itu ditangkis lagi, namun Harry hanya berjarak beberapa meter sekarang dan dia bisa melihat wajah Snape dengan jelas akhirnya: dia tak lagi menyeringai atau mencemooh; kobaran api memperlihatkan wajah yang penuh kemurkaan. Mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berkonsentrasi, Harry membatin, Levi-- "Tidak, Potter!" teriak Snape. Terdengar ledakan keras DUAR dan Harry melayang ke belakang lagi, menghantam tanah dengan keras lagi, dan kali ini tongkat sihirnya terlempar dari tangannya. Dia bisa mendengar Hagrid berteriak dan Fang melolong ketika Snape mendekat dan menunduk memandangnya tergeletak, tanpa tongkat dan tak berdaya seperti halnya Dumbledore. Wajah pucat Snape, diterangi pondok yang berkobar, diliputi kebencian persis seperti sebelum dia mengutuk Dumbledore. "Berani-beraninya kau menggunakan kutukanku untuk menyerangku, Potter? Akulah yang menciptakan kutukan itu -aku, si Half-Blood Prince! Pangeran Berdarah-Campuran! Dan kau mau menggunakan ciptaanku untuk menyerangku, seperti ayahmu yang licik, ya? Tak akan kubiarkan ... tidak!" Harry berusaha menyambar tongkat sihirnya. Snape meluncurkan kutukan dan tongkat itu terbang beberapa meter jauhnya ke dalam kegelapan dan menghilang dari pandangan. "Bunuh aku, kalau begitu," sengal Harry, yang sama sekali tidak merasa takut, hanya marah dan jijik. "Bunuh aku seperti kau membunuhnya, pengecut!" "JANGAN" jerit Snape, dan wajahnya mendadak liar dan bengis, seolah dia sedang merasakan kesakitan yang sama seperti anjing yang mendengking dan melolong terperangkap dalam pondok yang terbakar di belakang mereka, "-SEBUT AKU PENGECUT!" Dan dia menebas udara: Harry merasa lecutan panas-putih menghantam wajahnya dan dia terpelanting ke belakang ke tanah. Bintik-bintik cahaya menyembur di depan matanya dan sejenak seluruh napas telah meninggalkan tubuhnya, kemudian dia mendengar deru sayap di atasnya dan sesuatu yang luar biasa besar menutupi bintang-bintang. Buckbeak terbang menyerang Snape, yang terhuyung ke belakang ketika cakar yang setajam silet menyambarnya. Selagi Harry berusaha duduk, kepalanya masih berputar gara-gara kontak terakhirnya dengan tanah, dilihatnya Snape berlari secepat kilat, hewan raksasa itu mengepak-ngepakkan sayap di belakangnya dan memekik, belum pernah Harry mendengarnya memekik seperti itu-- Harry terhuyung bangun, mencari-cari tongkatnya dengan grogi, berharap masih bisa mengejar lagi; namun bahkan ketika jari-jarinya meraba-raba di rumput, melempar ranting-ranting, dia tahu sudah terlambat, dan betul saja, saat berhasil menemukan tongkatnya dia berpaling dan hanya melihat si Hippogriff berputar-putar mengitari gerbang. Snape telah berhasil ber-Disapparate di luar batas sekolah. "Hagrid," gumam Harry, masih pusing, memandang berkeliling. "HAGRID!" Dia sedang terhuyung-huyung ke arah pondok yang terbakar ketika sosok raksasa muncul dari dalam kobaran api, menggendong Fang di punggungnya. Dengan teriakan syukur Harry jatuh berlutut; tangan dan kakinya gemetar, seluruh tubuhnya sakit dan setiap tarikan napas rasanya seperti tusukan menyakitkan. "Kau tak apa-apa, Harry? Kau tak apa-apa? Bicaralah padaku, Harry ... " Wajah Hagrid yang besar berenang-renang di atas Harry, memblokir bintang-bintang. Harry bisa mencium bau kayu dan bulu anjing yang terbakar. Dijulurkannya tangannya dan lega sekali dia bisa merasakan tubuh Fang yang hangat dan hidup menggigil di sampingnya. "Aku baik-baik saja," sengal Harry. "Kau?" "Tentu aku baik ... perlu lebih dari itu untuk habisi aku." Hagrid meletakkan tangannya di bawah lengan Harry dan mengangkatnya sedemikan kuatnya sehingga kaki Harry selama beberapa saat tidak memijak tanah sebelum Hagrid menurunkannya lagi. Dia bisa melihat darah mengalir di pipi Hagrid dari luka dalam di bawah sebelah matanya, yang membengkak dengan cepat. "Kita harus memadamkan rumahmu," kata Harry. "Mantranya adalah Aguamenti ... " "Aku tahu bunyinya seperti itu," gumam Hagrid, dan dia mengangkat payung merah jambu berbunga yang berasap dan berkata, "Aguamenti... " Air memancar dari puncak payung itu. Harry mengangkat tangannya, yang berat seperti timah, dan menggumamkan "Aguamenti" juga. Berdua, dia dan Hagrid menyemprot rumah itu dengan air sampai lidah api yang terakhir padam. "Tidak terlalu buruk," kata Hagrid penuh harap, beberapa menit kemudian, sambil memandang reruntuhan pondoknya yang masih berasap. "Dumbledore pasti bisa betulkan itu ... " Ulu hati Harry terasa sakit sekali seperti terbakar ketika dia mendengar nama itu disebut. Dalam keheningan dan kesunyian, horor memenuhi dirinya. "Hagrid ... " "Aku sedang bebat kaki beberapa Bowtruckle waktu dengar mereka datang," kata Hagrid sedih, masih memandang pondoknya yang hancur. "Mereka pasti sudah terbakar, kasihan ... " "Hagrid ... " "Tapi apa yang terjadi, Harry? Aku cuma lihat Pelahap hap Maut lari dari dalam kastil, tapi apa yang dilakukan Snape dengan mereka? Ke mana dia pergi apakah apakah dia kejar mereka?" "Dia ..." Harry berdeham. Kerongkongannya kering gara-gara panik dan asap. "Hagrid, dia membunuh ... " "Membunuh?" kata Hagrid keras, menunduk memandang Harry. "Snape bunuh? Apa maksudmu, Harry?" "Dumbledore," kata Harry. "Snape membunuh ... Dumbledore." Hagrid hanya memandangnya, sedikit wajahnya yang masih kelihatan, tampak bengong, tidak mengerti. "Dumbledore apa, Harry?" "Dia meninggal. Snape membunuhnya ... " "Jangan bilang begitu," kata Hagrid kasar. "Snape bunuh Dumbledore jangan bodoh, Harry. Apa yang buat kau bilang begitu?" "Aku melihat kejadiannya." "Tak mungkin." "Aku melihatnya, Hagrid." Harry menggelengkan kepala. Ekspresinya tidak percaya namun bersimpati dan Harry tahu Hagrid mengira dia kena pukul di kepala, bahwa dia bingung, barangkali akibat tadi kena kutukan ... "Yang terjadi pastilah, Dumbledore suruh Snape ikut Pelahap Maut," kata Hagrid yakin. "Kurasa dia harus tetap menyamar. Ayo, kuantar kau ke sekolah. Ayo, Harry ... " Harry tidak berusaha membantah ataupun menjelaskan. Dia masih gemetar tak terkendali. Hagrid akan segera tahu, sebentar lagi ... Ketika mereka mengarahkan langkah kembali ke arah kastil, Harry melihat banyak jendelanya sudah terang sekarang. Dia bisa membayangkan, jelas sekali, pemandangan di dalam ketika anak-anak berpindah dari ruangan ke ruangan, saling memberitahu bahwa Pelahap Maut telah masuk, bahwa Tanda menyala di atas Hogwarts, bahwa pasti ada yang terbunuh ... Pintu depan ek terbuka di depan mereka, sinar lampu menerangi jalan dan lapangan rumput di depannya. Perlahan, ragu-ragu, orang-orang yang memakai baju rumah menuruni undakan, memandang berkeliling dengan gugup, mencari Pelahap Maut yang telah kabur ke dalam kegelapan malam. Meskipun demikian, mata Harry tertuju ke tanah di kaki-menara yang paling tinggi. Dia membayangkan bisa melihat gundukan hitam tergeletak di rerumputan di sana, meskipun kenyataannya dia terlalu jauh untuk bisa melihat hal seperti itu. Bahkan ketika dia melangkah tanpa bicara ke tempat yang diduganya tubuh Dumbledore berada, dilihatnya orang-orang sudah bergerak ke arah itu. "Apa yang dilihat mereka semua itu?" kata Hagrid, ketika dia dan Harry mendekati bagian depan kastil, dengan Fang berjalan sedekat mungkin ke mata kaki mereka. "Apa yang tergeletak di rumput itu?" Hagrid menambahkan tajam, sekarang melangkah menuju kaki Menara Astronomi, tempat sekelompok kecil orang berkerumun. "Kau lihat, Harry? Tepat di kaki Menara? Di bawah Tanda ... astaga ... mungkinkah ada yang dilempar?" Hagrid terdiam, rupanya yang dipikirkannya terlalu mengerikan untuk diucapkan keras-keras. Harry berjalan di sebelahnya, merasakan sakit dan ngilu-ngilu di wajah dan kakinya, yang dalam setengah jam terakhir terkena berbagai serangan, namun rasanya aneh, sepertinya ada orang lain di sebelahnya yang menderita. Yang nyata dan tak bisa dihindari adalah perasaan tertekan menyakitkan di dadanya ... Dia dan Hagrid bergerak, seperti dalam mimpi, menerobos kerumunan yang bergumam sampai ke depan, tempat anak-anak dan para guru yang kaget sampai tak bisa bicara telah meninggalkan celah. Harry mendengar erang sedih dan shock Hagrid, namun dia tidak berhenti. Dia berjalan-perlahan sampai tiba di tempat Dumbledore terbaring, dan berlutut di sebelahnya. Harry sudah tahu tak ada harapan lagi begitu Kutukan Ikat-Tubuh yang dikenakan Dumbledore kepadanya terangkat, tahu bahwa itu hanya bisa terjadi karena si pengirim mantra itu meninggal; namun tetap saja dia tak siap melihatnya di sini, terkapar dengan kaki tangan terentang, hancur: penyihir terbesar yang pernah, atau akan pernah, dijumpai Harry. Mata Dumbledore terpejam; kalau bukan karena posisi aneh lengan dan kakinya, dia bisa disangka sedang tidur. Harry menjulurkan tangan, meluruskan kacamata bulan-separo di atas hidung-bengkoknya dan menyapu setetes darah dari mulutnya dengan lengan bajunya sendiri. Kemudian ditatapnya wajah tua yang bijaksana itu dan dia berusaha menyerap kenyataan hebat dan tak bisa dipahami ini: bahwa tak akan pernah lagi Dumbledore bicara kepadanya; tak akan pernah lagi dia bisa menolong ... Kerumunan orang bergumam di belakang Harry. Setelah waktu yang rasanya berlangsung lama, dia menyadari bahwa dia berlutut di atas sesuatu yang keras, dan dia menunduk. Kalung yang berhasil mereka curi berjam-jam yang lalu telah terjatuh dari dalam saku Dumbledore. Liontinnya terbuka, barangkali karena terbanting keras ketika terjatuh ke tanah. Dan meskipun Harry tak bisa merasa lebih shock, atau ngeri, atau sedih daripada yang sudah dirasakannya, dia tahu, ketika memungut kalung itu, bahwa ada yang tidak beres ... Dia membalikkan liontin kalung itu di tangannya. Ini tidak sebesar kalung yang pernah dilihatnya dalam Pensieve, dan juga tak ada pahatannya, tak ada huruf S berhiasan yang dianggap sebagai tanda Slytherin. Lagi pula, tak ada apa-apa di dalam liontin itu, kecuali secarik perkamen yang dilipat dan dijejalkan ke tempat yang seharusnya berisi potret. Secara otomatis, tanpa berpikir apa yang dilakukannya, Harry mencabut carikan perkamen itu, membukanya dan membacanya dalam penerangan banyak tongkat sihir yang sekarang telah dinyalakan di belakangnya. Kepada Pangeran Kegelapan Aku tahu aku sudah lama mati ketika kau membaca ini, tetapi aku ingin kau tahu bahwa akulah yang menemukan rahasiamu, aku telah mencuri Horcrux yang sebenarnya dan bermaksud menghancurkannya secepat aku bisa. Kuhadapi kematian dengan harapan bahwa ketika kau bertemu lawanmu, kau sudah jadi orang biasa lagi, yang bisa mati. R.A.B Harry tidak tahu dan tidak peduli apa arti pesan itu. Hanya satu hal yang berarti: ini bukan Horcrux. Sia-sia saja Dumbledore telah membuat dirinya lemah dengan meminum racun mengerikan itu. Harry meremas perkamen di tangannya dan matanya memanas dipenuhi air mata sementara di belakangnya Fang mulai melolong. 29. RATAPAN PHOENIX "Ayo Harry ... " "Tidak." "Kau tak bisa di sini terus, Harry ... ayolah ... " "Tidak." Harry tidak ingin meninggalkan sisi Dumbledore, dia tak ingin pindah ke mana pun. Tangan Hagrid di bahunya gemetar. Kemudian ada suara lain berkata, "Yuk, Harry." Tangan yang jauh lebih kecil dan lebih hangat telah menggenggam tangannya dan menariknya berdiri. Dia mematuhi desakan tangan itu tanpa benar-benar memikirkannya. Baru ketika berjalan begitu saja menembus kerumunan dia menyadari, dari aroma bunga-bunga di udara, bahwa Ginny-lah yang membawanya kembali ke kastil. Suara-suara yang tak dipahaminya menderanya, isakan dan teriakan dan ratapan membelah malam, namun Harry dan Ginny berjalan terus, menaiki undakan masuk ke Aula Depan: wajah-wajah berenang-renang di tepian penglihatan Harry, orang-orang memandangnya, berbisik-bisik, bertanya-tanya, dan batu-batu rubi Gryffindor berkilauan di lantai seperti tetesan darah ketika mereka melewatinya menuju ke tangga pualam. "Kita ke rumah sakit," kata Ginny. "Aku tidak luka," kata Harry. "Ini perintah McGonagall," kata Ginny. "Yang lain semua di sana, Ron dan Hermione dan Lupin dan semuanya deh" Ketakutan bergolak lagi di dada Harry: dia telah melupakan tubuh-tubuh tak bergerak yang tadi ditinggalkannya. "Ginny, siapa lagi yang meninggal?" "Jangan kuatir, tak seorang pun dari kita." "Tapi Tanda Kegelapan-Malfoy berkata dia melangkahi tubuh" "Dia melangkahi Bill, tapi tak apa, dia hidup." Meskipun demikian, ada sesuatu dalam suara Ginny, yang Harry tahu menyiratkan hal buruk. "Kau yakin?" "Tentu saja aku yakin ... dia agak berantakan, cuma itu. Greyback menyerangnya. Madam Pomfrey bilang dia-penampilannya tak akan sama lagi ... " Suara Ginny agak bergetar. "Kami tidak benar-benar tahu apa akibatnya nanti maksudku, Greyback kan manusia serigala, tapi tidak sedang bertransformasi tadi." "Tapi yang lain ... ada tubuh-tubuh lain di lantai ... " "Neville ada di rumah sakit, tapi menurut Madam Pomfrey dia akan sembuh total,, dan Profesor Flitwick tadi pingsan, tapi dia tak apa-apa, hanya sedikit terguncang. Dia berkeras akan mengurus anak-anak Ravencladw. Dan seorang Pelahap Maut mati, dia terkena Kutukan Maut yang dilancarkan si pirang ke segala jurusan Harry, kalau kami tidak minum ramuan Felix-mu, kurasa kami semua pasti sudah terbunuh, tapi segalanya luput dari kami" Mereka telah tiba di rumah sakit. Mendorong pintunya, Harry melihat Neville terbaring, tampaknya sedang tidur, di tempat tidur dekat pintu. Ron, Hermione, Luna, Tonks, dan Lupin mengerumuni tempat tidur lain di ujung ruangan. Mendengar bunyi pintu terbuka, mereka semua mengangkat muka. Hermione berlari menyongsong Harry dan memeluknya. Lupin juga mendekat, tampak cemas. "Kau tak apa-apa, Harry?" "Aku baik-baik saja ... bagaimana Bill?" Tak ada yang menjawab. Harry melongok melewati bahu Hermione dan melihat wajah yang tak bisa dikenali terbaring di atas bantal Bill, tersayat dan tercabik-cabik parah sekali sehingga bentuknya sangat aneh. Madam Pomfrey sedang mengolesi luka-lukanya dengan salep hijau berbau tajam. Harry teringat bagaimana Snape menyembuhkan luka Sectumsempra Malfoy secara mudah sekali menggunakan tongkat sihirnya. "Tak bisakah Anda menyembuhkannya dengan mantra atau apa?" tanyanya kepada si matron. N "Tak ada mantra yang manjur untuk luka-luka ini" kata Madam Pomfrey. "Aku sudah mencoba segala yang aku tahu, tapi tak ada obat untuk luka-luka gigitan manusia serigala." "Tapi dia tidak digigit pada waktu bulan purnama," kata Ron, yang menatap wajah kakaknya seakan dengan memandang begitu dia entah bagaimana bisa memaksa luka-luka itu sembuh. "Greyback tidak bertransformasi, jadi mestinya Bill tidak akan jadi-jadi?" Dia memandang Lupin dengan bimbang. "Tidak, kurasa Bill tidak akan betul-betul menjadi manusia serigala," kata Lupin, "tapi itu tidak berarti tak akan ada kontaminasi. Itu luka-luka kutukan. Tak mungkin bisa sembuh sepenuhnya, dan--dan Bill mungkin akan punya beberapa karakter serigala sejak saat ini." "Dumbledore mungkin tahu sesuatu yang bisa manjur," kata Ron. "Di mana dia? Bill melawan maniak-maniak itu atas perintah Dumbledore. Dumbledore berutang padanya, dia tak bisa membiarkan Bill dalam keadaan begini" "Ron-Dumbledore sudah meninggal," kata Ginny. "Tidak!" Lupin memandang liar dari Ginny ke Harry, seolah berharap yang disebut belakangan akan mengkontradiksi ucapan ini, namun ketika ternyata tidak, Lupin terenyak di kursi di sebelah tempat tidur Bill, tangannya menekap wajahnya. Harry tak pernah melihat Lupin kehilangan kontrol diri sebelumnya. Dia merasa seakan mencampuri urusan yang pribadi, yang tak pantas dilihat orang lain. Dia berpaling dan bertatap mata dengan Ron, dalam diam bertukar pandang yang mengonfirmasikan apa yang telah dikatakan Ginny. "Bagaimana dia meninggal?" bisik Tonks. "Bagaimana terjadinya?" "Snape membunuhnya," kata Harry. "Aku di sana, aku melihatnya. Kami tiba kembali di Menara Astronomi karena di situlah Tanda-nya ... Dumbledore sedang sakit, dia lemah, tapi kurasa dia menyadari itu jebakan ketika kami mendengar langkah-langkah berlarian menaiki tangga. Dia membuatku tidak bisa bergerak, aku tak bisa melakukan apa-apa, aku di bawah Jubah Gaib-ku dan kemudian Malfoy keluar dari pintu dan melucuti tongkat sihirnya dengan Mantra Pelepas Senjata" Hermione menekapkan tangan ke mulutnya, dan Ron mengerang. Bibir Luna gemetar. "-lebih banyak Pelahap Maut muncul dan kemudian Snape dan Snape melakukannya. Kutukan Avada Kedavra." Harry tak bisa melanjutkan. Madam Pomfrey menangis. Tak ada yang peduli kecuali Ginny, yang berbisik, "Shh! Dengarkan!" Menahan sedu, Madam Pomfrey menekankan jari-jari tangan ke mulutnya, matanya terbeliak. Di suatu tempat dalam kegelapan, burung phoenix bernyanyi dengan cara yang tak pernah didengar Harry sebelumnya: ratapan pilu yang indah mengerikan. Dan Harry merasa, seperti yang pernah dirasakannya terhadap nyanyian phoenix, bahwa musik itu ada dalam dirinya, bukan di luarnya: itu kesedihannya sendiri yang diubah secara gaib menjadi nyanyian yang bergaung di seluruh halaman dan masuk melalui jendela-jendela kastil. Berapa lama mereka semua berdiri di sana, mendengarkan, dia tak tahu, demikian juga dia tak tahu kenapa kesedihannya sedikit mereda dengan mendengarkan ratapan nestapa ini, namun rasanya sudah lama sekali berlalu ketika pintu rumah sakit terbuka lagi dan Profesor McGonagall memasuki ruangan. Seperti yang lain, ada bekas-bekas pertempuran pada tubuhnya: ada goresan-goresan luka di wajahnya dan jubahnya robek. "Molly dan Arthur sedang dalam perjalanan kemari," katanya, dan pesona sihir musik itu buyar. Semua orang seperti baru tersadar dari trans, menoleh lagi memandang Bill, atau menggosok mata mereka sendiri, menggelengkan kepala. "Harry, apa yang terjadi? Menurut Hagrid kau sedang bersama Profesor Dumbledore ketika dia-ketika itu terjadi. Dia bilang Profesor Snape terlibat dalam" "Snape membunuh Dumbledore," kata Harry. Profesor McGonagall menatapnya sesaat, kemudian terhuyung nyaris jatuh. Madam Pomfrey, yang rupanya sudah menguasai diri, berlari mendekat, menyihir kursi dari udara kosong, yang disorongkannya ke bawah McGonagall. "Snape," ulang McGonagall pelan, terjatuh di kursi. "Kami semua selama ini bertanya-tanya ... tapi dia memercayainya ... selalu ... Snape ... aku tak bisa percaya ... " "Snape Odumens yang sangat hebat," kata Lupin, suaranya kasar, tak seperti biasanya. "Kita dari dulu tahu itu." "Tapi Dumbledore bersumpah dia di pihak kita!" bisik Tonks. "Dari dulu aku menyangka Dumbledore tahu sesuatu tentang Snape yang tak kita ketahui ... " "Dia selalu memberi indikasi bahwa dia punya alasan kuat untuk memercayai Snape," gumam Profesor McGonagall, sekarang menekan-nekan kedua ujung matanya yang berair dengan saputangan berpelipit kotak-kotak. "Maksudku ... dengan masa lalu Snape ... tentu saja orang-orang jadi bertanya-tanya ... tapi Dumbledore memberitahuku dengan jelas bahwa penyesalan Snape betul-betul tulus ... tak mau mendengar satu celaan pun terhadap Snape!" "Aku ingin tahu apa yang dikatakan Snape yang membuat Dumbledore seyakin itu," kata Tonks. "Aku tahu," kata Harry, dan mereka semua berpaling menatapnya. "Snape menyampaikan informasi kepada Voldemort yang membuat Voldemort memburu ibu dan ayahku. Kemudian Snape memberitahu Dumbledore dia tidak menyadari apa yang dilakukannya, dia betul-betul menyesal telah melakukannya, menyesal mereka meninggal." "Dan Dumbledore memercayai itu?" tanya Lupin tak percaya. "Dumbledore percaya Snape menyesal James meninggal? Snape membenci James ... " "Dan dia juga menganggap ibuku tak berharga," kata Harry, "karena dia kelahiran-Muggle ... 'Darahlumpur', begitu dia memanggilnya ... " Tak seorang pun bertanya bagaimana Harry bisa tahu semua ini. Semuanya tampaknya kena shock hebat, berusaha mencerna kenyataan mengerikan yang telah terjadi. "Ini semua kesalahanku," kata Profesor McGonagall tiba-tiba. Dia tampak bingung, memilin-milin saputangan basah di tangannya. "Kesalahanku. Aku mengirim Filius untuk menjemput Snape malam ini. Aku yang menyuruhnya datang dan membantu kita! Kalau aku tidak memberitahu Snape apa yang sedang terjadi, dia barangkali tidak akan pernah bergabung dengan para Pelahap Maut. Kukira dia tidak tahu mereka ada di sini sebelum Filius memberitahunya, kukira dia tidak tahu mereka akan datang." "Itu bukan salahmu, Minerva," kata Lupin tegas. "Kita semua menginginkan lebih banyak bantuan, kita senang menyangka Snape akan datang membantu kita ... " "Jadi, waktu tiba di tempat pertempuran dia bergabung ke pihak para Pelahap Maut?" tanya Harry, yang menginginkan semua detail sikap bermuka-dua dan keburukan Snape, bergesa-gesa mengumpulkan lebih banyak alasan untuk membencinya, untuk membalas dendam. "Aku tak tahu bagaimana persisnya terjadinya," kata Profesor McGonagall bingung. "Semuanya serba membingungkan ... Dumbledore telah memberitahu kami bahwa dia akan meninggalkan sekolah selama beberapa jam dan kami diminta berpatroli di koridor untuk berjaga-jaga ... Remus, Bill, dan Nymphadora diminta bergabung dengan kami ... maka kami pun berpatroli. Semua tampak sunyi. Semua lorong rahasia yang menuju ke luar sekolah dijaga. Kami tahu tak seorang pun bisa masuk. Ada sihir perlindungan yang kuat sekali di semua jalan masuk ke kastil. Aku masih tak tahu bagaimana mungkin para Pelahap Maut bisa masuk ... " "Saya tahu," kata Harry, dan dia menjelaskan, dengan ringkas, tentang sepasang Lemari Pelenyap dan jalan gaib yang dibentuk oleh dua lemari itu. "Jadi, mereka masuk lewat Kamar Kebutuhan." Hampir di luar kemauannya dia mengerling dari Ron ke Hermione. Keduanya tampak sangat terpukul. "Aku bikin kacau, Harry" kata Ron muram. "Kami melakukan seperti yang kausuruh: kami mengecek Peta Perampok dan kami tak bisa melihat Malfoy di peta itu, jadi kami pikir dia pastilah ada dalam Kamar Kebutuhan, maka aku, Ginny, dan Neville berjaga di sana ... tapi Malfoy berhasil melewati kami." "Dia muncul dari Kamar kira-kira satu jam setelah kami mulai berjaga," kata Ginny. "Dia sendirian, memegangi tangan berkerut yang mengerikan itu" "Tangan Kemuliaan-nya" kata Ron. "Hanya memberi penerangan kepada pemegangnya, ingat?" "Bagaimanapun juga," Ginny melanjutkan, "dia pastilah mengecek apakah keadaan cukup aman untuk mengeluarkan para Pelahap Maut, karena begitu melihat kami dia melemparkan sesuatu ke udara dan suasana langsung gelap gulita" "Bubuk Kegelapan Instan dari Peru," kata Ron getir. "Jualan Fred dan George. Aku harus bicara dengan mereka soal siapa saja yang sebaiknya mereka izinkan membeli produk mereka." "Kami mencoba segalanya -- Lumos, Incendio," kata Ginny. "Tak ada yang berhasil menembus kegelapan itu; yang bisa kami lakukan hanyalah meraba-raba untuk keluar dari koridor itu, dan sementara itu kami bisa mendengar orang berlarian melewati kami. Jelas Malfoy bisa melihat karena Tangan tu dan memandu mereka, tapi kami tidak berani menggunakan kutukan atau apa pun, karena takut mengenai teman sendiri, dan ketika kami tiba di koridor yang terang, mereka sudah pergi." "Untungnya," kata Lupin parau, "Ron, Ginny, dan Neville segera bertemu kami dan memberitahu kami apa yang terjadi. Kami menemukan para Pelahap Maut itu beberapa menit kemudian, menuju ke arah Menara Astronomi. Malfoy jelas tak mengira ada lebih banyak orang yang berjaga; tampaknya dia sudah kehabisan Bubuk Kegelapan-nya, bagaimanapun juga. Pertempuran langsung terjadi, mereka menyebar dan kami mengejar. Salah satu dari mereka, Gibbon, memisahkan diri dan menuju tangga Menara" "Untuk memasang Tanda?" tanya Harry. "Mestinya begitu, ya, mereka pasti sudah mengatur begitu sebelum meninggalkan Kamar Kebutuhan," kata Lupin. "Tapi kurasa Gibbon tidak suka disuruh menunggu Dumbledore sendirian di sana, karena dia berlari menuruni tangga lagi untuk ikut bertempur dan tersambar Kutukan Maut yang luput mengenaiku." "Jadi, kalau Ron mengawasi Kamar Kebutuhan dengan Ginny dan Neville," kata Harry, berpaling kepada Hermione, "apakah kau?" "Di luar kantor Snape, ya," bisik Hermione, matanya berkilauan digenangi air mata, "dengan Luna. Kami di luar kantor itu lama sekali dan tak ada yang terjadi ... kami tidak tahu apa yang terjadi di atas. Peta Perampok-nya dibawa Ron ... sudah hampir tengah malam ketika Profesor Flitwick datang berlari ke ruang bawah tanah. Dia berteriak ada Pelahap Maut di dalam kastil. Kurasa waktu itu dia tidak benar-benar menyadari ada Luna dan aku di sana, dia hanya menerjang masuk kantor Snape dan kami mendengarnya mengatakan bahwa Snape harus ikut bersamanya dan membantu, dan kemudian kami mendengar bunyi debam keras dan Snape berlari keluar dari ruangannya dan dia melihat kami dan -dan" "Apa?" Harry mendorongnya. "Aku bodoh sekali, Harry!" kata Hermione dalam bisikan nyaring. "Dia bilang Profesor Flitwick pingsan dan kami harus mengurusnya sementara dia -- sementara dia pergi membantu melawan para Pelahap Maut" Hermione menutupi wajahnya dengan malu dan melanjutkan bicara melalui jari-jarinya, sehingga suaranya teredam. "Kami masuk ke kantornya untuk melihat kalau-kalau kami bisa menolong Profesor Flitwick dan menemukannya pingsan di lantai ... dan, oh, sekarang jelas sekali, Snape pastilah memingsankan Flitwick, tapi kami tidak menyadarinya, Harry, kami tidak menyadarinya, kami membiarkan Snape pergi begitu saja!" "Itu bukan salah kalian," kata Lupin tegas. "Hermione, seandainya kalian tidak mematuhi Snape dan menghalanginya, dia barangkali telah membunuhmu dan Luna." "Jadi, kemudian dia ke atas," kata Harry, yang dalam benaknya mengawasi Snape berlari menaiki tangga pualam; jubah hitamnya melambai di belakangnya seperti biasa, mencabut tongkat sihirnya dari balik jubahnya sembari naik, "dan dia menemukan tempat kalian semua sedang bertempur ll "Kami sedang dalam kesulitan, kami mulai kalah," kata Tonks dengan suara rendah. "Gibbon sudah ambruk, tapi sisa Pelahap Maut yang lain tampaknya siap bertarung sampai mati. Neville sudah terluka, Bill sudah diserang dengan biadab oleh Greyback ... tempat itu gelap gulita ... kutukan berseliweran ke mana-mana ... si Malfoy sudah menghilang, dia pastilah menyelinap, menaiki tangga ke Menara ... kemudian lebih banyak Pelahap Maut yang berlari mengikutinya, namun salah satu dari mereka memblokir tangga di belakang mereka dengan semacam kutukan ... Neville berlari menabrak kutukan itu dan terlempar ke udara" "Tak seorang pun dari kami berhasil menembusnya," kata Ron, "dan si Pelahap Maut gede itu masih terus meluncurkan kutukan ke mana-mana, kutukan-kutukannya memantul dari dinding dan nyaris saja mengenai kami ... " "Dan kemudian Snape muncul," kata Tonks, "dan kemudian menghilang" "Aku melihatnya berlari ke arah kami, tapi kutukan si Pelahap Maut gede nyaris mengenaiku, aku membungkuk dan tak tahu apa yang terjadi," kata Ginny. "Aku melihatnya berlari menembus rintangan-kutukan seolah tidak ada apa-apa," kata Lupin. "Aku mencoba menyusulnya, tapi terlempar seperti Neville ..." "Pastilah dia tahu mantra yang tidak kita ketahui," bisik McGonagall. "Bagaimanapun juga-dia guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam ... aku mengira dia mengejar para Pelahap Maut yang kabur ke Menara ... " "Memang," kata Harry liar, "namun untuk membantu mereka, bukan melawan mereka ... dan saya berani bertaruh kalian harus punya Tanda Kegelapan untuk bisa melewati rintangan itu-jadi apa yang terjadi ketika dia turun lagi?" "Nah, si Pelahap Maut besar baru saja meluncurkan kutukan yang menyebabkan separo langit-langit runtuh, dan juga membuyarkan kutukan yang memblokir tangga," kata Lupin. "Kami semua berlari ke tangga kami -- kami yang masih bisa berdiri, paling tidak dan kemudian Snape dan anak itu muncul dari dalam kepulan debu jelas, tak seorang pun dari kami menyerang mereka" "Kami membiarkan mereka lewat begitu saja," kata Tonks dengan suara hampa, "kami sangka mereka dikejar para Pelahap Maut dan berikutnya, Pelahap Maut yang lain dan Greyback kembali dan kami bertempur lagi kupikir aku mendengar Snape meneriakkan sesuatu, tapi aku tak tahu apa" "Dia berteriak, 'Sudah selesa'" kata Harry. "Dia sudah melakukan apa yang diperintahkan kepadanya." Mereka semua terdiam. Ratapan Fawkes masih bergema di halaman di luar. Ketika musik ini berkumandang di udara, pikiran tak diundang muncul begitu saja di benak Harry ... sudahkah mereka membawa pergi jenazah Dumbledore dari kaki Menara? Apa yang akan terjadi berikutnya? Di mana jenazah akan disemayamkan? Harry mengepalkan tangan kuat-kuat di dalam sakunya. Buku-buku jari tangan kanannya menyentuh gumpalan kecil Horcrux palsu. Pintu rumah sakit menjeblak terbuka lagi, membuat mereka semua terlonjak. Mr dan Mrs Weasley memasuki bangsal, Fleur di belakang mereka, wajahnya yang cantik ketakutan. "Molly-Arthur!" kata Profesor McGonagall, melompat bangun dan bergegas menyongsong mereka. "Aku ikut sangat prihatin" "Bill," bisik Mrs Weasley, berlari melewati Profesor McGonagall ketika dia melihat wajah Bill yang tercabik-cabik. "Oh, Bill!" Lupin dan Tonks buru-buru berdiri dan mundur supaya Mr dan Mrs Weasley bisa lebih dekat ke tempat tidur. Mrs Weasley membungkuk di atas anaknya dan mengecup dahinya yang berdarah. "Katamu Greyback menyerangnya?" Mr Weasley bertanya kepada Profesor McGonagall dengan pikiran kacau. "Tapi dia tidak sedang bertransformasi? Jadi, apa artinya itu? Apa yang akan terjadi pada Bill?" "Kami belum tahu," kata Profesor McGonagall, memandang Lupin dengan tak berdaya. "Mungkin akan ada kontaminasi, Arthur," kata Lupin. "Ini kasus aneh, barangkali malah unik ... kami tidak tahu bagaimana tingkah lakunya kalau dia sadar nanti ... " Mrs Weasley mengambil salep berbau-tak-enak dari Madam Pomfrey dan mulai mengolesi luka-luka Bill. "Dan Dumbledore ... " kata Mr Weasley. "Minerva, betulkah ... apakah dia benar-benar ...?" Ketika Profesor McGonagall mengangguk, Harry merasa Ginny bergerak di sampingnya dan Harry menoleh memandangnya. Mata Ginny agak menyipit memandang tajam Fleur, yang sedang menunduk menatap Bill dengan ekspresi beku pada wajahnya. "Dumbledore telah pergi," bisik Mr Weasley, namun perhatian Mrs Weasley sepenuhnya tercurah kepada putra sulungnya. Dia mulai terisak, air matanya jatuh ke wajah Bill yang rusak. "Tentu saja tak jadi soal bagaimana wajahnya ... itu tidak b-begitu penting ... tapi waktu kecil dia ttampan sekali ... selalu sangat tampan ... dan dia tadinya sudah akan menikah!" "Dan apa maksud Anda berkata begitu?" tanya Fleur tiba-tiba dan keras. "Apa maksud Anda, dia tadinya sudah akan menikah?" Mrs Weasley mengangkat mukanya yang bersimbah air mata, tampak tercengang. "Yah hanya bahwa-" "Anda pikir Bill tidak lagi ingin menikahi saya?" tuntut Fleur. "Anda pikir, gara-gara luka-luka itu, dia tidak akan mencintai saya?" "Tidak, bukan itu yang ku-" "Karena dia akan tetap mencintai saya!" kata Fleur, berdiri tegak dan melempar rambut panjangnya yang keperakan ke belakang. "Perlu lebih dari manusia serigala untuk menghentikan Bill mencintai saya!" "Oh, ya, aku yakin," kata Mrs Weasley, "tapi kupikir barangkali mengingat bagaimana-bagaimana dia-" "Anda mengira saya tak ingin menikah dengannya? Atau barangkali, Anda berharap begitu?" kata Fleur, cuping hidungnya mengembang. "Apa peduli saya bagaimana tampangnya? Saya cukup cantik untuk kami berdua, menurut saya! Semua luka ini hanya menunjukkan bahwa suami saya pemberani! Dan saya yang akan melakukan itu!" dia menambahkan dengan sengit, mendorong minggir Mrs Weasley dan menyambar salep darinya. Mrs Weasley terdorong mundur menabrak suaminya dan mengawasi Fleur menyeka luka-luka Bill dengan ekspresi yang sangat aneh pada wajahnya. Tak ada yang membuka suara. Harry tak berani bergerak. Seperti yang lain, dia menunggu terjadinya ledakan. "Bibi-buyut kami Muriel," kata Mrs Weasley setelah lama hening, "punya tiara yang sangat bagus buatan goblin aku yakin bisa membujuknya untuk meminjamkannya kepadamu untuk perkawinan nanti. Dia sangat menyayangi Bill, kau tahu, dan tiara itu akan tampak cantik dengan rambutmu." "Terima kasih," kata Fleur kaku. "Pasti akan cantik." Dan kemudian Harry tak paham bagaimana terjadinya kedua wanita itu sama-sama menangis dan saling berpelukan. Bingung bukan kepalang, bertanya-tanya dalam hati apakah dunia sudah gila, Harry berpaling. Ron tampak sama terperangahnya seperti yang dirasakan Harry, dan Ginny dan Hermione saling bertukar pandang keheranan. "Kau lihat!" kata suara tegang. Tonks memandang tajam Lupin. "Dia masih ingin menikahinya, meskipun dia sudah digigit. Dia tidak peduli!" "Ini berbeda," kata Lupin, hampir tidak menggerakkan bibirnya dan mendadak tampak tegang. "Bill tidak akan menjadi manusia serigala sepenuhnya. Kasusnya sama sekali" "Tapi aku juga tak peduli, aku tak peduli!" kata Tonks, menyambar bagian depan jubah Lupin dan mengguncangnya. "Sudah kukatakan kepadamu sejuta kali ... " Dan makna Patronus Tonks dan rambutnya yang berwarna bulu-tikus, dan alasan kenapa dia langsung berlari datang mencari Dumbledore ketika dia mendengar desas-desus ada orang yang diserang Greyback, semuanya tiba-tiba menjadi jelas bagi Harry. Ternyata Tonks bukan jatuh cinta kepada Sirius ... "Dan sudah kukatakan kepadamu sejuta kali," kata Lupin, menolak menatap mata Tonks, melainkan memandang lantai, "bahwa aku terlalu tua untukmu ... terlalu miskin ... terlalu berbahaya .... " "Aku sudah bilang alasanmu itu konyol, Remus," kata Mrs Weasley dari atas bahu Fleur, seraya membelai-belai punggung gadis itu. "Aku tidak konyol," kata Lupin mantap. "Tonks layak mendapat orang yang muda dan utuh." "Tapi dia menginginkanmu," kata Mr Weasley, tersenyum kecil. "Dan, lagi pula, Remus, orang muda dan utuh tidak selamanya tetap begitu." Dengan sedih dia menunjuk anaknya yang terbaring di antara mereka. "Ini ... bukan saat yang tepat untuk mendiskusikannya," kata Lupin, menghindari mata semua orang ketika dia memandang berkeliling dengan bingung. "Dumbledore meninggal ... " "Dumbledore akan lebih berbahagia daripada siapapun, mengetahui bahwa ada sedikit tambahan cinta di dunia," kata Profesor McGonagall pendek, tepat ketika pintu rumah sakit terbuka lagi dan Hagrid masuk. Sebagian kecil wajahnya yang tidak tertutup rambut atau berewoknya basah dan bengkak. Hagrid gemetar menangis, tangannya memegang saputangan besar bermotif polkadot. "Su-sudah kulakukan, Profesor," isaknya. "P-pindahkan dia. Profesor Sprout sudah suruh anak-anak kembali ke tempat tidur. Profesor Flitwick sedang istirahat, tapi katanya sebentar lagi dia baik, dan Profesor Slughorn bilang Kementerian sudah diberitahu." "Terima kasih, Hagrid," kata Profesor McGonagall, langsung berdiri dan berbalik memandang grup yang mengelilingi tempat tidur Bill. "Aku akan menemui orang-orang Kementerian kalau mereka sudah tiba di sini. Hagrid, tolong beritahu para Kepala Asrama Slughorn bisa mewakili Slytherin bahwa aku ingin bertemu mereka di kantorku segera. Aku ingin kau hadir juga." Sementara Hagrid mengangguk, berbalik dan berjalan dengan kaki terseret meninggalkan bangsal lagi, Profesor McGonagall menunduk memandang Harry. "Sebelum bertemu mereka aku ingin bicara sebentar denganmu, Harry. Ikut aku ... " Harry bangkit, bergumam, "Sebentar ya," kepada Ron, Hermione, dan Ginny, dan menyusul Profesor McGonagall ke pintu. Koridor-koridor di luar kosong dan satu-satunya suara yang terdengar hanyalah nyanyian phoenix di kejauhan. Beberapa menit kemudian baru Harry sadar bahwa mereka tidak menuju ke kantor Profesor McGonagall, melainkan ke kantor Dumbledore, dan masih perlu beberapa detik lagi untuk menyadari bahwa, tentu saja, tadinya Profesor McGonagall adalah wakil kepala sekolah ... tentunya sekarang dia kepala sekolah ... jadi, ruang di belakang gargoyle itu sekarang kantornya ... Dalam diam mereka menaiki tangga spiral yang berputar dan masuk ke ruang bundar itu. Harry tak tahu apa yang diharapkannya: ruangan ditutup kain hitam, barangkali, atau bahkan jenazah Dumbledore mungkin disemayamkan di sana. Ternyata kantor itu hampir persis sama seperti ketika dia dan Dumbledore meninggalkannya hanya beberapa jam yang lalu: peralatan perak berputar dan mengeluarkan asap di atas meja-meja yang berkaki panjang-kurus, pedang Gryffindor dalam lemari kaca berkilauan dalam cahaya bulan, Topi Seleksi di rak di belakang meja. Namun tempat hinggap Fawkes kosong, dia masih melantunkan ratapannya di halaman. Dan sebuah lukisan baru telah bergabung dengan jajaran lukisan para kepala sekolah Hogwarts yang sudah meninggal. Dumbledore sedang tidur dalam pigura keemasan di atas mejanya, kacamata bulan-separonya bertengger di atas hidung-bengkoknya, tampak damai dan tak terganggu. Setelah memandang lukisan ini sekali, Profesor McGonagall membuat gerakan aneh seolah menguatkan diri, kemudian berjalan mengitari meja untuk menghadapi Harry, wajahnya tegang dan berkerut. "Harry," katanya, "aku ingin tahu apa yang dilakukan kau dan Profesor Dumbledore malam ini ketika kalian meninggalkan sekolah." "Saya tidak bisa memberitahu Anda, Profesor," kata Harry. Dia sudah menyangka akan mendapat pertanyaan ini dan sudah menyiapkan jawabannya. Disinilah, di dalam ruangan ini, Dumbledore memberitahunya bahwa dia tak boleh menyampaikan isi pelajaran mereka kepada siapa pun, kecuali Ron dan Hermione. "Harry, itu mungkin penting," kata Profesor McGonagall. "Memang penting," kata Harry, "sangat, tapi beliau tidak ingin saya memberitahu siapa pun." Profesor McGonagall mendelik kepadanya. "Potter" (Harry menyadari nama keluarganya kini digunakan lagi) "sehubungan dengan meninggalnya Profesor Dumbledore, kurasa kau harus tahu Situasinya telah berubah" "Menurut saya tidak," kata Harry, mengangkat bahu. "Profesor Dumbledore tidak pernah memberitahu saya untuk berhenti menaati perintahnya kalau beliau meninggal." "Tapi-" "Meskipun demikian, ada satu hal yang perlu Anda ketahui sebelum orang-orang Kementerian tiba di sini. Madam Rosmerta berada di bawah Kutukan Imperius, dialah yang membantu Malfoy dan para Pelahap Maut, begitulah caranya kalung dan mead beracun" "Rosmerta?" kata Profesor McGonagall tercengang, tapi sebelum dia bisa melanjutkan, terdengar ketukan di pintu di belakang mereka dan Profesor Sprout, Flitwick, dan Slughorn masuk, diikuti Hagrid, yang masih tersedu-sedu, sosoknya yang besar gemetar saking sedihnya. "Snape!" seru Slughorn, yang tampak paling terguncang, pucat dan berkeringat. "Snape! Aku mengajarnya! Kupikir aku mengenalnya!" Namun sebelum salah satu dari mereka bisa menanggapi, ada suara tajam berbicara dari tempat tinggi di dinding: penyihir laki-laki bermuka pucat dengan poni pendek hitam baru saja berjalan memasuki kanvasnya yang kosong. "Minerva, Menteri akan datang sebentar lagi, dia baru saja ber-Disapparate dari Kementerian." "Terima kasih, Everard," kata Profesor McGonagall, dan dia cepat-cepat berpaling kepada guru-gurunya. "Aku ingin membicarakan tentang apa yang terjadi pada Hogwarts sebelum mereka tiba di sini," katanya cepat. "Aku pribadi tak yakin sekolah harus dibuka lagi tahun depan. Kematian Kepala Sekolah di tangan salah satu rekan kerja kita sungguh noda buruk bagi sejarah Hogwarts. Mengerikan." "Aku yakin Dumbledore akan menginginkan sekolah tetap buka," kata Profesor Sprout. "Menurutku kalau ada satu murid saja yang ingin datang, maka sekolah harus buka untuk murid itu." "Tapi apakah akan ada murid setelah ini?" kata Slughorn, sekarang mengusap keningnya yang berkeringat dengan saputangan sutra. "Para orangtua akan menginginkan anak-anak mereka tetap di rumah dan tak bisa kubilang aku "Profesor Dumbledore selalu menghargai pandanganmu," kata Profesor McGonagall dengan baik hati, "dan begitu juga aku." "Yah, aku akan bertahan di sini," kata Hagrid, air mata besar-besar masih mengalir dari sudut-sudut matanya dan menetes ke berewoknya yang kusut. "Ini rumahku, ini sudah menyalahkan mereka. Aku pribadi tidak berpendapat kita lebih berbahaya di Hogwarts daripada di tempat lain, tapi kalian tak bisa mengharap para ibu berpikir seperti itu. Mereka ingin keluarga mereka tetap berkumpul, ini wajar." "Aku setuju," kata Profesor McGonagall. "Lagi pula, tidak benar mengatakan bahwa Dumbledore tidak pernah menghadapi situasi yang membuat Hogwarts mungkin ditutup. Ketika Kamar Rahasia terbuka lagi dia mempertimbangkan penutupan sekolah dan harus kukatakan bahwa pembunuhan Profesor Dumbledore lebih mengerikan bagiku daripada adanya monster Slytherin yang hidup tak terdeteksi di perut kastil ... " "Kita harus berkonsultasi dengan pemerintah," kata Profesor Flitwick dengan suaranya yang nyaring melengking; ada memar besar di dahinya, namun selain itu tampaknya tak ada luka lain yang diakibatkan oleh pingsannya di kantor Snape. "Kita harus mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan. Jangan membuat keputusan yang terburu-buru." "Hagrid, kau belum mengatakan apa-apa," kata Profesor McGonagall. "Bagaimana pandanganmu, haruskah Hogwarts tetap buka?" Hagrid, yang sepanjang pembicaraan ini menangis diam-diam ke dalam saputangan polkadotnya, sekarang mengangkat matanya yang merah dan bengkak dan berkata parau, "Aku tak tahu, Profesor ... terserah keputusan para Kepala Asrama dan Kepala Sekolah saja ... " jadi rumahku sejak aku berumur tiga belas tahun. Dan kalau ada anak-anak yang ingin aku mengajar mereka, akan kulakukan. Tapi ... entahlah ... Hogwarts tanpa Dumbledore " Dia tersedu dan menghilang di balik saputangannya lagi, dan suasana hening. "Baiklah" kata Profesor McGonagall, mengerling ke luar jendela ke halaman, mengecek apakah Menteri sudah mendekat, "kalau begitu aku harus setuju dengan Filius bahwa hal paling tepat untuk dilakukan adalah berkonsultasi dengan pemerintah, yang akan mengambil keputusan final. "Nah, sedangkan soal memulangkan anak-anak ... ada pendapat dilakukan lebih cepat lebih baik. Kita bisa mengatur supaya Hogwarts Express datang besok pagi kalau perlu" "Bagaimana dengan pemakaman Dumbledore?" tanya Harry, akhirnya berbicara. "Yah ..." kata Profesor McGonagall, ketegarannya berkurang sedikit ketika suaranya bergetar, "aku-aku tahu bahwa keinginan Dumbledore-lah untuk diistirahatkan di sini, di Hogwarts" "Kalau begitu itu yang akan terjadi, kan?" kata Harry tegas. "Kalau Kementerian menganggapnya tepat," kata Profesor McGonagall. "Belum pernah ada kepala sekolah yang-" "Belum pernah ada kepala sekolah lain yang memberi lebih banyak kepada sekolah ini" geram Hagrid. "Hogwarts harus jadi tempat peristirahatan terakhir Dumbledore," kata Profesor Flitwick. "Betul," kata Profesor Sprout. "Dan dalam hal ini" kata Harry, "Anda tak boleh mengirim murid-murid pulang sebelum pemakaman usai. Mereka pasti ingin mengucapkan" Kata terakhir tersekat di tenggorokannya, namun Profesor Sprout menyelesaikan kalimat itu untuknya. "Selamat tinggal." "Dikatakan dengan bagus sekali," lengking Profesor Flitwick. "Sungguh dikatakan dengan bagus! Murid-murid kita harus memberikan penghormatan terakhir, pantasnya begitu. Kita bisa mengatur transportasi untuk pulang sesudahnya." "Setuju," kata Profesor Sprout. "Kurasa ... ya," kata Slughorn dengan suara agak gelisah, sementara Hagrid menyatakan persetujuannya dengan isakan tertahan. "Dia datang," kata Profesor McGonagall tiba-tiba, memandang ke halaman. "Menteri ... dan kelihatannya, dia membawa delegasi ... " "Boleh saya pergi, Profesor?" tanya Harry segera. Dia sama sekali tak ingin bertemu, atau diinterogasi oleh, Rufus Scrimgeour malam ini. "Boleh," kata Profesor McGonagall, "dan cepat." Dia berjalan ke pintu dan membukanya untuk Harry. Harry buru-buru menuruni tangga spiral dan berjalan sepanjang koridor kosong. Jubah Gaib-nya tertinggal di atas Menara Astronomi, tapi tak apa, tak ada orang di koridor yang melihatnya lewat, bahkan tidak Filch, Mrs Norris, ataupun Peeves. Dia tidak bertemu orang lain sampai dia berbelok ke lorong yang menuju ke ruang rekreasi Gryffindor. "Betulkah?" bisik si Nyonya Gemuk ketika Harry mendekat. "Betulkah? Dumbledore-meninggal?" "Ya," kata Harry. Si Nyonya Gemuk meratap, dan tanpa menunggu kata kunci; dia mengayun ke depan agar Harry bisa masuk. Seperti yang telah diperkirakan Harry, ruang rekreasi , penuh sesak. Ruangan langsung sunyi begitu dia me- ! manjat masuk lewat lubang lukisan. Dia melihat Dean dan Seamus duduk dalam grup di dekat lubang masuk: ini berarti kamar mereka pastilah kosong, atau nyaris begitu. Tanpa berbicara kepada seorang pun, tanpa berkontak-mata sama sekali, Harry berjalan lurus menyeberangi ruangan dan memasuki pintu yang menuju kamar anak laki-laki. Seperti yang diharapkannya, Ron sedang menunggunya, masih berpakaian lengkap, duduk di tempat tidurnya. Harry duduk di tempat tidurnya sendiri, dan selama beberapa saat, mereka hanya saling pandang. "Mereka membicarakan soal penutupan sekolah," kata Harry. "Lupin memperkirakan begitu," kata Ron. Hening sejenak. "Jadi?" kata Ron dengan suara sangat rendah, seolah dia berpendapat perabot-perabot ingin ikut mendengarkan. "Apakah kalian menemukannya? Kalian mendapatkannya? Hor-Horcrux?" Harry menggeleng. Segala yang telah terjadi di sekitar danau gelap tadi rasanya seperti mimpi buruk sekarang; apakah itu benar-benar terjadi, dan hanya beberapa jam yang lalu?" "Kalian tidak mendapatkannya?" tanya Ron, tampak sangat kecewa. "Horcrux-nya tidak ada di sana?" "Tidak," kata Harry. "Ada yang sudah mengambilnya dan meninggalkan Horcrux palsu, sebagai gantinya." "Sudah diambil?" Tanpa kata Harry mengeluarkan kalung palsu dari dalam sakunya dan mengulurkannya kepada Ron. Cerita yang lengkap bisa menunggu ... tak jadi soal malam ini ... tak ada yang berarti kecuali akhirnya, akhir petualangan mereka yang sia-sia, akhir hidup Dumbledore ... "R.A.B.," bisik Ron, "tapi siapa dia?" "Entahlah," kata Harry, berbaring di tempat tidurnya dengan pakaian lengkap dan menatap kosong ke atas. Dia sama sekali tak ingin tahu tentang R.A.B.: dia meragukan apa masih akan bisa ingin tahu lagi. Selagi berbaring begitu, dia mendadak sadar bahwa halaman sudah sunyi. Fawkes sudah berhenti bernyanyi. Dan Harry tahu, tanpa mengetahui bagaimana dia bisa tahu, bahwa burung phoenix itu telah pergi, telah meninggalkan Hogwarts untuk selamanya, sama seperti Dumbledore telah meninggalkan sekolah, telah meninggalkan dunia ... telah meninggalkan Harry. 30. PUSARA PUTIH (TAMAT) Semua pelajaran ditiadakan, semua ujian ditangguhkan. Beberapa anak bergegas dibawa pergi dari Hogwarts oleh orangtua mereka selama beberapa hari berikutnya -- si kembar Patil sudah pulang sebelum sarapan pada pagi setelah meninggalnya Dumbledore dan Zacharias Smith dikawal meninggalkan kastil oleh ayahnya yang bertampang congkak. Seamus Finnigan, sebaliknya, menolak mentah-mentah ikut pulang bersama ibunya. Mereka beradu-teriak seru sekali di Aula Depan, yang baru berhasil diselesaikan ketika ibunya sepakat dia boleh tinggal sampai pemakaman. Ibunya sulit sekali mendapatkan tempat menginap di Hogsmeade, Seamus memberitahu Harry dan Ron, karena para penyihir membanjiri tempat itu, siap memberikan penghormatan terakhir kepada Dumbledore. Anak-anak kelas awal yang belum pernah melihatnya, menjadi heboh ketika sebuah kereta biru-muda seukuran rumah, ditarik selusin kuda-putih-raksasa bersayap, meluncur dari langit pada petang hari sebelum hari pemakaman dan mendarat di tepi Hutan. Harry mengawasi dari jendela ketika seorang wanita rupawan bertubuh besar, berkulit warna buah zaitun dan berambut hitam turun dari undakan kereta dan melempar dirinya ke dalam pelukan Hagrid yang telah menantinya. Sementara itu, bagi delegasi pejabat Kementerian, termasuk Menteri Sihir sendiri, disediakan akomodasi di dalam kastil. Harry dengan tekun menghindari kontak dengan mereka, dia yakin bahwa, cepat atau lambat, dia akan diminta lagi untuk menceritakan perjalanan terakhir Dumbledore dari Hogwarts. Harry, Ron, Hermione, dan Ginny melewatkan semua waktu mereka bersama-sama. Cuaca yang cerah sepertinya mengejek mereka. Harry bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Dumbledore tidak meninggal, dan mereka melewatkan waktu bersama-sama seperti ini, menjelang akhir tahun ajaran, ujian Ginny sudah usai, tekanan PR juga sudah terangkat ... dan jam demi jam dia menunda mengatakan hal yang dia tahu harus dikatakannya, melakukan yang dia tahu benar untuk dilakukan, karena terlalu berat baginya melepaskan sumber penghiburannya yang paling baik. Mereka mengunjungi rumah sakit dua kali sehari. Neville sudah diizinkan pulang, namun Bill masih di bawah perawatan Madam Pomfrey. Luka-lukanya masih sama parahnya seperti sebelumnya. Sejujurnya, dia sekarang mirip sekali dengan Mad-Eye kendatipun, syukur, dengan dua mata dan dua kaki utuh. Namun sifatnya tampaknya masih sama seperti sebelumnya. Satu-satuxlya yang berubah adalah sekarang dia suka sekali makan steak yang dimasak setengah matang. "... jadi beruntung dia akan menikah denganku," kata Fleur riang, seraya mengempukkan bantal Bill, "karena orang Inggris memasak daging mereka terlalu matang, dari dulu sudah kubilang begitu." "Kurasa aku harus menerima bahwa Bill benarbenar akan menikahinya," desah Ginny petangnya, ketika dia, Harry, Ron, dan Hermione duduk di sebelah jendela ruang rekreasi Gryffindor yang terbuka, memandang halaman temaram. "Dia tak seburuk itu," kata Harry. "Tapi jelek," dia menambahkan buru-buru, ketika Ginny mengangkat alisnya, dan Ginny terpaksa terkikik. "Yah, kurasa kalau Mum tahan, aku juga tahan." "Ada orang lain yang kita kenal yang mati?" Ron menanyai Hermione, yang sedang membaca Evening Prophet. Hermione berjengit mendengar ketegaran yang dipaksakan dalam suaranya. "Tidak," katanya mencela, melipat korannya. "Mereka masih mencari Snape, tapi tak ada jejak ..." "Tentu saja tak ada," kata Harry, yang menjadi marah setiap kali topik ini muncul. "Mereka tak akan menemukan Snape sampai mereka menemukan Voldemort, dan mengingat mereka tak pernah berhasil selama ini ... " "Aku mau tidur dulu ah," Ginny menguap. "Aku tak pernah tidur nyenyak sejak ... yah ... aku perlu tidur." Dia mencium Harry (Ron sengaja memalingkan muka), melambai kepada dua yang lain, dan pergi ke kamar anak perempuan. Begitu pintu menutup di belakang Ginny, Hermione mencondongkan diri ke arah Harry dengan ekspresi yang sangat khas Hermione di wajahnya. "Harry, aku menemukan sesuatu pagi ini, di perpus ... " "R.A.B.?" kata Harry, duduk tegak. Dia tidak merasa seperti yang sering dirasakannya sebelumnya, bergairah, ingin tahu, menggebu-gebu ingin mengupas tuntas misteri; dia hanya tahu bahwa tugas menemukan kebenaran tentang Horcrux yang asli harus diselesaikannya sebelum dia bisa bergerak sedikit lebih jauh di sepanjang jalan panjang berliku yang terbentang di hadapannya, jalan yang telah mulai ditapakinya bersama Dumbledore, clan yang sekarang dia tahu harus dilaluinya sendiri. Barangkali masih ada empat Horcrux di suatu tempat di luar sana dan masing-masing harus ditemukan dan disingkirkan bahkan sebelum ada kemungkinan Voldemort bisa dibunuh. Harry tak hentinya mengulang-ulang sendiri nama-nama itu, seolah dengan mendaftarnya dia bisa membuat mereka berada dalam jangkauan: "kalung ... piala ... ular ... sesuatu milik Gryffindor atau Ravencladw ... kalung ... piala ... ular ... sesuatu milik Gryffindor atau Ravenclaw ... " Mantra ini rasanya berdenyut di benak Harry ketika dia tertidur di malam hari, dan mimpi-mimpinya di penuhi piala, kalung, dan benda-benda misterius yang tak bisa diraihnya, meskipun Dumbledore membantunya dengan memberinya tangga tali yang berubah menjadi ular begitu dia mulai memanjatnya ... Dia telah memperlihatkan surat pendek dalam kalung itu kepada Hermione pada pagi hari setelah wafatnya Dumbledore, dan meskipun Hermione tidak langsung mengenali inisial itu sebagai inisial penyihir tak dikenal yang riwayatnya pernah dia baca, sejak saat itu dia ke perpustakaan lebih sering daripada yang diperlukan orang yang tak punya PR untuk dikerjakan. "Tidak," kata Hermione sedih. "Aku sudah berusaha, Harry, tapi aku belum menemukan apa-apa ... ada dua penyihir cukup terkenal dengan inisial itu Rosalind Antigone Bungs ... Rupert 'Axebanger' Brookstanton ... tapi mereka tampaknya tidak cocok. Dinilai dari bunyi surat itu, orang yang mencuri Horcrux itu kenal Voldemort, dan aku tak bisa menemukan bukti sedikit pun bahwa Bungs atau Axebanger pernah berhubungan dengannya ... tidak, sebetulnya, ini tentang ... yah, Snape." Hermione tampak gugup bahkan hanya menyebut namanya lagi. "Kenapa dia?" tanya Harry berat, mengenyakkan diri di kursinya lagi. "Yah, aku boleh dikatakan benar tentang urusan Pangeran Berdarah-Campuran," katanya hati-hati. "Apakah masih perlu diulang-ulang lagi, Hermione? Bagaimana menurutmu perasaanku tentang itu sekarang?" "Tidak-tidak-Harry, bukan itu yang kumaksud!" kata Hermione buru-buru, memandang ke sekitarnya untuk memastikan tidak ada orang lain yang mendengar mereka. "Hanya saja aku benar tentang Eileen Prince dulu pemilik buku itu. Soalnya ... dia ibu Snape!" "Pantas dia tidak cantik," kata Ron. Hermione tidak menghiraukannya. "Aku membaca sisa arsip Prophet lama dan ada pengumuman kecil tentang Eileen Prince menikah dengan orang bernama Tobias Snape, dan kemudian pengumuman yang bunyinya dia telah melahirkan" "pembunuh" sembur Harry. "Ya ... benar," kata Hermione. "Jadi ... aku bisa dikatakan benar. Soalnya, Snape pastilah bangga menjadi 'separo Prince', menjadi Prince yang berdarah-campuran. Tobias Snape seorang Muggle dari apa yang dikatakan Prophet." "Yeah, cocok sekali," kata Harry. "Dia berpura-pura menjadi darah-murni supaya bisa bergaul dengan Lucius Malfoy dan yang lain ... dia sama seperti Voldemort. Ibu berdarah-murni, ayah Muggle ... malu akan asal-usulnya, berusaha membuat dirinya ditakuti dengan menggunakan Ilmu Hitam, memberi dirinya nama baru yang impresif Lord Voldemort Half-Blood Prince bagaimana mungkin Dumbledore bisa tidak menyadarinya?" Harry berhenti, memandang ke luar jendela. Dia tak bisa mencegah dirinya memikirkan kepercayaan Dumbledore terhadap Snape yang tak termaafkan ... tetapi seperti yang secara tak sengaja baru diingatkan Hermione, dia sendiri, Harry, juga teperdaya ... kendati catatan mantra-mantra itu semakin mengerikan, dia menolak berpikir buruk tentang anak yang begitu pintar, yang telah begitu banyak menolongnya ... Menolongnya ... pikiran yang nyaris tak tertahankan sekarang. "Aku masih tidak mengerti kenapa dia tidak melaporkanmu menggunakan buku itu," kata Ron. "Dia pasti tahu dari mana kau mendapatkan semua itu." "Dia tahu," kata Harry getir. "Dia tahu waktu aku menggunakan Sectumsempra. Dia malah tidak memerlukan Legilimency ... dia bahkan mungkin sudah tahu sebelumnya, dengan Slughorn memuji-muji betapa hebatnya aku dalam pelajaran Ramuan ... mestinya dia jangan meninggalkan bukunya di dasar lemari itu, kan?" "Tapi kenapa dia tidak menyerahkanmu?" "Kurasa dia tak ingin mengasosiasikan dirinya dengan buku itu," kata Hermione. "Kurasa Dumbledore tidak akan suka kalau dia tahu. Dan bahkan seandainya Snape berpura-pura itu bukan bukunya, Slughorn toh akan langsung mengenali tulisannya. Bagaimanapun juga, buku itu tertinggal di kelas lama Snape dan aku yakin Dumbledore tahu ibunya bernama 'Prince'." "Harusnya buku itu kuperlihatkan kepada Dumbledore," kata Harry. "Sepanjang waktu itu dia memperlihatkan kepadaku bagaimana jahatnya Voldemort, bahkan ketika dia masih di sekolah, dan aku punya bukti bahwa Snape juga jahat" "Jahat kata yang keras," kata Hermione pelan. "Kau sendiri yang terus-menerus memberitahuku buku itu berbahaya!" "Aku berusaha mengatakan, Harry, bahwa kau terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Aku memang berpikir si Pangeran memiliki selera humor yang buruk, tapi aku tak pernah menyangka dia berpotensi menjadi pembunuh ..." "Tak seorang pun dari kita bisa menduga Snape akan ... kalian tahu sendiri," kata Ron. Keheningan meliputi mereka, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka sendiri, namun Harry yakin bahwa mereka, seperti dia, memikirkan tentang pagi esoknya, ketika jenazah Dumbledore akan dimakamkan. Harry belum pernah menghadiri pemakaman; tak ada jenazah untuk dikuburkan ketika Sirius meninggal. Dia tak tahu apa yang akan terjadi dan sedikit cemas akan apa yang akan dilihatnya, tentang bagaimana perasaannya nanti. Dia bertanya dalam hati apakah kematian Dumbledore akan menjadi lebih riil baginya setelah pemakaman usai. Walaupun ada saat-saat ketika kenyataan mengerikan ini mengancam akan menenggelamkannya dalam kesedihan, ada juga rentangan-rentangan kosong mati rasa. Dalam saat-saat seperti itu, kendati tak ada orang yang bicara tentang hal lain di kastil, sulit sekali bagi Harry untuk memercayai bahwa Dumbledore betul-betul sudah pergi. Harus diakui, tidak seperti ketika Sirius meninggal, Harry tidak dengan putus asa mencari semacam jalan keluar, mencari cara supaya Dumbledore bisa kembali ... dia meraba rantai dingin Horcrux palsu, yang sekarang dibawanya ke mana-mana, bukan sebagai jimat, melainkan sebagai pengingat, betapa mahal harga yang harus dibayar dan apa yang masih harus dilakukan. Harry bangun pagi-pagi untuk berkemas keesokan harinya. Hogwarts Express akan berangkat satu jam setelah pemakaman. Di bawah, suasana dalam Aula Besar muram. Semua orang memakai jubah resmi mereka dan tampaknya tak ada yang sangat lapar. Profesor McGonagall membiarkan kursi seperti singgasana di tengah meja guru kosong. Kursi Hagrid juga tak berpenghuni; Harry menduga barangkali Hagrid tak sanggup menghadapi sarapan; namun tempat Snape diambil alih begitu saja oleh Rufus Scrimgeour. Harry menghindarinya, ketika mata Scrimgeour yang kekuningan mengamati Aula. Harry punya perasaan tak enak Scrimgeour sedang mencarinya. Di antara rombongan Scrimgeour, Harry melihat rambut merah dan kacamata berbingkai-tanduk Percy Weasley. Ron tidak menunjukkan tanda-tanda dia tahu ada Percy, selain menusuk-nusuk potongan-potongan ikannya dengan kesengitan luar biasa. Di meja Slytherin, Crabbe dan Goyle saling berbisik. Kendati bertubuh tinggi besar, mereka tampak janggal, kesepian tanpa kehadiran sosok Malfoy yang jangkung pucat di antara mereka, meraja terhadap mereka. Harry tidak begitu banyak memikirkan Malfoy. Seluruh dendam dan kebenciannya tertumpah kepada Snape, namun dia tidak melupakan ketakutan dalam suara Malfoy di puncak Menara, ataupun fakta bahwa Malfoy telah menurunkan tongkat sihirnya sebelum Pelahap Maut yang lain datang. Harry tak percaya Malfoy akan membunuh Dumbledore. Dia masih memandang rendah Malfoy karena tergila-gila terhadap Ilmu Hitam, namun sekarang setitik rasa kasihan bercampur dengan ketidaksukaannya. Di manakah, Harry bertanya dalam hati, Malfoy sekarang? Dan Voldemort memaksanya melakukan apa di bawah ancaman akan membunuhnya dan orangtuanya? Pikiran Harry terputus oleh sentuhan di rusuknya dari Ginny. Profesor McGonagall sudah berdiri dan dengung sedih di Aula langsung mereda. "Waktunya sudah hampir tiba," katanya. "Silakan mengikuti Kepala Asrama kalian ke halaman. Gryffindor, ikut aku." Mereka berbaris keluar dari belakang bangku mereka hampir tanpa bicara. Harry sekilas melihat Slughorn di kepala barisan Slytherin, memakai jubah panjang keren berwarna hijau-zamrud, bersulam benang perak. Dia belum pernah melihat Profesor Sprout, Kepala Asrama Hufflepuff, sebersih ini; tak ada sepotong tambalan pun di topinya, dan ketika mereka tiba di Aula Depan, ternyata Madam Pince mendampingi Filch. Madam Pince memakai kerudung hitam tebal yang menjuntai sampai ke lututnya, Filch memakai jas hitam kuno dan dasi yang menguarkan bau kapur barus. Mereka menuju, seperti dilihat Harry ketika dia melangkah menuruni undakan dari pintu depan, ke danau. Kehangatan sinar matahari membelai wajahnya ketika mereka mengikuti Profesor McGonagall dalam diam ke tempat di mana ratusan kursi sudah disiapkan dan ditata berderet-deret. Ada jalan di tengah deretan kursi-kursi ini: di depan ada meja pualam, semua kursi menghadap ke meja itu. Hari itu hari musim panas yang paling indah. Campuran luar biasa bermacam orang sudah menempati separo kursi-kursi yang tersedia, lusuh dan keren, tua dan muda. Sebagian besar tidak dikenali Harry, namun ada beberapa yang dikenalnya, termasuk para anggota Orde Phoenix, Kingsley Shacklebolt, Mad-Eye Moody, Tonks, rambutnya ajaib sekali sudah kembali berwarna merah muda cemerlang, bergandengan tangan dengan Lupin, Mr dan Mrs Weasley, Bill yang dipapah Fleur, dan diikuti oleh Fred dan George, yang memakai jaket kulit naga hitam. Kemudian ada Madame Maxime, yang menempati dua setengah kursi sendiri, Tom, si pemilik Leaky Cauldron, Arabella Figg, tetangga Squib Harry, pemain bas yang banyak bulunya dari grup band Weird Sisters, Ernie Prang, pengemudi Bus Ksatria, Madam Malkin, pemilik toko jubah di Diagon Alley, dan beberapa orang yang Harry tahu karena pernah melihatnya, seperti pelayan bar di Hog's Head dan penyihir perempuan yang mendorong troli di Hogwarts Express. Hantu-hantu kastil juga ada, nyaris tak tampak dalam cerahnya cahaya matahari, hanya dapat dilihat bila mereka bergerak, gemerlap di udara. Harry, Ron, Hermione, dan Ginny beriringan masuk ke tempat duduk di ujung deretan di sebelah danau. Orang-orang berbisik-bisik; kedengarannya seperti angin sepoi yang meniup rerumputan, namun kicau burung jauh lebih keras. Semakin banyak orang datang. Dengan luapan perasaan sayang kepada keduanya, Harry melihat Neville dibantu duduk oleh Luna. Hanya mereka berdua dari semua anggota LD yang menanggapi panggilan Hermione pada malam meninggalnya Dumbledore, dan Harry tahu kenapa: mereka berdualah yang paling kehilangan LD ... barangkali hanya mereka berdua yang secara tetap mengecek koin mereka dengan harapan akan ada pertemuan lagi ... Cornelius Fudge berjalan melewati mereka menuju ke deretan depan, ekspresinya merana, memutar-mutar topi bowler hijaunya seperti biasanya; berikutnya Harry mengenali Rita Skeeter. Dia marah melihat Rita memegang notes di tangannya yang berkuku-merah seperti cakar. Dan kemudian, dengan sentakan kemarahan yang jauh lebih besar, dia melihat Dolores Umbridge, dengan ekspresi sedih yang tidak meyakinkan pada wajahnya yang mirip kodok, pita beludru hitam terpasang di rambut keritingnya yang berwarna-besi. Melihat si centaurus Firenze, yang berdiri seperti prajurit penjaga di tepi air, Umbridge kaget dan tergopoh-gopoh menuju ke tempat duduk yang cukup jauh. Para guru akhirnya duduk. Harry bisa melihat Scrimgeour yang tampak sedih dan berwibawa di baris depan, bersama Profesor McGonagall. Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah Scrimgeour atau orang-orang penting lainnya ini benar-benar sedih Dumbledore meninggal. Namun kemudian dia mendengar musik, ganjil, seperti dari dunia lain, dan dia melupakan ketidaksukaannya terhadap orang-orang Kementerian ketika menoleh mencari-cari sumber musik itu. Dia bukan satu-satunya yang begitu banyak kepala berpaling, mencari-cari, agak cemas. "Di dalam situ," bisik Ginny di telinga Harry. Dan Harry melihatnya dalam air jernih kehijauan yang tertimpa cahaya matahari, beberapa senti di bawah permukaan air, mengingatkannya akan Inferi yang mengerikan: paduan suara duyung bernyanyi dalam bahasa asing yang tidak dipahaminya, wajah mereka yang pucat beriak, rambut mereka yang keunguan bertebaran di sekitar mereka. Musik itu membuat bulu kuduk Harry meremang, namun bukannya tidak menyenangkan. Musik itu dengan jelas menyuarakan tentang kehilangan dan keputusasaan. Ketika Harry menunduk menatap wajah-wajah liar penyanyinya, dia mendapat kesan bahwa mereka, paling tidak, merasa sedih atas kepergian Dumbledore. Kemudian Ginny menyenggolnya lagi dan dia berpaling. Hagrid sedang berjalan perlahan di jalan di antara deretan kursi. Dia menangis tanpa suara, wajahnya kemilau bersimbah air mata, dan di tangannya, terbungkus dalam beludru ungu berkelap-kelip dengan bintang-bintang keemasan, Harry tahu adalah jenazah Dumbledore. Kerongkongan Harry sakit sekali seperti tertusuk melihat pemandangan ini: sesaat, musik yang aneh dan fakta bahwa jenazah Dumbledore begitu dekat, rasanya menyedot semua kehangatan hari itu. Ron tampak pucat dan shock. Air mata deras bercucuran ke pangkuan Ginny dan Hermione. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di depan. Hagrid tampaknya meletakkan jenazah itu dengan hati-hati di atas meja. Sekarang dia berbalik dan berjalan kembali sepanjang lorong, membuang ingus dengan bunyi keras seperti bunyi terompet yang mengundang pandangan mencela dari beberapa orang, termasuk, Harry melihatnya, Dolores Umbridge ... namun Harry tahu Dumbledore tidak akan peduli. Dia berusaha memberi isyarat ramah ketika Hagrid lewat, tetapi mata Hagrid bengkak besar sekali, sungguh mengherankan dia bisa melihat ke mana dia akan pergi. Harry melihat ke deretan belakang yang dituju Hagrid dan menyadari apa yang memandu Hagrid, karena di sana, memakai jas dan celana yang masing-masing seukuran tenda besar, duduklah Grawp, kepalanya yang seperti batu besar dan jelek menunduk, jinak, hampir seperti manusia. Hagrid duduk di sebelah adik lain ayahnya dan Grawp membelai Hagrid keras-keras pada kepalanya, sehingga kaki kursinya melesak ke dalam tanah. Sejenak Harry ingin tertawa, namun kemudian musik berhenti dan dia berpaling melihat ke depan lagi. Seorang laki-laki kecil berambut sejumput memakai jubah hitam sederhana telah bangkit dari kursinya dan sekarang berdiri di depan jenazah Dumbledore. Harry tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Kata-kata aneh terbawa angin kepada mereka melewati ratusan kepala. "Jiwa yang mulia" ... "kontribusi intelektual "... "hati yang lapang" ... tidak banyak artinya. Tidak banyak menggambarkan Dumbledore seperti yang dikenalnya. Harry mendadak ingat kata-kata yang diucapkan Dumbledore sendiri ketika Harry baru masuk Hogwarts: "dungu", "aneh", "gendut", dan "jewer", dan sekali lagi, harus menekan keinginan untuk nyengir ... kenapa sih dia ini? Terdengar bunyi kecipak lembut di sebelah kirinya dan dilihatnya para duyung telah muncul ke permukaan untuk ikut mendengarkan. Dia ingat Dumbledore berjongkok di tepi air dua tahun yang lalu, sangat dekat dengan tempat Harry duduk sekarang, dan berbicara dalam Mermish, bahasa duyung, dengan kepala para duyung. Harry bertanya dalam hati di mana Dumbledore belajar Mermish. Ada begitu banyak yang tak pernah ditanyakannya kepada Dumbledore, begitu banyak yang seharusnya dikatakannya ... Dan kemudian, tanpa peringatan, kenyataan mengerikan ini melandanya, lebih komplet dan tak terbantah lagi dibanding sebelumnya. Dumbledore sudah meninggal, pergi ... Harry mencengkeram kalung dingin dalam tangannya sangat kuat, sampai tangannya sakit, namun dia tak bisa mencegah air mata yang panas mengalir dari matanya: dia memalingkan wajah dari Ginny dan yang lain dan memandang di atas danau, ke arah Hutan, sementara si laki-laki kecil berjubah hitam masih bicara terus ... ada gerakan di antara pepohonan. Para centaurus telah datang untuk memberikan penghormatan mereka juga. Mereka tidak ke tempat terbuka, namun Harry melihat mereka berdiri diam, setengah-tersembunyi dalam bayangan pepohonan, mengamati para penyihir, busur mereka tergantung di sisi tubuh. Dan Harry teringat perjalanan pertamanya yang mengerikan ke dalam Hutan, pertama kalinya dia bertemu makhluk yang merupakan sosok Voldemort saat itu dan bagaimana dia menghadapinya, dan bagaimana dia dan Dumbledore telah membicarakan soal berperang kendati tahu pasti kalah tak lama sesudah itu. Penting, kata Dumbledore, untuk melawan, dan melawan lagi, dan terus melawan, karena hanya dengan begitulah kejahatan bisa dijauhkan, meskipun tak pernah bisa dibasmi ... Dan Harry melihat dengan jelas sekali ketika dia duduk di bawah matahari yang panas, bagaimana orang-orang yang menyayanginya telah berdiri di depannya satu demi satu, ibunya, ayahnya, walinya, dan akhirnya Dumbledore, semua bertekad untuk melindunginya; namun sekarang semua itu telah berakhir. Harry tak bisa lagi membiarkan orang lain berdiri di antara dia dan Voldemort; dia harus meninggalkan selamanya ilusi yang seharusnya telah hilang darinya sejak dia berusia satu tahun: bahwa perlindungan pelukan orangtua berarti tak ada yang bisa menyakitinya. Dia tak bisa lagi terbangun dari mimpi buruk ini, tak ada bisikan menghibur dalam gelap bahwa dia betul-betul aman, bahwa itu semua hanya ada dalam imajinasinya; pelindungnya yang paling akhir dan paling hebat telah meninggal dan dia lebih sendirian daripada yang pernah dialaminya sebelumnya. Laki-laki berjubah hitam akhirnya telah berhenti bicara dan duduk lagi. Harry menunggu ada orang lain yang bangkit dari tempat duduknya. Dia mengira akan ada pidato-pidato, barangkali dari Menteri, namun tak seorang pun bergerak. Kemudian beberapa orang berteriak. Lidah-lidah api putih cemerlang bermunculan di sekeliling jenazah Dumbledore dan meja tempatnya berbaring. Api ini membubung semakin lama semakin tinggi, menutupi jenazah. Asap putih bergulung-gulung ke angkasa dan membuat bentuk-bentuk aneh. Sejenak jantung Harry serasa berhenti berdetak, rasanya dia melihat seekor burung phoenix terbang riang ke langit biru, namun detik berikutnya api telah lenyap. Sebagai gantinya tampak pusara pualam putih, menyelubungi jenazah Dumbledore dan meja tempatnya dibaringkan. Terdengar lagi jeritan-jeritan shock ketika hujan panah melesat di udara, namun panah-panah itu terjatuh sebelum mengenai hadirin. Harry tahu, itu penghormatan dari para centaurus. Dilihatnya mereka berbalik dan menghilang kembali ke dalam pepohonan yang sejuk. Demikian juga para duyung perlahan membenam kembali ke dalam air kehijauan dan hilang dari pandangan. Harry memandang Ginny, Ron, dan Hermione. Wajah Ron mengerut seakan sinar matahari membuatnya silau. Wajah Hermione berkilau bersimbah air mata, namun Ginny sudah tidak menangis lagi. Dia membalas tatapan Harry dengan pandangan yang keras, berkobar, seperti yang pernah dilihatnya ketika Ginny memeluknya setelah memenangkan Piala Quidditch tanpa kehadirannya, dan Harry tahu pada saat itu mereka saling mengerti dengan sempurna, dan kalau dia memberitahunya apa yang akan dilakukannya sekarang, Ginny tidak akan berkata "Hati-hati", atau "Jangan lakukan itu", melainkan menerima keputusannya, karena dia tidak akan mengharapkan kurang dari itu dari Harry. Maka Harry menguatkan hati untuk mengatakan apa yang dia sudah tahu harus dikatakannya sejak Dumbledore meninggal. "Ginny, dengar ..." katanya sangat pelan, sementara dengung percakapan semakin keras di sekitar mereka dan orang-orang mulai beranjak bangun dari kursi mereka. "Aku tak bisa lagi berhubungan denganmu. Kita harus berhenti kencan. Kita tak bisa besama-sama." Ginny berkata, dengan senyum janggal, "Untuk alasan mulia yang bodoh, kan?" "Rasanya seperti ... seperti kehidupan orang lain, selama beberapa minggu terakhir bersamamu ini" kata Harry. "Tapi aku tak bisa ... kita tak bisa ... ada hal-hal yang harus kulakukan sendirian sekarang." Ginny tidak menangis, dia hanya menatapnya. "Voldemort menggunakan orang-orang yang dekat dengan musuhnya. Dia sudah pernah menggunakanmu sebagai umpan, dan itu hanya karena kau adik sahabatku. Pikirkan betapa kau dalam bahaya yang jauh lebih besar kalau kita meneruskan ini. Dia akan tahu, dia akan mencari tahu. Dia akan berusaha menangkapku lewat kau." "Bagaimana kalau aku tidak peduli?" tanya Ginny tegar. "Aku peduli," kata Harry. "Bagaimana menurutmu perasaanku jika ini pemakamanmu ... dan itu gara-gara kesalahanku ... " Ginny memalingkan wajah, memandang ke atas danau. "Aku tak pernah benar-benar menyerah mengharapkanmu," katanya. "Tak pernah. Aku selalu berharap ... Hermione memberitahuku untuk meneruskan hidupku, barangkali kencan dengan beberapa orang lain, sedikit rileks di dekatmu, karena aku dulu tak pernah bisa bicara kalau kau ada dalam ruangan, ingat? Dan dia memperkirakan kau mungkin akan sedikit lebih memperhatikan kalau aku sedikit lebih menjadi-diriku." "Anak pintar, si Hermione itu," kata Harry, berusaha tersenyum. "Aku cuma menyesal tidak memintamu lebih awal. Kita bisa punya banyak waktu ... berbulan-bulan ... bertahun-tahun mungkin ... " "Tapi kau selama ini terlalu sibuk menyelamatkan dunia sihir," kata Ginny, setengah-tertawa. "Yah ... aku tak bisa bilang aku terkejut. Aku tahu ini akan terjadi pada akhirnya. Aku tahu kau tak akan bahagia kalau tidak memburu Voldemort. Mungkin itulah sebabnya aku sangat menyukaimu." Harry tak tahan mendengar ini, dia pun tak yakin ketetapan hatinya tidak akan goyah jika dia terus duduk di samping Ginny. Ron, dilihatnya, sekarang merangkul Hermione dan membelai-belai rambutnya, sementara Hermione mengisak ke dalam bahunya, air mata menetes dari ujung hidung Ron yang panjang. Dengan merana Harry bangkit, berbalik memunggungi Ginny dan pusara Dumbledore dan berjalan menjauh menyusuri tepi danau. Bergerak rasanya jauh lebih tertahankan daripada duduk diam: sama seperti bertindak sesegera mungkin untuk melacak Horcrux-Horcrux dan membunuh Voldemort akan terasa lebih baik daripada menunggu melakukannya ... "Harry!" Dia menoleh. Rufus Scrimgeour berjalan terpincang-pincang dengan cepat mendatanginya di pantai, bertumpu pada tongkatnya. "Aku sudah dari tadi berharap bisa bicara denganmu ... kau keberatan kalau aku berjalan sebentar bersamamu?" "Tidak," kata Harry tak peduli, dan berjalan lagi. "Harry, ini tragedi mengerikan," kata Scrimgeour pelan. "Tak bisa kukatakan betapa kagetnya aku mendengarnya. Dumbledore penyihir yang sangat hebat. Kami memang kadang berselisih paham, tapi tak ada yang lebih tahu dari aku" "Apa yang Anda inginkan?" tanya Harry tegas. Scrimgeour tampak tersinggung tetapi, seperti sebelumnya, buru-buru mengubah ekspresinya menjadi cemberut memahami. "Kau, tentu saja, terpukul," katanya. "Aku tahu kau sangat dekat dengan Dumbledore. Kurasa kau barangkali malah murid yang paling disayanginya. Ikatan di antara kalian berdua-" "Apa yang Anda inginkan?" Harry mengulangi, berhenti berjalan. Scrimgeour ikut berhenti, bertumpu pada tongkatnya dan memandang Harry, ekspresinya licik sekarang. "Ada yang bilang kau bersamanya ketika dia meninggalkan sekolah pada malam dia meninggal." "Siapa yang bilang?" kata Harry. "Ada yang memingsankan seorang Pelahap Maut dengan Mantra Bius di atas Menara setelah Dumbledore meninggal. Juga ada dua sapu di atas sana. Kementerian bisa menghitung dua tambah dua, Harry." "Senang mendengarnya," kata Harry. "Nah, ke mana saya pergi bersama Dumbledore dan apa yang kami lakukan adalah urusan saya. Beliau tak ingin orang lain tahu." "Kesetiaan semacam itu sungguh mengagumkan, tentu saja," kata Scrimgeour, yang tampaknya susah payah menahan kejengkelannya, "tapi Dumbledore sudah pergi, Harry. Dia sudah pergi." "Dia hanya akan benar-benar meninggalkan sekolah ini kalau sudah tak ada lagi yang setia kepadanya di sini," kata Harry, tersenyum di luar kemauannya. "Nak ... bahkan Dumbledore tidak bisa bangkit dari-" "Saya tidak mengatakan dia bisa. Anda tidak akan mengerti. Tapi tak ada yang bisa saya sampaikan kepada Anda." Scrimgeour ragu-ragu, kemudian berkata, dengan nada yang dimaksudkan sebagai nada halus. "Kementerian bisa menawarkan berbagai perlindungan kepadamu, kau tahu, Harry. Aku dengan senang hati akan mengirim beberapa Auror untuk membantumu" Harry tertawa. "Voldemort ingin membunuh saya sendiri dan Auror tidak akan menghentikannya. Jadi, terima kasih atas tawarannya, tetapi tidak saya terima." "Jadi," kata Scrimgeour, suaranya dingin sekarang, "permohonan yang kuajukan kepadamu Natal yang lalu" "Permohonan apa? Oh yeah ... yang saya harus memberitahu dunia betapa hebatnya pekerjaan yang Anda lakukan dengan imbalan" "untuk meningkatkan moril semua orang!" tukas Scrimgeour. Harry menatapnya beberapa saat. "Sudah membebaskan Stan Shunpike?" Wajah Scrimgeour berubah menjadi ungu jelek, sangat mirip Paman Vernon. "Rupanya kau-" "Orang Dumbledore luar-dalam," kata Harry. "Betul." Scrimgeour mendelik kepadanya sesaat, kemudian berbalik dan berjalan pergi terpincang-pincang tanpa sepatah kata pun lagi. Harry bisa melihat Percy dan anggota delegasi Kementerian lainnya menunggunya, berkali-kali melempar pandang gugup ke arah Hagrid dan Grawp, yang masih di tempat duduk mereka. Ron dan Hermione bergegas mendatangi Harry, berpapasan dengan Scrimgeour yang berjalan ke arah berlawanan. Harry berbalik dan berjalan lagi pelan-pelan, menunggu disusul mereka. Mereka akhirnya menyusulnya di bawah naungan kerindangan pohon beech, tempat mereka biasa duduk-duduk di masa-masa yang lebih membahagiakan. "Apa yang diinginkan Scrimgeour?" Hermione berbisik. "Sama seperti yang diinginkannya Natal lalu," Harry mengangkat bahu. "Ingin aku memberinya informasi orang-dalam tentang Dumbledore dan menjadi cowokposter baru Kementerian." Ron tampak berjuang menguasai diri sejenak, kemudian berkata keras kepada Hermione, "Biarkan aku balik dan menonjok Percy!" "Tidak!" kata Hermione tegas, menyambar lengan Ron. "Itu akan membuatku merasa lebih baik!" Harry tertawa. Bahkan Hermione nyengir sedikit, meskipun senyumnya memudar ketika dia memandang kastil. "Aku tak tahan memikirkan kita mungkin tak akan pernah kembali," dia berkata lembut. "Bagaimana bisa Hogwarts ditutup?" "Mungkin Hogwarts tak akan tutup," kata Ron. "Kita tidak dalam bahaya lebih besar di sini daripada kalau di rumah, kan? Di mana-mana sama saja sekarang. Aku bahkan bisa bilang Hogwarts lebih aman, ada lebih banyak penyihir di dalam untuk mempertahankan tempat ini. Bagaimana menurutmu, Harry?" "Aku tak akan kembali sekalipun Hogwarts dibuka lagi," kata Harry. Ron ternganga menatapnya, namun Hermione berkata sedih, "Aku tahu kau akan berkata begitu. Tapi apa yang akan kau lakukan?" "Aku akan pulang ke rumah Dursley sekali lagi, karena Dumbledore menginginkan itu," kata Harry. "Tapi itu cuma kunjungan singkat, dan kemudian aku akan pergi selamanya." "Tapi ke mana kau mau pergi kalau tidak kembali ke sekolah?" "Kupikir aku mungkin akan kembali ke Godric's Hollow," gumam Harry. Ide ini sudah ada dalam kepalanya sejak malam meninggalnya Dumbledore. "Bagiku, segalanya berawal dari sana. Aku punya perasaan aku perlu ke sana. Dan aku bisa mengunjungi makam orangtuaku, aku kepingin ke sana." "Dan kemudian apa?" tanya Ron. "Kemudian aku harus melacak sisa Horcrux, kan?" kata Harry, matanya menatap pusara putih Dumbledore, yang dipantulkan di air di sisi lain danau. "Itulah yang dia ingin kulakukan, itulah sebabnya dia memberitahuku tentang Horcrux-Horcrux itu. Kalau Dumbledore benar dan aku yakin dia benar masih ada empat Horcrux di luar sana. Aku harus menemukannya dan menghancurkan keempat-empatnya dan kemudian aku harus mencari bagian ketujuh jiwa Voldemort, bagian yang masih tinggal dalam tubuhnya, dan akulah yang akan membunuhnya. Dan kalau aku bertemu Severus Snape dalam perjalanan ini" dia menambahkan, "jauh lebih baik bagiku, jauh lebih buruk baginya." Hening lama. Kerumunan orang sudah hampir bubar sekarang. Orang-orang yang mengeluyur pergi memberi keleluasaan kepada sosok Grawp yang luar biasa besar ketika dia mendekap Hagrid, yang lolongan sedihnya masih bergaung ke seberang danau. "Kami akan ada di sana, Harry," kata Ron. "Apa?" "Di rumah bibi dan pamanmu," kata Ron. "Dan kemudian kami akan pergi bersamamu, ke mana pun kau pergi." "Tidak" kilah Harry cepat-cepat, ini di luar perkiraannya, dia bermaksud membuat mereka memahami bahwa dia akan melakukan perjalanan yang paling berbahaya ini seorang diri. "Kau sudah pernah bilang kepada kami," kata Hermione pelan, "bahwa ada waktu untuk berbalik kalau kami mau. Kami sudah punya waktu untuk mempertimbangkannya, kan?" "Kami bersamamu apa pun yang terjadi," kata Ron. "Tapi, sobat, kau harus datang ke rumah ibu dan ayahku sebelum kita melakukan yang lain, bahkan Godric's Hollow sekalipun." "Kenapa?" "Pernikahan Bill dan Fleur, ingat?" Harry menatap Ron, tercengang; bahwa masih ada sesuatu senormal pernikahan rasanya sulit dipercaya, namun sangat bagus. "Yeah, jangan sampai kita tidak hadir," katanya akhirnya. Tangannya otomatis menggenggam Horcrux palsu, namun, walaupun telah mengalami segala kejadian ini, walaupun dia melihat jalan gelap berliku terbentang di depannya, walaupun dia tahu pertemuan final dengan Voldemort akan terjadi, TAMAT entah sebulan lagi, setahun lagi, atau sepuluh tahun lagi, dia merasa semangatnya bangkit memikirkan bahwa masih ada satu hari menyenangkan penuh kedamaian untuk dinikmati bersama Ron dan Hermione. Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net